BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tropis. Pandangan ini berubah sejak timbulnya wabah demam dengue di

HUBUNGAN FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BOYOLALI I

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

BAB I PENDAHULUAN. setiap tahunnya. Salah satunya Negara Indonesia yang jumlah kasus Demam

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa (Widoyono, 2005). Berdasarkan catatan World Health Organization. diperkirakan meninggal dunia (Mufidah, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB I PENDAHULUAN. dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk demam berdarah (Aedes

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB I PENDAHULUAN. umum dari kalimat tersebut jelas bahwa seluruh bangsa Indonesia berhak untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I PENDAHULUAN. Bupati dalam melaksanakan kewenangan otonomi. Dengan itu DKK. Sukoharjo menetapkan visi Masyarakat Sukoharjo Sehat Mandiri dan

BAB I PENDAHULUAN. tropis dan subtropis di seluruh dunia. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi

Skripsi ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: DIAH NIA HERASWATI J

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan penyakit yang cepat, dan dapat menyebabkan. kematian dalam waktu yang singkat (Depkes R.I., 2005). Selama kurun waktu

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara serta Pasifik Barat (Ginanjar, 2008). Berdasarkan catatan World

BAB 1 PENDAHULUAN. Acuan Pembangunan kesehatan pada saat ini adalah konsep Paradigma

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB I PENDAHULUAN. serotype virus dengue adalah penyebab dari penyakit dengue. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. ditularkan melalui gigitan nyamuk yang banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis di

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

1. PENDAHULUAN Tahun

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi oleh setiap bangsa dan negara. Termasuk kewajiban negara untuk

INFORMASI UMUM DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko tinggi tertular Demam Dengue (DD). Setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. virus dengue yang ditularkan dari gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dan dalam waktu yang relatif singkat. Penyakit jenis ini masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional karena upaya memajukan bangsa tidak akan efektif apabila tidak memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

SKRIPSI. Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh AGUS SAMSUDRAJAT J

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Keadaan rumah yang bersih dapat mencegah penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Haemorraghic Fever

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue, ditularkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

BAB 1 PENDAHULUAN. anak-anak.penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I. dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia yang cenderung jumlah pasien serta semakin luas. epidemik. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. DBD (Nurjanah, 2013). DBD banyak ditemukan didaerah tropis dan subtropis karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

Al Ulum Vol.54 No.4 Oktober 2012 halaman

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

ANALISIS FAKTOR RISIKO PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN HELVETIA TENGAH MEDAN TAHUN 2005

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever

WALI KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma pembangunan kesehatan yang harus lebih mengutamakan upaya promotif, tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian pemberantasan penyakit menular merupakan program yang penting, dalam pembangunan untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan hidup bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Peningkatan kesehatan yang ditandai dengan penduduknya yang berperilaku, lingkungan sehat, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Untuk meningkatkan derajat kesehatan salah satunya dengan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian (Depkes RI, 2004). Sepanjang perjalanan, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di wilayah Asia Tenggara. Terdapat peningkatan besar - besaran frekuensi dan jumlah kejadian luar biasa. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). Secara umum dapat disebutkan bahwa sekitar 2,5 sampai 3 milyar orang diperkirakan berisiko terkena infeksi virus Dengue. Virus ini dapat terinfeksi pada semua kelompok umur terutama anak-anak, dengan kematian berkisar kurang dari 1% sampai 10% (rata-rata 5%). Demam Berdarah Dengue

muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filiphina dan selanjutnya mulai menyebar ke banyak negara yang tercakup di wilayah WHO SEA (WHO South East Asia) dan wilayah WHO Western Pacific (WP). Demam Berdarah Dengue (DBD), dapat menimbulkan wabah. Penyakit ini berkembang sangat cepat dan bahkan dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Pada saat ini belum ditemukan obat atau vaksin bagi pengobatan penyakit DBD (Depkes RI, 2003). Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue ditularkan nyamuk Aedes aegypti. Sampai saat ini DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan dampak sosial dan ekonomi serta berkaitan dengan perilaku masyarakat. Penyakit DBD ini muncul pertama kali pada tahun 1953 di Filiphina dan selanjutnya menyebar kebanyak Negara di dunia, termasuk di Indonesia (Depkes RI, 2005). Di Asia Tenggara tahun 2003 diperkirakan bahwa terdapat sekurang kurangnya 100.000.000 kasus demam berdarah Dengue pertahun dan 500.000 kasus yang memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, dimana 90% penderita adalah anak anak dibawah usia 15 tahun. Angka kematian (CFR) rata rata sekitar 5%, terjadi tiap tahunnya (Depkes RI, 2003). Kasus DBD semakin menyebar luas karena virus Dengue dan nyamuk penularnya Aedes aegypti tersebar luas baik dirumah maupun di tempat tempat umum diseluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya melebihi 1000 meter dipermukaan laut. Dewasa ini penyebaran penyakit DBD sudah menjangkit di seluruh Propinsi di Indonesia (Suroso, 1992).

Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak pada ketinggian tersebut, suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk berkembang biak (Depkes RI, 2003). Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua golongan umur, jenis kelamin, terutama anak anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa. Ksus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2004). Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan sarang nyamuk masih kurang (Depkes RI, 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka incidence kasus DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hasil penelitian Isnuwadani (2000) banyak terdapat tempat penampungan air, baik kaleng bekas, ban bekas dan tempat penampungan air lainnya yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk

Aedes aegypti. Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadi DBD dibandingkan tempat penampungan air yang tidak berjentik. (Nur Hamidah dkk, 2003). Kasus DBD di Indonesia pertama kali dilaporkan KLB di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, dimana tercatat 54 kasus dengan 24 kematian Case Fatality Rate (CFR) 41,5%, pada tahun berikutnya kasus DBD menyebar ke lain kota yang berada di wilayah Indonesia dan dilaporkan meningkat setiap tahunnya. Kejadian luar biasa kasus DBD terjadi disebagaian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan (Soegijanto, 2003). Komfermasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969, dan pada tahun 1994 DBD telah menyebar keseluruh Indonesia. Pada saat ini DBD sudah menjadi endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 telah terjangkit di daerah pedesaan (Soedarmo, 2005). Awal kejadian luar biasa kasus DBD setiap lima tahun selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecendrungan peningkatan infeksi virus Dengue pada bulan - bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan 1) perubahan iklim dan kelembabapan nisbi; 2) terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus Dengue ke daerah endemis, kasus DBD dari pedesaan ke perkotaan; 3) meningkatnya kantong - kantong jentik nyamuk Aedes aegypti di perkotaan terutama daerah kumuh pada bulan - bulan tertentu (Soegijanto, 2003).

Kasus DBD telah menyebar luas keseluruh wilayah provinsi dengan jumlah kabupaten/ kota terjangkit sampai dengan tahun 2005 sebanyak 330 kabupaten/ kota (75% dari seluruh kab/ kota). Insidens Rate (IR) DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ketahun. Awalnya pola endemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terkhir mengalami perubahan dengan priode antara 2 5 tahunan, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) cendrung menurun. Perkembangan IR dan CFR DBD dari tahun 2000 2005 terjadi peningkatan. Tahun 2000 IR 10,17 per 100.000 penduduk dengan CFR 2% dan sampai dengan tahun 2005, IR 43,42 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,36% (Profil Kesehatan Depkes RI, 2007). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri dari 23 kabupaten/ kota, Insidens Rate (IR) DBD 12,4 per 100.000 penduduk dengan CFR 1,90% dari jumlah kabupaten/ kota tersebut empat diantaranya yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireun, Kota Lhokseumawe,, Kabupaten Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Kota Langsa merupakan daerah endemis dan setiap tahun terjadi peningkatan kasus. Kota Langsa merupakan Kabupaten/ kota dengan jumlah kasus DBD berada di pringkat 7 (tujuh) dari 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Profil Dinkes Provinsi NAD, 2007) Selain itu penyebaran kasus DBD disebabkan oleh meningkatnya mobilitas penduduk antar daerah, sehingga mempengaruhi Herd immunity penduduk, dan berpotensi terhadap penularan virus Dengue di kota Langsa, yang tinggi angka insiden DBD dari beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Katagori daerah endemis ini adalah pernah terjangkit DBD secara terus menerus,

banyak kasus yang berulang. Sebagian besar penduduk yang tinggal di kota Langsa merupakan pekerja swasta, sehingga mempunyai mobilitas tinggi karena lokasi kerjanya sebagian besar di luar Kota Langsa yaitu; di Medan, dan kota Lhokseumawe dimana kota tersebut merupakan daerah endemis DBD. Disamping itu rata rata jumlah anggota keluarganya sebanyak 5 orang, hal ini menjadi salah satu faktor resiko tertularnya penyakit DBD dalam keluarga tersebut (Propil Dinkes Kota Langsa, 2008). Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Langsa dalam kurun waktu tahun 2005 2009 terjadi peningkatan secara fluktuatif, merupakan daerah endemis DBD, dengan jumlah kasus pada tahun 2009 mencapai 127 orang. Pemutusan mata rantai penularan penyakit DBD dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD), abatesasi selektif, Fogging atau pengasapan massal pada semua desa tampa kecuali lokasi kasus terjangkit dan penyuluhan pegerakan masyarakat, (Profil Dinkes Kota Langsa, 2008) Insiden Rate (IR) kasus DBD tahun 2005 sebesar 5,76 per 100.000 penduduk, meningkat menjadi 6,89 per 100.000 tahun 2006. Daerah yang termasuk daerah KLB adalah kota Banda Aceh dan kota Lhokseumawe, dimana kematian (Case Fatality Rate) sebesar 1,20 %, hal ini mengindikasikan CFR tersebut melebihi dari indikasi Nasional, yaitu 1 %. Di kota Langsa, tahun 2005 jumlah kasus DBD sebanyak 58 kasus dan tahun 2006 meningkat menjadi 99 kasus yang tersebar dibeberapa kecamatan, kemudian tahun 2007 meningkat menjadi 108 kasus, dan pada tahun 2008 menjadi 118 kasus, sedangkan tahun 2009 ini kasus DBD yang tercatat di Dinas

kesehatan kota Langsa mencapai 127 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD di Kota Langsa masih tinggi, dan membutuhkan upaya pencegahan dan penaggulangan yang lebih intensif, (Laporan Dinkes Kota Langsa, 2009). Upaya penaggulangan kasus DBD juga dilakukan di Kota Langsa. Dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur tetap penanggulangan mordibitas DBD dan KLB DBD, yang dimulai dengan pelacakan kasus, penyelidikan epidemiologi, penanganan kasus/penderita (diobati/dirujuk), melakukan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN-DBD) dengan 3 M plus (menguras, menutup dan menimbun) tempat penampungan air, abatesasi selektif ke daerah endemis dan melakukan fogging fokus sesuai dengan indikasi. (Profil Dinkes Kota Langsa, 2009). Hasil evaluasi penanggulangan DBD di Kota Langsa. Diketahui tahun 2005 jumlah desa yang dilakukan penyelidikan epidemiologi sebanyak 36 desa. Abatisasi terhadap 1000 rumah. Kelemahan yang ada adalah pelaksanaan PSN-DBD masih belum optimal dan kontinue, hal ini terlihat dari rendahnya Angka Bebas Jentik (ABJ). Tahun 2005 yakni 75%, ini menunjukkan masih berada dibawah indikator Nasional (95%) untuk daerah endemis (Profil Dinkes Kota Langsa, 2009). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik Juru Pemantau Jentik seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan, jarak rumah, tata rumah, tempat penampungan air, keberadaan jentik terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa.

1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik juru pemantau jentik (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan dan lingkungan) terhadap kasus demam berdarah Dengue di kota langsa. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh karakteristik juru pemantau jentik (umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan, kemampuan dan lingkungan) terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa. 1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan Kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap adanya kasus DBD di Kota Langsa. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Sebagai bahan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Langsa dalam rangka melakukan evaluasi cakupan penanggulangan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), sebagai masukan untuk kebijakan operasional program penanggulangan kasus DBD secara efesian, efektif dan komprehensif di kota Langsa.

1.5.2 Sebagai informasi tambahan mengenai faktor risiko penyakit DBD di Kota Langsa bagi peneliti lain, dapat diketahuinya variabel apa saja yang dapat mempengaruhi tingginya kasus DBD di Kota Langsa. 1.5.3 Bagi Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai rujukan dan dapat dikembangkan dalam penelitian-penelitian lebih lanjut, khususnya tentang pengaruh karakteristik juru pemantau jentik dan kesehatan lingkungan terhadap adanya kasus DBD.