BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
Institute for Criminal Justice Reform

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59

ANGGOTA GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN

Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 30 TAHUN 2014

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIANJUR

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO. Jl. Lanto Dg Pasewang No. 34 Telp. (0411) Kode Pos PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem

DAERAH TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERDAGANGAN ORANG TERUTAMA PEREMPUAN DAN ANAK. BAB I KETENTUAN UMUM

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

Perdagangan anak yang dipahami disini adalah perdagangan orang. Undang-undang Republik Indonesia No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFFICKING) DI INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BREBES, 20 AGUSTUS Assalamu alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan saya ucapkan selamat pagi.

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. lama. Hanya saja masyarakat belum menyadari sepenuhnya akan kejahatan

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI JAWA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN RIAU

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk Allah Subhana Wata ala yang memiliki

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

-2- dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pida

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perempuan dan anak. Dengan demikian upaya perlindungan terhadap

BAB II Pengaturan Hukum Mengenai Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Di masa lalu

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PERDAGANGAN ORANG (TRAFFICKING) TERUTAMA PEREMPUAN & ANAK DI KALIMANTAN BARAT

A. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

PERLINDUNGAN SAKSI KORBAN DAN RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA TRAFIKING (Studi Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam) Eliwarti Ferri Aries Suranta ABSTRAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

BAB II PERATURAN HUKUM HAK RESTITUSI DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN JEMBRANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

Transkripsi:

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentukbentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ. Hukum Nasional : Dalam pasal 297 KUHP tidak diatur pengertian perdagangan orang secara jelas. Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2. Hukuman yang Berlaku Protokol Palermo Tahun 2000 : Negara penerima trafficking sesuai protokol PBB memiliki kewajiban Hukum Nasional : mengembalikan korban trafficking(pasal 8) Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak lakilaki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 2 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 3. Status Korban Perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal 6 Protokol ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang layak yang memungkinkan korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya,sementara maupun permanen, dalam kasuskasus tertentu(pasal 7) Dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara Pihak harus memberikan pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan kasih(pasal 7) Hukum Nasional : Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahliwarisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian

atas: kehilangan kekayaan atau penghasilan penderitaan biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibatperdagangan orang 4. Tempat rehabilitasi korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Tidak dijelaskan sama seperti dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007, tetapi secara terperinci mengatur keamananan, hak, fasilitas yang diberikan terhadap korban perdagangan orang. Hukum Nasional : Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. (Pasal 52). 5. Pemulangan korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Wajib dipulangkan ke negera asalnya tanpa penundaan yangberlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah orang yang menjadi korban perdagangan orang adalah warga

negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam wilayahnya pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara Pihak penerima (Pasal 8). Hukum Nasional : Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang (Pasal 51) 6. Kebijakan-Kebijakan Negara Protokol Palermo Tahun 2000 : a. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan; dan b. Untuk melindungi korban perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, dari kemungkinan untuk menjadi korban kembali. Negara-negara Pihak harus berupaya keras untuk melaksanakan langkah-langkah lain yang ditetapkan seperti penelitian, informasi dan kampanye media masa dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan. Kebijakan-kebijakan, program-program, dan langkah-langkah lain yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini haruslah, secara layak, menyertakan kerja sama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil lainnya. Hukum Nasional :

Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateralpasal 59 ayat (1) 7. Pencegahan dan pemberantasan korban perdagangan orang Protokol Palermo Tahun 2000 : Negara-negara Pihak harus mengambil atau memperkuat langkahlangkah lain, termasuk melalui kerja sama bilateral atau multilateral, untuk menekan faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi rentan terhadap perdagangan, seperti misalnya kemiskinan, keterbelakangan pembangunan dan kurangnya kesempatan yang setara(pasal 9) Hukum Nasional : Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang (Pasal 57 ayat (1)). B. ANALISIS Komparisi Protokol Palermo dan Undang-Undang Di Indonesia yang mengatur tentang Human Trafficking 1. Defenisi Human Trafficking Berdasarkan pengertian tentang perdagangan orang (Human Trafficking) yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 yang mana perdagangan

orang berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau pemanfaatan sebuah posisi. Pada umumnya pengertian Human Trafficking dalam protokol tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian Human Trafficking dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besar Human Trafficking berarti tindakan perekrutan, pengangkutan, penampuangan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan. Ini menunjukan bahwa ratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000 menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besarnya mengakomodasi apa itu Human Trafficking/ Perdagangan Orang. Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak menggunakan kata perbudakan dan penghambaan tidak dipakai akan tetapi diganti dengan kalimat memegang kendali atas orang lain begitu pun juga dengan eksploitasi seksual yang tidak dirumuskan lagi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sehingga kalimat memegang kendali atas orang lain memiliki makna yang luas bagi mengartikan beberapa kata seperti prostitusi, seksual, perbudakan, kerja paksa, sebagaimana pengertian Human Trafficking dalam Protokol Palermo Tahun 2000 maka penulis menemukan bahwa dalam meratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000 tersebut tidak memiliki banyak perbedaan dalam merumuskan pengertian Human Trafficking. Human Trafficking dalam KUHP sebagaimana tertuang dalam Pasal 297 tidak secara terperinci menjelaskan apa itu Human Trafficking hanya memuat ancaman pidana bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa. Pengertian Human Trafficking dalam pasal ini belum

terlalu jelas disebabkan hanyalah mengatur tentang perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur, berbanding terbalik dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahum 2007 yang mana Human Trafficking (perdagangan orang) bukan hanya bagi wanita dan anak laki-laki di bawah umur tetapi juga diterapkan bagi laki-laki dewasa. 2. Hukuman yang berlaku Sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 tidak mengatur tentang sanksi bagi orang yang melakukan Human Trafficking, disebabkan karena sanksi yang dapat diterapakan bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hanyalah disebutkan untuk negara penerima trafficking dikembalikan ke negara asal. Pengembalian koraban tersebut dengan maksud agar supaya pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat diberikan sanksi di negara asal, hal ini berkaitan dengan yuridiksi hukum bagi suatu negara. Dalam KUHP sudah dirumuskan ancaman pidananya dengan penjara paling lama 6 tahun bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur. Ancaman 6 tahun yang dirumuskan dalam KUHP sudah pasti menunjukkan bahwa negara secara tegas ingin memberantas Human Trafficking bagi di dalam negeri maupun luar negeri keseriusan. Ratifikasi Protokol Palermo menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah mengatur tentang sanksi bagi perdagangan orang, jika pada Protokol Palermo hanya mengatur tentang korban perdagangan orang dikembalikan ke negara asal. Akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sanksi yang diatur maksimum 15 tahun dan minimum 3 tahun dan juga denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 dan paling banyak Rp.600.000.000,00. Perdagangan orang merupakan tindak pidana yang luar biasa oleh sebab itu negara dalam

memberantasnya pun dilakukan dengan keseriusan. Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam bagan diatas maka perbedaan yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah tidak diaturnya sanksi yang jelas di dalam Protokol Palermo Tahun 2000 akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah dengan jelas mengatur tentang sanksi bagi pelaku Human Trafficking. 3. Status Perdagangan Orang Status korban perdagangan orang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 hanya mengintrupsikan kepada negara pihak untuk mempertimbangkan langkah yang layak bagi korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya diartikan sebagai negara harus melindungi para korban perdagangan orang dalam kebijakan-kebijakan legislatif yang baik dalam rangka mewujudkan kenyamanan bagi korban perdagangan orang dengan mempertimbangkan faktorfaktor kemanusiaan dan kasih. Asas Kemanusiaan mejadi dasar dalam melaksanakan perlindungan kepada korban, yang mana dalam Pasal 6 Undang- Undang No 12 Tahun 2011, Asas Kemanusiaan mengartikan bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 setiap korban Human Trafficking atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi yang dimaksud adalah ganti rugi yang diderita oleh korban perdagangan orang. Dalam perbedaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 negara memiliki fungsi yang berbeda Protokol Palermo menginstrusikan bagi negara melindungi korban dalam lingkungan sosialnya

akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 menginstrusikan untuk negara melakukan ganti rugi bagi korban perdagangan orang dengan maksud untuk mengembalikan segala bentuk yang korban alami. Persamaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah negara memiliki fungsi yang sentral dalam melindungi korban perdagangan orang. 4. Tempat Rehabilitasi Perdagangan Orang Tempat rehabilitasi perdagangan orang tidak secara terperinci diatur dalam Protokol Palermo Tahun 2000 sama halnya dengan Undang -Undang No 21 Tahun 2007 yang sudah secara terperinci mengatur tentang tempat rehabilitasi perdagangan orang, dalam Protokol Palermo Tahun 2000 hanya merumuskan korban perdagangan orang untuk dikembalikan ke negara asalnya. Lebih lanjut dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah mengatur keamanan untuk korban perdagangan orang, hak bagi perdagangan orang, fasilitas yang diberikan bagi korban bahkan setiap daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Rumah perlindungan sosial dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pemulihan, rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban yang memerlukan perlindungan secara khusus untuk memulihkan psikis. Perbedaan dalam hal pengaturan tempat rehabilitasi korban perdagangan orang antara Protokol Palermo dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sangatlah jelas seperti yang penulis kemukakan bahwa Protokol Palermo tidak mengatur secara terperinci apa itu tempat rehabilitasi hanyalah pemulangan korban ke negara asal akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah sangat jelas mengatur tentang tempat rehabilitasi korban perdagangan orang. Rehabilitasi yang dimaksudkan adalah pemulihan dari gangguan terhadap

fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun masyarakat. Korban perdagangan orang berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang dan juga berhak menerima restitusi. Restitusi yang diberikan dengan maksud untuk memelihara atau memulihkan fisik maupun psikis bagi korban. 5. Pemulangan Korban Perdagangan Orang Protokol Palermo mewajibkan korban dipulangkan ke negara asalnya secepatnya dengan maksud agar hak-hak korban perdagangan orang dapat dilindungi oleh negara asalnya. Hak yang dimaksud bukan hanya perlindungan hukum akan tetapi pemulihan dan pengobatan psikis dan fisik yang diderita oleh korban. Peran negara dianggap penting untuk melindungi para korban oleh sebab itu dalam Protokol Palermo diwajibkan untuk secepatnya negara tempat perdagangan orang memulangkan korban perdagangan orang dikembalikan ke negara asalnya. Dalam ratifikasinya negara menjalankan apa yang diperintahkan oleh Protokol Palermo, jika pada Protokol Palermo hanya menginstruksikan negara untuk secepatnya memulangkan korban perdagangan orang, di dalam ratifikasinya negara sudah lebih memuat dan mengatur tentang hak-hak korban perdagangan orang. Yang penulis temukan dalam penelitian ini bahwa dalam ratifikasinya sudah mengalami pemaknaan yang jelas tentang pemulangan korban dengan maksud agar hak korban seperti ganti rugi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi

sosial dilaksanakan oleh negara. Sebuah langkah maju demi melindungi dan memulihkan psikis dan fisik korban perdagangan orang Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak mengatur secara eksplisit tentang pemulangan orang, hanyalah menginstruksikan negara agar melakukan kerja sama dalam bidang menanggulangi kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang, kerja sama yang dimaksudkan, menurut penulis ini berarti negara dalam melindungi setiap warga negaranya mampu memantau dan memperhatikan bahkan ketika mereka menjadi koraban perdagangan orang, oleh sebab itu ada perbedaan antara Protokol Palermo dan hukum nasional tentang pemulangan korban. 6. Kebijakan-kebijakan Negara Kebijakan negara yang diatur dalam Protokol Palermo untuk mencegah dan memerangi perdagangan orang, dan juga melindungi korban perdagangan orang sebagaimana yang diatur dalam ratifikasi maka ada persamaan antara kebijakan negara yang dirumuskan dalam Protokol Palermo dan Undang- Undang No 21 Tahun 2007 bahwa negara memiliki fungsi untuk melakukan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Negara wajib melaksanakan kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Bahkan dalam Undang- Undang No 21 Tahun 2007 negara mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Perbedaan yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah dalam Protokol Palermo ada sedikit penekanan untuk mengutamakan perempuan dan anak-anak akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak dirumuskan hal demikian yang mana hanya mewajibkan dalam melakukan pencegahan dalam

tindak pidana perdagangan orang negara melakukan kerja sama internasional. Kerja sama yang dirumuskan dalam Protokol Palermo adalah kerja sama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil dalam melaksakan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Perbedaan lainnya negara harus melakukan langkah penelitian, kampanye media massa, dan inisiatif-inisiatif sosial dan ekonomi untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, hanya dirumuskan dalam Protokol Palermo dan tidak dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007. 7. Pencegahan dan Pemberantasan Korban Perdagangan Orang Protokol Palermo Tahun 2000 dalam merumuskan pencegahan dan pemberantasan, maka negara memiliki peran yang besar melalui kerja sama bilateral atau multilateral. Negara dalam hal pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dapat melakukan kerja sama dengan negara-negara lain, dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 pemerintah daerah dan keluarga dilibatkan dalam pencegahan perdagangan orang ini menunjukkan bahwa dalam perbedaan peran untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, jika dalam Protokol Palermo hanya negara yang dilibatkan maka di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 bukan hanya negara tetapi keluarga memiliki peran penting dalam melaksanakan pencegahan perdagangan orang. Sebagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang maka menurut penulis dapat dilakukan melalui beberapa cara: Pertama, peningkatan pendidikan masyarakat khususnya pendidikan bagi anak-anak dan perempuan yang status sosialnya rendah termasuk sarana dan prasarana. Kedua, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang. Ketiga, perlu diupayakan adanya jaminan bagi keluarga khususnya perempuan

dan orang dalam status sosial rendah untuk memperoleh pendidikan peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial. Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai tentang tindak pidana perdagangan orang untuk itulah diperlukan sosialisasi secara baik dan menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek Human Trafficking yang harus diwaspadai. Langkah selanjutnya, untuk memberantas tindak pidana perdagangan orang adalah memberantas kemiskinan, ketidaksetaraan gender, sempitnya lapangan kerja. Di samping itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang memerlukan adanya perdagangan hukum yang tegas, tanpa perdagangan hukum yang tegas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang akan sia-sia.