BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan bahan bangunan yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan konstruksi bangunan. Keunggulan bambu sebagai bahan konstruksi adalah mempunyai kekuatan tarik yang tinggi. Keunggulan bambu dari bahan konstruksi yang lain diantaranya bambu merupakan bahan yang dapat diperbarui, pelaksanaan konstruksi lebih cepat, biaya konstruksi lebih murah dan tidak memerlukan peralatan yang modern. Di samping itu bambu memiliki keunggulan lain yaitu ringan dan mempunyai kelenturan yang tinggi sehingga sangat baik digunakan untuk bangunan tahan gempa. Ditinjau secara ekonomis penggunaan bambu sebagai bahan konstruksi sangat menguntungkan karena harganya murah dan mudah didapat. Bambu dapat digunakan sebagai bahan konstruksi pada umur relatif pendek yaitu 3-5 tahun dibandingkan kayu dan dapat tumbuh dengan mudah pada berbagai macam kondisi tanah. Kekurangan dari sifat bambu sebagai bahan konstruksi diantaranya adalah nilai modulus elastisitas yang rendah menjadikan tingkat kekakuan yang rendah sehingga struktur bambu mempunyai deformasi yang besar. Berdasarkan pertimbangan deformasi yang besar maka dalam mendesain struktur bambu pertimbangan kondisi batas layan dapat lebih menentukan daripada kondisi batas ultimit atau kekuatannya. Selain itu masalah keawetan bambu masih merupakan kendala yang signifikan meskipun saat ini berbagai macam cara pengawetan terus berkembang mulai dari cara tradisional sampai cara yang lebih modern. Sebagai material struktur bambu dapat digunakan dalam berbagai komponen bangunan seperti balok, kolom, partisi, lantai maupun sebagai struktur rangka batang (truss). Struktur rangka batang lebih banyak difungsikan sebagai struktur rangka atap maupun rangka jembatan. Struktur rangka batang merupakan sebuah struktur yang terangkai dari beberapa batang yang disambungkan pada
ujung-ujung batang di titik buhul atau simpul. Setiap elemen pada rangka batang secara umum dianggap mempunyai hubungan sendi pada masing-masing titik hubungnya. Batang-batang tersebut disusun sedemikian rupa sehingga semua beban dan reaksi yang terjadi berada pada titik hubung. Prinsip utama stabilitas struktur yang mendasari penggunaan rangka batang sebagai struktur pemikul beban adalah penyusunan elemen menjadi konfigurasi segitiga yang menghasilkan bentuk stabil (Schodek, 1996). Perilaku struktural sambungan rangka batang bambu diantaranya adalah kekuatan dan kekakuan struktur. Kekakuan struktur rangka batang dapat diperoleh dari hubungan beban dan lendutan. Hubungan beban dan lendutan disini digunakan untuk mendefinisikan kekakuan struktur rangka batang bambu. Kekuatan bambu yang tinggi belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena kendala dalam sistem sambungan antar batangnya. Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional dengan memakai ijuk, paku dan pasak. Sambungan dengan paku atau pasak menyebabkan terjadinya sobekan serat yang sejajar batang dimana kekuatan tarik tegak lurus serat dan gesernya rendah yang menjadikan bambu mudah pecah. Pada sambungan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada gaya pengencangan dan kekuatan gesek antara tali atau ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999). Karena alasan geometrik, konstruksi bambu sering kali memerlukan sambungan perpanjangan untuk memperpanjang bambu dan sambungan buhul untuk menggabungkan beberapa batang bambu pada satu buhul atau joint. Sistem sambungan elemen pada struktur rangka batang sangat mempengaruhi kekakuan dan kekuatan strukturnya. Berbagai penelitian tentang jenis sambungan konstruksi bambu telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian model sambungan bambu tersebut diantaranya model sambungan bambu mengunakan FRP (Fiber Reinforced Plastic) (Awaludin, dkk, 2014), PVC (Polyvinyl Chloride) (Albermania dkk, 2007), model sambungan bambu menggunakan komposit bambu-beton (Korde dkk, 2008), model sambungan menggunakan plat buhul dari plywood (Janssen, 1984 dan Davies, 2008) dan 2
model sambungan menggunakan kawat baja (Widyowijatmoko, 2012). Upaya peningkatan kekuatan sambungan dari bentuk sambungan tradisional juga dilakukan oleh Morisco dan Mardjono (1995,1997) dengan menambahkan mortar semen atau kayu sebagai pengisi pada rongga bambu sekitar sambungan. Model alat sambung yang digunakan adalah pelat buhul dan baut baja. Sambungan antar batang yang menggunakan pelat baja dan material isian yang berat kurang menguntungkan karena dapat menambah berat sendiri struktur, hal ini berdampak pada biaya konstruksi yang tinggi dan menyebabkan biaya konstruksi bambu mahal. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan sebuah sistem sambungan menggunakan bahan yang ringan dan harga yang relatif murah. Oleh sebab itu pada penelitian ini dikembangkan sebuah sistem sambungan bambu tanpa bahan pengisi yang menggunakan papan kayu sebagai pengganti pelat buhul baja. Papan kayu yang digunakan adalah Kayu Keruing (Dipterocarpaceae) yang mempunyai kekuatan cukup tinggi yaitu termasuk kayu kode mutu E14 dengan mutu A (SNI 7973: 2013). Kayu Keruing (Dipterocarpaceae) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang telah digunakan secara luas di industri pengolahan kayu baik sebagai bahan baku produk komposit seperti kayu lapis dan papan sambung maupun produk kayu solid. Selain itu penggunaan pelat buhul pada sambungan menyebabkan gaya pengencangan yang diberikan pada baut terkosentrasi di lubang baut sehingga terjadi kerusakan pada lubang baut. Untuk meratakan tegangan yang bekerja pada bambu adalah dengan memperluas bidang kontak pada gaya pengencangan baut. Oleh karena itu maka digunakan klos kayu yang berfungsi meratakan tegangan pada daerah sekitar lubang baut dan meningkatkan konstribusi terhadap kemampuan geser pada sambungan atau menambah bidang kontak antara bambu dan plat buhul sehingga sambungan menjadi lebih kuat. 3
1.2. Rumusan Masalah Kekuatan bambu yang tinggi belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena kendala dalam sistem sambungan antar batangnya. Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional dengan memakai ijuk, paku dan pasak. Sambungan dengan paku atau pasak menyebabkan terjadinya sobekan serat yang sejajar batang dimana kekuatan tarik tegak lurusnya rendah yang menjadikan bambu mudah pecah. Pada sambungan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekangan dan kekuatan gesek antara tali atau ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya. Seiring waktu maka kekangan pada sambungan akan berkurang sehingga kekuatan sambungan juga akan berkurang. Penyambungan untuk menggabungkan beberapa batang bambu pada satu buhul atau joint sangat diperlukan pada struktur rangka batang. Pelat buhul diperlukan untuk mengakomodir sambungan yang terdiri dari dua batang atau lebih dan satu alat sambung, sementara itu sistem sambungan dengan pelat buhul yang dikenal saat ini masih relatif berat. Penggunaan pelat buhul dari material yang berat pada sambungan kurang efisien karena dapat menambah berat sendiri struktur sehingga bebannya kurang maksimal, membutuhkan ukuran batang yang lebih besar yang berdampak pada biaya konstruksi yang tinggi. Pelat buhul dari kayu digunakan menggantikan pelat buhul baja dengan pertimbangan bahwa kayu merupakan material yang lebih ringan dan lebih murah dari baja. Kelemahan penggunaan pelat buhul pada sambungan adalah gaya pengencangan yang diberikan pada baut terkosentrasi di lubang baut sehingga berpotensi terjadi kerusakan pada lubang baut. Untuk meratakan tegangan akibat gaya pengencangan yang bekerja pada bambu dapat diatasi dengan memperluas bidang kontak antara baut dengan permukaan bambu. Klos kayu digunakan untuk meratakan tegangan pada daerah sekitar lubang baut sehingga sambungan menjadi lebih kuat. Selain itu perlu sistem sambungan yg memudahkan meratakan pelat sambung dan mengakomodasi perbedaan diameter bambu, tidak berat dan mempunyai rumusan kekuatan sambungan 4
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mengetahui kekuatan dan kekakuan struktur sambungan dengan pelat buhul papan dan klos kayu serta alat sambung baut pada struktur rangka batang dari bambu. 2. Mengetahui pengaruh pengencangan baut terhadap kekuatan sambungan. 3. Mendapatkan rumusan perhitungan kekuatan sambungan dan ketentuan detail sambungannya. 4. Mengetahui kekakuan sambungan pada beban statik dan kuasi statik. 1.4. Manfaat Penelitian tentang perilaku sambungan pada struktur rangka batang bambu memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Menghasilkan sebuah sistem sambungan struktur rangka batang yang mempunyai keunggulan dari segi kekuatan dan memudahkan menyambung batang dengan diameter yang berbeda. 2. Menghasilkan prosedur tentang perancangan sambungan konstruksi bambu yang kuat, stabil dan menciptakan potensi industri/fabrikasi. 3. Menghasilkan masukan untuk peraturan bambu di Indonesia, khususnya tentang sambungan struktur rangka batang dan panduan analisisnya. 1.5. Batasan Masalah Penelitian tentang perilaku sambungan pada struktur rangka bambu memiliki batasan masalah sebagai berikut: 1. Struktur yang ditinjau adalah rangka batang 2D. 2. Tinjauan difokuskan pada sambungan dengan plat sambung papan kayu yang dilengkapi dengan klos kayu. 3. Bambu yang digunakan adalah bambu utuh dari jenis Wulung (Gigantochloa atroviolacea) 5
4. Papan yang digunakan adalah kayu kode mutu E14 dengan mutu A dari jenis Kayu Keruing (Dipterocarpaceae) dengan tebal papan sambung 2 cm. 5. Klos yang digunakan adalah kayu kode mutu E10 dengan mutu B dari jenis Kayu Mahoni (Swietenia Mahagoni). 6. Arah serat klos kayu sejajar dengan arah gaya pengencangan dengan ketebalan sisi bagian dalam klos (terkecil) adalah 2 cm, lebar 6 cm dan panjang disesuaikan dengan variasi bentuk klos. 7. Menggunakan baut diameter ½ dengan jumlah maksimum 2 baut untuk satu batang bambu dengan 3 variasi pengencangan pada baut. 8. Panjang bentang struktur rangka batang yang ditinjau adalah 6-9 m. 9. Pengujian jarak kritis baut dilakukan pada ketebalan batang bambu rata-rata 7,5 m dan diameter baut ½ inci. 10. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian statik dan kuasi statik. 11. Pengujian kekuatan sambungan hanya ditinjau pada kekuatan dengan variasi sudut 0 0, 30 0 dan 45 0. 12. Perilaku jangka panjang struktur belum ditinjau. 1.6. Keaslian Penelitian Selama ini perangkaian batang pada sambungan struktur rangka batang (truss) bambu menggunakan plat buhul yang terbuat dari baja (Morisco, 1996) atau bahan lain seperti Polyvinyl Chloride (Albermani, dkk, 2007) dan komposit bambu beton (Korde. dkk, 2008). Untuk struktur atap dengan beban relatif lebih ringan penggunaan plat buhul baja memberikan kekuatan yang sangat berlebih sehingga tidak ekonomis. Sistem sambungan menggunakan bahan lain pada plat buhul diperlukan untuk meminimalisir berat dan harga. Penggunaan papan kayu merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah karena harganya yang relatif lebih murah dari baja. Kebutuhan terhadap papan kayu tidak begitu banyak karena hanya digunakan pada sambungan. Penggunaan papan kayu sebagai plat buhul pada struktur truss telah dilakukan oleh (Mishra, 1988) dan (Gunawan, 2001). Mishra (1988) menggunakan plat buhul dari papan dengan alat sambung paku pada struktur truss bentang 4 m sedangkan Gunawan (2001) menggunakan 6
plat buhul papan kayu pada bambu bilah yang ditempatkan di tengah antara 2 bilah menggunakan alat sambung perekat epoksi. Sistem sambungan yang diusulkan menggunakan papan kayu sebagai plat buhul yang dilengkapi dengan klos kayu dengan alat sambung baut, belum pernah dilakukan. Rumus terkait perhitungan kekuatan sistem sambungan belum ada. 1.7. Hipotesis 1. Penambahan klos kayu pada sambungan meningkatkan kekuatan sambungan, semakin besar sudut klos maka luas bidang kontak semakin besar, sehingga tegangan menjadi kecil. 2. Kekuatan sambungan dipengaruhi oleh gaya pengencangan baut dan friksi, ada peningkatan kekuatan dan kekakuan sambungan dengan adanya peningkatan gaya pengencangan baut, dimana peningkatan kekuatan yang optimal didapat apabila gaya pengencangan yang diberikan tidak melampaui kekuatan tegak lurus serat bambu. 3. Kekuatan sambungan ditentukan oleh kemampuan geser sejajar serat bambu. 4. Kekuatan sambungan berkurang seiring dengan bertambahnya sudut arah gaya pada sambungan 7