TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) Serangga betina yang telah berkopulasi biasanya meletakkan telurnya setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao. Telur PBK berbentuk lonjong, permukaaan atas cembung dan permukaan bawahnya rata yang menempel di permukaan kulit buah. Telur berwarna kekuningan dengan garisgaris berwarna kemerahan mengelilingi pingir dan bagian atasnya. Telur yang tidak subur berwarna keputihan. Rataan jumlah telur yang diletakkan setiap ngengat betina adalah 21 butir/hari. Hama PBK lebih menyukai buah yang memiliki alur-alur yang dalam sedangkan yang alurnya dangkal kurang disukai tapi masih terdapat peletakan telur (Taufik, 2001; Hase, 2007). Telur yang dihasilkan serangga betina berukuran 0.5 mm x 0.3 mm, diletakkan satu per satu oleh ngengat betina pada alur-alur permukaan buah, terutama buah yang telah berukuran panjang di atas 8 cm, dan tidak pada bagian lainnya. Telur akan menetas setelah 5-7 hari (Suparno, 2001; Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2003). Gambar 1 : Telur Conopomorpha cramerella
Pada waktu telur menetas, larva muda di dalam kulit telur menggigit kulit telur bagian bawah kemudian langsung masuk ke dalam epidermis kulit buah kakao. Larva berwarna kekuningan yang panjangnya 1 mm. Larva membuat liang gerekan di bawah kulit buah dan di antara biji serta memakan daging buah. Pada buah yang relatif muda hal itu menyebabkan biji melekat pada kulit buah dan melekat satu sama lain, sedang pada buah matang tidak menimbulkan kerusakan berarti pada biji tapi dapat menurunkan mutu biji (Suparno, 2001; Taufik, 2001). Larva akan tetap tinggal di dalam buah dan semakin lama warna larva akan menjadi hijau muda. Tahap larva terdiri dari 4-5 instar, masa larva berlangsung 14-18 hari. Larva terakhir mempunyai ukuran 12 mm (Rauf, 2008; Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2004). Gambar 2 : Larva Conopomorpha cramerella Larva yang telah dewasa kelur dari buah dan mencari tempat berpupa di sekitar buah kakao atau menjatuhkan diri dengan bantuan benang sutera. Pupa dilindungi oleh kokon yang strukturnya menyerupai selaput transparan serta kedap air sehingga pupa terlindung dari pengaruh lingkungan luar. Kokon berbentuk oval, berwarna kuning kotor dan berukuran panjang 13-18 mm lebar 6-9 mm. Pupa berwarna coklat dengan panjang 6-7 mm dan lebar 1-1,5 mm, dan
lama stadium pupa 6-8 hari (Depparaba, 2002; Direktorat Jendral Perkebunan, 2006). Gambar 3 : Pupa Conopomorpha cramerella Ngengat bertubuh ramping dan lembut, panjang tubuhnya 7 mm dan rentangan sayapnya 12 mm. Perkembangan PBK mulai dari telur sampai mencapai stadium dewasa memerlukan waktu 27-33 hari. Seekor ngengat betina PBK dapat meletakkan telur sebanyak 200 butir. Ngengat hanya aktif pada malam hari selama beberapa jam saja sejak matahari terbenam. Pada siang hari, ngengat berada di tempat teduh dan sering terdapat pada bagian bawah cabang horizontal, berdiri dengan arah tegak lurus pada arah sumbu cabang tersebut. Serangga ini melakukan kopulasi menjelang malam diatas tajuk tanam dan jarang terjadi perkawinan dibawah tajuk tanaman (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan, 1992; Suparno, 2001). Gambar 4 : Imago Conopomorpha cramerella
Gejala Serangan a. Buah Muda Pada permukaan kulit buah yang terserang terlihat bercak besar berwarna kuning. Jika buah-buah yang menunjukkan gejala tersebut dibelah, kulit buah dan tempat masuknya larva serta saluran (placenta) biji tempat larva mengambil makanan terlihat berwarna coklat akibat serangan larva. Sedangkan daging buah masih tetap berwarna putih. Pada serangan berat bagian dalam buah berwarna coklat kehitaman (Deptan, 1997). Gambar 4 : Gejala serangan Conopomorpha cramerella pada buah muda (Sumber : Foto langsung) b. Buah Dewasa Apabila buah muda yang terserang masih dapat berkembang menjadi buah dewasa, pada permukaan kulit luar buah terdapat bercak besar berwarna kuning, sedang bagian lainnya tetap berwarna hijau atau merah tergantung tipe kakaonya. Jika buah tersebut dibelah akan terlihat jalur-jalur gerekan larva dan daging buah berwarna kecoklatan. Pertumbuhan biji terganggu, dan biji satu sama lain lengket (Susanto, 1997; Deptan, 1997).
c. Buah Masak Gejala serangan yang terlihat pada kulit luar buah masak secara kasat mata yaitu adanya bercak besar berwarna kuning. Pada tipe kakao dengan kulit buah berwarna merah, ada bercak-bercak berwarna oranye, sedang pada yang hijau ada bercak-bercak berwarna kuning-oranye. Jika buah buah tersebut dipetik terasa lebih berat dan apabila diguncang tidak terdengar bunyi ketukan biji-biji dengan dinding buah. Hal ini terjadi karena pada biji-biji yang rusak terbentuk lendir yang dapat memenuhi ruangan dalam buah, sedangkan biji-biji kakao menjadi rusak, dan melekat satu dengan yang lainnya. Jika buah tersebut dibelah terlihat daging buah berwarna coklat kehitaman sampai hitam, biji saling menempel dan apabila diproses lebih lanjut biji akan menjadi keriput (Deptan, 1997; Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008). Gambar 4 : Gejala serangan Conopomorpha cramerella pada buah masak Pengendalian Pangkasan bentuk pohon kakao yang bertujuan untuk membatasi tinggi tajuk tanaman kakao agar memudahkan pelaksanaan panen dan pengendalian
hama. Pemangkasan dilakukan baik pada tanaman kakao maupun tanaman penaung untuk mengurangi kelembapan yang tinggi dan membuka kanopi agar tanaman mendapat penyinaran merata karena hama PBK lebih menyukai tanaman yang rimbun dan gelap (Sulistyowati dkk. 2003; Direktorat Jendral Perkebunan, 2006). Metode panen sering pada saat buah masak awal yang diikuti sanitasi dapat menekan populasi PBK. Hal ini karena pada buah yang masak awal, ulat PBK belum keluar sehingga jika kulit buah dan plasenta langsung ditanam, maka ulat yang ada di dalamnya akan mati. Rotasi panen paling lama satu minggu dan kulit buah, buah busuk, plasenta dan semua sisa-sisa panen segera ditanam dan ditimbun dengan tanah setebal 20 cm (Sulistyowati dkk. 2003). Rampasan buah bertujuan untuk mengeradikasi PBK. Tindakan ini juga harus didukung dengan pengendalian kultur teknis agar dapat berhasil. Tindakan ini dilakukan dengan mengambil seluruh buah yang terdapat di pohon dan melakukan pangkasan cabang sekunder dan tersier. Sistem tersebut hanya disarankan untuk daerah serangan baru yang masih terbatas dan terisolir (Sulistyowati, 2006). Pengendalian hayati PBK dapat dilakukan dengan menggunakan predator larva PBK antara lain Oecophylla smaragdina, Anoplolepis longipes, Crematogaster sp., Dolichoderus thoracicus, dan laba-laba. Pengendalian dengan jamur entomopatogen seperti penggunaan Beauveria bassiana, Penicillium, Acrostalagmus, Verticillium, Fusarium dan Spicaria. Dapat juga dilakukan dengan menggunakan nematoda entomopatogen seperti Steinernema carpocapsae (Rauf, 2008).
Sarungisasi buah bertujuan untuk melindungi buah dari serangan PBK, akan tetapi memerlukan biaya dan tenaga kerja yang besar. Sarungisasi dilakukan mulai buah kakao berukuran panjang antara 8-10 cm sampai dengan buah dipanen. Kantong plastik yang digunakan berukuran 30 x 15 cm tebal 0,02 mm dan kedua ujungnya terbuka. Cara menyelubungi buah adalah dengan mengikat bagian atas plastik pada tangkai buah sedang bagian bawah terbuka (Sulistyowati dkk. 2003). Aplikasi insektisida kimia hanya dilakukan jika persentase serangan PBK dengan kategori serangan berat sudah mencapai 40%. Jenis insektisida yang dianjurkan adalah dari golongan sintetik piretroid, antara lain. deltametrin, sihalotrin, betasiflutrin, esfenfalerat, dan alfa sipermetrin (Sulistyowati dkk. 2003). Perangkap feromon ( CPB-lure) Feromon merupakan senyawa yang dilepas oleh salah satu jenis serangga yang dapat mempengaruhi serangga lain yang sejenis dengan adanya tanggapan fisiologi tertentu. Feromon serangga dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan serangga hama baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu digunakan dalam hal: pemantauan serangga hama, perangkap massal, pengganggu perkawinan, maupun kombinasi antara feromon sebagai atraktan dengan insektisida atau patogen serangga sebagai pembunuh (Balitbangtan, 2007). Feromon seks adalah jenis feromon yang umumnya dimiliki oleh serangga. Feromon seks ini berguna untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya perkawinan. Feromon dapat diproduksi oleh serangga betina maupun serangga
jantan, tergantung dari jenis serangganya. Dalam beberapa kasus baik yang jantan maupun betina sama-sama menyumbangkan komunikasi kimia tersebut dalam perkawinan (Harahap, 2008). Pusat penelitian di India (Pest Control India) bekerjasama dengan Cocoa Research Institute (ICCRI), mengembangkan suatu feromon sex untuk hama PBK yang disebut CPB-lure yang dihasilkan oleh imago betina pada saat dewasa atau menjelang musim kawin untuk menarik perhatian imago jantan ( Pest Control India, 2008). Lembaga Koko Malaysia (LKM) telah menguji feromon seks serangga PBK sebagai salah satu kaedah untuk mengawali pengendalian dan mengurangi penggunaan pestisida. Sehingga diharapkan dengan banyaknya serangga jantan yang tertangkap maka perkawinan tidak terjadi sehingga betina tidak meletakkan telur serta serangan pada buah dapat menurun (Navies, 2004). Dari hasil pengamatan pemasangan perangkap di Papau Nugini feromon dapat menangkap rata-rata 5-6 ekor imago jantan penggerek buah kakao per hari yang melekat pada perangkap berperekat (Sulistyowati, 2006). Feromon terdapat dalam tabung plastik berwarna putih dengan panjang tabung 2,5 cm dan diameter 1 cm. Berat tabung dan feromon 0,8 gr dan feromon yang terdapat dalam tabung 0,3 ml. Harga yang dijual dipasaran Rp. 50.000