TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Bagian Kedua Penyidikan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK DALAM HAL TERJADI KESALAHAN PENANGKAPAN 1 Oleh: Jordy Moritz

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia. 1. Asas-Asas Umum dalam Hukum Pidana Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGKAPAN. fakta yang diperoleh melalui hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

Transkripsi:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini membahas mengenai tidak adanya perlindungan hukum salah tangkap selama ini, sehingga permasalahan dalam penelitian ini bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dan menahan dan Upaya hukum apa yang dilakukan korban salah tangkap dan menahan orang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP. Metode penelitian yaitu normatif. Hasil penelitian ini diketahui bahwa, bentuk perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dan menahan orang berupa pemberian ganti rugi, jumlah maksimal dan minimal ganti rugi, yang merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada korban yang merasa dirugikan karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan, keseimbangan, manfaat, kepastian hukum, dan kemanusiaan bagi korban. Selain itu pemberian sanksi terhadap penyidik melalui pernyataan maaf secara terbatas dan terbuka, dan adanya sanksi Kode Etik Profesi Polri dan Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap yaitu dengan melakukan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. Ganti rugi didasarkan pada nominal uang yang harus dibayarkan akibat kesalahan penyidik dalam menangkap, menahan, menuntut ataupun mengadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, maka rehabilitasi lebih kepada memulihkan nama baik, harkat dan martabat serta memulihkan hak terdakwa. Disarankan perlu adanya sosialisasi mengenai ganti rugi, dan perlunya penyidik Polri bisa bersikap lebih professional dalam melakukan penegakan hukum. Kata Kunci: Bukti Permulaan, Penyidikan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Fungsi dan tujuan hukum acara pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat dari tindakan yang sewenang-wenang oleh aparat penegak 1

hukum. Pada sisi lain hukum memberikan kewenangan kepada negara dan pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat melanggar hak asasi warganya yang melanggar hukum 1, salah satu bentuk perlindungan adalah adanya pemberian ganti rugi dan rehabilitasi pada korban salah tangkap. Besaran ganti kerugian dan proses pemberian ganti kerugian kepada korban pada Tahun 1983 tentunya sudah tidak sesuai dengan kondisi perkembangan negara Indonesia saat ini. Sehingga perlu dilakukan penyesuaian besaran jumlah ganti kerugian supaya tidak menimbulkan rasa ketidakadilan bagi korban pemohon ganti kerugian. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dalam rangka memenuhi rasa 1 Sofyan Lubis, Hak Tersangka sebelum Pemeriksaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2001, Hlm. 64-65. keadilan, keseimbangan, manfaat, kepastian hukum, dan kemanusiaan bagi korban. Adapun beberapa substansi yang dilakukan perubahan antara lain besaran ganti kerugian dan proses pembayaran ganti kerugian kepada pemohon ganti kerugian. Ganti kerugian merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada korban yang merasa dirugikan karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan oleh penegak hukum. Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum harus berhatihati dalam melakukan penyidikan dalam rangka melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban salah 2

tangkap dan menahan orang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP? 2. Upaya hukum apa yang dilakukan korban salah tangkap dan menahan orang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP? II. PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap dan Menahan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP Rangkaian proses beracara dalam hukum pidana telah dimulai ketika ada suatu peristiwa hukum yang terjadi. Adapun rangkaian proses acara pidana setelah diketahui adanya peristiwa pidana adalah dimulainya proses penyelidikan sebagai suatu cara atau metode yang mendahului tindakan lain. Penyelidikan dapat dikatakan sebagai langkah awal proses lebih lanjut, yaitu proses penyidikan dan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan merupakan upaya paksa. Upaya paksa merupakan suatu tindakan yang bertujuan mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan siapa tersangkanya dan terkadang mengurangi kemerdekaan seseorang serta mengganggu kebebasan seseorang 2 disebut penangkapan. Tindakan penangkapan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik yang bersifat memaksa kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana 3. Pasal 1 Ayat 20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas maka penangkapan merupakan suatu bentuk tindakan pengekangan sementara waktu 2 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, Hlm. 22. 3 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, Hlm. 13 3

kebebasan tersangka untuk keperluan penyidikan atau penuntutan dengan tata cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Walaupun penangkapan adalah wewenang dari penyidik, bukan berarti penyidik dapat menangkap seseorang dengan sesuka hati 4 sehingga terjadi korban salah tangkap. Istilah salah tangkap tidak terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maupun peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara teoritis pengertian salah tangkap (error in persona) ini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli-ahli hukum. Secara harfiah arti dari salah tangkap (error in persona) adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya. Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan 5. Salah tangkap pada dasarnya hal yang dapat terjadi pada setiap orang dalam melakukan kesalahan terhadap pekerjaannya. Tetapi yang menjadi masalah dalam kesalahan tersebut adalah akibat yang terjadi atas perbuatan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi korban. Terjadinya salah tangkap merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ketentuan mengenai ganti kerugian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan 4 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2005, Hlm. 19 5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Cetakan 5, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hlm. 49 4

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dilakukan penyesuaian besaran jumlah ganti kerugian sesuai Pasal 9 bahwa korban salah tangkap/korban peradilan sesat sebagai berikut: 1. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat paling sedikit Rp. 500.000,- dan paling banyak Rp.100.000.000,-. 2. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan paling sedikit Rp. 25.000.000,- dan paling banyak Rp. 300.000.000,-. 3. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan mati paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 600.000.000,-. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015, Pemerintah juga menata jangka waktu pembayaran ganti kerugian. Pasal 11 menyebutkan bahwa pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh Menteri. Sehingga kepolisian harus hati-hati dan profesional dalam melakukan penangkapan supaya negara tidak rugi dalam mengeluarkan biaya ganti rugi terhadap korban, apabila terjadi salah tangkap. Ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 10 sebagai berikut: (1) Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan. (2) Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 5

Pasal 11 sebagai berikut: (1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (2) Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan. Dalam ketentuan salah tangkap disamping berlaku Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana, dalam prakteknya salah tangka termasuk perbuatan pelanggaran oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian. Seseorang yang menjadi korban oleh penyidik dapat menuntut ganti kerugian atas kesalahan penyidik tersebut,seperti dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 23, Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kasus salah tangkap adalah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sistematis dan termasuk jenis kejahatan amat serius. Karena itu, penanganannya harus bersifat extra ordinary. Para korban dapat pula menuntut para penegak hukum yang salah menghukum secara pidana dan perdata, misalnya karena penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Pasal 1365 Kitab Undangundang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum. 6

B. Upaya Hukum Korban Salah Tangkap dan Menahan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan KUHAP Secara normatif, upaya hukum korban salah tangkap agar hak -hak korban salah tangkap tidak teraniaya dan pihak yang melakukan kesalahanpun bisa mendapatkan ganjaran atas perbuatannya maka haruslah dilakukan upaya-upaya hukum untuk mendapatkan hak-hak tersebut. Untuk menyiasati tidak adanya aturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap korban salah tangkap secara tersendiri maka harus memanfaatkan aturanaturan upaya hukum yang telah diundangkan dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yaitu : 1. Upaya Hukum Biasa. Yang termasuk dalam upaya hukum biasa ini adalah Banding dan Kasasi. Banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa atau kuasa hukumnya karena ketidak puasan terhadap putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tingkat Pertama, yang mana aturannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 233 sampai dengan Pasal 243. Kasasi adalah upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa atau kuasa hukumnya apabila masih belum puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Tingkat Ke-2 yang mana upaya hukum ini diajukan terhadap Mahkamah Agung, yang pengaturannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yaitu dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 (b). 2. Upaya Hukum Luar Biasa. Yang termasuk dalam hal ini adalah mengenai masalah peninjauan kembali. Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan Pengadilan tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi, di mana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Menyadari kemungkinan adanya kesalahan atau kekeliruan tersebut, maka 7

undang- undang memberikan kesempatan dan sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan sesuai dengan tahapan hukum acara yang berlaku. Peninjauan Kembali bisa diajukan apabila diketemukan bukti-bukti baru (novum) yang menunjukkan bahwa si terdakwa atau terpidana tidak bersalah atau bisa dikatakan ada k salahan dalam putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap atau incracht, tetapi perlu dipahami bahwa upaya Peninjauan Kembali tidak menghambat atau menunda eksekusi terhadap putusan yang telah incracht tersebut. 3. Pra Peradilan Pengertian Pra Peradilan menurut Pasal 1 huruf 10 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undangundang ini, tentang : a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka ataukeluarganya atau pihak lain atau kuasanya; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan pengadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Secara limitatif umumnya mengenai pra peradilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 88 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan praperadilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam Pasal 95 dan 97 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal 88 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya 8

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kewenangan praperadilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata-mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan Pasal 95 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982, praperadilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian diatur dalam Bab XII, Bagian Kesatu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Perlu diperhatikan dalam Pasal 1 butir 22 menegaskan bahwa Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur undang-undang ini. Ketentuan pasal di atas dengan jelas diketahui bahwa ganti rugi adalah alat pemenuhan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kenikmatan berupa kebebasan karena adanya upaya paksa yang tidak berdasar hukum. Kiranya sangat tepat jika Negara bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, sebab tindakan upaya paksa tentu dilakukan oleh aparat hukum yang merupakan bagian dari negara. Sedangkan pihak -pihak yag berhak mengajukan upaya pra peradilan untuk memeriksa sah tidaknya upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi adalah : 1. Tersangka atau 9

2. Keluarga tersangka atau 3. Ahli waris tersangka atau 4. Kuasa hukum tersangka atau 5. Pihak ketiga yang berkepentingan. Kasus yang pernah terjadi di Kota Palu, merupakan kisah nyata tindak kekerasan aparat penegak hukum dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka pencurian, bahwa pada hari Rabu, tanggal 4 September sekitar Jam 01.30, bertempat di Kayumalue, telah dilakukan penangkapan terhadap Oktaf. Bahwa tindakan Penangkapan oleh Anggota Polsek Palu Utara ternyata telah dilakukan tanpa memperlihatkan Surat Tugas pada saat itu, dan tidak memberikan Surat Perintah Penangkapan dan / atau serta tembusan Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak diberikan kepada Keluarga, dan disertai dengan tindakan menodongkan Pistol ke kepala Oktaf. Karena itu tindakan tersebut telah melanggar ketentuan : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Pasal 18 ayat (1) yaitu: Tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Pasal 18 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Tembusan Surat Perintah Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap Nomor 12 Tahun 2009) Pasal 70 ayat (2) Perkap No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa Setiap 10

tindakan penangkapan wajib dilengkapi Surat Perintah Tugas dan Surat Perintah Penangkapan yang sah dan dikeluarkan oleh atasan penyidik yang berwenang. Pasal 72 Perkap Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia: Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar; b. Tersangka diperkirakan akan melarikan diri; c. Tersangka diperkirakan akan mengulangi perbuatannya; d. Tersangka diperkirakan akan menghilangkan barang bukti; e. Tersangka diperkirakan mempersulit penyidikan. Pasal 75 huruf a Perkap Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib memahami peraturan perundang-undangan, terutama mengenai kewenangan dan tata cara untuk melakukan penangkapan serta batasan-batasan kewenangan tersebut. Pasal 75 huruf c Perkap Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa dalam hal melaksanakan tindakan penangkapan, setiap petugas wajib menerapkan prosedur-prosedur yang harus dipatuhi untuk tindakan persiapan, pelaksanaan dan tindakan sesudah penangkapan. Berkaitan dengan hal tersebut, keluarga korban melakukan praperadilan terhadap penangkapan dengan alasan bahwa penangkapan tidak sah secara hukum karena melanggar ketentuan Kitab Undangundang Hukum Pidana. Bahwa tindakan Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan yang tidak sah secara hukum sehingga telah mengakibatkan kerugian bagi korban. Bahwa mengingat Oktaf adalah wiraswasta, dimana sumber 11

penghasilan untuk kehidupan seharihari bergantung pada penghasilan dari Tani, maka diberikan kompensasi dan/atau ganti rugi. Polsek Palu Selatan, memberikan perlindungan hukum terhadap korban berupa ganti rugi tetapi tidak melalui proses peradilan atau sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sehingga hak korban belum terjamin sepenuhnya dan sumber dana pemberian ganti rugi tidak diketahui secara jelas, karena berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu harus bersumber dari Kementrian Keuangan dan tidak adanya rehabilitasi terhadap korban karena tidak melalui proses peradilan. III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dan menahan orang berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yaitu pengembalian hak-hak salah tangkap yang berkaitan dengan besaran jumlah ganti sesuai dengan pekembangan masyarakat, prosedur, lamanya waktu mengajukan dan lamanya waktu pemberian ganti rugi, jumlah maksimal dan minimal ganti rugi, yang merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada korban yang merasa dirugikan karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan oleh penegak hukum. Tujuannya untuk memenuhi rasa keadilan, keseimbangan, manfaat, kepastian hukum, dan kemanusiaan bagi korban. Selain itu pemberian sanksi terhadap penyidik melalui pernyataan maaf secara terbatas dan terbuka, dan adanya sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap yaitu dengan melakukan 12

tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi sesaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika ganti rugi didasarkan pada nominal uang yang harus dibayarkan akibat kesalahan penyidik dalam menangkap, menahan, menuntut ataupun mengadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut acara yang diatur dalam undang-undang, maka rehabilitasi lebih kepada memulihkan nama baik, harkat dan martabat serta memulihkan hak terdakwa. B. Saran 1. Perlu adanya sosialisasi mengenai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, agar supaya kesalahankesalahan dalam proses penyidikan bisa diminimalisir dan agar supaya penyidik Polri bisa bersikap lebih profesional sesuai dengan kode etik dan juga Undang-undang Nomor. 2. Perlunya pihak korban melakukan proses penyelesaian ganti rugi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memberikan perlindungan hukum terhadap korban salah tangka, tidak melalui perdamaian atau penyelesaian secara kekeluargaan dan perlunya pemberian sanksi kepada penyidik yang melakukan salah tangkap dan menahan orang. 13

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku: A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2013 Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2005 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Cetakan 5, Sinar Grafika, Jakarta, 2002 Sofyan Lubis, Hak Tersangka sebelum Pemeriksaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2001 B. Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 290 14

BIODATA Nama : Muhammad Chahyadi Stambuk : D 101 10 308 Program Studi : S 1 Alamat Lengkap : Jl Durian No 62 Palu Barat No hp : 085757777618 15