I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging ayam merupakan bahan pangan yang baik yaitu sebagai sumber protein dan juga memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti air, energi, vitamin, dan mineral. Komposisi kimia daging ayam terdiri atas 75% air; 22,8% protein; 0,9% lemak dan 1,2% abu. Seiring dengan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus diimbangi dengan pemenuhan daging yang cukup dan berkualitas, namun bukan hanya dari daging ayam broiler saja yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan tetapi bisa juga dipenuhi dari daging ayam kampung. Saat ini terdapat berbagai jenis ayam lokal di Indonesia, diantaranya ayam Sentul yang berasal dari Ciamis. Ayam Sentul memiliki performan yang baik dalam tingkat produktifitas (daging dan telur). Ayam Sentul cocok sebagai pedaging karena dagingnya bersifat kompak dan padat dengan kulit yang putih, bahkan lebih baik dibandingkan dengan beberapa rumpun ayam lokal lain, sehingga ayam Sentul dapat dikatakan termasuk tipe dwiguna. Daging ayam bagian paha memiliki kandungan lemak lebih banyak dibandingkan daging dada karena daging paha tersusun oleh serabut otot merah dengan aktifitas gerak lebih aktif dibandingkan dengan daging dada karena otot yang aktif mempunyai struktur lebih padat dibandingkan otot yang pasif dan mempunyai jaringan ikat yang lebih tinggi.
Daging ayam yang akan dikonsumsi oleh manusia sebelumnya akan melewati perlakuan, salah satunya yaitu dengan cara perebusan. Sebelum dikonsumsi daging ayam harus dimasak terlebih dahulu. Tujuan dari perebusan pada daging adalah untuk mempertahankan kualitas kimia daging yang baik dan memberikan keempukan pada daging. Semakin lama perebusan, keempukan daging akan semakin tinggi. Disamping memberikan manfaat pada daging, perebusan daging juga dapat menimbulkan efek yang merugikan, karena kandungan zat-zat nutrisi akan menurun setelah perebusan akibat degradasi dan denaturasi protein pada daging yang direbus terlalu lama. Lama waktu perebusan dalam air panas beragam biasanya bervariasi dari 15 menit sampai dengan 24 jam. Selain waktu yang berbeda temperatur pemasakan juga bisa bervariasi yaitu dari 45 0 C sampai 90 0 C (Soeparno, 2011). Proses perebusan pada daging ayam Sentul dan hubungannya dengan kualitas kimianya belum banyak diteliti, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan berjudul kualitas zat kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) daging paha ayam Sentul akibat lama perebusan 1.2 Identifikasi masalah Berdasarkan uraian latar belakang dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Berapa besar kualitas zat kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) daging paha ayam Sentul akibat lama perebusan. 2. Perebusan berapa lama yang menghasilkan kualitas zat kimia ( kadar air, kadar protein dan kadar lemak) pada daging paha ayam Sentul yang terbaik.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kualitas zat kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) daging paha ayam Sentul akibat lama perebusan. 2. Mendapatkan kualitas zat kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) daging paha ayam Sentul akibat lama perebusan yang terbaik. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran bahan referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah baik di perguruan tinggi dan masyarakat umum, serta para produsen yang berkecimpung dalam pengolahan daging ayam Sentul. 1.5 Kerangka Pemikiran Daging adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Karkas ayam pedaging adalah bagian ayam pedaging setelah dipotong, dicabuti bulunya, dikeluarkan jeroan dan dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (SNI, 2009). Daging unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik karena mengandung asam amino esensial. Umumnya hampir semua unggas dapat digunakan sebagai sumber daging, karena pertimbangan efisiensi dan ekonomi, maka hanya jenis ayam tertentu saja yang dikembangkan secara intensif (Muchtadi, dkk., 2011). Salah satu jenis ayam yang mempunyai pertumbuhan daging relatif baik yang dapat digunakan sebagai sumber daging adalah ayam Sentul. Ayam Sentul
merupakan salah satu jenis ayam lokal yang ada di Indonesia, tepatnya di daerah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ayam Sentul digolongkan ke dalam ayam dwiguna, dimanfaatkan sebagai penghasil telur dan daging. Ayam Sentul mempunyai sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan ayam kampung lainnya, daging ayam Sentul pertumbuhan relatif cepat serta produksi telur yang tinggi. Ayam Sentul tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan bobot potong sekitar 0,8 1,0 kg yaitu diperlukan waktu hanya sekitar 75 hari saja. Daging ayam Sentul dikenal lebih padat jika dibandingkan dengan daging ayam broiler karena faktor lama pemeliharaan atau umur panen (Iskandar, 2007). Daging ayam bagian paha memiliki kadar lemak lebih tinggi dari pada bagian dada. Karena kandungan lemaknya yang cukup tinggi, paha memiliki rasa yang lebih gurih dari pada dada. Selain itu, daging paha ayam juga memiliki struktur yang berbeda dengan dada. Pada bagian paha, dagingnya terpisah-pisah karena jenis otot tendon. Di bagian ini juga terdapat banyak tulang muda dan serabut otot merah yang menyusun otot yang mempunyai aktifitas gerak lebih aktif. Otot yang aktif mempunyai struktur lebih padat dibanding otot yang pasif (Soeparno, 1990) Daging ayam yang diolah menjadi suatu produk agar dapat dikonsumsi oleh manusia sebelumnya akan melewati perlakuan, salah satunya yaitu dengan cara perebusan. Semakin lama perebusan keempukan daging semakin tinggi, tetapi perebusan yang terlalu lama pada daging akan mengakibatkan degradasi dan denaturasi protein pada daging yang direbus. Perebusan dapat menurunkan kualitas protein jaringan ikat daging karena denaturasi, sehingga dapat meningkatkan jumlah cairan yang keluar dari daging dengan meningkatnya kelarutan protein daging (Wattanachant, dkk., 2005). Pemasakan juga mempengaruhi kandungan lemak daging. Kandungan lemak meningkat dengan
bertambahnya waktu pemasakan dan diikuti oleh penurunan kandungan protein terlarut dan kandungan air pada daging (Nuhriawangsa, 2004). Hasil Penelitian sebelumnya mengenai perebusan daging dada dan paha ayam ras petelur afkir pada suhu 70-75 o C memberikan kandungan zat kimia (kadar air, kadar protein dan kadar lemak) dengan kualitas terbaik pada daging dada selama 30 menit dan pada daging paha selama 45 menit (Prasetyo, 2012). Penelitian lain tentang perubahan karakteristik fisik akibat perbedaan umur, macam otot, waktu dan temperatur perebusan pada daging ayam kampung dengan perebusan pada daging ayam kampung umur 3 bulan dan 6 bulan dengan suhu 80 dan 90 0 C, memberikan kualitas fisik terbaik pada perebusan pada suhu 90 0 C selama 30 menit (Winarso, 2003). Penelitian lain tentang Efek dari titik akhir suhu memasak terhadap atribut kualitas daging unggas lokal Nigeria dengan suhu 55 C, 60 C, 65 C, 70 C, 75 C, 80 C dan 85 C menghasilkan kualitas perebusan terbaik pada suhu 80 0 C (Josep, 1997). Penelitian selanjutnya tentang pengaruh metode pemasakan terhadap komposisi kimia daging itik jantan hasil budidaya secara intensif dengan metode pemasakan pada sampel daging itik di goreng dengan suhu internal daging 150ºC selama 6 menit, oven suhu internal daging 90ºC selama 45 menit dan perebusan suhu internal daging 80ºC selama 30 menit. Metode pemasakan daging itik dengan cara di goreng menghasilkan komposisi kimia terbaik dengan kadar air 54,95% dan kadar protein 23,63% serta kadar lemak terbaik pada metode pemasakan di rebus yaitu 12,78% (Nurmala, 2014). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis bahwa perebusan daging ayam Sentul bagian paha selama 30 menit menghasilkan daging dengan kualitas zat kimia yang terbaik.
1.6 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2016 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Produk Peternakan (TPPP) Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor Sumedang. Analisi kimia dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.