1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masyarakat terus berkembang dan berubah menyesuaikan dengan kondisi jaman dan peradaban. Manusia sebagai bagian dari perkembangan jaman adalah faktor penentu keberlangsungan sebuah peradaban. Tonggak sejarah pembangunan disegala bidang di Indonesia dimulai ketika bangsa Indonesia sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Demikian juga pembangunan karakter. Para pendiri bangsa ini telah menyadari bahwa ada tiga hal yang harus dihadapi bangsa ini, yaitu: (1) mendirikan Negara yang bersatu dan berdaulat; 2) membangun bangsa; 3) membangun karakter (character building), (Muchlas, 2014: 1). Membangun bangsa dan membangun karakter harus diupayakan terus-menerus, tidak boleh putus disepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Tonggak pendidikan karakter di Indonesia secara yuridis telah dicanangkan sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional (Sisdiknas). Dalam Bab I (1) dinyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana 1
belajar dan proses pembelajaran agar peserts didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ditegaskan lebih lanjut dalam pasal 3 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab. Apabila kita mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional, jelaslah bahwa pendidikan di Indonesia harus dan wajib mengajarkan pendidikan karakter sebagai bekal melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang sangat strategis. Kondisi generasi muda yang dihantui dekandensi moral seperti tawuran, sex bebas, fandalisme, dan kenakalan remaja lainnya mulai menggrogoti bangsa ini. Apabila aklak/ karakter generasi muda seperti ini dibiarkan terus menerus akan hancurlah bangsa ini. 2
Peran sebagai guru dan atau kepala sekolah dalam meningkatkan mutu dan dalam pembinaan karakter sangat penting. Guru selain sebagai pengajar dalam pembimbing, di samping sabagai teladan bagi anak didiknya. Program pendidikan karakter perlu dievaluasi untuk mengetahui keterlaksanaan program di setiap satuan pendidikan. Selain itu juga untuk mengadakan tindak lanjut sebagai perbaikan program. Karena tanda-tanda kehancuran bangsa yang dikemukakan oleh Thomas Lictona hampir kita rasakan saat ini. Tokoh pendidikan karakter Thomas Lickona (Agus, 2012: 11) merumuskan ada sepuluh tandatanda kehancuran suatu bangsa yang berdampak dari karakter peserta didik yaitu: (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk; (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, dan lain-lain; (5) pedoman moral baik dan buruk semakin kabur; (6) etos kerja manurun; (7)rasa hormat orangtua dan guru semakin rendah; (8) rasa tanggung jawab individu dan warga negara semakin rendah; (9) ketidak jujuran yang semakin membudaya; dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Presiden Republik Indonesia ke- 4, Abdur Rahman Wakhid ( Agus, 2012: 13), bahwa bangsa Indonesia telah gagal dalam proses pendidikan. Dengan ditandai lima hal, salah satunya adalah 3
gagal mengajarkan moral sehingga banyak kejahatan, anarkisme, dan terorisme di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stovika Eva Darmayanti dan Udik Budi Wibowo (2014), bahwa Kesiapan sekolah dasar di Kabupaten Kulon Progo untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, baik dinilai dari kurikulum yang telah terintegrasi pendidikan karakter, namun masih kurang dalam hal pengelolaan sarana prasarana pendukung dan banyak guru memerlukan lebih banyak pengetahuan dan keterampilan tentang pendidikan karakter. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memajukan rakyatnya, perbaikan sumber daya manusia terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia. Munculnya gagasan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, karena dipandang proses pendidikan yang selama ini berlangsung dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Melalui pendidikan karakter, para peserta didik lebih berpeluang memiliki perilaku yang menjadi warna negara yang baik. UU No 20 Tahun 2003, usianya sudah lebih dari 12 yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, 4
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab, perlu adanya evaluasi terutama pada bidang akhlak mulia. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan baik. Proses pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Menurut Thomas Lickona dalam Novan (2012: 16) Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek di atas, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dan harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. 5
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan pendidikan karakter yang baik seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Joseph, Wiyani, 2012: 17). Pendidikan karakter terkait erat dengan kecerdasan emosional, berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Berbagai fakta menunjukkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia menjadi sangat penting, dalam rangka upaya membentuk generasi yang cerdas secara intelektual dan berkarakter. Dalam dunia pendidikan, ada tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan attitude, spirit, dan karakter. Ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan yang sifatnya prosedural dan cenderung mekanis. Usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu di upayakan, namun kenyataannya dominan adalah ranah kognitif kemudian psikomotorik. Akibatnya, peserta didik berlebih dalam kemampuan yang sifatnya pokok (hard skill) namun kekurang mampuan pendukung (soft skill) karena ranah afektif terabaikan. Hal ini tampak 6
pada output pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi (juara kelas, juara olimpide dll), namun miskin kemampuan membangun relasi, bekerja sama dan cenderung egois, bahkan tertutup. Pendidikan pada esensinya merupakan sebuah upaya dalam rangka membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif, afektif maupun psikomotorik. Oleh karenanya, pendidikan karakter secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan generasi unggul. Unggul dalam ilmu, iman dan amal. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter ada 18 nilai yang harus dikembangkan sekolah dalam menentukan keberhasilan pendidikan karakter, yaitu: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat/komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; (18) tanggung jawab (Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, 2011: 3). Pengembangan karakter anak perlu diupayakan secara sungguh-sungguh dengan pola manajemen pendidikan karakter. Proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, 7
pengawasan, dan evaluasi yang baik merupakan langkah dalam manajemen pendidikan karakter yang efektif. Tingkat efektivitas manajemen pendidikan karakter di sekolah sangat berdampak pada pencapaian misi dari pendidikan yaitu membentuk siswa yang berkarakter. Sekolah adalah suatu lembaga pendidikan anak yang mempunyai kewajiban untuk membangun akhlak. Sekolah menjadi lingkungan yang berhadapan langsung dengan anak dan berpotensi untuk mendidik setiap pola pikir, hati, dan perilaku mereka. Setiap satuan pendidikan khususnya sekolah dasar sangat diharapkan memiliki komitmen dan integritas untuk membangun karakter generasi penerus bangsa, salah satunya melalui pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam proses pendidikan yang diselenggarakan. Pendidikan karakter saat ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang baru mengenai nilai dan etika, namun lebih dari itu yaitu mengembalikan karakter dan budaya bangsa yang mulai tercerabut dari akarnya. Pengembalian pendidikan karakter harus dimulai dari sekolah yaitu dengan cara membangun budaya sekolah (school culture) sejak dini melalui pembelajaran dan pembiasaan. 8 Program pendidikan karakter perlu dievaluasi untuk mengetahui keterlaksanaan
program di setiap satuan pendidikan. Selain itu juga untuk mengadakan tindak lanjut sebagai perbaikan program. Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk: 1). Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain. 2). Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan. Model yang akan digunakan dalam mengevaluasi program ini adalah CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP Singkatan dari Context, Input, Process and Product. Keunggulan dari model CIPP ini adalah memberi suatu format evaluasi komprehensif dari ide program sampai hasil yang akan dicapai setelah program dilaksanakan. Berangkat dari latar belakang dan fenomena yang telah digambarkan di atas, maka menarik untuk dikaji dan diadakan penelitian evaluatif guna mendapatkan informasi yang mendalam tentang program pendidikan karakter di Sekolah Dasar. Peneliti mengambil SD Negeri Prampelan karena lokasi sekolah tersebut berdekatan dengan tempat tugas peneliti. Berdasarkan hasil 9
wawancara dengan kepala sekolah, bahwa lembaga pendidikan tersebut telah melaksanakan program pendidikan karakter. Pendidikan karakter sudah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini bisa diamati dari program pendidikan karakter yang ada yaitu dengan kebiasaan yang dilakukan di sekolah, seperti: (1) pembiasaan pengucapan salam ketika berjumpa ibu/ bapak guru dan teman-teman; (2) bersalaman/ berjabat tangan ketika baru datang ke sekolah dan ketika pulang ke rumah; (3) Sholat berjamaah; (4) Pembinaan membaca Al Qur an; (5) Jumat sedekah; (6) Anjuran menjaga kebersihan dan sebagainya (Wawancara, tanggal 4 Januari 2016). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah : 10 1. Bagaimana konteks program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak? 2. Bagaimana input program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak? 3. Bagaimana proses pelaksanaan program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak? 4. Bagaimana produk program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak?
5. Apa dampak dan hambatan pelaksanaan program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak? 6. Menarik kesimpulan dan saran terhadap program karakter di SD Negeri prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengevaluasi konteks program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. 2. Mengevaluasi input program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. 3. Mengevaluasi proses pelaksanaan pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. 4. Mengevaluasi Produk program pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. 5. Mengetahui dampak atau akibat tentang pelaksanaan pendidikan karakter di SD Negeri Prampelan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. 6. Membuat kesimpulan dan memberi saran keberlanjutan program. 11
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Secara Teori Memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah wawasan dunia akademis tentang evaluasi program pendidikan karakter di sekolah dasar. 1.4.2 Secara Praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi kepala sekolah, guru, siswa, dan stokeholder sebagai acuan akan keberlanjutan program, khususnya SD Negeri Prampelan dan sekolahsekolah lain dalam pelaksanaan program pendidikan karakter. 12