BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2012(RUU KESWA,2012) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis.menurut Johnson (1997 dalam Nasir, Abdul, 2011), dikatakan sehat jiwajika individu dalam keadaan sehat baik emosional, psikologis, dan sosial yang dapat dilihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, serta kestabilan emosional. Selain itu, kesehatan jiwa juga dapat diartikan sebagai kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan kesehatan dalam pengendalian diri serta terbebas dari stres yang serius (Rosdahl, 1999 dalam Nasir, Abdul, 2011). Maka seseorang dikatakan sehat jiwa apabila mampu mengendalikan diri dalam menghadapi stresor di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional. Kesehatan jiwa dibutuhkan oleh setiap individu untuk kelangsungan hidupnya, apabila hal tersebut tidak terpenuhi maka seseorang mengalami ganngguan jiwa. Gangguan Jiwa adalah kondisi gangguan dalam pikiran, perilaku dan suasana perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna dan dapat menimbulkan penderitaan
atau hambatan dalam menjalankan fungsiorang tersebut sebagai manusia (RUU KESWA,2012).Adanya kelompok gejala atau perilaku yang ditemukan secara klinis yang disertai adanya penderitaan disstres pada kebanyakan kasus dan berkaitan dengan terganggunya fungsi seseorang (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa/PPDGJ III, 1993). Keadaan adanya gangguan pada fungsi kejiwaan. Fungsi kejiwaan meliputi: proses berpikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik, termasuk bicara (Undang- Undang No.3 Tahun 1966). Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah skizofrenia, merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat tergantung pada pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya (PPDGJ, 1993). Skizofrenia merupakan kumpulan dari beberapa gejala klinis yang penderitanya akan mengalami gangguan dalam kognitif, emosional, persepsi serta gangguan dalam tingkah laku. Penderita gangguan jiwa akan mengalami menunjukkan gejala gangguan persepsi, seperti waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock s, 2007). Skizofrenia merupakan gangguan mental berat yang sering ditemukan di masyarakat seluruh dunia. Prevalensi seumur hidup skizofrenia kira- kira sama antara laki-laki dan perempuan, di seluruh dunia. Prevelensinya di antara populasi secara umum diperkirakan sekitar 0,2% sampai 1,5%. Secara rata-rata, harapan hidup mereka sedikit lebih rendah, sebagian karena lebih tingginya angka bunuh diri dari kecelakaan di kalangan para penderita skizofrenia (Ho, dan kawankawan, 2003). Prevalensi skizofrenia di Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk. Bila diperkirakan jumlah penduduk sebanyak 220 juta orang
akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampai satu juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup besar dan perlu penanganan serius (Sulistyowati dkk, 2006). Halusinasi dapat terjadi pada pasien skizofrenia, pasien yang mengkonsumsi zat halusinogen seperti ganja dan LSD, dan pasien yang mengalami gangguan tidur narkolepsi yaitu mengalami halusinasi hipnagogik (Durand, 2007). Halusinasi merupakan gejala yang paling sering muncul pada klien skizofrenia, dimana sekitar 70% dari penderita skizofrenia mengalami halusinasi (Mansjoer 1999, p.196 dalam Upoyo dan Suryanto, 2008). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), 70% pasien mengalami halusinasi audiotorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman.halusinasi pendengaran merupakan salah satu gejala utama dalam diagnosis skizofrenia dan merupakan faktor penting untuk mengevaluasi status klinis penyakit. Apalagi, keberadaannya atau keparahan memiliki pengaruh besar dalam menentukan dosis, jenis, dan durasi obat psikotropika (Nam, 2005). Terapi yang dilakukan pada pasien skizofrenia bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meminimalkan terjadinya kekambuhan. Di dunia Barat dewasa ini, penanganan biasanya dimulai dengan memberikan salah satu obat- obatan neuroleptik yang sangat bermanfaat untuk mengurangi gejalagejala skizofrenia pada banyak orang. Obat-obatan itu biasanya digunakan bersamaan dengan berbagai macam penanganan psikososial untuk mengurangi kekambuhan, mengompensasi defisit keterampilan, dan memperbaiki kerja sama
pasien untuk mau mematuhiaturan pengobatannya (American Psycchiatric Association, 2000). Intervensi biologis dengan pemberian obat antipsikotik, dan intervensi psikososial terapi perilaku kognitif, terapi rehabilitasi, terapi psikoedukasi. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa tanpa obat, orang dengan skizofrenia kambuh pada tingkat 60% sampai 70% dalam tahun pertama diagnosis. Bagi mereka yang patuh pada terapi pengobatan, tingkat kambuh sekitar 40%, namun turun menjadi 15,7% dengan kombinasi obat-obatan, pendidikan kelompok, dan dukungan (Olfson et al, 2000 dalam Stuart dan Laraia, 2001). Salah satu terapi perilaku kognitif yang dapat dilakukan pada skizofrenia adalah distraksi.distraksi berfokus pada perubahan pikiran tentang penyakit dan kemudian membantu menjadi suatu koping positif bagi pasien terhadap penyakitnya. Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi keperawatan adalah untuk pengalihan atau menjauhi perhatian terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa sakit (nyeri). Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar seseorang yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai, dan merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan.menurut Stuart dan Laraia(2001),Modulasi stimulasi sensori ke tingkat yang optimal merupakan tehnik yang berguna untuk membantu mengurangi kebingungan persepsi klien. Beberapa pasien skizofrenia dengan halusinasi menggunakan dengan baik stimulasi lingkungan yang minimal, sedangkan yang lain menemukan bahwa
kebisingan dan distraksi membantu menghilangkan halusinasi. Itu penting untuk mengetahui bagaimana pasien sebelumnya dalam mengelola halusinasi. Buccheri et al., dalam Mandal (2004) mengemukakan beberapa tehnik distraksi yang dapat dilakukan meliputi: pemantauan diri, membaca dengan suara keras dan meringkas, mendengarkan kaset relaksasi, memakai plug telinga unilateral, berbicara dengan orang lain, menonton dan mendengarkan TV, mengatakan berhenti dan penamaan benda, mengatakan berhenti dan pergi, mendengarkan musik, dan bersenandung catatan. Dalam penelitian ini tehnik yang dilakukan adalah membaca dengan suara keras dan meringkas karena beberapa tehnik yang lain kemungkinan besar telah pasien dapatkan pada saat perawat melakukan Strategi Pertemuan (SP) 1-4 halusinasi seperti menghardik, bercakapcakap, dan melakukan kegiatan. Margo et al., (1981 dalam Mandal, 2004) melaporkan efektivitas membaca dengan suara keras dan meringkas dalam mengurangi durasi, kenyaringan, dan kejelasan dari halusinasi pendengaran dibandingkan dengan berbagai strategi lainnya. Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provsu Medan.RSJD Provsu Medan merupakan rumah sakit jiwa terbesar dan merupakan pusat rujukan di Sumatera Utara. Data yang diperoleh pada saat survei awal menunjukkan pasien yang di rawat di rumah sakit ini pada tahun 2012 berjumlah 18.553 orang dengan rata-rata perbulan 1.577 pasien. Dan sekitar 90% dari jumlah tersebut melakukan rawat jalan di RSJD Provsu Medan (medical record RSJD Provsu, 2012). Data tersebut menunjukkan jumlah yang cukup besar sehingga dapat disimpulakan bahwa banyak pasien berobat di RSJD Provsu Medan.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan juga merupakan rumah sakit jiwa tipe A yang mempunyai kapasitas sejumlah 450 tempat tidur (medical record RSJD Provsu, 2012). Dengan jumlah pasien rawat inap 1783 orang. Dari jumlah pasien yang di rawat inap tersebut 1398 (78,4%) pasien dengan diagnosa skizofrenia gangguan skizotipal dan gangguan waham (medical record RSJD Provsu, 2012). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh distraksi terhadap frekuensi dan durasi halusinasi pendengaran klien skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian 1. Bagaimanafrekuensi dan durasi halusinasipendengaran sebelum dilakukan distraksi klien skizofrenia di RSJ Provsu Medan? 2. Bagaimanafrekuensi dan durasi halusinasi pendengaran sesudah dilakukan distraksi klien skizofrenia di RSJ Provsu Medan? 3. Apakahdistraksi berpengaruh terhadap frekuensi dan durasi halusinasi pendengaran klien skizofrenia di RSJ Provsu Medan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui pengaruhdistraksi terhadap frekuensi dan durasi halusinasi pendengaranklien skizofrenia di RSJ Provsu Medan. 1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui frekuensi dan durasi halusinasi pendengaran sebelum dilakukan distraksipada kelompok intervensi dan kelompok kontrol klien skizofrenia di RSJD Provsu Medan. b. Mengetahui frekuensi dan durasihalusinasi pendengaran sesudah dilakukan distraksipada kelompok intervensi dan kelompok kontrol klien skizofrenia di RSJD Provsu Medan. c. Menganalisis perbedaanfrekuensi dan durasi halusinasi pendengaran sebelum dan sesudah dilakukan distraksi klien Skizofrenia di RSJD Provsu Medan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktek Keperawatan Penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan terutama dalam pelaksanaan asuhan keperawatanbagi klien skizofrenia. 1.4.2 Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk tambahan materi dalam mata kuliah psikososial pada topik pembelajaran tentang halusinasi dan skizofrenia 1.4.3 Penelitian Keperawatan Penelitian ini dapat menjadi data awal bagi penelitian selanjutnya dan bahan referensi tentang pengaruh distraksi terhadap halusinasi pendengaran klien skizofrenia.