KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

MAKSUD DAN TUJUAN DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERAN SERTA POKMASWAS DALAM MEMBANTU KEGIATAN PENGAWASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prosiding SNaPP2016 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen-KP/2015. Tanggal 08 Januari 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PENYULUHAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF BERKELANJUTAN MELALUI PEMANFAATAN BUAH MANGROVE


BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. pendatang yang kebanyakan berasal dari daerah Cilacap yang datang ke Pantai

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH PENYULUHAN PERIKANAN PERENCANAAN PROGRAM PENYULUHAN PELARANGAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI JUWANA, PATI

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 81 TAHUN 2017 T E N T A N G PENGGUNAAN ALAT DAN BAHAN PENANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN DANAU SINGKARAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi

Nurlaili Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN ARAHAN UMUM MKP

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

MANAJEMEN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN BULUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

mungkin akan lebih parah bila tidak ada penanganan yang serius dan tersistem. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengakibatkan tekanan yang luar

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

PENGARUH PERKEMBANGAN PENDAPATAN NELAYAN TERHADAP KONDISI FISIK PERMUKIMAN NELAYAN WILAYAH PESISIR KOTA PEKALONGAN TUGAS AKHIR

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

DRAFT MARET POS POKMASWAS Page 1 of 20

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

(Varanus kornodoens~ s) dan habitatnya Namun kemudian kawasan ini di ketahui

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. kedua didunia. Wilayah pesisir Indonesia yang luas memiliki garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Implementasi Metode Fuzzy untuk Menentukan Kebutuhan Konsumsi Bahan Bakar dalam Setiap Pelayaran Kapal Penangkap Ikan di Pesisir Madura

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI TENTANG UPAYA UPT

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

BAB I PENDAHULUAN. negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2015 ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

Transkripsi:

KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN Tiara Haryani, Nanik Rahmawati, Tri Samnuzulsari Tiaraharyani92@gmail.com Program studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Fenomena konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sampai saat ini masih terjadi meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan. Konflik yang berlangsung sejak lama, di Kota Tanjungpinang sendiri konflik terjadi sejak tahun 2009, sebagian besar masyarakat nelayan melakukan pelarangan terhadap kehadiran nelayan ke daerahnya karena mereka banyak melakukan pelanggaran hukum dan aturan lokal dalam menangkap ikan. Sebagaimana yang diketahui, konflik nelayan Senggarang dan Tembeling sering terjadi terkait masalah area tangkapan dan alat tangkap nelayan dan perseteruan antar nelayan Bintan dan Tanjungpinang hingga saat ini masih saja terus berlanjut. Tujuan penelitian ini pada dasarnya adalah Untuk mengetahui Konflik Nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang Dengan Nelayan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif. Dalam penelitian ini informan berjumlah 10 dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Konflik Nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang Dengan Nelayan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan sampai saat ini masih terjadi. Alat tangkap merupakan pemicu konflik di Tembeling dan Senggarang, terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, Nelayan senggarang atau nelayan Kota Tanjungpinang lebih banyak menggunakan Pukat Gamat atau pukat Modern, kemudian masih menggunakan pukat tarik yang sudah dilarang kemudian konflik yang terjadi antara wilayah Tembeling dan Senggarang adalah karena adanya wilayah perbatasan yang dibuat oleh para nelayan sendiri, hal ini dipicu dari adanya perbedaan alat tangkap dan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Kata Kunci : Konflik, Nelayan, Alat Tangkap 1

PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Wilayah pesisir pada umumnya mempunyai kekayaan sumberdaya laut dan keanekaragaman hayati yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan berjenis-jenis ikan. Pada kondisi tersebut, ternyata masyarakat pesisir belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat pesisir. Banyak konflik yang terjadi di tengahtengah masyarakat nelayan. Selama ini, perairan pulau pulau kecil yang memiliki potensi perikanan yang tinggi ini cenderung menjadi tempat praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pembiusan dan penggunaan racun, baik oleh nelayan asing maupun oleh nelayan lokal. Akibatnya, pengelolaan pesisir pulau pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien dan tidak sustainable. Banyak faktor faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir pulau pulau kecil ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Fenomena konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sampai saat ini masih terjadi meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan. Ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan terbatasnya regulasi yang mengatur kegiatan penangkapan ikan di wilayah berbeda diduga meningkatkan potensi 2

konflik diantara pengguna sumberdaya, seperti antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara kelompok nelayan dengan pemerintah daerahnya. Konflik perebutan penangkapan biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah. Konflik yang berlangsung sejak lama, di Kota Tanjungpinang sendiri konflik terjadi sejak tahun 2009, sebagian besar masyarakat nelayan melakukan pelarangan terhadap kehadiran nelayan ke daerahnya karena mereka banyak melakukan pelanggaran hukum dan aturan lokal dalam menangkap ikan. Nelayan lokal kehilangan kesempatan untuk memetik manfaat atas sumberdaya perikanannya. Di sisi lain, pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut jarang dilakukan mengingat terbatasnya petugas penegak hukum dan tingginya resiko biaya yang akan ditanggung oleh pemerintah. Provinsi Kepulauan Riau dikelilingi oleh banyak pulau-pulau dan kawasan pesisir, termasuk didalamnya adalah daerah Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan. Pembagian wilayah kelautan di Provinsi Kepulauan Riau memang sering menjadi permasalahan yang dapat memicu konflik. Di Kota Tanjungpinang khususnya Kelurahan Senggarang adalah salah satu daerah yang dikelilingi oleh lautan dan sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan sebanyak 453 orang berprofesi sebagai nelayan dari 1343 KK yang ada, sedangkan di kelurahan Tembeling jumlah 873 nelayan dari 776 KK. 3

Kelompok nelayan dibentuk bertujuan untuk memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi, mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan, meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan. Konflik antar kelompok masyarakat nelayan yang terjadi disepanjang pesisir. Konflik ini sudah berlangsung sejak dulu pada tahun 2009, konflik ini bermula dari adanya kecemburuan sosial karena peralatan yang digunakan oleh nelayan Tanjungpinang lebih canggih dibanding milik nelayan Kecamatan Teluk Bintan. Berikut data konflik yang terjadi : Konflik Nelayan Senggarang dan Nelayan Tembeling Tahu 2009 konflik ini bermula dari adanya kecemburuan sosial karena peralatan yang digunakan oleh nelayan Tanjungpinang lebih canggih dibanding milik nelayan Kecamatan Teluk Bintan. 2011konflik ini terjadi dikarenakan masalah alat tangkap. 2015 konflik ini terjadi didalam masyarakat nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang dengan masyarakat nelayan Kampung Bloreng, Kelurahan Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan,dimana perselisihan ini bukan hanya terjadi karena masalah alat tangkap saja tetapi keduanya bahkan terlibat aksi kekerasan yaitu saling merugikan kedua belah pihak, dikarenakan masyarakat Senggarang ketahuan memasuki kawasan daerah Tembeling, sedangkan daerah Tembeling sangat melarang nelayan-nelayan luar masuk kekawasan mereka Kemudian 2016 penangkapan nelayan Tanjungpinang yang mencoba memasuki kawasan Kecamatan Teluk Bintan untuk mencari ikan, dengan tidak jeranya menggunakan alat tangkap nelayan yaitu Pukat Gamat,permasalahan ini diatasi langsung dengan pihak kepolisian 4

Sebagaimana yang diketahui, konflik nelayan Senggarang dan Tembeling sering terjadi terkait masalah area tangkapan dan alat tangkap nelayan dan perseteruan antar nelayan Bintan dan Tanjungpinang hingga saat ini masih saja terus berlanjut. Nelayan senggarang atau nelayan Kota Tanjungpinang lebih banyak menggunakan Pukat Gamat atau pukat Modern, kemudian masih menggunakan pukat tarik yang sudah dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Sedangkan nelayan tembeling masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional, seperti alat pancing, bubu, dan jaring. Perbedaan ini membuat konflik diantara kedua nelayan di wilayah tersebut. Meskipun sudah beberapa kali didamaikan oleh pihak kepolisian, dan Camat Teluk Bintanpun beserta Dinas Kelautan Perikanan (DKP) Bintan beberapa waktu lalu telah melakukan pertemuan terkait konflik nelayan agar kawasan Bintan atau Kecamatan Teluk Bintan tidak boleh memakai yang namanya Pukat Gamat atau pukat Modern yang dapat merusak lingkungan laut. Namun masih saja ada yang mencoba memasuki kawasan Kecamatan Teluk Bintan dengan menggunakan alat tangkap yang sudah dilarang oleh pihak-pihak tertentu dari kawasan Bintan. Baik Kabupaten Bintan maupun Kota Tanjungpinang saat ini dalam aturan penggunaan alat tangkap mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 sampai 58 tahun 2015. Belum adanya peraturan daerah yang dibuat khusus oleh masing-masing daerah sebagai turunan dari kebijakan ini. 5

Tidak hanya persoalan alat tangkap, namun area tangkapan juga sering menimbulkan permasalahan padahal perbatasan antara daratan dan lautan antara Tanjungpinang dengan kabupaten induk (Bintan) dengan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang, dijelaskan bahwa Kota Tanjungpinang berbatasan dengan Kabupaten Bintan tepatnya disebelah utara dengan Teluk Bintan Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten. Batas wilayah dituangkan dalam peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Permasalahan tersebut terulang lagi, Bahkan ditahun 2016 ini pun baru-baru saja terjadi penangkapan nelayan Tanjungpinang yang mencoba memasuki kawasan Kecamatan Teluk Bintan untuk mencari ikan. Penelitian ini dilakukan karena mengingat konflik nelayan sangat rentan terjadi, hal ini sangat membahayakan dan merugikan nelayan tersebut karena konflik yang terjadi telah berbentuk benturan fisik seperti penyerangan kapal-kapal di tengah laut, penyerangan rumah nelayan dan sebagainya, sedang upaya setelah adanya konflik terjadi dalam rangka mengantisipasinya belum ada yang dilakukan oleh pemerintah. Konflik perebutan penangkapan terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan yang menggunakan alat yang lebih modern. Konflik dibuktikan dari adanya salah seorang nelayan Kampung Bloreng, Kelurahan Tembeling Tanjung, Kecamatan Teluk Bintan, harus merelakan peralatan yang menjadi penopang kehidupan keluarganya itu hangus dibakar oleh 6

10 orang nelayan yang disinyalir adalah nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang. Mereka langsung menarik kapal nelayan Tembeling tersebut, dan diintrogasi sudah di darat. kemudian jaring dan mesin kapal saya sudah hangus terbakar. Perseteruan antara nelayan Bintan dan Tanjungpinang hingga saat ini masih saja terus berlanjut. Meskipun sudah beberapa kali didamaikan oleh pihak kepolisian, nyatanya buntut dendam dan saling balas terus saja terjadi. Masyarakat nelayan yang tak pernah mendapatkan sosialisasi terkait larangan penggunaan jaring serta batas laut untuk beberapa jenis kapal serta kapasitas kapal tersebut salah dalam melakukan aktifitasnya. (Sumber : http://haluankepri.com/bintan diakses tanggal 3 Maret 2017) Konflik yang terjadi akan menimbulkan banyak dampak negatif karena akan menimbulkan permasalahan tersendiri seperti kurangnya pendapatan nelayan karena merasa takut untuk turun ke laut karena menghindari konflik sampai dengan permasalahan kriminal seperti penyerangan yang berakibat luka-luka, dan adanya pengrusakan alat tangkap nelayan. Dari permasalahan diatas maka penelitian ini mengambil sebuah judul permasalahan yaitu : KONFLIK NELAYAN SENGGARANG KOTA TANJUNGPINANG DENGAN NELAYAN TEMBELING KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN. 7

BAHAN DAN METODE A. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deksirptif kualitatif b. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Tembeling dan Senggarang c. Jenis Data a. Data Primer b. Data Sekunder B. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Observasi b. Wawancara HASIL Konflik Nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang Dengan Nelayan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan Penelitian ini menulusuri jawaban informan mengenai Konflik Nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang Dengan Nelayan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan Fenomena konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan sampai saat ini masih terjadi meskipun berbagai upaya penanganan telah dilakukan. Ketidakjelasan pengelolaan sumberdaya dan terbatasnya regulasi yang mengatur 8

kegiatan penangkapan ikan di wilayah berbeda diduga meningkatkan potensi konflik diantara pengguna sumberdaya, seperti antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara kelompok nelayan dengan pemerintah daerahnya. Konflik perebutan penangkapan biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah. Konflik nelayan Senggarang dan Tembeling sering terjadi terkait masalah area tangkapan dan alat tangkap nelayan dan perseteruan antar nelayan Bintan dan Tanjungpinang hingga saat ini masih saja terus berlanjut. Nelayan senggarang atau nelayan Kota Tanjungpinang lebih banyak menggunakan Pukat Gamat atau pukat Modern, kemudian masih menggunakan pukat tarik yang sudah dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Sedangkan nelayan tembeling masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional, seperti alat pancing, bubu, dan jaring. Pemicu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peralatan yang digunakan oleh nelayan Tanjungpinang lebih canggih dibanding milik nelayan Kecamatan Teluk Bintan serta masuknya nelayan tersebut ke daerah yang bukan wilayahnya. bahwa pemicu konflik karena dipicu dari perbedaan alat tangkap yang digunakan nelayan, masing-masing nelayan mengklaim wilayahnya agar tidak ada masuk nelayan lain yang akan merusak ekosistem laut mereka dengan menggunakan alat tangkap berbahaya seperti alat tangkap Bubu adalah jerat yang terbuat dari anyaman bambu yang banyak digunakan di seluruh Indonesia. 9

Belakangan ini, Bubu kembali popular karena digunakan untuk penangkapan ikan perdagangan ikan karang hidup kemudian ukat Harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya. Pukat Harimau merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar (substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Pukat dilarang digunakan di Indonesia karena jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan. Namun demikian, meskipun kini penangkap ikan dengan Pukat jarang dijumpai, kegiatan ini masih ditemukan, terutama di wilayah perbatasan. PEMBAHASAN Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana konflik nelayan. 1. Pemicu konflik Berdasarkan hasil wawancara maka dapat dianalisa bahwa adanya konflik antara nelayan, Nelayan senggarang atau nelayan Kota Tanjungpinang lebih banyak menggunakan Pukat Gamat atau pukat Modern, kemudian masih menggunakan pukat tarik yang sudah dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Sedangkan nelayan tembeling masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional, seperti alat pancing, bubu, dan jaring. Konflik horizontal antar nelayan yang perlu diwaspadai dengan menahan diri sesama nelayan dan menghindari gesekan yang menimbulkan anarkisme. Salah satunya, potensi konflik horizontal itu terjadi diakibatkan rebutan area atau daerah penangkapan ikan. Itu juga terjadi oleh sejumlah penyebab, antara lain adanya 10

perbedaan jenis alat tangkap dengan target ikan tangkapan yang sama, pada area lokasi yang sama. Kemudian, konflik juga terjadi dikarenakan oleh perbedaan alat tangkap dengan target ikan yang berbeda, di are lokasi yang sama. Konflik, terjadi karena jenis alat tangkap dengan target ikan yang berbeda yang bertemu karena saling sakut, terbelit dan rusak. 2. Alat tangkap Berdasarkan hasil wawancara dan observasi maka dapat dianalisa bahwa alat tangkap merupakan pemicu konflik di Tembeling dan Senggarang, terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, alat tersebut juga mampu memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan kelautan. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) KP NO.2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), maka setiap orang dilarang mengoperasikan cantrang di seluruh wilayah Indonesia.. 3. Lingkungan Berdasarkan hasil wawancara Berdasarkan hasil wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa konflik yang terjadi antara wilayah Tembeling dan Senggarang adalah karena adanya wilayah perbatasan yang dibuat oleh para nelayan sendiri, hal ini dipicu dari adanya perbedaan alat tangkap dan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Tidak hanya persoalan alat tangkap, namun area tangkapan juga sering menimbulkan permasalahan padahal perbatasan antara daratan dan lautan antara Tanjungpinang dengan kabupaten induk (Bintan) 11

dengan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang, dijelaskan bahwa Kota Tanjungpinang berbatasan dengan Kabupaten Bintan tepatnya disebelah utara dengan Teluk Bintan Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Konflik Nelayan Senggarang Kota Tanjungpinang Dengan Nelayan Tembeling Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan sampai saat ini masih terjadi hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan informan maka dapat dianalisa bahwa konflik yang terjadi antara nelayan senggarang dan tembeling dikarenakan adanya perbedaan alat tangkap. Konflik horizontal antar nelayan kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun hal ini tidak dibarengi dengan upaya pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut. Pemerintah dianggap masih abai dalam memberikan solusi atas konflik horizontal itu. Kebijakan pemerintah yang tidak mengakomodir kondisi dan situasi sulit yang sedang dialami nelayan akan terus menimbulkan tindakan-tindakan anarkis baru. Alat tangkap merupakan pemicu konflik di Tembeling dan Senggarang, terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, alat tersebut juga mampu memberikan dampak yang buruk terhadap lingkungan kelautan. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) KP NO.2/Permen-KP/2015 tentang larangan penggunaan Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), maka setiap orang dilarang mengoperasikan cantrang di seluruh wilayah Indonesia. Nelayan senggarang atau 12

nelayan Kota Tanjungpinang lebih banyak menggunakan Pukat Gamat atau pukat Modern, kemudian masih menggunakan pukat tarik yang sudah dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Sedangkan nelayan tembeling masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional, seperti alat pancing, bubu, dan jaring. Konflik yang terjadi antara wilayah Tembeling dan Senggarang adalah karena adanya wilayah perbatasan yang dibuat oleh para nelayan sendiri, hal ini dipicu dari adanya perbedaan alat tangkap dan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Harus adanya musyawarah yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pihak Nelayan Senggarang dan Nelayan Tembeling untuk menyelesaikan konflik yang terjadi 2. Harusnya ada campur tangan pemerintah secara serius dalam menanggapi permasalahan konflik antar nelayan di kedua wilayah tersebut 13

DAFTAR PUSTAKA Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan. LKiS Yogyakarta. Maftuh, Bunyamin. 2008. Pendidikan Resolusi Konflik. Bandung: CV Yasindo. Multi Aspek. Poloma, Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada. Ritzer, George, dan Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Pustaka Kencana. Soekanto, Soerjono, dan Lestarini, Ratih. 2002. Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika. Susan, Novri. 2009. pengantar sosiologi konflik dan isu-isu kontemporer. Kencana: Jakarta. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA 14