I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. alih hak dan kewajiban individu dalam lintas hubungan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kegunaan tinjauan pustaka ( library research) di dalam suatu penelitian adalah

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagai mana yang diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion merupakan hal baru dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakim telah lama diakui sebagai profesi yang terhormat dimana. potret penegakan hukum dinegara itu, Oleh karena itu pada

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada. Pembuktian disini akan menjadi bahan penilaian mengenai benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, sebab jika terjadi kekeliruan maka akan melanggar hak asasi manusia. Alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana alat-alat tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), alat-alat bukti ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.

2 Salah satu alat bukti dalam KUHAP adalah keterangan saksi yang menurut Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa saksi adalah seseorang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana, sehingga keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana termasuk pemeriksaan di pengadilan. Setiap orang wajib berperan sebagai seorang saksi, yaitu apabila seseorang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri tentang terjadinya tindak pidana. Seseorang yang akan bersaksi diminta untuk bersumpah terlebih dahulu agar keterangannya dianggap sah, dalam hal ini kesaksiannya masih tidak dapat dijamin kebenarannya, mengingat adanya kesaksian-kesaksian yang berlawanan ataupun tidak ada persesuaian antara saksi satu dengan saksi yang lainnya dalam satu perkara persidangan yang sama. Dalam KUHP Pasal 242 telah diatur mengenai sumpah palsu dan keterangan palsu, diancam dengan pidana penjara dan juga pidana pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 KUHP. Persoalan kesaksian ini sudah semestinya diperhatikan oleh hakim yang akan memutus perkara agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan yang diakibatkan oleh halhal seperti ini. Alat-alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyai sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda-beda. Selain itu saksi adalah manusia biasa yang mempunyai naluri untuk menolong sesama, sementara pada saat yang sama manusia itu tidak dapat dilepaskan dari sifat iri, hasut, dengki dan sejenisnya. Sifat-sifat semacam ini dapat saja melekat pada seorang saksi, seorang terdakwa, atau pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang sedang terjadi.

3 Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum di Negara Republik Indonesia. Sebagai aparat penegak hukum, hakim mempunyai kedudukan yang sangat terhormat dan sangat menentukan terhadap suatu perkara, karena hakimlah yang menerima, memeriksa dan memutus perkara. Pasal 1 butir 8 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Mengadili dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut tata cara yang diatur oleh Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam memutus suatu perkara, hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Pertanggungjawaban itu berdimensi vertikal dan horizontal. Secara vertikal, hakim dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti pertanggungjawaban itu ditujukan terhadap sesama manusia, baik itu kepada peradilan yang lebih tinggi ataupun kepada masyarakat. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang sudah dipaparkan diatas, terdapat contoh kasus putusan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang berdasarkan putusan No.144/Pid/B/2007/PN TK dengan duduk perkara Warsiti sebagai Terdakwa I dan Markawi sebagai Terdakwa II dengan korban penganiayaan yaitu Aisah selaku istri dari Terdakwa II, Hana dan juga khoirul yang mana adalah ibu dan kakak dari Aisah. Tentang duduk perkaranya yaitu mengenai pengrusakan pagar rumah Aisah dan juga penganiayaan yang berupa

4 pemukulan terhadap ketiga korban. Pengrusakan serta pemukulan yang dilakukan oleh para Terdakwa diduga disebabkan karena Terdakwa merasa tersinggung dengan kata-kata korban yang menuduh Terdakwa II yaitu suami dari Aisah telah berselingkuh dengan Terdakwa I. Dari sinilah para korban yaitu Aisah, Hana dan juga Khoirul melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh para Terdakwa kepada pihak yang berwajib kemudian dilanjutkan pada proses Pengadilan. Sedangkan para Terdakwa membantah telah melakukan penganiayaan kepada para korban karena terdapat saksi-saksi yang membenarkan pernyataan para Terdakwa, demikian juga para korban selain menjadi saksi juga mempunyai saksi-saksi lain yang menguatkan korban. Selain itu para korban dikuatkan dengan alat bukti lain yaitu visum et repertum dari dokter. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 170 ayat (1), yaitu kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan juga Pasal 351 ayat (1) tentang penganiayaan dengan penjatuhan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Putusan majelis hakim menyatakan bahwa Terdakwa I dan II tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, sehingga keduanya dibebaskan dari segala dakwaan. Dalam mengambil keputusan tersebut, terdapat dua buah keterangan yang saling bertentangan antara keterangan dari saksi-saksi yang memberatkan Terdakwa dan saksi-saksi didukung dengan keterangan Terdakwa. Namun berdasarkan pertimbangan bahwa para saksi yang memberatkan Terdakwa tidak memberikan keterangannya secara obyektif dan tidak dapat dipercaya secara hukum, maka digunakan keterangan dari para saksi a decharge yang bersesuaian dengan keterangan Terdakwa. Sedangkan alat bukti

5 visum et repertum yang dinyatakan telah diajukan tidak dipertimbangkan keberadaannya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi yang Berlawanan Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Pada Perkara Nomor 144/Pid/B/2007/PN TK) B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikemukakan penulis antara lain: a. Apakah keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti? b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan? 2. Ruang Lingkup Penelitian Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada kekuatan

6 pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan dan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang berlawanan. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a. Keterangan saksi yang saling berlawanan dapat dijadikan sebagai alat bukti. b. Dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang saling berlawanan. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai dasar pertimbangan hakim dalam

7 memutus perkara pada kasus tindak pidana penganiayaan jika terdapat keterangan saksi yang berlawanan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 ; 125). Membahas permasalahan mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi, perlu diketahu bahwa pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka Hakim atau Pengadilan (R. Subekti, 1983 ; 7). Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus. Penilaian kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian (D. Simons dalam Andi Hamzah, 1983 ; 229), yaitu : 1) Sistem pembuktian yang positif, yaitu sistem pembuktian yang hanya didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undangundang atau yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem pembuktian

8 yang hanya didasarkan pada alat-alat bukti, akan mengesampingkan tugas hakim dalam kaitan dengan upaya untuk menciptakan hukum. 2) Sistem pembuktian yang hanya didasarkan pada keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian yang hanya mendasarkan pada keyakinan hakim semata, dan yang jelas akan menonjol adalah sikap subjektifitas dari hakim. 3) Sistem pembuktian yang didasarkan pertimbangan hakim yang logis, dalam sistem ini peranan alat bukti telah ditiadakan dan yang menjadi pertimbangan hanya nilai rasionalitas dari suatu kejadian. 4) Sistem pembuktian negatif, yaitu sistem pembuktian yang selain didasarkan pada keyakinan hakim, juga didasarkan pada alat-alat bukti yang ada. Berdasarkan teori-teori di atas, dalam hal ini penulis menggunakan teori tentang bukti dan alat bukti yang dikemukakan oleh Soebekti (1980 ; 21) yang menyatakan: Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau pendirian, Alat bukti, alat pembuktian, bewijs middle (Bld) adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya: bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain. Keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : 1) Bahwa keterangan tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), 2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti, 3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). 4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

9 5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Membahas permasalahan yang kedua, Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukankebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera. Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan yang memberatkan. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberikan keterangan yang berbelitbelit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan Negara, dan sebagainya. Faktor-faktor yang meringankan merupakan refleksi sifat yang baik dari terdakwa dan faktor yang memberatkan dinilai sebagai sifat yang jahat dari terdakwa. Pertimbangan Hakim yang demikian acuannya terutama Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam mempertimbangankan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa.

10 Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam menjatuhkan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

11 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,1986; 132). Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut : a. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku (Andi Hamzah, 1986 ; 99). b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (Sudarto, 1986 ; 25). c. Penganiayaan merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain (M.H. Tirtamidjaja, 1995 ; 174). E. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

12 I. PENDAHULUAN Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai pokok bahasan tentang kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan. III. METODE PENELITIAN Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi apabila terdapat keterangan saksi yang berlawanan dalam tindak pidana penganiayaan.

13 V. PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini.