PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ruang Lingkup Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir meliputi:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 07/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG JAMINAN KUALITAS INSTALASI NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JAMINAN MUTU UNTUK PERSIAPAN PEMBANGUNAN PLTN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

KETENTUAN KESELAMATAN DEKOMISIONG REAKTOR NUKLIR 1

UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENGAWASAN TERHADAP LIMBAH RADIOAKTIF

KETENTUAN KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar N

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

BERITA NEGARA. No.655, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Manajemen. Penuaan. Nuklir Nonreaktor. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PROGRAM PERATURAN DALAM PENGAWASAN PLTN UNTUK MENYONGSONG PEMBANGUNAN PLTN 1)

SISTEM DAN MEKANISME PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif (Lembaran Negara Republi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

Peraturan Ketenaganukliran

oleh Werdi Putra Daeng Beta, SKM, M.Si

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS IBN

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PENYUSUNAN PROGRAM KESIAPSIAGAAN NUKLIR INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 01 A. Latar Blakang 01 B. Dasar Hukum 03 C. Definisi. 04 Tujuan Instruksional Umum 06 Tujuan Instruksional Khusus..

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG IZIN BEKERJA PETUGAS INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR

KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER US DOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY)

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENUAAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

REGULASI TERKAIT KETENTUAN PENYUSUNAN DAFTAR INFORMASI DESAIN INSTALASI NUKLIR DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PENGEMBANGAN SILABUS PELATIHAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KOMPETENSI PETUGAS PROTEKSI RADIASI BIDANG MEDIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STUDI KOMPARASI PP NO. 43/2006, PP NO. 35/2002 DAN PP NO. 8/2007 TERHADAP RENCANA PENGELOLAAN DANA DEKOMISIONING REAKTOR DAYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL

BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN TARIF

PENINGKATAN EFEKTIVITAS INSPEKSI TERHADAP PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK KEGIATAN WELL LOGGING

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN PENGAWASAN PLTN

- 5 - INDIKATOR KINERJA UTAMA BAPETEN

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PENGAWASAN PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN PLTN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS

PENINGKATAN MUTU HASIL UJI KOMPETENSI PERSONIL PPR SEBAGAI STRATEGI PENGAWASAN TENAGA NUKLIR

KESIAPAN SDM ANALISIS KESELAMATAN PROBABILISTIK DALAM PLTN PERTAMA DI INDONESIA

Transkripsi:

PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR Bambang Riyono, Yudi Pramono dan Dahlia Cakrawati Sinaga Direktorat Pengaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir, ABSTRAK PENGEMBANGAN PERATURAN TERKAIT PERIZINAN INSTALASI NUKLIR, Ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran secara tegas mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan pemerintah tentang perizinan ketenaganukliran yang memuat syarat-syarat dan tata-caranya, baik dari sudut pandang pemanfaatannya maupun dari sudut pandang instalasinya. Untuk pemanfaatan telah terbit PP No.29 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, sedangkan untuk instalasinya telah terbit PP No.43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, dan Perka BAPETEN No.3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor. Berdasarkan latar belakang penyusunan kedua Peraturan Pemerintah tersebut yang hanya mengatur reaktor dan pemanfaatan, belum secara sepenuhnya memenuhi amanat dari Pasal 17 ayat (3) UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yaitu termasuk instalasi nuklir lainnya. Dengan alasan tersebut, maka digagas perlunya suatu PP tersendiri yang memuat ketentuan mengenai perizinan instalasi nuklir nonreaktor. Di sisi lain dari pemahaman aspek hukum dan penafsiran terhadap UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, seharusnya dalam satu amanah Pasal 17 ayat (3) UU No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran hanya akan menghasilkan satu PP tentang syarat-syarat dan tata cara perizinan baik untuk pemanfaatan maupun instalasi, atau maksimal 2 (dua) PP yang terkait perizinan pemanfaatan dan instalasi. Hal inilah yang mendorong dilakukan kajian atau telaah hukum terkait seberapa besar kemungkinan menurut aspek legal dibenarkan untuk menggabungkan dalam satu peraturan perizinan ketenaganukliran menyangkut baik pemanfaatan maupun instalasinya, dengan melihat kompleksitas dari instalasi dan luasnya lingkup pemanfaatan tenaga nuklir yang ada di Indonesia. Hasil kajian makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam penyusunan PP tentang perizinan instalasi nuklir. Kata Kunci : peraturan, pemanfaatan, perizinan, instalasi nuklir, telaah hukum. ABSTRACT DEVELOPMENT REGULATION REGARDING WITH LICENSING OF NUCLEAR INSTALLATION, Provisions of Article 17 paragraph (3) of Law Number 10 Year 1997 on Nuclear cleary mandates for the establishment of government regulations (GR) on Nuclear licensing containing the requirements and procedure, both from the standpoint of their utilization and installation. To use has been rising GR No.29 Year 2008 on the Use of Ionizing Radiation Sources and Nuclear Materials, while for the installation has been published PP No.43 Year 2006 on Nuclear Reactor Licensing, and Bapeten Chairman Decree No.3 Year 2006 on Nonreactor Nuclear Installation Licensing. Based on the background of the preparation of both the aforementioned are just regulate the reactor and utilization, not yet fully meet the mandate of Article 17 paragraph (3) of Law No.10 of 1997 on Nuclear, including other nuclear installations. For these reasons, it initiated the need for a separate regulation containing provisions concerning licensing of nonreactor nuclear installations. On the other side from the understanding the legal aspects and interpretations of the Law No.10 of 2004 on the Establishment Regulation Legislation, should be in single mandate of Article 17 paragraph (3) of Law No.10 of 1997 on Nuclear would only produce one of the requirements and procedure for the use or installation, or a maximum of two (2) GR related licensing the use and installation. This is encourages conducted the assessing or studies related to how possible it is

according to the legal aspect is justified to combine in one Nuclear licensing regulations regarding both the use and installation, by looking at the complexity of installation and wide scope of utilization of nuclear energy in Indonesia. The results of this paper is expected to provide input in the preparation of GR on licensing of nuclear installations. Keywords: regulation, utilization, licensing, nuclear installations, the study of law. 1. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran [1] merupakan dasar hukum yang tertinggi dalam segala hal terkait dengan ketenaganukliran di Indonesia, baik dari aspek pemanfaatan maupun pengawasan pelaksanaan pemanfaatan maupun penggunaan instalasinya. Pengawasan ketenaganukliran berdasarkan undang-undang tersebut dilakukan melalui kegiatan perizinan, pembentukan peraturan, dan pelaksanaan inspeksi. Pengawasan ketenaganukliran yang dilakukan melalui perizinan dalam undang-undang tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 17 yang dinyatakan pada ayat (1) setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, kemudian selanjutnya dinyatakan pada ayat (2) pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memiliki izin. Serta ditutup dengan pernyataan pada ayat (3) syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengertian pemanfaatan diuraiakan dalam ketentuan umum undang-undang tersebut sebagai kegiatan penelitian, pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan, dekomisioning, sampai dengan pengelolaan limbah radioaktif. Sedangkan instalasinya atau disebut sebagai instalasi nuklir diuraikan dalam ketentuan umum undang-undang tersebut meliputi reaktor nuklir, fasilitas pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas, dan fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. Dalam perkembangannya instalasi nuklir lainnya selain reaktor nuklir disebut juga sebagai Instalasi Nuklir Nonreaktor (INNR).

Dari pemahaman aspek hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [2], maka ketentuan dalam Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran secara tegas mengamanatkan untuk membentuk peraturan pemerintah tentang perizinan ketenaganukliran. Peraturan pemerintah terkait perizinan ketenaganukliran tersebut haruslah memuat syarat-syarat dan tata-cara baik pemanfaatannya maupun dari aspek instalasinya, sehingga idealnya sebagai amanat dari pasal tersebut haruslah diwujudkan dalam 1 (satu) peraturan pemerintah saja yang mengatur syarat-syarat dan tata cara perizinan baik pemanfaatan tenaga nuklir maupun pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir, atau paling banyak 2 (dua) peraturan pemerintah yaitu peraturan pemerintah yang mengatur syarat-syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan tenaga nuklir dan peraturan pemerintah yang mengatur syarat-syarat dan tata cara perizinan pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor. Pemahaman aspek legal berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan inilah yang idealnya seharusnya diacu menjadi landasan berfikir dalam membentuk peraturan pemerintah. Dalam praktiknya pemikiran secara ideal tersebut sulit tercapai karena ada beberapa hal lain yang berpengaruh dan berperan untuk terbitnya suatu peraturan pemerintah. Adanya faktor lain yang berpengaruh dalam pembentukan peraturan pemerintah menjadi hal yang penting untuk dikaji dan ditelaah seberapa besar keberterimaannya secara aspek hukum, sehingga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 2. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam kajian pengembangan peraturan terkait perizinan instalasi nuklir ini adalah studi literatur dan telaah hukum terhadap pembentukan serta keberadaan peraturan ketenaganukliran yang diterbitkan sebagai amanat dari Undang-Undang 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran yang telah ada terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Sampai dengan saat ini peraturan terkait perizinan instalasi nuklir yang telah ada meliputi: 2.1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir. Perizinan terkait dengan reaktor nuklir diawali dari Surat Keputusan Direktur Jendral BATAN Nomor 54/DJ/5/V/1982 tentang pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, kemudian diubah menjadi Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 06/Ka- BAPETEN/V-99 tentang pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, yang akhirnya digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 Tentang Perizinan Reaktor Nuklir [3]. Peraturan Pemerintah ini lebih didorong kemunculannya sebagai salah satu piranti penting kesiapan regulasi dalam menyongsong era PLTN yang pada waktu itu sedang gencar-gencarnya didengungkan oleh pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut didasarkan pada amanat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur perizinan reaktor nuklir untuk setiap tahap dalam pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir. Perizinan dalam peraturan pemerintah tersebut tidak mengatur perizinan instalasi nuklir nonreaktor dan bahan nuklir. Peraturan Pemerintah tersebut ditujukan untuk mengatur perizinan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir dalam rangka menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan keamanan instalasi dan bahan nuklir. Dalam peraturan pemerintah tersebut terkait dengan pemberian izinnya diberikan secara bertahap yaitu Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning. Pada peraturan pemerintah tersebut dibuka juga kemungkinan untuk melakukan proses perizinan melalui izin operasi gabungan. Izin Operasi Gabungan dalam peraturan pemerintah tersebut khusus untuk reaktor nuklir desain modular yang telah mendapatkan sertifikat desain dari Badan Pengawas negara pemasok. Izin operasi gabungan tersebut merupakan gabungan dari izin konstruksi, izin komisioning, dan izin operasi. Permohonan izin operasi gabungan diajukan dengan

melampirkan dokumen persyaratan administrasi sebagaimana dokumen persyaratan teknis sebagai berupa sertifikat desain dari Badan Pengawas negara pemasok, laporan analisis keselamatan, laporan analisis keselamatan probabilistik untuk reaktor daya komersial, desain rinci reaktor nuklir, dokumen Inspection Test Analysis and Acceptance Criteria, izin pemanfaatan bahan nuklir, Daftar Informasi Desain, Lampiran Fasilitas Seifgard, Sistem Keamanan Nuklir, program jaminan mutu konstruksi, komisioning, dan operasi, program kesiapsiagaan nuklir, keputusan kelayakan lingkungan hidup dari instansi yang bertanggung jawab, bukti jaminan finansial untuk pertanggungjawaban kerugian nuklir, bukti kemampuan finansial untuk menjamin pelaksanaan konstruksi sampai dengan dekomisioning reaktor nuklir, dan surat izin bekerja petugas reaktor nuklir dari Kepala BAPETEN. 2.2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor [4] diterbitkan lebih didorong karena alasan adanya kekosongan hukum terkait dengan perizinan instalasi nuklir nonreaktor, karena sampai saat ini belum ada aturan terkait dengan perizinan INNR. Dalam Peraturan Kepala tersebut pengertian Instalasi Nuklir Nonreaktor yang selanjutnya disingkat INNR adalah instalasi yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas, dan/atau penyimpanan sementara bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas, instalasi penyimpanan lestari serta instalasi lain yang memanfaatkan bahan nuklir. Pendefinisian INNR tersebut terdapat perbedaan penulisan dengan Undang- Undang 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran, walapun maknanya yang dimaksud adalah sama. Peraturan Kepala tersebut bertujuan untuk mengatur perizinan pembangunan dan pengoperasian INNR dalam rangka menjamin keselamatan dan kesehatan terhadap pekerja dan masyarakat, dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan keselamatan dan keamanan instalasi dan bahan nuklir, dan seifgard bahan nuklir. Peraturan Kepala tersebut

mengatur perizinan INNR untuk setiap tahap pembangunan dan pengoperasian INNR, tetapi tidak mengatur perizinan untuk instalasi penambangan bahan galian nuklir dan penambangan lainnya yang menghasilkan bahan galian nuklir sebagai hasil samping, juga tidak mengatur perizinan pemanfaatan bahan nuklir. Perizinan INNR dalam Peraturan Kepala tersebut diberikan secara bertahap meliputi izin tapak, izin konstruksi, izin komisioning, izin operasi, dan izin dekomisioning INNR. 2.3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion Dan Bahan Nuklir. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion Dan Bahan Nuklir [5] diterbitkan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, yang dalam pertimbangannya juga menggunakan Pasal 17 Undan-Undang 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Peraturan Pemerintah ini mengakomodasi adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ketenaganukliran yang pesat telah mengakibatkan terjadinya perubahan pada standar internasional yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan tersebut meliputi persyaratan izin tidak hanya mempertimbangkan faktor keselamatan radiasi, namun juga keamanan Sumber Radioaktif dan Bahan Nuklir, Pengelompokan sumber radiasi pengion yang didasarkan pada risiko yang terkait dengan keselamatan radiasi dan keamanan Sumber Radioaktif dan Bahan Nuklir, jumlah dan kompetensi personil yang bekerja, potensi dampak kecelakaan radiasi terhadap keselamatan, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, dan lingkungan hidup, potensi ancaman terhadap Sumber Radioaktif dan Bahan Nuklir. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang persyaratan dan tata cara perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir; dan pengecualian dari kewajiban memiliki izin Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion. Dalam peraturan pemerintah ini terdapat pengaturan persyaratan khusus untuk fasilitas tertentu seperti antara lain produksi radioisotop dan pengelolaan limbah radioaktif, yang berlaku pada saat kegiatan penentuan

tapak, konstruksi, komisioning, operasi; dan/atau Penutupan. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa sebenarnya pembentukan suatu peraturan terkait dengan ketenaganukliran yang ada saat ini ternyata tidak hanya didasarkan pada aspek hukum saja seperti sebagai pemahaman aspek hukum terhadap penafsiran terhadap UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa pembentukkan suatu peraturan pemerintah harus didasarkan pada adanya amanat peraturan yang lebih tinggi, tetapi lebih didasarkan kepada kebutuhan kepastian aspek hukum yang mendesak di dalam pelaksanaan pemanfaatan ketenaganukliran dan harus segera diakomodasikan. Dalam perizinan reaktor nuklir terlihat bahwa sebenarnya perizinan tersebut merupakan perubahan dari produk perundangundangan sebelumnya yang secara substansi tidak mengalami banyak perubahan, dimana dari segi hitorisnya diawali dengan Perizinan terkait dengan reaktor nuklir diawali dari Surat Keputusan Direktur Jendral BATAN Nomor 54/DJ/5/V/1982 tentang pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, kemudian diubah menjadi Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 06/Ka-BAPETEN/V-99 tentang pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, yang akhirnya digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 Tentang Perizinan Reaktor Nuklir. Sedangkan diterbitkannya Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor lebih didorong karena alasan adanya kekosongan hukum terkait dengan perizinan instalasi nuklir nonreaktor, karena sampai saat ini belum ada aturan terkait dengan perizinan INNR, yang ternyata isinya tidak hanya mengatur tata-cara perizinan tetapi juga mengatur aspek keselamatannya. Dan terakhir Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir diterbitkan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 Tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, yang dalam pertimbangannya juga menggunakan Pasal 17 Undan-Undang 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Peraturan pemerintah ini mengakomodasi adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi di bidang ketenaganukliran. Meskipun demikian, untuk menghindari adanya pertentangan secara yuridis dengan penafsiran terhadap Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan maka dapat diupayakan dengan cara menggabungkan berbagai peraturan pemerintah terkait perizinan ketenaganukliran kedalam dua bagian besar yaitu membentuk peraturan pemerintah tersendiri terkait dengan perizinan pemanfaatan ketenaganukliran dan peraturan pemerintah tersendiri terkait dengan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning instalasi nuklir, sehinggga kedepan akan diupayakan untuk membentuk peraturan pemerintah tersendiri terkait dengan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning instalasi nuklir yang isinya menggabungkan substansi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 Tentang Perizinan Reaktor Nuklir dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor, sedangkan untuk pemanfaatannya, peraturan pemerintah terkait pemanfaatan yang mungkin akan diterbitkan oleh BAPETEN dikemudian hari, akan dimasukkan atau diakomodasi dalam satu peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir. 4. Kesimpulan Dari hasil pembahasan pada makalah ini dapat disimpulkan bahwa menurut penafsiran dan telaah hukum berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka: 1. Amanah Pasal 17 ayat (3) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran secara ideal adalah membentuk peraturan pemerintah tentang perizinan pemanfaatan yang memuat peraturan terkait pertambangan mineral radioaktif. 2. Menggabungkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 Tentang Perizinan Reaktor Nuklir dengan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Perizinan INNR, menjadi satu peraturan pemerintah tersendiri tentang perizinan instalasi nuklir. 5. Daftar Pustaka [1] Lembaran Negara 1997, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliranran. Sekretariat Negara, Jakarta,1997

[2] Lembaran Negara 2004, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sekretariat Negara, Jakarta, 2004 [3] Lembaran Negara 2006, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 Tentang Perizinan Reaktor Nuklir. Sekretariat Negara, Jakarta, 2006. [4] BAPETEN, Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor. BAPETEN, Jakarta, 2006 [5] Lembaran Negara 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, Sekretariat Negara, Jakarta, 2008 [6] Notulen Rapat Koordinasi Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Instalasi Nuklir Nonreaktor. Tanya Jawab 1. Lilis Susanti S- BAPETEN Kondisi ideal yang harus dipenuhi dengan adanya UU no.10/1997 tentang ( seharusnya) adanya PP dan syarat-syarat dan tata cara pemanfaatan tenaga nuklir; apakah perka yang sudah ada belum cukup, atau (memang) perlu regulasi yang lebih kuat? Jawab: - Perka tidak mengatur sangsi, sehingga apabila tidak diikuti atau dilanggar tidak ada konsekuensi hukumnya. - Amanat dari UU No.10/1997 memang mengamanatkan kedalam PP 2. M. Ridwan -BAPETEN UU No.10/1997 sudah memisahkan fungsi regulatory body dan organisasi pengoperasi. Selain itu, UU No.10/1997 sudah cukup generic dan mampu mengikuti perkembangan iptek nuklir. Di sisi lain, instansi lain seharusya dapat melaksanakan tusi BAPETEN. Maka jangan-jangan revisi UU.10/1997 malah menghilangkan eksistensi BAPETEN? Jawab: Tidak, kita bisa mengambil pelajaran dari Instansi lain seperti KLH yang telah merevisi UU23/1997 tentang lingkungan hidup sebanyak 3 kali. Banyak hal yang belum diatur seperti kedaruratan nuklir, nilai liability yang rendah (900 milyar)