KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI ROKAN HILIR PROVINSI RIAU

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI CIAMIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

BUPATI TANA TORAJA PROVINSI SULAWESI SELATAN

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 7/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 01 TAHUN 2008 T E N T A N G BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

Dengan persetujuan bersama. DEWAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN dan BUPATI MUSI BANYUASIN MEMUTUSKAN :

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA,

P E R A T U R A N D A E R A H

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN

DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG TENTANG PERMUSYAWARATAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI MUSI RAWAS

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

BUPATI PACITAN PERATURAN BUPATI PACITAN NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FLORES TIMUR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2006 NOMOR: 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANA TORAJA NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN LEMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 4 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TAKALAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAKALAR NOMOR 04 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

BUPATI LOMBOK TENGAH

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA BATU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 SERI D.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 6 TAHUN 2008

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS,

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 7 TAHUN 2006

TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI DOMPU,

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 3 TAHUN 2007 WALIKOTA PRABUMULIH,

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 2 TAHUN 2007 SERI D.2

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

...BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR.. 2 TAHUN TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KOTA SUNGAI PENUH

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

Transkripsi:

-1- KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS NOMOR 08 TAHUN 2015 TENTANG BADAN HIPPUN PEMEKONAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan pekon, perlu mengatur suatu lembaga permusyawaratan di tingkat pekon; b. bahwa dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus Nomor 13 Tahun 2006 tentang Badan Hippun Pemekonan perlu diganti karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan pengaturan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus tentang Badan Hippun Pemekonan. Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 02 Tahun 1997 tentang Pembentukan kabupaten Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1091); 3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);

-2-5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah berberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5520); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5694); 8. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 158); 9. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 159); 10. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 160); 11. Peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa; 12. Peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa 13. Peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa; 14. Peraturan Menteri Dalam Negari Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa;

-3- Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS dan BUPATI TANGGAMUS MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS TENTANG BADAN HIPPUN PEMEKONAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Tanggamus; 2. Bupati adalah Bupati Kabupaten Tanggamus; 3. Pemerintahan Daerah adalah Bupati dan DPRD 4. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah; 5. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus; 6. Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kabupaten Tanggamus; 7. Pekon adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berkewenangan untuk mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten Tanggamus; 8. Pemerintahan Pekon adalah penyelenggara urusan Pemerintah Pekon dan Badan Hippun Pemekonan dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 9. Badan Hippun Pemekonan yang selanjutnya disebut BHP adalah Lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Pekon sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Pekon; 10. Pemerintah Pekon adalah Kepala Pekon dan Perangkat Pekon sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Pekon; 11. Kepala Pekon adalah pimpinan Pemerintah Pekon di Kabupaten Tanggamus yang mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan pelaksanaan Pemerintahan Pekon yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan bersama BHP;

-4-12. Pendapatan Pekon adalah Pendapatan Asli Pekon, bantuan dari Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Pusat, sumbangan dari pihak ketiga dan pinjaman Pekon; 13. Kewenangan Pekon adalah hak dan kekuasaan Pemerintahan Pekon dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. 14. Peraturan Pekon adalah Peraturan Perundangan-Undangan yang dibuat oleh BHP bersama Kepala Pekon. BAB II PEMBENTUKAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Anggota BHP merupakan wakil dari penduduk Pekon berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. (2) Masa keanggotaan BHP selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji. (3) Anggota BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Bagian Kedua Pengisian Keanggotaan Badan Hippun Pemekonan Pasal 3 (1) Pengisian keanggotaan BHP adalah wakil dari penduduk pekon berdasarkan keterwakilan wilayah yang dipilih dengan cara musyawarah mufakat atau pemilihan langsung. (2) Keanggotaan BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari ketua RW, golongan profesi, pemuka agama, tokoh pemuda, keterwakilan perempuan dan pemuka masyarakat lainnya. (3) Pengisian atau pembentukan Keanggotaan BHP dapat dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat atau pemilihan langsung. (4) Jumlah keanggotaan BHP ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan jumlah penduduk, dengan ketentuan: a. Jumlah penduduk sampai dengan 2000 jiwa diwakili 5 orang anggota; b. Jumlah penduduk 2001 jiwa sampai dengan 2500 jiwa diwakili 7 orang anggota; c. Jumlah penduduk 2501 jiwa sampai dengan 3000 jiwa diwakili 9 orang anggota; d. Jumlah penduduk lebih dari 3000 jiwa diwakili 11 orang anggota.

-5- Bagian Ketiga Persyaratan Calon Anggota Badan Hippun Pemekonan Pasal 4 Persyaratan calon anggota BHP meliputi: a. warga negara Republik Indonesia dibuktikan dengan foto copi kartu tanda penduduk dengan legalisir oleh kepala pekon; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dibuktikan dengan pernyataan diatas kertas bermaterai cukup; c. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah dibuktikan dengan pernyataan diatas kertas bermaterai cukup; d. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau sederajat dibuktikan dengan foto copi ijazah dilegalisir oleh asal sekolah ; e. sehat jasmani dan rohani surat keterangan berbadan sehat dari dokter rumah sakit atau puskesmas; f. berumur paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah dan paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala pekon; g. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun dibuktikan dengan surat keterangan dari ketua pengadilan negeri setempat; h. bersedia dicalonkan sebagai anggota BHP dibuktikan dengan pernyataan diatas kertas bermaterai cukup; i. berdomisili di pekon yang bersangkutan minimal 1 Tahun yang dibuktikan dengan foto copy KTP BAB III MEKANISME PEMBENTUKAN DAN PENETAPAN BADAN HIPPUN PEMEKONAN Pasal 5 (1) Kepala Pekon karena kedudukannya bertindak sebagai penanggungjawab pelaksanaan pembentukan BHP. (2) Dalam pembentukan BHP, Kepala Pekon mempunyai tugas: a. membentuk panitia pembentukan BHP tingkat pekon; b. mengarahkan panitia pembentukan BHP; c. menetapkan hasil pembentukan BHP dan d. mengusulkan/merekomendasikan pengesahannya kepada Bupati. (3) Panitia pengisian keanggotaan BHP melakukan penjaringan bakal calon anggota BHP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum masa keanggotaan BHP berakhir;

-6- (4) Panitia pengisian keanggotaan BHP menetapkan calon anggota BHP yang jumlahnya sama atau lebih dari keanggotaan BHP yang dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa keanggotaan BHP berakhir; (5) Dalam hal mekanisme pengisian keanggotaan BHP ditetapkan melalui proses pemilihan langsung, panitia pengisian menyelenggarakan pemilihan langsung calon anggota BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (4); (6) Hasil dalam musyawarah atau pemilihan langsung tingkat pekon sesuai dengan persyaratan keanggotaan BHP diusulkan menjadi anggota BHP kepada Bupati; (7) Tata cara pembentukan dan teknis pelaksanaan musyawarah penetapan keanggotaan BHP diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Pengisian atau pembentukan keanggotaan BHP di Kabupaten Tanggamus. Pasal 6 (1) Aparatur Sipil Negara yang akan mencalonkan diri sebagai keanggotaan BHP dan yang terpilih menjadi anggota BHP harus mendapatkan izin tertulis dari Pejabat Pembina Kepegawaiaan. (2) Teknis penetapan Aparatur Sipil Negara menjadi anggota BHP diatur oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Pasal 7 (1) Berita Acara hasil musyawarah atau pemilihan langsung panitia wajib disampaikan kepada Kepala Pekon dan Bupati melalui Camat. (2) Berdasarkan berita acara pelaksanaan musyawarah atau pemilihan langsung panitia tingkat pekon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Pekon menetapkan calon keanggotaan BHP dengan Keputusan Kepala Pekon paling lama 7 (tujuh) hari sejak berita acara hasil musyawarah ditetapkan. (3) Keputusan Kepala Pekon tentang penetapan calon anggota BHP disampaikan kepada Bupati melalui Camat untuk mendapatkan pengesahan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penetapan. (4) Keputusan Bupati tentang pengesahan keanggotaan BHP ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Keputusan Kepala Pekon atas rekomendasi Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melantik seluruh anggota BHP baik pimpinan maupun anggota baru paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya Keputusan Bupati tentang pengesahan keanggotaan BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (4). BAB IV KEDUDUKAN, FUNGSI DAN WEWENANG Pasal 8 BHP berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Pekon.

-7- Pasal 9 BHP berfungsi membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Pekon bersama Kepala Pekon, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Pekon. Pasal 10 BHP mempunyai wewenang: a. Membahas rancangan peraturan pekon bersama Kepala Pekon; b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan pekon dan peraturan Kepala Pekon; c. Mengusulkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Pekon; d. Membentuk panitia pemilihan Kepala Pekon; e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan f. Menyusun Tata Tertib BHP. (1) Anggota BHP mempunyai hak : BAB V HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN Pasal 11 a. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Pekon kepada Pemerintah Pekon; b. Mengajukan rancangan peraturan pekon; c. Mengajukan pertanyaan; d. Menyampaikan usul dan pendapat; e. Memperoleh tunjangan dari APBP. f. Memperoleh biaya operasional dan tugas dari APBP. g. Memperoleh pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan,sosialisasi,pembimbingan teknis dan kunjungan lapangan; (2) Anggota BHP mempunyai kewajiban : a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan; b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan pekon; c. mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; e. membentuk panitia pemilihan Kepala Pekon;

-8- f. mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; g. menjaga nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat; dan h. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan pemerintah pekon dan lembaga kemasyarakatan. (3) Seluruh anggota BHP dapat menerima segala hak dan menjalankan kewajibannya setelah Keanggotaan BHP dilantik/pengucapan sumpah/janji. Pasal 12 (1) Keanggotaan BHP terdiri dari pimpinan dan anggota BHP. (2) Pimpinan dan Anggota BHP dilarang : a. merangkap jabatan sebagai Kepala Pekon dan/atau Perangkat Pekon dan LPMD, BUMD, RT, RW, atau organisasi Mitra Pemerintah Pekon; b. sebagai pelaksana proyek pekon; c. merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain; d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; e. melanggar sumpah/janji jabatan; f. merangkap sebagai anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; g. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang. BAB VI MASA JABATAN, PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN KEANGGOTAAN ANTARWAKTU Bagian Kesatu Masa Jabatan Pasal 13 (1) Masa jabatan keanggotaan BHP adalah 6 (enam) tahun sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali maksimal 3 ( tiga ) kali masa jabatan, secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. (2) Pengusulan kembali keanggotaan BHP untuk masa jabatan berikutnya dilakukan sesuai dengan tata cara pelaksanaan musyawarah atau pemilihan langsung pembentukan keanggotaan BHP. (3) Masa keanggotaan BHP berlaku sejak Keanggotaan BHP baru dilantik/pengucapan sumpah/janji. (4) Keanggotaan BHP habis masa baktinya pada saat Keanggotaan BHP baru dilantik/pengucapan sumpah/janji.

-9- Bagian Kedua Pemberhentian Pasal 14 (1) Anggota BHP berhenti atau diberhentikan karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. masa jabatannya telah berakhir dan telah dilantik anggota BHP yang baru; d. dinyatakan melanggar sumpah/janji; e. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; f. melanggar larangan bagi anggota BHP; g. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota BHP. (2) Pemberhentian anggota BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (3) Untuk fungsi Pembinaan dan Pengawasan, serta guna menjamin kelancaran pelaksanaan Pemerintahan Pekon secara berdaya guna dan berhasil guna bagi kepentingan umum, Kepala Daerah dapat memberhentikan anggota BHP yang melanggar sumpah dan janji serta melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang diusulkan oleh lebih dari 1/3 (Sepertiga) jumlah anggota BHP. (4) Pemberhentian anggota BHP diusulkan oleh pimpinan BHP kepada Bupati melalui kepala pekon. (5) Pengesahan pemberhentian anggota BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Bupati paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Keputusan BHP. Bagian Ketiga Penggantian Keanggotaan Antarwaktu Pasal 15 (1) Anggota BHP yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir keanggotaannya digantikan oleh anggota BHP antar waktu. (2) Anggota BHP yang pindah dan/atau kembali ke daerah asal dan/atau daerah pemekaran diberhentikan dengan mengajukan surat pengunduran diri dan digantikan anggota BHP antarwaktu pada daerah asal dan/daerah induk. (3) Masa jabatan anggota BHP antarwaktu adalah sisa waktu yang belum dijalankan oleh anggota BHP yang berhenti atau diberhentikan. (4) Bagi pekon pemekaran keanggotaan BHP nya harus dipilih dengan tidak mengangkat anggota BHP dari pekon induk yang masih menjabat sebagai anggota BHP. (5) Penggantian antarwaktu anggota BHP diproses berdasarkan daftar urut berikutnya pada wilayah musyawarah asal anggota BHP yang berhenti atau diberhentikan.

-10- (6) Apabila ada anggota BHP yang berhenti atau diberhentikan sedangkan tidak ada calon pengganti anggota BHP antar waktu dalam satu wilayah sampai batas waktu yang telah ditetapkan maka keanggotaannya dapat diisi calon anggota BHP yang baru. (7) Pengisian keanggotaan BHP antarwaktu ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usul pimpinan BHP melalui Kepala Pekon. BAB VII TATA CARA PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI Pasal 16 (1) Peresmian atau pelantikan keanggotaan BHP oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya Keputusan Bupati tentang Pengesahan anggota BHP terpilih hasil musyawarah. (2) Peresmian pelantikan keanggotaan BHP yang tidak dapat dilaksanakan hingga akhir jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, dapat ditunda paling lama 2 (dua) kali 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berakhirnya jangka waktu dimaksud atas persetujuan Bupati. (3) Selama penundaan peresmian pelantikan keanggotaan BHP, BHP lama masih menjabat sebagai anggota BHP sampai pelantikan keanggotaan BHP yang baru. (4) Serah terima jabatan anggota BHP dilakukan dihadapan masyarakat dengan menandatangani berita acara serah terima jabatan disaksikan oleh camat. Pasal 17 (1) Sebelum memangku jabatannya, anggota BHP mengucapkan sumpah/janji. (2) Pengucapan sumpah/janji dilaksanakan pada saat peresmian dan dipandu oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Camat. (3) Anggota BHP sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk dalam hal ini Camat. (4) Susunan kata-kata sumpah/janji anggota BHP sebagai berikut : Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Hippun Pemekonan dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya yang berlaku bagi pekon, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

-11- BAB VIII SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 18 (1) Susunan organisasi BHP terdiri dari: a. pimpinan; dan b. anggota. (2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. satu orang ketua merangkap anggota b. satu orang wakil ketua merangkap anggota; c. Satu orang sekretaris merangkap anggota; (3) Pimpinan BHP dipilih oleh anggota BHP; (4) Pimpinan BHP mempunyai tugas: a. menjaga dan memelihara tata tertib untuk bermusyawarah dalam BHP; b. menyusun rencana kerja dan pembagian kerja para anggota BHP; c. memimpin rapat-rapat BHP; d. menyimpulkan hasil pembahasan dalam rapat yang dipimpinnya; e. memberitahukan hasil musyawarah kepada Kepala Pekon; f. melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Kepala Pekon dalam penyelenggaraan pemerintahan pekon. Bagian Kedua Tata Kerja Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan kewenangan, fungsi, kedudukan, hak, dan kewajibannya BHP wajib menerapkan prinsip koordinasi dan konsultasi antar anggota BHP, Pemerintah Pekon maupun antara Pemerintahan Pekon, Lembaga Kemasyarakatan Pekon, Camat, dan Pemerintah Kabupaten. (2) BHP wajib menyampaikan informasi hasil kerjanya kepada masyarakat. (3) Penyampaian hasil kerja BHP disampaikan paling sedikit satu kali dalam satu tahun. (4) Penyampaian hasil kerja BHP dapat melalui forum pertemuan. BAB IX MEKANISME MUSYAWARAH BADAN HIPPUN PEMEKONAN Bagian Kesatu Musyawarah BHP Pasal 20 (1) BHP mengadakan rapat musyawarah secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. (2) Musyawarah BHP dipimpin oleh Pimpinan BHP.

-12- (3) Musyawarah BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sah apabila dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota BHP. (4) Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara. (5) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit 1/2 (satu per dua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota BHP yang hadir. (6) Hasil musyawarah BHP ditetapkan dengan keputusan BHP dan dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris BHP. (7) Ketentuan lebih lanjut tentang mekanisme rapat BHP ditetapkan dalam Tata Tertib BHP. Pasal 21 (1) Peraturan Tata Tertib BHP paling sedikit memuat: a. Waktu musyawarah BHP; b. Pengaturan mengenai pimpinan musyawarah BHP; c. Tata cara musyawarah BHP; d. Tata laksana dan hak menyatakan pendapat seluruh anggota BHP; e. Pembuatan berita acara musyawarah BHP; f. Jenis musyawarah BHP; g. Daftar hadir anggota musyawarah BHP. (2) Pengaturan mengenai pimpinan musyawarah BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Penetapan pimpinan musyawarah apabila pimpinan dan anggota hadir lengkap; b. Penetapan pimpinan musyawarah apabila Ketua BHP berhalangan hadir; c. Penetapan pimpinan musyawarah apabila ketua dan wakil ketua berhalangan hadir; d. Penetapan secara fungsional pimpinan musyawarah sesuai dengan bidang yang ditentukan dan penetapan penggantian anggota BHP antarwaktu. (3) Pengaturan mengenai tata cara musyawarah BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Tata cara pembahasan rancangan peraturan pekon; b. Konsultasi mengenai rencana dan program Pemerintahan Pekon; c. Tata cara mengenai pengawasan kinerja Kepala Pekon; dan d. Tata cara menampung atau menyalurkan aspirasi masyarakat. (4) Pengaturan mengenai tata laksana dan hak menyatakan pendapat BHP sebagaimana ayat (1) huruf d meliputi: a. Pemberian pandangan terhadap pelaksanaan Pemerintahan Pekon; b. Penyampaian jawaban atau pendapat Kepala Pekon atas pandangan BHP; c. Pemberian pandangan akhir atas jawaban atau pendapat Kepala Pekon;

-13- d. Tindak lanjut dan penyampaian pandangan akhir BHP kepada Kepala Pekon. (5) Pengaturan mengenai penyusunan berita acara musyawarah BHP sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e meliputi: a. Penyusunan notulen rapat; b. Penyusunan berita acara; c. Format berita acara; d. Penandatanganan berita acara; e. Penyampaian berita acara. Pasal 22 (1) Rapat BHP bersifat terbuka untuk umum, kecuali dinyatakan tertutup berdasarkan Tata Tertib BHP. (2) Rapat BHP bersifat tertutup dapat dilaksanakan, kecuali untuk rapat yang membahas dan memutuskan hal mengenai: a. pembentukan panitia pemilihan Kepala Pekon; b. usulan pengesahan Kepala Pekon terpilih; c. pemilihan Pimpinan BPH; d. penetapan APB Pekon; e. persetujuan utang-piutang Pekon, pinjaman Pekon, kerja sama Pekon, pembebanan anggaran Pekon, pembentukan Badan Usaha Milik Pekon; f. persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; g. persetujuan kebijakan tata ruang; dan h. hal-hal lain yang bersifat membebani, membatasi hak, memuat larangan dan kewajiban kepada masyarakat. Bagian Kedua Pengambilan Keputusan Pasal 23 (1) Pengambilan keputusan dalam rapat BHP dilakukan melalui musyawarah mufakat. (2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak dari jumlah peserta yang hadir. (3) Keputusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 1/2 (satu per dua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota BHP yang hadir. BAB X PEMBIAYAAN Pasal 24 (1) Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat pelaksanaan musyawarah pembentukan BHP dibebankan pada APB Pekon.

-14- (2) Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan dana penunjang pembentukan BHP dari APBD sesuai dengan kemampuan daerah. (3) Biaya penyelenggaraan musyawarah pembentukan BHP dipergunakan untuk: a. administrasi; b. operasional musyawarah; c. honorarium panitia dan petugas; d. pengadaan/sewa alat-alat perlengkapan; dan e. pengeluaran lain sesuai kebutuhan. Pasal 25 (1) Pimpinan dan anggota BHP menerima tunjangan sesuai dengan kemampuan keuangan pekon. (2) Tunjangan pimpinan dan anggota BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam APB Pekon. Pasal 26 (1) Untuk keperluan kegiatan BHP disediakan biaya sesuai dengan kemampuan keuangan pekon yang dikelola Sekretaris BHP. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya setiap tahun ditetapkan dalam APB Pekon. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 27 (1) Penyidikan terhadap pimpinan dan anggota BHP, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati. (2) Hal hal yang dikecualikan adalah : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan. b. Diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati. (3) Penyidikan diberitahukan secara tertulis oleh atasan penyidik kepada Bupati paling lama 3 hari. (4) Dalam batas waktu 3 hari, penyidik belum menerima persetujuan tertulis Bupati, maka penyidikan dapat dilanjutkan. BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 28 (1) Bupati wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BHP. (2) Kewajiban pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Pejabat lain.

-15- BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Anggota BHP yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan habis masa jabatannya. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Badan Hippun Pemekonan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tanggamus. Ditetapkan di Kota Agung pada tanggal BUPATI TANGGAMUS, BAMBANG KURNIAWAN Diundangkan di Kota Agung pada tanggal SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN, Drs.Hi MUKHLIS BASRI ST.,MT.,M.Si Pembina Utama Muda NIP. 19610203 198110 1 001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2015 NOMOR NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS, PROVINSI LAMPUNG : ( 7 / TGS/2015)

-16- PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS NOMOR TENTANG BADAN HIPPUN PEMEKONAN I. UMUM Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka desa atau dalam istilah lainnya telah ditempatkan sebagai daerah otonom untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam mendorong percepatan pembangunan. Hal ini dapat terlihat dari definisi yang diberikan oleh kedua ketentuan tersebut yaitu bahwa desa diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki desa tersebut, maka desa dapat diberikan tugas dari pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu, dengan berlandaskan pada prinsip dasar pengaturan mengenai desa yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat sebagai upaya demokratisasi di tingkat desa. Untuk itu keberadaan suatu badan permusyawaratan di tingkat desa yang mempunyai fungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan mengawasi kinerja pemerintah desa menjadi sangat penting. Untuk menjamin adanya kepastian hukum, maka sudah seharusnya di setiap daerah termasuk di Kabupaten Tanggamus dibentuk suatu pengaturan hukum tentang badan permusyawaratan ini melalui peratuan daerah. Sehingga Badan Hippun Pemekonan sebagai perwujudan demokratisasi di tingkat pekon yang akan dibentuk melalui peratuan daerah di Kabupaten Tanggamus diharapkan dapat menjalankan fungsinya dalam rangka pembangunan demokratisasi di tingkat pekon. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3

-17- Pasal 4 Ayat (1). Ayat (2) Huruf a. Huruf b Yang dimaksud dengan bertakwa dalam ketentuan ini adalah taat menjalankan kewajiban agamanya. Huruf c Yang dimaksud dengan setia adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah Dasar Negara serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang dimaksud dengan setia kepada Pemerintah adalah yang mengakui pemerintahan yang sah menurut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Huruf d. Huruf e. Huruf f. Huruf g. Huruf h. Huruf i. Huruf j Cukup Jelas. Huruf k. Huruf l. Pasal 5. Pasal 6. Pasal 7 Pasal 8. Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13.

-18- Pasal 14 Pasal 15. Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18. Pasal 19. Pasal 20. Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGGAMUS NOMOR.