PENGALAMAN SUAMI MENJADI STAY-AT-HOME DAD

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PEMECAHAN MASALAH PADA WANITA SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai orang tua yang memiliki anak, tugas utamanya adalah

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih besar, sebab seiring dengan bertambahnya usia seseorang maka

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seperti kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik. Pergeseran peran tersebut terjadi karena

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan kaum perempuan pada tahap dewasa dini pada saat ini secara umum

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret Jumlah kasus

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari. Akan tetapi wanita sendiri juga memiliki tugas

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. suami-istri yang menjalani hubungan jarak jauh. Pengertian hubungan jarak jauh atau

BAB 1 PENDAHULUAN. rumah adalah ayah, namun seiring dengan berkembangnya zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

Kebijakan Pemerintah dalam Mempersipkan Keluarga yang Ramah Anak

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Puji Hastuti F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan

Resensi Buku JADI KAYA DENGAN BERBISNIS DI RUMAH OLEH NETTI TINAPRILLA * FENOMENA WANITA * WANITA BERBISNIS : ANTARA KELUARGA DAN KARIR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak serta kewajibannya (Abdulsyani, 2007:92) lain, hal ini sangat mempengaruhi peranannya dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional. Sejak awal tahun 70-an, isu mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada era modern ini kedudukan wanita dan pria bukanlah sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perempuan di beberapa negara maju lebih memilih melajang atau berpasangan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB III DAMPAK DAN USAHA MENGATASI FENOMENA SEKKUSU SHINAI SHOKOGUN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu kelompok yang menjadi bagian dalam masyarakat.

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

PENDAHULUAN Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pengasuhan anak merupakan kebutuhan pokok bagi orang tua dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kondisi wanita yang berada di bawah bayang-bayang pria, dewasa ini telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Eksistensi Perempuan dalam Pembangunan yang Berwawasan Gender

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Ahmadi (2004:173) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi dari pekerja perempuan di Indonesia untuk setiap tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi dan dengan pilihan jurusan jurnalistik, broadcasting dan public

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. ini, hal ini dapat kita temui di berbagai negara. Dari negara maju seperti Amerika

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

Transkripsi:

PENGALAMAN SUAMI MENJADI STAY-AT-HOME DAD PADA USIA DEWASA AWAL (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis dengan Interpretative Phenomenological Analysis) Disusun Oleh : NAZHRA AULIA PRAMANADA 15010113140186 ABSTRAK Fenomena Stay-At-Home Dad, mulai diperkenalkan dunia sebagai suatu paradigma baru terhadap keputusan menentukan peran gender dalam berumah tangga. Para suami Stay-At-Home Dad memutuskan untuk mengambil alih peran ibu rumah tangga sebagai pengasuh anak dan bertanggung jawab pada hal domestik di rumah, sedangkan istrinya bekerja di luar rumah mencari nafkah. Pertukaran peran ini ternyata masih tabu dalam pandangan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan para Stay-At-Home Dad harus berjuang menghadapi stigma masyarakat untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman psikologis individu sebagai bapak rumah tangga (Stay-At-Home Dad). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi. Teknik analisis yang digunakan adalah Interpretative Phenomenological Analysis (IPA). Subjek merupakan empat orang pria yang berperan sebagai bapak rumah tangga dengan usia produktif, serta memiliki istri yang bekerja fulltime di kantor. Penggalian data digunakan dengan teknik wawancara semi-terstruktur. Hasil penelitian ini memiliki tiga tema induk yang terdiri dari dinamika peran sebagai bapak rumah tangga, upaya coping dengan teknik problem-focused dan emotion-focused, serta penghayatan peran yang berdampak pada pengasuhan anak. Selain itu, terdapat satu tema khusus yaitu adanya perasaan terkekang oleh keadaan. Penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan keilmuan psikologi dalam bidang sosial terutama psikologi keluarga. Kata Kunci : Stay At Home Dad; peran ayah; bapak rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pada suatu rumah tangga, lazimnya suami diidentikkan dengan sosok pencari nafkah di luar rumah dan menjadi tulang punggung keluarga, sedangkan istri membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Stereotip ini masih berlaku sampai saat ini. Di Indonesia, bahkan diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 31 ayat 3), yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (DPR RI, 2014b). Namun, dalam tiga dekade terakhir, ditemukan adanya pergeseran nilai yang dipegang oleh suami dan istri setelah menikah. Seiring dengan maraknya isu kesetaraan gender, saat ini wanita sudah mulai terjun ke ranah publik di berbagai instansi sebagai wanita karir. Semangat pemberdayaan perempuan yang mendorong para wanita berpartisipasi dalam dunia profesional, membuat pria mengubah cara pandang konservatifnya. Para suami kini mulai berfikir untuk terjun ke ranah domestik dan meninggalkan kantornya (Cotter & Pepin, 2017). Fenomena bapak rumah tangga, atau yang sering diistilahkan sebagai stay-at-home dad, mulai diperkenalkan dunia sebagai suatu paradigma baru terhadap keputusan menentukan peran gender dalam berumah tangga. Ketika seorang istri memiliki potensi karir dan penghasilan yang lebih baik, suami pun memutuskan untuk menjadi 1

2 bapak rumah tangga dan mengurus anak di rumah. Keputusan untuk bertukar peran antara suami istri ini, didasarkan atas pemikiran rasional antara keduanya (Intisari, 2011). Seorang Stay At Home Dad, untuk selanjutnya disingkat menjadi SAHD, diketahui tidak memiliki rutinitas ke kantor seperti kebanyakan pekerja lainnya, para SAHD lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak dan mengurus hal domestik di rumah (Smith, 2009). Namun, beberapa SAHD tetap memiliki pekerjaan yang membuatnya lebih leluasa untuk bekerja dari rumah. Seperti misalnya profesi wirausaha, freelancer, penulis, pelukis, dan musisi. Pruett dari University of Missouri- St.Louis mengatakan bahwa kemajuan teknologi membantu perubahan paradigma. Seseorang tidak lagi mutlak harus bekerja selama 8 jam per hari di kantor. Semakin banyak jenis pekerjaan yang bisa dilakukan di mana pun, baik di rumah ataupun sambil menemani anak di taman, berkat adanya teknologi yang semakin canggih (Polk, 2000). Di Amerika Serikat, fenomena Stay-At-Home Dad sudah sangat lazim terjadi. Dalam penelitian Pew Research Center, pria yang memutuskan menjadi bapak rumah tangga di AS, tercatat oleh Biro Sensus Amerika sebanyak 2 juta orang pada tahun 2012 (Livingston, 2014). Di Australia, jumlah SAHD sekitar 1% dari jumlah suami di sana. Sementara di Korea Selatan pada 2007 terdapat sekitar 5.000 suami menjadi SAHD. Inggris pada 1993 memiliki 200.000 ayah yang menjadi SAHD (Leija, 2015).

3 Bagan 1. Peningkatan Angka Rata- Rata Waktu yang Dihabiskan Oleh Ibu dan Ayah untuk Anak Sumber : Pew Research Center, 2015 Dalam Bagan 1 di atas, dijelaskan bahwa terdapat peningkatan dari tahun 1965 hingga 2015 untuk rata-rata waktu yang dihabiskan ibu dan ayah untuk mengurus anaknya dan mengerjakan pekerjaan rumah. Namun terdapat penurunan angka terhadap ayah dalam menghabiskan waktu bekerja di kantor (Morin, 2013). Terjadi perubahan yang signifikan dalam renegosiasi peran gender dalam rumah tangga. Dalam perkembangan di dunia saat ini, distribusi kerja antara laki-laki dan perempuan dalam bidang domestik semakin egaliter. Hal ini dibuktikan dalam Bagan 1, jumlah ayah yang membantu mengurus rumah dan mengasuh anak naik sebesar dua kali lipat. Di beberapa negara maju, khususnya Amerika Serikat, para ayah tidak lagi malu dengan menutup-nutupi jati dirinya sebagai bapak rumah tangga. Bahkan sejak 2003

4 didirikan Daddyshome, Inc, sebuah jejaring sosial skala nasional bagi para ayah rumah tangga. Komunitas tersebut memberi kesempatan para bapak rumah tangga untuk terhubung satu sama lain, mencari komunitas lokal, hingga mengadakan pertemuan tahunan. Hampir semua anggotanya punya blog pribadi yang menceritakan pengalaman keseharian menjadi bapak rumah tangga (Polk, 2000). Namun yang terjadi di Indonesia, kondisi bapak rumah tangga atau stay-at-home dad masih dianggap tabu dan tidak lazim. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang mengusung budaya ketimuran, kondisi para suami yang bekerja di rumah akan dinilai sebagai seorang yang kurang berdaya dan dianggap seperti pengangguran (Widhiastuti & Nugraha, 2013). Menurut Ibrahim (dalam Maharani, 2016), SAHD belum lazim di Indonesia karena masih sangat kentalnya budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat sekitar. Budaya patriarki diartikan sebagai masyarakat, sistem, atau negara yang diperintah dan dikuasai oleh pria, sedangkan para wanita ditempatkan sebagai manusia kelas dua. De Beauvoir juga menyebutkan dalam bukunya The Second Sex, bahwa patriarki telah melekatkan definisi pengasuhan anak sebagai pekerjaan perempuan (Maharani, 2016). Hal ini tidak hanya mendiskriminasi perempuan, tetapi juga laki-laki. Potensi laki-laki dalam hal mengasuh anak dipandang remeh, sedangkan potensi perempuan diglorifikasi, seolah wanita tidak boleh cacat dalam pengasuhan. Cara pandang tradisional masyarakat seperti inilah yang membuat stay-at-home dad di Indonesia belum banyak berkembang. Dalam penelitiannya, Widhiastuti &

5 Nugraha (2013), menyebutkan bahwa hal tersebut tergambar dari pengalaman salah seorang bapak rumah tangga yang diliput oleh suatu stasiun televisi di Indonesia, yang mengalami kesulitan ketika harus berbaur dengan ibu-ibu di lingkungan rumahnya dan bagaimana subjek tersebut menanggapi pertanyaan-pertanyaan tetangga tentang perannya tersebut. Meskipun dalam kehidupan rumah tangganya subjek tidak mengalami masalah apapun sebagai SAHD. Walaupun stereotip seperti ini masih kuat mengakar pada masyarakat Indonesia, kini di berbagai daerah khususnya perkotaan, sudah mulai bermunculan kampanyekampanye untuk mewujudkan kesadaran akan pentingnya partisipasi laki-laki untuk mendukung perkembangan diri perempuan, atau setidaknya mempromosikan kesetaraan gender. Hal ini membuat para SAHD di Indonesia, mulai nampak ke permukaan. Beberapa pemuda milenial yang memiliki istri pekerja kantoran, memutuskan untuk menjadi stay-at-home dad (Kirnandita, 2017). Mengenai tulisannya tentang bapak rumah tangga, Kirnandita menjelaskan dalam Tirto.id (2017), alasan para suami bersedia menjadi bapak rumah tangga di Indonesia mencakup beberapa hal, diantaranya; suami merasa peluang kerja untuk istri lebih terbuka (karena faktor pendidikan), penghasilan istri lebih tinggi, tidak ingin anak diurus oleh orang lain, dan tarif pengasuhan anak mahal. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rochlen dan kawan-kawan (dalam Rochlen, McKelley, & Whittaker, 2010), yang mengatakan bahwa beberapa alasan seorang ayah untuk menjadi stay at home dad, di antaranya yaitu adanya rasa tidak percaya terhadap

6 nanny atau babysitter, partner yang berpenghasilan lebih banyak, pandangan bahwa seorang pria sama baiknya dengan wanita dalam pengasuhan, ingin menghabiskan waktu bersama anak di usia formatifnya, dan masih banyak lagi. Alasan serupa juga ditemukan dalam penelitian Fischer & Anderson (2012), dalam Gender Role Attitudes and Characteristics of Stay-At-Home Dad and Employed Fathers, yang menyebutkan ada beberapa alasan menjadi stay-at-home dad termasuk alasan terkait keputusan bersama pasangan, ketidakmampuan personal karena sakit atau pengangguran, alasan terkait pengasuhan oleh orang lain, dan alasan yang berasal dari pilihan pribadi. Hal lain yang menarik juga ditemukan dalam penelitian ini. Ayah yang tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan domestik tidak terlalu memegang teguh maskulinitas dibanding ayah yang bekerja di kantor. Laki-laki yang bersedia tinggal di rumah dan merawat anak melihat bahwa maskulinitas bukan sebagai sesuatu yang di agung kan, dan dikotomi peran gender dalam rumah tangga adalah hal yang bisa dinegosiasikan (Fischer & Anderson, 2012). Pernyataan di atas berbeda dengan Ariani (dalam Intisari, 2011), yang mengatakan bahwa menjadi bapak rumah tangga bukanlah hal mudah. Hal tersebut tergantung maskulinitas yang dianut pada diri pria tersebut. Menurutnya, maskulinitas terbagi menjadi tradisional dan non-tradisional (modern). Pria yang menganut maskulinitas tradisional, cenderung memiliki pandangan bahwa menjadi bapak yang tidak memiliki pekerjaan dan diam di rumah adalah bapak yang tidak berguna. Sedangkan bapak

7 rumah tangga, memiliki maskulinitas tradisional dan terpaksa beralih peran karena kondisi-kondisi tertentu. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan depresi. Berbeda dengan pria yang menganut maskulinitas modern, pria SAHD akan memiliki pandangan bahwa menjadi bapak rumah tangga adalah suatu pekerjaan yang mulia dengan menggantikan peran ibu (Intisari, 2011). Waktu luang di rumah yang banyak juga dianggap dapat memberikan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri dengan anak-anak maupun keluarga. Jika seorang suami dengan peran stay-at-home dad sudah melakukan beberapa persiapan dan pertimbangan yang matang, seperti misalnya memiliki cara pandang yang modern dan egaliter, maka kemungkinan akan terhindar dari kegagalan sebagai suami akan semakin besar. Menurut Widhiastuti, terjalinnya komunikasi dan pembagian peran yang baik akan menciptakan keluarga sehat dan harmonis (Widhiastuti & Nugraha, 2013). Penelitian lain mengenai bapak rumah tangga dilakukan oleh Chesley dari University of Wisconsin-Milwaukee, yang berfokus pada pengaruh dinamika pasangan dan perubahan sosial terhadap kesetaraan gender (Chesley, 2011). Penelitian ini dilakukan kepada beberapa suami stay-at-home dad dan istrinya yang berperan sebagai tulang punggung keluarga (breadwinner wife). Hasilnya, di samping banyaknya perubahan peran gender yang terjadi, banyak yang masih menganggap ibu lebih siap daripada ayah dalam hal mengurus anak. Seperti yang dipaparkan dalam Bagan 2 dibawah ini.

8 Bagan 2. Pandangan Publik Berbeda tentang Pentingnya Stay-At-Home Mom atau Stay-At-Home Dad Sumber : Pew Research Center, 2013 Dalam bagan di atas, terlihat sebesar 51% kepercayaan publik tetap lebih besar kepada ibu dalam hal mengurus anak di rumah, dibandingkan ayah yang memiliki persentase hanya sebesar 8%. Adanya stigma yang muncul karena perubahan peran gender antara pria dan wanita ini, dibentuk oleh masyarakat sesuai norma sosial dan nilai sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan (Nengse & Sri, 2013). Melihat realitas sosial yang terjadi saat ini mengenai kehidupan rumah tangga, menjadikan konsep keluarga yang ideal semakin sulit untuk diraih. Baik istri maupun suami pasti akan merasakan pengaruhnya. Baik yang muncul dari pribadi, ataupun yang muncul dari pandangan negatif dari lingkungan sosial. Adanya stigma yang tidak ideal menjadi Stay At Home Dad ini lah, yang akan diangkat menjadi masalah utama dalam penelitian ini.

9 Dari sekian banyaknya literatur penelitian mengenai stay at home dad yang sudah dilakukan, sayangnya hanya ada satu literatur yang fokus membahas mengenai stayat-home dad di Indonesia. Perbedaan budaya suatu negara akan mempengaruhi norma sosial yang berlaku pada suatu masyarakat. Dalam penelitiannya (Rochlen, Suizzo, McKelley, & Scaringi, 2008), Rochlen dkk menyebutkan bahwa keterbatasan pada penelitiannya berpusat pada populasi yang diambil adalah para pria Kaukasian, di mana budaya yang diterapkan tidak lagi memegang unsur tradisional gender. Rochlen menyarankan untuk dilakukan lagi penelitian pada negara yang memiliki perbedaan budaya dan masih kental dengan perilaku peran gender tradisional. Penelitian mengenai fenomena stay-at-home dad yang dilakukan di Indonesia telah dilakukan oleh Widhiastuti (Widhiastuti & Nugraha, 2013), namun metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah theoretical literature descriptive, sehingga peneliti merasa tetap perlu diadakan metode penelitian yang lebih mendalam mengenai fenomena ini. Penelitian ini dilakukan berdasarkan atas pentingnya mengetahui bagaimana para ayah memaknai perannya sebagai bapak rumah tangga (Stay-At-Home Dad). Jika penelitian yang mengungkap pemahaman tentang SAHD tidak dilakukan, maka tidak ada dasar ilmiah untuk para SAHD dalam menyikapi perannya di masa datang. Ketidaksiapan seseorang dalam menjalani perannya sebagai SAHD akan berdampak serius pada munculnya konflik dengan istri yang bisa menyebabkan perceraian. Selain itu, penelitian ini juga berguna bagi para subjek yang diharapkan dapat merefleksikan

10 diri setelah menceritakan pengalamannya, agar menemukan makna hidup dan penyelesaian yang baik untuk permasalahan rumah tangganya. Pemahaman ini juga dibutuhkan agar menjadi bahan pertimbangan para pembuat kebijakan untuk lebih adil terhadap isu kesetaraan gender di Indonesia. Telah disebutkan pada awal bab, bahwa UU di Indonesia tentang perkawinan masih menganut asas budaya patriarki yang kental, sehingga tidak ramah pada fenomena wanita karir dan bapak rumah tangga. Padahal fenomena ini sudah mulai jamak di Indonesia. Selain itu, peneliti juga berharap penelitian ini berguna untuk mengubah cara pandang masyarakat agar lebih egaliter dan modern dalam menyikapi isu ini. Penelitian ini juga dirasa penting untuk dunia pendidikan, khususnya bagi cabang psikologi sosial dan keluarga, dikarenakan masih belum banyak penelitian tentang fenomena stay-at-home dad di Indonesia. Bila penelitian yang sifatnya konstruktivis belum dilakukan, maka tidak ada riset-riset yang sifatnya menguji teori postpositivistik untuk membahas tentang fenomena ini. Berdasar pada hal tersebut, peneliti berharap penelitian ini dapat menstimulasi penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan di Indonesia. Berdasarkan ketertarikan dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti akan mengangkat fenomena tersebut dalam sebuah penelitian tentang Pengalaman suami menjadi Stay-At-Home Dad pada usia dewasa awal.

11 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka peneliti memiliki pertanyaan utama yang mendasari penelitian ini yaitu, Bagaimana pengalaman seorang suami dewasa muda yang menjadi Stay-At-Home Dad? Peneliti akan menggalinya lebih jauh melalui pertanyaan-pertanyaan penunjang berikut: a) Bagaimana pengalaman subjek ketika mengambil keputusan akan perannya sebagai Stay-At-Home Dad? b) Bagaimana dampak pengalaman ini terhadap kehidupan pribadi subjek? Tujuan Penelitian Penelitian fenomenologis ini bertujuan untuk memahami pengalaman psikologis individu sebagai bapak rumah tangga. Peneliti ingin memahami pada bagaimana dampak pengalaman ini terhadap kehidupan pribadi subjek, bagaimana pengaruh pandangan masyarakat dalam pengambilan keputusan subjek, serta bagaimana subjek menarik makna atas pengalaman tersebut.

12 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi cabang psikologi khususnya bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Keluarga, serta dapat memberi pemahaman baru tentang fenomena Stay-At-Home Dad yang mulai berkembang di Indonesia. Manfaat Praktis a. Bagi pembaca Peneliti berharap penelitian ini berguna untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai fenomena Stay-At-Home Dad agar masyarakat lebih egaliter dan modern dalam menyikapi isu tersebut khususnya di Indonesia. Pemahaman ini juga dibutuhkan agar dapat menjadi bahan pertimbangan para pembuat kebijakan untuk lebih adil terhadap isu kesetaraan gender. Selain itu, diharapkan penelitian ini berguna bagi para SAHD lainnya untuk menjadi bekal pengetahuan apa yang akan dihadapi di masa datang. b. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau referensi bagi peneliti yang ingin meneliti tentang pengalaman suami yang berperan sebagai bapak rumah tangga dan dapat dikembangkan dengan lebih baik dan mendalam.