BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada berbagai kalangan, baik orang dewasa, remaja maupun anak-anak.

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN ABDULLAH NASHIH ULWAN DAN B.F. SKINNER SERTA RELEVANSI PEMIKIRAN KEDUA TOKOH TERSEBUT TENTANG HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja dikenal dengan masa yang penuh dengan pergolakan emosi yang diiringi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan sekolah. Perkelahian tersebut sering kali menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

manusia dimulai dari keluarga. Menurut Helmawati (2014:1) bahwa Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pembentukan dan pendidikan anak.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. penggemarnya amat luas. Jika kita bicara di era globalisasi sepak bola,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tujuan Nasional Pendidikan yaitu Mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah bangsa pasti sangat mendambakan

BAB I PENDAHULUAN. bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Lestari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. "tuna" yang berarti kurang dan "laras" yang berarti sesuai. Jadi anak tunalaras

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. seperti menyakiti orang lain baik fisik maupun verbal. menurut Herbert (Aisyah, 2010) agresivitas merupakan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET PENELITIAN. pernyataan tersebut. Selanjutnya pilihlah salah satu dari beberapa alternative

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa merosotnya moral di kalangan remaja, akhir-akhir ini

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB I PENDAHULUAN. mulai memasuki masa dewasa. Oleh karena itu, periode remaja dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan yang sering kali dialami siswa di sekolah tidak dapat

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

STUDI TENTANG PERILAKU AGRESIF SISWA DI SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerugian yang ditimbulkan lebih besar dari pada manfaat yang akan terjadi,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

R E N Y N U R L I A N A F

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui di lingkungan sekitar kita. Peristiwa memprihatinkan tersebut dapat terjadi bermula dari hal yang sederhana berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang sampai pada perkelahian. Hal yang lebih memprihatinkan pula bahwa pelaku aksi kekerasan baik yang dimuat di media massa atau justru kit temui sehari-hari tersebut adalah anak-anak dan remaja. Belum lama ini terdapat peristiwa di daerah Sukoharjo, Jawa Tengah yaitu seorang anak SD yang membakar benda-benda di dalam kelasnya sehingga seluruh kelas ikut terbakar. Peristiwa itu terjadi karena siswa tersebut merasa marah dan kecewa karena sering diejek oleh temantemannya (Susilo, 2016). Contoh peristiwa lain yang melibatkan anak SD sebagai pelaku kekerasan fisik terjadi di daerah Semarang, Jawa Tengah. Dua siswa kelas 1 dan 4 SD diamankan dan dibawa ke Mapolsek Semarang karena membawa senjata tajam dan berencana menyerang siswa SD lain bersama kelompoknya. Peristiwa ini juga terjadi karena rasa marah akibat saling mengejek (Prasetyo, 2016). 1

2 Hurlock (2005, h. 223) mengungkapkan bahwa reaksi dari kemarahan digambarkan secara garis besar menjadi dua golongan yaitu reaksi impulsif dan reaksi ditekan. Reaksi impulsif ini disebut agresi yang dapat berupa reaksi fisik atau kata-kata yang diungkapkan. Reaksi impulsif atau agresi lebih khas pada anak-anak kecil dibandingkan reaksi kemarahan yang ditekan. Sedangkan reaksi kemarahan yang ditekan adalah reaksi yang ada di bawah pengendalian. Anak-anak dengan reaksi ditekan menganggap perlawanan adalah sia-sia sehingga mereka memilih menyembunyikan kemarahan daripada mengekspresikannya. Namun ekspresi kemarahan masih bisa terlihat dengan cara bersikap menderita, mengasihani diri sendiri, cemberut, atau mengancam melarikan diri. Contoh-contoh peristiwa kekerasan yang dilakukan anak-anak SD di atas merupakan reaksi kemarahan impulsif yaitu reaksi agresi yang diungkapkan. Berbagai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh seseorang untuk melukai orang lain didefinisikan sebagai perilaku agresif (Sears, Freedman, and Peplau, 1994, h. 4). Definisi lain tentang agresi menurut Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988, h. 5) adalah tingkah laku kekerasan yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek lain. Agresi secara fisik meliputi kekerasan yang dilakukan secara fisik, contoh perilaku yang muncul seperti memukul, menampar, menendang dan lain sebagainya, sedangkan agresi secara verbal contohnya adalah penggunaan kata-kata kasar. Agresi seringkali

3 digunakan oleh manusia sebagai jalan untuk mengungkapkan perasaan dan menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya. Selain contoh-contoh aksi kekerasan yang peneliti sampaikan sebelumnya, tingkah laku kekerasan lain sebagai ungkapan perasaan dan menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya sehingga dapat disebut sebagai tingkah laku agresif juga terjadi di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Seorang siswa kelas IV SD berinisial JCS ditendang, ditarik rambutnya bahkan diseret di dalam kelasnya. Perilaku agresif ini dilakukan secara berkelompok oleh beberapa teman sekelas dan kakak kelas JCS. Salah satu pelaku kekerasan dikenal sebagai anak yang sering berbuat kasar dan memukuli temannya untuk memperoleh keinginannya atau untuk mengungkapkan kemarahannya. Peristiwa kekerasan ini juga terekam oleh sebuah video amatir dan sempat diunggah di media sosial ( Kini Video Penganiayaan, 2014). Peristiwa kekerasan yang lain juga terjadi di daerah Batang Jawa Tengah yang menimpa seorang siswi SD kelas VI. Siswi SD ini disiksa dan ditelanjangi oleh sepuluh teman sekelas dan adik kelasnya di toilet sekolah ( Siswi SD Ini Disiksa, 2016). Sebuah wawancara dengan seorang guru kelas II berinisial S di sebuah SD Negeri Kota Semarang Jawa Tengah pada tanggal 18 November 2016 memperlihatkan perilaku agresif siswa kepada gurunya. Siswa kelas II tersebut memaki guru kelasnya dengan kata-kata kotor ketika ditegur tentang bajunya yang kurang rapi. Pada saat guru mengingatkan siswa untuk tidak membentak dan mengeluarkan kata-kata kotor, siswa

4 tersebut justru menjadi lebih marah dan melemparkan tas miliknya ke arah guru kelas tersebut. Dalam setiap tahapan perkembangan manusia sejak masa kanakkanak sampai masa dewasa, munculnya perilaku agresif, yaitu berkaitan erat dengan pengendalian emosi ini tentunya menjadi hal yang tidak menyenangkan dalam berinteraksi dengan sesama. Hurlock (2005, h. 231) menyebutkan bahwa pengendalian emosi sangat penting untuk dilakukan apabila kita menginginkan anak berkembang secara normal. Selain menghindari penolakan sosial hal ini dikarenakan apabila ekspresi emosi ini tidak ditangani secara dini maka ke depan akan lebih sulit untuk menghilangkannya. Pernyataan tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Hurlock (2005, h. 231) bahwa semakin dini anak-anak belajar untuk mengendalikan emosi pada diri mereka, maka akan semakin mudah untuk mereka mengendalikan emosi dalam perkembangannya. Kekurangmampuan anak mengendalikan dan mengekspresikan emosi marahnya inilah yang menyebabkan munculnya perilaku agresif pada anak. Apabila perilaku agresif tersebut menetap hingga remaja atau dewasa akan semakin berbahaya dan tentunya akan kembali memunculkan tindak-tindak kejahatan yang lebih berbahaya di lingkungan sosialnya seperti yang dikutip oleh Broidy dkk (dalam Papalia, Olds, and Feldman, 2009, h 517-518) bahwa anak laki-laki usia sekolah yang agresif secara fisik adalah calon kenakalan remaja pada masa remaja.

5 Joussemet, dkk (2008) dengan pendapat yang serupa menyampaikan bahwa meskipun perilaku agresif adalah hal yang umum dilakukan pada masa kanak-kanak, perilaku agresif yang masih terus dilakukan oleh anak dengan usia lebih tua akan membuat risau dan sulit diatasi. Bahkan pada saat anak usia sekolah, perilaku agresif menjadi faktor utama terjadinya kekerasan serta tindakan kriminal yang berat. Pada masa kanak-kanak khususnya masa sekolah, seorang anak menghabiskan sekitar 6 sampai 8 jam sehari yaitu hampir separuh harinya di sekolah. Sekolah menjadi tempat terdekat sekaligus tempat bertumbuh dan berkembangnya anak baik secara fisik maupun psikis. Dalam tumbuh kembangnya, anak harus dapat mengendalikan emosi-emosi yang memunculkan perilaku agresif sehingga interaksi yang baik dan bermanfaat dapat dialami anak tersebut bersama temannya. Interaksi yang baik pun akan mendukung pembelajaran yang nyaman di kelas serta memberikan penerimaan positif terhadap keberadaan anak bagi teman, guru, maupun orang tua/wali siswa. Beberapa kasus yang peneliti temui di SD swasta di Kota Semarang ini yang dilakukan oleh siswa kelas II adalah terjadinya pemukulan / perkelahian sebagai akibat dari saling mengejek (memaki), berebut tempat berbaris, dan hal-hal yang sederhana lain misalnya tanpa sengaja menyentuh bagian tubuh temannya yang dimaknai sebagai tindakan sengaja sehingga membuat siswa tersebut marah dan memberi balasan secara agresif.

6 Berdasarkan wawancara pada bulan Mei 2016 dengan satu guru kelas I berinisial M dan pada bulan Agustus 2016 dengan dua orang guru wali kelas IIA berinisial H di sebuah SD swasta di Kota Semarang, seorang siswa dengan tiba-tiba dapat menyikut dada temannya karena mengambil tempat berbaris di depannya. Ada pula seorang siswa yang tiba-tiba menarik rambut siswa lain yang sedang berdiri diam tetapi ternyata menghalangi jalan. Seorang siswa lain memukul dan mencakar wajah temannya yang beberapa saat sebelum itu mengejek tentang pekerjaan ayahnya. Ada pula seorang siswa menarik tangan temannya dengan keras sambil menunjukkan kemarahannya karena temannya tersebut tidak mau bermain di lapangan bersamanya. Guru wali kelas telah menasehati siswa-siswa tersebut untuk lebih menyayangi, peduli, mengasihi serta tidak melakukan kekerasan kepada teman-temannya, memberikan peringatan, bahkan menyampaikan ke pihak orang tua siswa yang melakukan kekerasan. Nampaknya upaya yang dilakukan guru-guru tersebut belum dapat mengurangi perilaku agresif para siswa. Perilaku-perilaku agresif di antara para siswa kelas IIA ini beberapa waktu mulai mengganggu aktivitas pembelajaran di kelas dan menimbulkan keluhan-keluhan dari para orang tua kepada pihak sekolah tentang anakanaknya yang terluka atau tersakiti. Dalam satu jam pembelajaran, guru kelas dapat menghabiskannya untuk memberikan nasihat maupun hukuman kepada anak-anak yang

7 berperilaku agresif. Kegiatan pembelajaran di kelas pun menjadi kurang bahkan tidak efektif. Pada beberapa kasus, orang tua menjadi saling bermusuhan akibat tidak menerima kondisi anaknya sebagai korban perilaku agresif tersebut. Apabila perilaku agresif yang terjadi pada siswa kelas IIA tersebut terus-menerus terjadi dan tidak ditangani dengan lebih baik maka dapat menimbulkan masalah antara lain bagi perkembangan anak, proses pembelajaran dan interaksi sosial di lingkungan sekolah. Pengendalian emosi khususnya emosi kemarahan akibat frustrasi yang mendasari munculnya perilaku agresif perlu memperoleh perhatian lebih agar seorang anak tidak mengembangkan kebiasaan melawan terhadap situasi yang membuat frustrasi secara agresif setelah mereka semakin besar seperti yang ditulis Hurlock (2005, h. 234). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah ada, Schaefer dan Millman (1981) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah munculnya perilaku agresif adalah dengan memberikan pengalaman menyenangkan atau membahagiakan pada anak. Anak yang merasakan pengalaman tersebut akan bersikap lebih baik atau tidak melukai kepada diri sendiri dan juga orang lain dalam berbagai cara. Pendapat dari ahli yang sama yaitu perilaku agresif dapat dikurangi melalui pemberian kegiatan belajar tentang ketrampilan sosial dan sikap asertif pada anak. Bermain merupakan aktivitas yang tepat untuk memberikan pengalaman menyenangkan sekaligus melepaskan energi yang menyertai emosi kemarahan bagi anak usia sekolah. Menurut Hurlock (2005, h. 333)

8 permainan dan olah raga bukan saja bentuk permainan yang menyenangkan melainkan juga mempunyai nilai penting sebagai penunjang sosialisasi. Melalui kegiatan bermain, seorang anak dapat belajar bagaimana bergaul dengan anak lain, bekerjasama dalam berbagai kegiatan, menjalankan peran sebagai pemimpin dan pengikut, serta menilai diri maupun kemampuannya secara realistik melalui perbandingan diri dan prestasinya dengan teman sebayanya. Teori Karl Buhler atau juga disebut teori fungsi menyebutkan bahwa anak-anak bermain supaya melatih fungsi-fungsi jiwa raganya, untuk mendapatkan kesenangan di dalam perkembangannya, dan mengalami perkembangan yang semaksimal-maksimalnya dalam berinteraksi (Sujanto, 1982, h 33). Perkembangan teknologi yang pesat telah menciptakan banyak sarana informasi dan hiburan bagi manusia. Secara umum disadari bahwa perkembangan teknologi di bidang informasi dan hiburan ini memiliki kelebihan maupun kekurangan bagi penggunanya. Berkurangnya aktivitas fisik, munculnya sifat individualis, dan kepedulian lingkungan sekitar merupakan kekurangan-kekurangan akibat penggunaaan teknologi bidang hiburan. Perangkat-perangkat berteknologi tinggi seperti smartphone atau game player menyita sebagian besar waktu bermain anak. Anak-anak menjadi asyik dengan dunia permainan ini sehingga aktivitas fisik, kepekaan, kerjasama, dan kepedulian terhadap sekitarnya menjadi

9 berkurang ataupun hilang. Anak-anak tidak lagi bermain dengan temanteman sebayanya dalam permainan yang melibatkan aktivitas fisik dan meningkatkan kepedulian mereka baik terhadap teman maupun lingkungan sekitar. Permainan-permainan yang bermanfaat bagi interaksi antar teman khususnya dalam pengendalian emosi dan kepekaan sudah ditinggalkan. Menurut teori Havighurst (Hurlock, 2005, h 40) salah satu tugas perkembangan anak pada masa sekolah 6-12 tahun adalah belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan. Permainanpermainan ringan yang melibatkan aktivitas fisik akan bermanfaat bagi mereka. Pada tahapan usia yang sama tugas perkembangan yang lain adalah belajar bergaul dengan teman-teman sebaya. Apabila aktivitasaktivitas fisik ini teralihkan oleh penggunaan gadget maka kesempatan belajar terutama tentang keterampilan sosial pun akan berkurang atau hilang. Berdasarkan jenis-jenis permainan yang dikemukakan para ahli, terdapat salah satu dari berbagai jenis permainan yang ada dan bermanfaat dalam proses perkembangan anak. Jenis permainan yang disebutkan adalah permainan gerak atau fungsi yaitu permainan yang mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan di dalam bergerak (Sujanto, 1982, h 34). Permainan yang mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan dalam bergerak banyak ditemukan dalam jenis-jenis permainan tradisional. Ekarini (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa permainan tradisional yang dimainkan secara berkelompok dapat melatih kepekaan sosial anak dan membangkitkan rasa saling membutuhkan antar anak

10 sehingga anak tumbuh dengan sikap saling menghargai. Penelitian Ekarini menunjukkan bahwa permainan tradisional gobag sodor efektif dalam meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa SD. Penelitian lain juga melaporkan bahwa permainan tradisional gobag sodor merupakan permainan yang efektif dan bermanfaat dalam meningkatkan penyesuaian sosial pada anak sekolah dasar (Wahyuni, 2009). Penyesuaian sosial yang dijelaskan Wahyuni memiliki aspek agresivitas yang mengalami penurunan pula bersama peningkatan penyesuaian sosial tersebut pada saat siswa menerima perlakuan bermain permainan gobag sodor. Permainan gobag sodor termasuk dalam jenis permainan tradisional dari Jawa Tengah memiliki nilai-nilai bermanfaat bagi anak. Siagawati, Prastiti, dan Purwanti (2007) menyebutkan bahwa permainan tradisional gobag sodor mampu menumbuhkan nilai-nilai antara lain nilai kegembiraan, kejujuran, sportivitas, kerjasama, kekompakan, pengaturan strategi dan kepemimpinan. Beberapa dari nilai-nilai inilah yang diharapkan membentuk anak untuk dapat mengendalikan emosinya dan meningkatkan keterampilan bersosialisasi sehingga perilaku agresif terhadap teman maupun benda-benda menjadi berkurang. Sempitnya lahan dan terbatasnya kegiatan bersosialisasi dengan teman di lingkungan rumah tempat tinggal anak menjadikan sekolah sebagai salah satu tempat anak belajar dan bermain sesuai usia perkembangannya. Sebuah studi tentang asesmen dan intervensi perilaku anak agresif (Tentama, 2012) menyatakan bahwa lingkungan,baik orang

11 tua atau keluarga, maupun warga masyarakat setempat, yang berperan sebagai figur model pembelajaran bagi perkembangan perilaku anak, akan lebih baik jika dapat memberikan teladan atau contoh yang positif sehingga perilaku-perilaku yang mengarah kepada perilaku agresi dapat dihindarkan. Oleh karena itu peneliti beranggapan bahwa sekolah merupakan lembaga yang tepat untuk berperan sebagai lingkungan pembelajaran yang berkewajiban mendidik dan memberi pengarahan yang baik untuk mempersiapkan siswanya menjadi pribadi yang mampu mengelola perilakunya secara lebih baik. Melalui latar belakang yang sudah peneliti sampaikan, peneliti berpendapat bahwa permainan tradisional gobag sodor merupakan permainan tradisional yang masuk dalam kategori jenis permainan yang mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan di dalam bergerak, menjalin kerjasama, kekompakan, menumbuhkan jiwa kepemimpinan, serta melatih keterampilan sosial. Selain itu, permainan tradisional gobag sodor juga melibatkan kegiatan fisik dan keceriaan dalam bermain bersama teman sehingga efektif menurunkan perilaku agresif siswa yang memiliki kelebihan energi, ketegangan, rasa bosan dan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial pada saat berada di sekolah. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat penurunan perilaku agresif siswa kelas II SD sesudah bermain permainan tradisional gobag sodor?

12 C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui penurunan perilaku agresif siswa kelas II SD sesudah bermain permainan tradisional gobag sodor. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan masukan yang bermanfaat bagi psikologi, khususnya psikologi perkembangan tentang metode yang sesuai untuk menurunkan perilaku agresif anak usia Sekolah Dasar dan psikologi pendidikan tentang metode yang dapat guru lakukan untuk mengurangi perilaku agresif siswa di sekolah. 2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemilihan metode yang tepat untuk menurunkan perilaku agresif siswa di sekolah dasar.