RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Motor Bakar Diesel

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MOTOR BAKAR Pengertian Umum

BAB II LANDASAN TEORI

III. METODE PENELITIAN

KAJIAN PROSES PEMURNIAN MINYAK NYAMPLUNG SEBAGAI BAHAN BAKAR NABATI SKRIPSI SYELLY FATHIYAH F

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK KELAPA UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG. Oleh: MIFTAHUDDIN F

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Uji Eksperimental Pertamina DEX dan Pertamina DEX + Zat Aditif pada Engine Diesel Putaran Konstan KAMA KM178FS

IV. PENDEKATAN RANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KINERJA DAYA POROS MOTOR DIESEL BERBAHAN BAKAR MINYAK KELAPA MENGGUNAKAN WATER BRAKE DYNAMOMETER YANG SUDAH DIMODIFIKASI

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN BAKAR SOLAR, BIOSOLAR DAN PERTAMINA DEX TERHADAP PRESTASI MOTOR DIESEL SILINDER TUNGGAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TEORI DASAR. kelompokaan menjadi dua jenis pembakaran yaitu pembakaran dalam (Internal

PEMURNIAN MINYAK NYAMPLUNG DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN BAKAR NABATI REFINING OF CALOPHYLLUM OIL AND ITS APPLICATION AS BIOFUEL ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PERENCANAAN MOTOR BAKAR DIESEL PENGGERAK POMPA

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TEORI DASAR. Mesin diesel pertama kali ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang berkebangsaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

METODOLOGI PENELITIAN

RANCANGAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (SATUAN ACUAN PERKULIAHAN) : Teknologi Bahan Bakar dan Pelumasan Kode MK/SKS : TM 333/2

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Motor Bensin 4 langkah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN LITERATUR

A. MOTOR BAKAR DIESEL

RANCANG BANGUN DYNAMOMETER TIPE REM CAKERAM SKRIPSI AHMAD SYARIFUDDIN HASIBUAN F

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENAMBAHAN ADITIF ABD 01 SOLAR KE DALAM MINYAK SOLAR TERHADAP KINERJA MESIN DIESEL

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Denny Haryadhi N Motor Bakar / Tugas 2. Karakteristik Motor 2 Langkah dan 4 Langkah, Motor Wankle, serta Siklus Otto dan Diesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PELUANG DAN KENDALA PENGGUNAAN BAHAN BAKAR NABATI PADA MESIN-MESIN PERTANIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

II. TINJAUAN PUSTAKA II. 1. TANAMAN NYAMPLUNG

MOTOR BAKAR TORAK. 3. Langkah Usaha/kerja (power stroke)

Rencana Pembelajaran Kegiatan Mingguan (RPKPM).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

ANALISIS VARIASI TEKANAN PADA INJEKTOR TERHADAP PERFORMANCE (TORSI DAN DAYA ) PADA MOTOR DIESEL

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

Sumber: Susanto, Lampiran 1 General arrangement Kapal PSP Tangki bahan bakar 10. Rumah ABK dan ruang kemudi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Suhu Kerja Mesin Antara Pemakaian Water Pump Dan Tanpa Water Pump Pada Mesin Diesel Satu Silinder Merk Dong Feng S195

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PORTING SALURAN INTAKE DAN EXHAUST TERHADAP KINERJA MOTOR 4 LANGKAH 200 cc BERBAHAN BAKAR PREMIUM DAN PERTAMAX

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan oli bekas untuk mengetahui emisi gas buang pada mesin diesel, hasil

III. METODA PENELITIAN

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

BAB III METODE PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN PERHITUNGAN SERTA ANALISA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI. UJI PERFORMANSI TEKNIS PENGGUNAAN MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) SEBAGAI BAHAN BAKAR PENGGANTI MINYAK TANAH PADA KOMPOR TEKAN

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PENGHEMAT BAHAN BAKAR BERBASIS ELEKTROMAGNETIK TERHADAP UNJUK KERJA MESIN DIESEL ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (P3HH) TELAH MELAKSANALKAN PENELITIAN PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

PENGOLAHAN AIR SUNGAI UNTUK BOILER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MANFAAT DARI BEBERAPA JENIS BLEACHING EARTH TERHADAP WARNA CPO (CRUDE PALM OIL)

Materi. Motor Bakar Turbin Uap Turbin Gas Generator Uap/Gas Siklus Termodinamika

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI MOTOR DIESEL PERAWATAN MESIN DIESEL 1 SILINDER

Transkripsi:

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG SKRIPSI NURWAN WAHYUDI F14062249 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 1

DESIGN OF HEAT EXCHANGER FUEL TAMANU OIL FOR ENGINE DIESEL WITH EMPLOYING EXHAUST HEAT Desrial and Nurwan Wahyudi Department of Machine Engineering and Biosystem, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. e-mail: nurwan_ae43@yahoo.co.id ABSTRACT Tamanu oil is one of biosolar substituter as diesel engine fuel. High viscosity of tamanu oil becomes main obstacle in direct using of tamanu oil as diesel engine fuel. Heater element is made to decrease tamanu oil viscosity. Heater element is benefitted high temperature of diesel engine exhaust gas as reheating source. Optimum temperature which is needed to reduce tamanu oil viscosity of 3-5 cst is 110 Celcius degree (biosolar viscosity of 30 o C is 5-7 cst). IV design of element heater has optimum tamanu oil reheating. There are four kind of tamanu oil that has different treatment. degumming neutralization (N4) tamanu oil has best quality with the lowest viscosity of 30cSt in 30 o C. Tamanu oil (N4) usage as fuel occur reduction power of 12.26 %, torsion of 9.59 %, power maximum of diesel engine is 5.39 kw and maximum torsion of 123.74 Nm. Maximum power of diesel engine using biosolar is 5.99 kw and maximum torsion of 144.53 Nm. But then, tamanu oil can replace biosolar (fossil energy), without made as biodiesel first and mixed with biosolar. Keyword: tamanu oil, heating elements, viscosity, temperature, power and torque 2

NURWAN WAHYUDI. F14062249. Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung Untuk Motor Bakar Diesel Dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang. Di bawah bimbingan Desrial. 2010. RINGKASAN Motor bakar merupakan salah satu sumber tenaga penggerak pada bidang pertanian. Penggunaan motor bakar telah mencakup hampir seluruh kegiatan pertanian, yang menjadikan kegiatan pertanian bisa dilakukan lebih cepat dibanding menggunakan tenaga manual (manusia atau hewan). Motor bakar menjadi salah satu hal penting dalam peningkatan mekanisasi pertanian. Salah satu jenis motor bakar yang umum digunakan adalah motor bakar Diesel. Meningkatnya kebutuhan akan penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar saat ini menjadi masalah dikarenakan ketersediaannya yang semakin menipis. Seperti yang diketahui bahwa bahan bakar utama dari motor diesel adalah solar/biosolar yang merupakan energi fosil. Sehingga perlu dicari bahan bakar alternatif pengganti solar/biosolar sebagai bahan bakar motor diesel. Minyak nyamplung merupakan salah satu energi alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar/biosolar selain minyak jarak, minyak kemiri, dan lain-lain. Yang menjadi kendala penggunaan minyak nyamplung secara langsung pada motor diesel adalah kekentalan/viskositas dari minyak nyamplung yang sangat tinggi yaitu mencapai 63 cst. Sehingga dalam penggunaannya, viskositas minyak nyamplung harus diturunkan terlebih dahulu dengan dilakukan pemurnian dan pemanasan. Setelah dilakukan pemurnian (degumming, netralisasi dan degumming+netralisasi) viskositas minyak nyamplung turun dari 63 cst menjadi 56 cst (degumming), 43 cst (netralisasi) dan 30 cst (degumming +netralisasi). Akan tetapi nilai viskositas dari minyak nyamplung hasil pemurnian masih tergolong tinggi, karena viskositas dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama motor diesel hanya 5-7 cst. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemanasan agar viskositas minyak nyamplung turun dan dapat mendekati nilai viskositas biosolar. Penelitian ini bertujuan merancang elemen pemanas bahan bakar minyak nyamplung untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung sehingga dapat mendekati nilai viskositas solar/biosolar, melakukan uji fungsional dari elemen pemanas hasil perancangan, mempelajari karakteristik penyemprotan bahan bakar minyak nyamplung, dan melakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban berbahan bakar minyak nyamplung. Setelah dilakukan pengukuran, suhu pemanasan yang diperlukan untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung menjadi 5-7 cst adalah sebesar 110 o C. Setelah diketahui pemanasan optimum dari minyak nyamplung maka dibuat elemen pemanas yang dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu 110 o C dengan memanfaatkan panas gas buang dari motor diesel sebagai sumber dari pemanasan. Pada penelitian ini dibuat empat rancangan elemen pemanas yang memiliki perbedaan dimensi, dan panjang pipa tembaga. Setelah dilakukan pengujian, rancangan IV merupakan rancangan yang dapat menghasilkan suhu pemanasan minyak yang optimum (110 o C). Pengujian dilakukan pada semua jenis perlakuan minyak nyamplung (N1, N2, N3, dan N4) dengan menggunakan rancangan IV. Suhu hasil pemanasan N1 pada rpm 1700 adalah sebesar 87.0 o C, N2 sebesar 86.4 o C, N3 sebesar 83.9 o C, dan N4 sebesar 91.6 o C. Pada rpm 2000, suhu hasil pemanasan minyak N1 sebesar 107.4 o C, N2 sebesar 98.6 o C, N3 sebesar 100.8 o C dan N4 sebesar 108.5 o C. semakin tinggi rpm mesin maka pemanasan minyak yang dihasilkan akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Uji karakteristik penyemprotan dilakukan untuk mengetahui sudut penyemprotan bahan bakar. Penyemprotan dilakukan pada jarak 30 cm. Setelah dilakukan pengujian karakteristik penyemprotan 3

minyak nyamplung (N1, N2, N3, dan N4) dan biosolar, menunjukkan bahwa diameter dan sudut semprot minyak nyamplung setelah pemanasan pada suhu 110 o C memiliki diameter dan sudut semprot yang lebih besar dibandingkan sebelum dipanaskan dan mendekati sudut semprot dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama dari motor diesel. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh minyak nyamplung terhadap motor diesel maka dilakukan pengujian daya poros motor diesel tanpa beban. Setelah dilakukan pengukuran, menunjukkan bahwa motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung (N4) sebagai bahan bakar mengalami penurunan daya poros sebesar 12.26% dan penurunan torsi sebesar 9.59% dibanding daya motor diesel pada saat menggunakan biosolar. Daya maksimum yang dihasilkan ketika menggunakan biosolar adalah 5.99 kw dan torsi maksimum yang dihasilkan adalah 144.53 Nm. Sedangkan daya maksimum yang dihasilkan ketika motor diesel menggunakan minyak nyamplung (N4) sebagai bahan bakar adalah 5.39 kw dan torsi maksimum yang dihasilkan adalah sebesar 123.74 Nm. Setelah dilakukan pengujian, antara lain pengujian suhu elemen pemanas, karakteristik semprotan bahan bakar, dan daya poros dari motor diesel, maka dapat disimpulkan bahwa minyak nyamplung dapat menjadi energi alternatif pengganti solar/biosolar. Selain itu minyak nyamplung dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar pengganti solar/biosolar pada motor diesel tanpa harus dibuat biodiesel terlebih dahulu dan tidak perlu dilakukan pencampuran dengan solar/biosolar. 4

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG SKRIPSI Sebagai salah sau syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh NURWAN WAHYUDI F14062249 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 5

Judul Skripsi Nama NIM : Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung Untuk Motor Bakar Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang : Nurwan Wahyudi : F14062249 Menyetujui, Pembimbing Akademik, (Dr.Ir.Desrial, M.Eng) NIP 19661201 1991031 004 Mengetahui, Ketua Departemen, (Dr.Ir.Desrial, M.Eng) NIP 19661201 1991031 004 Tanggal lulus : 6

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung Untuk Motor Bakar Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2010 Yang membuat pernyataan Nurwan Wahyudi F14062249 7

Hak cipta milik Nurwan Wahyudi, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya. 8

BIODATA PENULIS Nurwan Wahyudi. Lahir di Karawang, 12 Januari 1989 dari ayah Enjang Suparman dan ibu Ida Ningsih, sebagai putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri I Cikampek, Karawang dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa TPB IPB 2006, Himpunan Profesi Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) 2007, Organisasi Mahasiswa Daerah Karawang 2008, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Pertanian 2008, dan Pengurus AEDC (Agricultural Engineering Design Club) 2009. Selain kegiatan organisasi, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum antara lain asisten praktikum Motor dan Tenaga Pertanian pada tahun 2008-2009, Ilmu Ukur Tanah pada tahun 2009-2010, Gambar Teknik pada tahun 2009-2010, dan Teknik Mesin Budidaya Pertanian pada tahun 2009-2010. Pada tahun 2006 dan 2008 penulis mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi dan lolos dalam pendanaan Dikti. Pada tahun 2007 penulis mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat HIMATETA di desa Tenjolaya Tapos bogor mengenai Pengawetan Ikan Tawar menggunakan Asap Cair, dan di desa Ciherang Bogor mengenai Penerapan Instalasi Mikrohidro untuk Industri Kecil. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2008 di Perkebunan Tebu Rajawali Nusantara Indonesia Unit II, PG Subang, Jawa Barat dengan judul Mempelajari Penggunaan Alat Dan Mesin Pertanian Untuk Proses Budidaya Dan Pengolahan Tebu Menjadi Gula. Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung Untuk Motor Bakar Diesel Dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang. 9

KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung untuk Motor Bakar Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang di laksanakan di bengkel Teknik Mesin Budidaya Pertanian Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakutas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Mei sampai September 2010. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua Enjang Suparman dan Ida Ningsih serta keluarga yang telah memberikan semangat serta doa yang tiada henti untuk anaknya, hingga detik ini. Terimakasih atas semua pengorbanan yang telah diberikan. 2. Dr. Ir. Desrial, M.Eng selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis. 3. Dosen-dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB yang telah memberikan ilmunya selama perkuliahan. 4. Pak Wana, Pak Abbas, Pak Juli dan Pak Parma atas bantuan dan masukan yang telah diberikan selama proses penelitian. 5. Bapak Samino serta keluarga yang telah memberikan pengetahuan dan menyediakan minyak nyamplung selama di Cilacap. 6. Irma nopitasari yang telah memberikan semangat dan membatu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini baik secara moril, pikiran, dan tenaga. 7. Suhartono, Syelly F, Asenk, Aprileni, Budi apriyanto, Sri Hartini, Iif, Putra prahana yang sudah terlibat langsung dalam penelitian saya. 8. Teman-teman Teknik Pertanian IPB Angkatan 43 atas kebersamaannya selama ini. 9. Seluruh staf departemen Teknik Pertanian IPB. 10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik, saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan oleh penulis, agar ke depannya dapat menjadi lebih baik lagi. Sebagai penutup, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, November 2010 Penulis vi

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I. PENDAHULUAN... 1 1.1 LATAR BELAKANG... 1 1.2 TUJUAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1 MOTOR BAKAR DIESEL... 3 2.2 TANAMAN NYAMPLUNG... 7 2.3 MANFAAT NYAMPLUNG... 9 2.4 MINYAK NYAMPLUNG... 9 2.6 PEMURNIAN MINYAK... 10 2.5 VISKOSITAS... 13 2.7 PINDAH PANAS (HEAT TRANSFER)... 13 2.8 ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER)... 15 2.9 DESAIN (PERANCANGAN)... 17 III. METODE PENELITIAN... 18 3.1 WAKTU DAN TEMPAT... 18 3.2 ALAT DAN BAHAN... 18 3.3 PROSEDUR PENELITIAN... 19 IV. PENDEKATAN RANCANGAN... 23 4.1 KRITERIA PERANCANGAN... 23 4.2 RANCANGAN FUNGSIONAL... 23 4.3 RANCANGAN STRUKTURAL... 23 V. ANALISIS TEKNIK PERANCANGAN ELEMEN PEMANAS... 27 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 29 6.1 PENGUKURAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG... 29 6.2 HASIL RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS (HEAT EXCHANGER)... 30 6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS... 33 VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 45 7.1 KESIMPULAN... 45 7.2 SARAN... 46 DAFTAR PUSTAKA... 47 LAMPIRAN... 49 vii

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Neraca Panas Motor Bakar Diesel... 5 Tabel 2. Karakteristik bahan bakar Diesel... 5 Tabel 3. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia... 8 Tabel 4. Kandungan biji nyamplung... 9 Tabel 5. Karakteristik minyak nyamplung... 10 Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan... 35 Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV... 38 Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung... 44 viii

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Siklus motor Diesel empat langkah (Miftahuddin, 2009)... 5 Gambar 2. Tanaman nyamplung... 7 Gambar 3. Buah (A) dan biji (B) nyamplung... 8 Gambar 4. Reaksi netralisasi asam lemak bebas... 13 Gambar 5. Diagram alir proses perancangan (Harsokoesoemo, 1999)... 17 Gambar 6. Motor diesel Yanmar TF-85... 18 Gambar 7. Flowchat prosedur penelitian.... 19 Gambar 8. Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar (Miftahuddin, 2009)... 22 Gambar 9. Saluran masuk gas buang... 24 Gambar 10. Muffler... 25 Gambar 11. Pipa tembaga elemen pemanas... 25 Gambar 12. Tabung knalpot... 26 Gambar 13. Saluran keluar gas buang... 26 Gambar 14. Skema aliran panas pada elemen pemanas (Miftahuddin, 2009)... 27 Gambar 15. Grafik pengukuran viskositas minyak (a) N1, (b) N2, (c) N3, (d) N4... 29 Gambar 16. Knalpot rancangan I... 31 Gambar 17. Knalpot rancangan II... 32 Gambar 18. Knalpot rancangan III... 32 Gambar 19. Knalpot rancangan IV... 33 Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel... 34 Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 (n 1 ) pada semua rancangan... 35 Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 (n 2 ) pada semua rancangan.. 36 Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 )... 37 Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 1700 menggunakan R IV... 38 Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV... 39 Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung Crude (kasar) tanpa pemanasan... 39 Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung Crude (kasar) dengan pemanasan 110 o C menggunakan R IV... 40 Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar... 40 Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar... 41 Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar... 42 Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I... 43 Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II... 43 Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III... 43 Gambar 34. Motor diesel Yanmar TF-85... 50 ix

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Spesifikasi motor bakar Diesel... 50 Lampiran 2. Analisis pindah panas pada rancangan 1... 51 Lampiran 3. Analisis pindah panas pada rancangan 2... 52 Lampiran 4. Analisis pindah panas pada rancangan 3... 53 Lampiran 5. Analisis pindah panas pada rancangan 4... 54 Lampiran 6. Data hasil uji karakteristik penyemprotan... 55 Lampiran 7. Foto hasil uji karakteristik penyemprotan... 57 Lampiran 8. Hasil Pengukuran Suhu Elemen Pemanas... 62 Lampiran 9. Data Kalibrasi Termokopel... 64 Lampiran 10. Grafik Data Kalibrasi Termokopel... 65 Lampiran 11. Grafik Prestasi Biosolar... 68 Lampiran 12. Data hasil pengukuran daya minyak nyamplung... 71 Lampiran 13. Harga pembuatan elemen pemanas... 73 Lampiran 14. Gambar Teknik Rancangan I... 74 Lampiran 15. Gambar Teknik Rancangan II... 76 Lampiran 16. Gambar Teknik Rancangan III... 78 Lampiran 17 Gambar Teknik Rancangan IV... 80 x

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Motor bakar merupakan salah satu sumber tenaga penggerak pada bidang pertanian. Penggunaan motor bakar telah mencakup hampir seluruh kegiatan pertanian, yang menjadikan kegiatan pertanian bisa dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan tenaga manual (manusia atau hewan). Motor bakar menjadi salah satu hal penting dalam peningkatan mekanisasi pertanian. Salah satu jenis motor bakar yang umum digunakan adalah motor bakar diesel. Prinsip dari motor bakar diesel adalah penggunaan panas yang dihasilkan oleh kompresi untuk melakukan penyalaan bahan bakar yang disemprotkan ke dalam ruang pembakaran (silinder). Sampai saat ini motor bakar diesel menggunakan bahan bakar fosil, yaitu solar. Akan tetapi dengan semakin menipisnya persediaan bahan bakar fosil yang ada di bumi, ketersediaan bahan bakar fosil khususnya solar juga semakin menipis. Dengan demikian perlu dicari alternatif bahan bakar pengganti solar untuk motor bakar diesel yang dapat menggantikan bahan bakar diesel (solar). Bahan bakar alternatif yang sudah mulai ada saat ini yaitu bersumber dari minyak nabati (biofuel). Di Indonesia terdapat 50 jenis tanaman yang dapat menghasilkan minyak nabati baik untuk keperluan pangan maupun non pangan, namun hanya beberapa minyak nabati yang dapat dijadikan bahan bakar. Jenis tanaman yang bisa digunakan sebagai bahan bakar sebagian besar merupakan bahan pangan sehingga belum bisa 100% digunakan sebagai bahan bakar alternatif seperti kelapa sawit, kelapa, kacang-kacangan, jagung, tebu, dan lain-lain. Akan tetapi ada beberapa jenis tanaman yang bukan merupakan bahan non pangan antara lain buah jarak dan biji nyamplung. Buah jarak sudah mulai dikembangkan, sedangkan untuk biji nyamplung sebagian besar masyarakat belum mengetahui potensi penggunaannya sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar. Minyak nyamplung yang berasal dari tanaman nyamplung yang dikenal dengan nama bintangur atau dalam bahasa latin disebut Calophyllum inophyllum. Tanaman ini merupakan tumbuhan liar yang banyak tumbuh di Indonesia sehingga sangat mudah didapatkan. Bagian kayu dari tanaman ini umumnya digunakan untuk kebutuhan konstruksi, furniture, kapal, dan lain-lain. Sedangkan, getah dari kulit kayu tanaman nyamplung dapat dijadikan obat. Selain itu, biji buah nyamplung yang sering dianggap tidak berguna pun ternyata dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar alternatif minyak tanah. Tanaman nyamplung memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua.. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% dan mempunyai ketahanan bakar enam kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah (Heyne, 1987). Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu bahan baku alternatif biodiesel yang mempunyai potensi cukup besar, produksi biji nyamplung per tahun mencapai 10-20 ton/ha (tergantung jarak tanam yang digunakan). Kandungan minyak relatif tinggi yaitu antara 40-73%, dibandingkan dengan sawit 46-56%, jarak pagar 40-60%, saga hutan 14-28%, kesumba 30-40% dan kelor 29-40%. Satu liter minyak nyamplung dihasilkan dari 2.5 kg biji nyamplung, sedangkan jarak membutuhkan 4 kg untuk menghasilkan satu liter minyak. Bahkan minyak nyamplung sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar (biodiesel) kendaraan umum atau pribadi (otomotif) yang merupakan motor bakar diesel. Ini memberikan peluang untuk mengaplikasikan penggunaan minyak nyamplung (minyak nabati) dalam bidang pertanian khususnya sebagai bahan bakar traktor yang menggunakan motor bakar diesel dan selama ini masih menggunakan bahan bakar solar. Minyak nyamplung yang akan diaplikasikan bukan dalam bentuk biodiesel akan tetapi dalam bentuk minyak mentah yang telah diberi perlakuan berbeda yaitu dengan 1

cara didegumming, netralisasi, dan degumming+netralisasi, serta minyak nyamplung tanpa perlakuan. Karena jika minyak nyamplung yang telah mengalami proses berikutnya (dibuat biodiesel) akan memiliki harga yang lebih mahal. Sehingga dibutuhkan teknologi yang tepat untuk mengaplikasikan penggunaan minyak nyamplung dalam bidang pertanian khususnya traktor. Salah satunya yaitu dengan memanfaatkan energi panas yang terbuang untuk memanaskan elemen pemanas bahan bakar minyak nyamplung untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung sehingga mendekati nilai viskositas solar/ biosolar. Hasil riset ini diharapkan dapat membantu para petani di daerah terpencil/pesisir pantai yang memiliki potensi tanaman nyamplung sehingga dapat memanfaatkan minyak nyamplung sebagai sumber energi alternatif untuk bahan bakar motor diesel yang digunakan sebagai sumber tenaga kapal nelayan ataupun untuk para petani daerah pesisir pantai yang menggunakan traktor roda dua sebagai sumber tenaga dalam proses mekanisasi pertanian. 1.2 TUJUAN Tujuan dari penelitian adalah merancang elemen pemanas bahan bakar minyak nyamplung, melakukan uji fungsional dari elemen pemanas hasil perancangan (pengukuran suhu minyak hasil pemanasan elemen pemanas dan uji karateristik semprotan bahan bakar), dan melakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban dengan menggunakan bahan bakar minyak nyamplung. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MOTOR BAKAR DIESEL 2.1.1 Pengertian Umum Motor bakar adalah suatu mesin kalor yang mengubah energi termal menjadi energi mekanik. Dengan kata lain, motor bakar adalah alat mekanis yang menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik (Arismunandar, 2005). Ditinjau dari tempat terjadinya proses pembakaran, motor bakar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu motor bakar eksternal dan motor bakar internal. Motor bakar eksternal adalah motor bakar yang proses pembakarannya berlangsung di luar silinder seperti motor uap, sedangkan motor bakar internal proses pembakarannya terjadi di dalam silinder seperti motor bakar bensin (Otto) dan motor bakar diesel (Arismunandar, 2005). 2.1.2 Bagian Utama Dari Konstruksi Motor Bakar Diesel a. Unit Tenaga Unit tenaga terdiri dari blok silinder, kepala silinder, piston, batang penghubung, poros engkol, dan roda gaya. Blok silinder adalah bagian dasar yang menyokong unit tenaga. Blok silinder dilengkapi dengan kepala silinder yang sekaligus menjadi ruang pembakaran dan tempat bertumpunya sistem klep. Di dalam blok silinder terdapat piston yang merubah tenaga panas hasil pembakaran menjadi tenaga mekanis dengan bergerak maju-mundur (transalasi) sepanjang silinder (Jones, 1963). Piston dilengkapi dengan cincin piston yang berfungsi untuk menahan kompresi dan rembesan tenaga hasil pembakaran, melumasi dinding silinder, mengurangi gesekan antara piston dengan dinding silinder, mencegah masuknya minyak pelumas ke dalam ruang pembakaran, dan merambatkan panas dari piston ke dinding silinder (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Batang penghubung berfungsi untuk menghubungkan piston dengan poros engkol. Pada ujung batang penghubung terdapat bantalan pena piston, sedangkan pada bagian pangkalnya terdiri dari dua bagian yang diberi bantalan untuk sambungan ke poros engkol (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Poros engkol berfungsi untuk mengubah gerak translasi dari piston menjadi gerak rotasi (putaran). Dalam motor bakar bersilinder banyak, bentuk poros engkol disesuaikan dengan susunan penyalaan silinder untuk memperkecil fluktuasi momen putar poros. Pada ujung poros engkol dipasang roda gaya yang berfungsi untuk meratakan momen putar yang terjadi pada poros agar kecepatan poros engkol menjadi stabil (Arismunandar dan Tsuda, 2008). b. Sistem Penyaluran Bahan Bakar Komponen-komponen yang menyusun sistem penyaluran bahan bakar pada motor bakar diesel antara lain tangki bahan bakar, saringan, selang, pompa, pipa penyalur, dan injektor. Bahan bakar dari tangki disalurkan ke pompa melalui selang setelah melewati saringan, kemudian bahan bakar dipompakan melalui pipa penyalur menuju ke injektor. Dari injektor, bahan bakar yang sudah bertekanan disemprotkan ke dalam ruang pembakaran. 3

c. Sistem Penyalaan Bahan Bakar Penyalaan bahan bakar pada motor bakar diesel berlangsung secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh hasil kompresi udara di dalam ruang pembakaran. Penyalaan bahan bakar terjadi sedikit demi sedikit sampai bahan bakar yang disemprotkan habis terbakar (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Ruang pembakaran merupakan tempat pencampuran bahan bakar dengan udara agar dapat terbakar dengan baik. Beberapa jenis ruang pembakaran pada motor bakar diesel antara lain ruang pembakaran terbuka, ruang pembakaran kamar muka, ruang bakar turbulen, dan ruang bakar pembantu. Motor bakar diesel dengan ruang pembakaran terbuka disebut juga dengan motor bakar diesel penyemprotan langsung, sedangkan untuk yang lainnya disebut motor bakar diesel penyemprotan tidak langsung (Arismunandar dan Tsuda, 2008). 2.1.3 Prinsip Kerja Motor Bakar Diesel Pembakaran pada motor bakar diesel terjadi karena bahan bakar yang diinjeksikan ke dalam silinder terbakar dengan sendirinya akibat suhu udara kompresi dalam ruang bakar. Berdasarkan jumlah langkah kerjanya, motor bakar diesel merupakan motor bakar 4 langkah. Motor bakar diesel 4 langkah adalah motor bakar yang melengkapi satu siklusnya dalam 4 langkah atau dua kali putaran poros engkol. Langkah pertama, piston bergerak dari titk mati atas (TMA) ke titik mati bawah (TMB) yang disebut dengan langkah pemasukan (intake stroke). Pada langkah ini katup pemasukan terbuka dan udara masuk ke dalam silinder, sedangkan katup pembuangan dalam keadaan tertutup. Langkah kedua piston bergerak dari TMB ke TMA yang disebut dengan langkah kompresi (compression stroke). Pada langkah ini posisi katup pemasukan dan pembuangan dalam keadaan tertutup. Pada akhir langkah kompresi, tekanan dan suhu di dalam silinder menjadi sangat tinggi yaitu sekitar 30 kg/cm 2 dan 550 C. Sesaat sebelum piston mencapai TMA, bahan bakar disemprotkan ke dalam silinder dan penyalaan bahan bakar terjadi secara spontan karena suhu hasil kompresi udara melebihi suhu yang dibutuhkan untuk penyalaan. Langkah ketiga adalah langkah tenaga (power stroke). Langkah ini terjadi saat piston bergerak dari TMA ke TMB karena tenaga panas yang dihasilkan dari pembakaran. Pada langkah ini katup pemasukan dan pembuangan dalam posisi tertutup. Langkah yang keempat adalah langkah pembuangan (exhaust stroke). Pada langkah ini piston bergerak dari TMB ke TMA dan katup pengeluaran dalam keadaan terbuka sementara katup pemasukan tertutup. Piston bergerak dari TMB mendorong gas hasil pembakaran keluar melalui katup dan saluran pembuangan. Suhu gas buang hasil pembakaran ini dapat mencapai 750-800 F (398.9-426.7 o C) yang diukur pada pangkal saluran pengeluaran (Arismunandar dan Tsuda, 2008). Siklus motor Diesel empat langkah dapat dilihat pada Gambar 1. 4

Gambar 1. Siklus motor Diesel empat langkah (Miftahuddin, 2009) 2.1.4 Energi Panas Gas Buang Motor Bakar Diesel Panas yang dihasilkan pada pembakaran bahan bakar tidak seluruhnya dapat digunakan secara efektif. Hanya sekitar sepertiga dari hasil pembakaran yang dimanfaatkan untuk melakukan kerja, sedangkan sisanya terbuang dalam sistem pendinginan dan terbawa oleh gas buang. Keseimbangan ini disebut juga neraca panas seperti yang ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Neraca Panas Motor Bakar Diesel Uraian Neraca Panas (%) Kerja poros (BHP) 30-45 Pendinginan 36-15 Gas buang dan radiasi 34-40 Sumber : Arismunandar dan Tsuda (2008) 2.1.5 Bahan Bakar Diesel Minyak bumi terdiri dari 84-85% karbon, 12-14% hidrogen, dan sisanya adalah unsurunsur seperti nitrogen, oksigen, dan sulphur. Menurut Khovhakh (1976), komposisi bahan bakar Diesel menurut massanya terdiri dari 87% karbon, 12.6% hydrogen, dan 0.4% oksigen. Karakteristik bahan bakar diesel dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik bahan bakar Diesel Fuel Diesel Oil Coconut Oil Palm Oil Spesific energi (MJ/Kg) 45.3 42 39.6 Viscosity @ 40 o C (cst) 4 20 37 Centane number 45-55 60 50 Solidification point ( o C) -9 24 35 Iodine Value - 10 54 Saponification value - 268 199 Sumber : Bradley (2008) 5

Bahan bakar Diesel yang sering disebut solar (light oil) merupakan suatu campuran hidrokarbon yang didapat dari penyulingan minyak mentah pada temperatur 200-340 o C. Minyak solar yang sering yang digunakan adalah hidrokarbon rantai lurus (hetadecene (C 16 H 34 )) dan alpha-methilnapthalene. Bahan bakar yang sebaiknya digunakan dalam motor diesel adalah jenis bahan bakar yang dapat segera terbakar (sendiri) yaitu yang dapat memberikan periode persyaratan pembakaran rendah. Bahan bakar motor diesel yang mempengaruhi prestasi dari motor diesel antara lain: penguapan (Volatility), residu karbon, viskositas, kandungan belerang, abu dan endapan, titik nyala, titik tuang, sifat korosi, mutu penyalaan, dan cetane number (Saipul, 1994). a. Penguapan (volatility) Penguapan dari bahan bakar Diesel diukur pada 90% suhu penyulingan. Penguapan bahan bakar ini menandakan pada suhu berapa bahan bakar berubah fase dari cair menjadi uap. b. Residu Karbon Residu karbon adalah karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis. Bahan yang diuapkan dari minyak, diperbolehkan residu karbon maksimum 0.10%. c. Viskositas Viskositas minyak dinyatakan oleh jumlah detik yang digunakan oleh volume tertentu dari minyak untuk mengalir melalui lubang dengan diameter tertentu, semakin rendah jumlah detiknya berarti semakin rendah viskositasnya. d. Belerang Belerang dalam bahan bakar terbakar bersama minyak dan menghasilkan gas yang sangat korosif yang diembunkan oleh dinding-dinding silinder, terutama ketika mesin beroperasi dengan beban ringan dan suhu silinder menurun. Kandungan belerang dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 0.5-1.5%. e. Abu dan Endapan Abu dan endapan dalam bahan bakar adalah sumber dari bahan mengeras yang dapat mengakibatkan keausan mesin. Kandungan abu maksimal yang diijinkan 0.01% dan endapan 0.05%. f. Titik Nyala Titik nyala merupakan suhu yang paling rendah yang harus dicapai dalam pemanasan minyak untuk menimbulkan uap terbakar sesaat ketika disinggungkan dengan suatu nyala api. Titik nyala minimum untuk bahan bakar Diesel adalah 150 o F. g. Titik Tuang Titik tuang adalah suhu minyak mulai membeku/berhenti mengalir. Titik tuang maksimum untuk bahan bakar Diesel adalah 0 o F. h. Sifat Korosif Bahan bakar minyak tidak boleh mengandung bahan yang bersifat korosif dan tidak boleh mengandung asam-basa. i. Mutu Penyalaan Istilah ini menyatakan kemampuan bahan bakar untuk menyala ketika diinjeksikan ke dalam pengisian udara tekan dalam silinder mesin Diesel. Suatu bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan siap menyala, dengan sedikit keterlambatan penyalaan. Bahan bakar dengan mutu penyalaan yang buruk akan menyala dengan sangat terlambat. Mutu penyalaan adalah salah satu sifat yang paling penting dari bahan bakar Diesel untuk dipergunakan dalam mesin kecepatan tinggi. Mutu penyalaan bahan bakar tidak hanya 6

7menentukan mudahnya penyalaan ketika mesin dalam keadaan dingin tetapi juga menentukan jenis pembakaran yang diperoleh dari bahan bakar. Bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan memberikan mutu operasi mesin yang lebih halus, tidak bising, terutama akan lebih terlihat pada tingkat beban kerja yang ringan. j. Bilangan Centana (Centane Number) Mutu penyalaan diukur dengan indeks yang disebut Cetana. Mesin Diesel memerlukan bilangan centana sekitar 50. Bilangan centana bahan bakar adalah persentase volume dari cetana dalam campuran cetana dengan alpha-methyl naphthslene. Centana mempunyai mutu penyalaan yang sangat baik dan alpha-methyl naphthslene mempunyai mutu penyalaan yang kurang baik. Bilangan cetana 48 berarti bahan bakar cetana dengan campuran yang terdiri atas 48% cetana dan 52% alpha-metyl naphthalene. 2.2 TANAMAN NYAMPLUNG Tanaman nyamplung (Gambar 1) dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti bintangor di Malaysia, hitaulo di Maluku, nyamplung di Jawa, bintangur di Sumatera, poon di India, dan di Inggris dikenal dengan nama Alexandrian lzaurel, tamanu, pannay tree, serta sweet scented calophyllum (Dweek dan Meadows, 2002). Taksonomi tanaman nyamplung menururt Hyene (1987) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Guttiferales Suku : Guttiferae Marga : Calophyllum Jenis : Calophyllum inophyllum L. Nama umum : Nyamplung Gambar 2. Tanaman nyamplung Di Indonesia, nyamplung dapat ditemui hampir di seluruh daerah, terutama di daerah pesisir pantai, antara lain : Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, Pulau Yapen Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (wilayah Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), dan Taman Nasional Berbak (Pantai Barat Sumatera). Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 528 ribu ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah penyebaran nyamplung diantaranya adalah 7

Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan NTT (Tabel 3). No. Wilayah Tabel 3. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia Luasan Lahan Potensial Budidaya Nyamplung (ha) Bertegakan Nyamplung Tanah Kosong dan Belukar Total 1 Sumatera 7 400 16 800 24 200 2 Jawa 2 200 3 400 5 600 3 Bali dan Nusa Tenggara 15 700 4 700 20 400 4 Kalimantan 10 100 19 200 29 300 5 Sulawesi 3 100 5 900 9 000 6 Maluku 8 400 9 700 18 100 7 Irian Jaya Barat 28 000 34 900 62 900 8 Papua 79 800 16 400 96 200 9 Seluruh Wilayah 177 100 107 100 284 200 Total 528.000 (Sumber : Balitbang Kehutanan, 2008) Hutan nyamplung dikelola secara profesional oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas Kehutanan Perkebunan Kabupaten Cilacap telah menanam 135 ha di lahan TNI Angkatan Darat sepanjang pantai laut selatan, dan pada tahun 2008 direncanakan menanam tanaman nyamplung seluas 300 ha. A B Gambar 3. Buah (A) dan biji (B) nyamplung Buah nyamplung (Gambar 3) memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% (basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah. 8

Tabel 4. Kandungan biji nyamplung Kandungan Nilai (%) Minyak 50-70 Abu 1,7 Protein kasar 6,2 Pati 0,34 Air 10,8 Hemiselulosa 19,4 Selulosa 6,1 (Sumber : Kilham, 2003) 2.3 MANFAAT NYAMPLUNG Tanaman nyamplung berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan September-November. Produktivitas biji keringnya tinggi, yaitu ± 10 ton dari jarak tanam 5 x 10 m. Kadar minyak yang dihasilkan dari biji nyamplung cukup tinggi, berkisar antara 50-70% dari kapasitas total minyak yang diekstrak. Selain itu cangkang bijinya dapat digunakan untuk membuat briket arang dan arang aktif. Selain minyak, kayu pohon nyamplung telah lama menjadi kayu komersial, terutama sebagai bahan baku pembuatan kapal, furniture, dan material pembuatan rumah, karena kayu ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap organisme penggerek kayu di laut serta rayap (Balitbang Kehutanan, 2008). Minyak nyamplung banyak mengandung resin dan senyawa lain yang dapat dijadikan produk samping seperti coumarine, calanolide-a dan calanolide-b yang berkhasiat sebagai obat HIV/AIDS, soulattrolide yang berperan sebagai anti HIV, calanon sebagai antitumor dan antibakteri, dan xanthone yang memiliki antiproliferasi yang kuat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker dan bersifat apoptosis atau mendukung penghancuran sel kanker (Hartati, 2001). 2.4 MINYAK NYAMPLUNG Minyak nyamplung merupakan minyak kental, berwarna coklat kehijauan, beraroma menyengat seperti karamel dan beracun. Minyak nyamplung dihasilkan dari buah yang telah matang dan mempunyai fungsi penyembuhan untuk jaringan terbakar (Kilham, 2003). Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen komponen tak tersabunkan diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Debaut et al. (2005), karakterisasi asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan minyak nyamplung tergolong tinggi dibandingkan tanaman lainnya, seperti jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54%). Menurut Heyne (1987), minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung di beberapa daerah digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadows, 2002). 9

Warna Kondisi cairan (Sumber : Debaut et al., 2005) Tabel 5. Karakteristik minyak nyamplung Karakterisasi Komposisi Hijau Kental Bilangan Iod (mg Iod/ g minyak) 100 115 Berat jenis pada suhu 20 o C (g/cm 3 ) 0,920 0,940 Indeks Refrasi 1,4750 1,4820 Bilangan Peroksida (meq/kg) < 20,0 Fraksi lipid 98 99,5% Jenis asam lemak (%) : Asam Palmitat (C16 : 0) 15 17 Asam Palmitoleat (C16 : 1) 0,5 1 Asam Stearat (C18 : 0) 8 16 Asam Oleat (C18 : 1) 30 50 Asam Linoleat (C18 : 2) 25 40 Asam Arakhidat (C20 : 0) 0,5 1 Asam Gadoleat (C20 : 1) 0,5 1 Komponen tidak tersabunkan (unsaponifiable) : Fatty alkohol, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat 0,5 2% 2.5 PEMURNIAN MINYAK Pure Plant Oil (PPO) atau biofuel adalah minyak nabati yang telah melalui proses pemurnian seperti proses degumming (penghilang gum) dan netralisasi. Pada proses pembuatan PPO tidak diperlukan proses bleaching (pemucatan) dan deodorisasi (penghilang bau) (Prihandana et al., 2006). 2.5.1 Degumming Salah satu perlakuan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Tujuan proses degumming adalah untuk memisahkan minyak dari getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam kondisi anhydrous, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal, 1990). Proses degumming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat (H 3 PO 4 ) untuk mengikat senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. Kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan pemisahan berat jenis yaitu senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak tersebut. Hasil dari degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih. Proses degumming juga bertujuan untuk mengurangi pemakaian tanah pemucat (clay) atau campuran tanah pemucat dengan arang aktif pada proses pemucatan. Melalui tahapan ini 10

upaya mengurangi senyawa fosfolipida dan sejumlah zat-zat pewarna lain akan dapat dicapai (Ketaren, 1986). Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Asam fosfat lebih disukai penggunaannya oleh refiner minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih murah dan penanganannya lebih mudah (Morad et al., 2006). Penambahan asam fosfat sebelum netralisasi ke dalam minyak yang mengandung fosfatida yang bersifat nonhydratable umum dipraktekkan untuk menjamin bahwa semua gum telah hilang selama deasidifikasi. Hidrasi dilakukan untuk membuat fosfatida yang larut dalam minyak (tidak larut dalam air) menjadi tidak larut dalam minyak (larut air) dengan penambahan senyawa asam (Basiron, 2005). Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 70-80 o C setelah ditambahkan asam fosfat (H 3 PO 4 ) 0,3-0,4% (b/b) dengan konsentrasi 20-60% (b/b). Sementara menurut Akoh dan Min (2002) sebelum netralisasi minyak diberi perlakuan dengan 0,02-0,5% asam fosfat pada suhu 60-90 o C selama 15-30 menit, membuat fosfatida yang kurang larut dalam minyak menjadi lebih mudah dihilangkan. Proses pemisahan gum atau degumming menurut Ketaren (1986) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi, dengan alasan : 1. Sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. 2. Netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida. Menurut Basiron (2005) perlakuan pendahuluan pemurnian minyak diawali dengan degumming dengan asam fosfat. Konsentrasi asam fosfat yang digunakan adalah 80-85% dengan jumlah 0,05 0,2%, dipanaskan sampai 90-110 o C dalam waktu 15-30 menit. Tujuan penambahan asam fosfat adalah untuk mengendapkan fosfatida yang bersifat nonhydratable menjadi hydratable sehingga dapat dipisahkan dari minyak melalui proses pencucian. Sedangkan menurut O`Brien (2004) asam yang biasanya digunakan adalah asam fosfat 85%, didispersikan dalam minyak pada suhu 80-100 o C sebanyak 0,05-1,2% berat minyak. 2.5.2 Netralisasi Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara netralisasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun (soapstock). Alkali yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH). Proses ini dikenal dengan istilah caustic deacidification (Bhosle dan Subramanian, 2005). Basa yang dipilih untuk digunakan dalam percobaan ini adalah NaOH karena NaOH memiliki reaktifitas yang lebih baik (Yang, 2003). Di samping itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan mudah didapat di Indonesia. (Paryanto, 2007). a. Netralisasi dengan Kaustik Soda Netralisasi melalui proses kimia dengan alkali, saat ini yang paling umum digunakan adalah dengan kaustik soda. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi (Andersen, 1962). Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun 11

secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren, 1986). Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam Refining Factor (RF), yaitu Kehilangan total (%) Refining Factor (RF) = Kadar asam lemak bebas dalam minyak (%) Makin kecil nilai RF, maka efisiensi netralisasi makin tinggi. Pemakaian kaustik soda dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah kaustik soda yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih konsentrasi larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi, antara lain kadar asam lemak bebas dari minyak kasar. Makin besar jumlah asam lemak bebas, maka makin besar pula konsentrasi alkali yang digunakan. Selain itu jumlah minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin dengan menggunakan larutan alkali secara tepat, karena makin besar konsentrasi larutan alkali yang digunakan, maka kemungkinan sebagian trigliserida yang tersabunkan semakin besar pula sehingga angka RF bartambah besar. Namun semakin encer larutan kaustik soda, semakin besar tendensi larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida yang menyebabkan kehilangan minyak juga semakin tinggi. Begitupun suhu netralisasi yang dipilih sedemikian rupa, sehingga sabun yang terbentuk dalam minyak dapat mengendap dengan kompak dan cepat. Karena pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak (sebagian minyak diserap oleh sabun) (Ketaren, 1986). b. Tahap Netralisasi Minyak dimasukkan ke dalam tangki kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 70 o C dan dicampur dengan kaustik soda (konsentrasinya tergantung kadar asam lemak bebas dalam minyak mentah) pada suhu 70-80 o C selama 10-15 menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi untuk memisahkan sabun kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sabun (Ayorinde et al., 1995). Penambahan alkali dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan perhitungan kebutuhan alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi lebih tepat dan sesuai. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah dengan kadar asam lemak bebas < 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0,15 N atau 5 o Be), sedangkan asam lemak bebas dengan kadar asam lemak bebas tinggi, lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10-24 o Be (Basiron, 2005). Suhu dan waktu yang digunakan dalam proses netralisasi minyak harus dipertimbangkan dengan baik dan dipilih sedemikian rupa sehingga sabun yang terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Proses pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak, sebab sebagian minyak akan diserap oleh sabun. Suhu proses yang tinggi serta waktu proses yang lama dapat merusak pigmen alami minyak (Ketaren, 2005). Pengadukan dilakukan dengan menggunakan agitator, yang dilengkapi 12

dengan lengan penyapu yang masing-masing terdiri dari paddle. Alat ini berfungsi untuk Vmendorong cairan ke arah atas selama pengadukan. Kecepatan pengadukan yang digunakan pada agitator sebesar 8-10 rpm sampai dengan 30-35 rpm. Pemecahan emulsi dapat terjadi pada suhu sekitar 60 o C dan sabun terpisah dari minyak jernih dengan membentuk flokulan kecil (O`Brien, 2004). Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH dapat dilihat pada Gambar 4. O O R C OH + NaOH R C ONa + H 2 O Gambar 4. Reaksi netralisasi asam lemak bebas Kotoran yang terpisah pada proses netralisasi adalah asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi (Hendrix, 1990). Netralisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah. Cara kering dilakukan dengan mereaksikan basa tanpa pencucian. Sedangkan cara basah dilakukan pada suhu 60-65 o C, dengan larutan basa encer dan dilanjutkan dengan pencucian. Jumlah NaOH yang digunakan merupakan jumlah stoikhiometri ditambah ekses sebanyak 0,1-0,5% tergantung pada minyak yang akan dinetralkan (Bernardini, 1983). Menurut Sonntag (1982), untuk minyak nabati dan lemak hewan dengan kandungan gum dan pigmen rendah dapat digunakan ekses 0,1 0,2% b/b minyak. Satuan konsentrasi NaOH dalam larutan adalah derajat Baume ( o Be). 2.6 VISKOSITAS Viskositas atau kekentalan adalah ukuran tahanan alir dari suatu cairan. Viskositas menjadi pertimbangan penting untuk bahan bakar (minyak). Berdasarkan pengujian, nilai kekentalan berkisar antara 43,5 29 centipoise. Dengan pemurnian, mampu menurunkan kekentalan minyak awal yang sebesar 63 menjadi 43,5 29 centipoise. (Fathiyah. 2010) Hal ini dikarenakan zat zat pengotor serta senyawa polimer hasil dari kerusakan minyak telah dihilangkan. Menurut Ketaren (1986) tingginya kekentalan minyak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan senyawa senyawa polimer didalam minyak. Senyawa ini terbentuk dari proses pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya polimerisasi thermal, maupun polimerisasi oksidasi yang akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul yang tinggi dan cenderung memiliki viskositas yang tinggi. Selain itu didalam minyak nyamplung ini terdapat senyawa resin yang mempengaruhi kekentalan minyak. 2.7 PINDAH PANAS (HEAT TRANSFER) Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari suatu daerah ke daerah lainya sebagai akibat dari perbedaan suhu antara daerah-daerah tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. 13

2.7.1 Konduksi Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Konduksi adalah cara perpindahan panas melalui suatu zat, dimana molekul-molekul zat tersebut tidak ikut berpindah. Karena molekulmolekul zat yang dilewati energi panas secara konduksi tidak ikut berpindah, maka perpindahan energi panas secara konduksi hanya terjadi pada zat padat. Besarnya energi panas per satuan waktu yang melewati penampang benda yang dilewatinya disebut laju aliran panas (Kreith, 1973; Kamil; 1983). Laju aliran panas dapat diketahui melalui persamaan berikut: Q = ka (T1-T2) / L (1) Dimana : Q = Laju aliran panas (Watt) K = Konduktivitas termal bahan (W/m o C) A = Luas penampang bahan, diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas (m 2 ) T1-T2 = Perbedaan Suhu ( o C) L = Panjang bahan (m) Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa laju aliran panas bertambah apabila nilai konduktivitas suhu, luas penampang, angka konduktivitas termal bahan bertambah dan panjang bahan berkurang. Nilai konduktivitas termal menunjukan tingkat kemudahn suatu bahan dilewati oleh energi panas. Bila nilai konduktivitas termal besar, bahan tersebut semakin mudah dilewati oleh panas. Nilai konduktivitas termal juga dipengaruhi oleh suhu (Kamil, 1983). 2.7.2 Konveksi Konveksi adalah perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan masaa atau molekul zat yang dipanaskan. Umumnya konveksi hanya terjadi pada zat cair ataupun gas (fluida). Bila perpindahan massa fluida disebabkan oleh perbedaan berat jenis fluida karena adanya perbedaan suhu, maka perpindahan panas ini dapat disebut konveksi alami. Namun bila perpindahan massa fluida terjadi karena bantuan suatu alat seperti kipas, blower, kompresor, ataupun pompa, maka perpindahan panas ini dinamakan konveksi paksa (Kamil, 1983). Besarnya laju aliran panas konveksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: Q = h A (T1-T2) (2) Dimana : Q = Lajuran aliran panas (Watt) H = Koefisien pindah panas konveksi (W/m o C) A = Luas permukaan perpindahan panas konveksi (m 2 ) T1-T2 = Perbedaan suhu antara permukaan yang dipanasi dengan suhu fluida di lokasi yang ditentukan, umumnya jauh dari permukaan ( o C) 14

Nilai koefisien pindah panas konveksi selalu berbeda untuk setiap titik pada fluida, namun biasanya digunakan nilai konveksi pindah panas rata-rata untuk mempermudah perhitungan. Karena perpindahan panas secara konveksi juga menyangkut gerakan massa fluida, maka konveksi tidak hanya tergantung pada sifat zatnya saja, namun juga tergantung pada sifatsifat aliran fluida (Kamil, 1983). 2.7.3 Radiasi Berbeda dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi, dimana perpindahan panas terjadi melalui perantara, perpindahan panas secara radiasi sama sekali tidak memerlukan zat perantara. Sifat-sifat perpindahan panas secara radiasi sama dengan sifat-sifat gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh adalah perpindahan panas dari matahari ke bumi (Kamil, 1983). Besarnya laju airan panas radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Q = Є σ A T 4 (3) Dimana: Q Є = laju aliran panas (Watt) = Angka emisi permukaan yang meradiasikan panas dan merupakan ukuran kemampuan meradiasikan energi panas Σ = Angka tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8 W/m 2 K 4 ) A = Luas Permukaan (m 2 ) T = Suhu Permukaan yang bersangkutan ( o C) 2.8 ALAT PENUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) Heat Exchanger adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan energi panas dari suatu fluida ke fluida lainnya. Pada dasarnya alat penukar panas dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu regenerator, alat penukar panas terbuka, dan alat penukar panas tertutup (Kamil, 1983). Regenerator adalah alat penukar panas dimana terdapat salah satu bagian dari alat tersebut yang berada dalam arus fluida pemanas dan fluida yang dipanaskan. Pada waktu bagian alat tersebut berada dalam arus fluida pemanas, bagian alat tersebut menyerap energi panas dan melepaskannya sewaktu berada dalam arus fluida yang dipanaskan. Jenis alat penukar panas terbuka merupakan jenis yang paling sederhana. Alat ini memiliki sebuah wadah dimana fluida yang memiliki suhu lebih tinggi dan fluida yang memiliki suhu lebih rendah dicampur secara langsung. Dalam sistem demikian kedua fluida akan mencapai suhu akhir yang sama yang disebut suhu kesetimbangan sehingga jumlah panas yang berpindah dapat ditentukan dari jumlah panas yang hilang dan jumlah panas yang diterima oleh fluida-fluida tersebut (Kreith, 1973). Alat penukar panas yang umum digunakan adalah alat penukar panas tertutup, dimana suatu fluida terpisah dari fluida lainnya dipisahkan oleh suatu dinding atau sekat yang dilalui oleh panas. Heat Exchanger jenis ini disebut rekuperator (recuperator) (Holman, 1993). Berdasarkan konstruksinya, alat penukar panas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tipe selubung dengan pipa (Shell and tube Heat Exchanger) dan tipe plat (plat Heat Exchanger). Dari kedua tipe ini, alat penukar panas dapat digolongkan lagi berdasarkan arah alirannya. Ketiga jenis aliran tersebut adalah aliran searah (parallel flow), aliran berlawanan (counter flow), dan aliran melintang (cross flow) (Cengel, 2003). 15

Menurut Cengel (2003), dalam analisis pindah panas elemen pemanas, ada beberapa kondisi yang diasumsikan dan selalu dianggap seragam sepanjang waktu, yaitu: 1. Elemen pemanas beroperasi dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada perubahan kondisi fisik. 2. Laju aliran massa kedua fluida selalu konstan. 3. Tidak ada perubahan dari sifat-sifat fluida. 4. Permukaan luar elemen pemanas terinsulasi sempurna. Untuk memudahkan perhitungan, kondisi sebuah sistem biasanya dianggap ideal, namun karena hal itu nilai keakuratan dalam analisis sederhana elemen pemanas menjadi berkurang. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, hukum termodinamika pertama dapat diterapkan dalam perhitungan ini: Q = m C (T out -T in ) (4) Dimana: Q = Laju pindah panas (Watt) m = Laju aliran massa (kg/s) C = Panas jenis (kj/kg C) T = Suhu ( C) Menurut Cengel (2003), laju pindah panas dalam elemen pemanas dapat mengacu pada hukum pendinginan Newton (Newton s law of cooling): Q = U A T m (5) Dimana: Q = Laju pindah panas (Watt) U = Koefisien pindah panas keseluruhan A = Luas area pindah panas (mm 2 ) ΔTm = Perbedaan suhu rata-rata antara kedua fluida ( C) Besarnya suhu antara kedua fluida bervariasi sepanjang elemen pemanas, maka untuk analisis pindah panas ini digunakan perbedaan suhu rata-rata logaritmik (Logarithmic Mean Temperature Difference) atau LMTD (ΔT lm ). (6) Dimana: ΔT 1 = T in (gas buang) T out (minyak nyamplung) ΔT 2 = T out (gas buang) T in (minyak nyamplung) 16

2.9 DESAIN (PERANCANGAN) Menurut Harsokoesoemo (1999) perancangan adalah kegiatan awal dari usaha merealisasikan suatu produk yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat untuk meringankan hidupnya. Perancangan terdiri dari serangkaian kegiatan berurutan, oleh karena itu perancangan kemudian disebut sebagai proses yang mencakup seluruh kegiatan yang terdapat dalam proses perancangan tersebut. Menurut Harsokoesoemo (1999), proses perancangan di anggap dimulai dari dengan diidentifikasinya kebutuhan produk yang diperlukan masyarakat. Berawal dari diidentifikasikannya kebutuhan produk tersebut maka proses perancangan berlangsung. Kegiatan-kegiatan dalam proses perancangan disebut fase. Salah satu deskripsi proses perancangan adalah deskripsi yang menyebutkan bahwa proses perancangan terdiri dari fase-fase seperti terlihat pada gambar di bawah ini.. Kebutuhan Analisis masalah, spesifikasi produk, dan perancangan proyek Perancangan konsep produk Perancangan Produk Evaluasi produk hasil rancangan Dokumen untuk pembuatan produk Gambar 5. Diagram alir proses perancangan (Harsokoesoemo, 1999) 17

III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei sampai bulan Agustus 2010. Bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu, Departemen Teknologi Industri Pertanian, dan Bengkel Teknik Mesin Budidaya Pertanian serta Bengkel Metanium, Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Brockfield Shyncro-lecytric Viscosimeter 2. Motor bakar Diesel stationer 4 langkah 3. Tangki bahan bakar tambahan 4. Pipa tembaga 5. Hybrid recorder 6. Tachometer 7. Gelas ukur 8. Stopwatch 9. Elemen pemanas setrika 10. Kertas millimeter blok 11. Kamera digital 12. Handy strain meter 13. Peralatan bengkel Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biosolar sebagai bahan bakar utama motor diesel, dan minyak nyamplung sebagai bahan bakar alternatif motor bakar diesel. Minyak nyamplung yang digunakan antara lain minyak nyamplung kasar (crude) (N1), minyak nyamplung degumming (N2), minyak nyamplung netralisasi (N3), dan minyak degumming netralisasi (N4). Elemen pemanas yang digunakan untuk menguji semua minyak nyamplung adalah elemen pemanas rancangan IV (R IV). Pengujian pengukuran suhu elemen pemanas dilakukan pada rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 ) Gambar 6. Motor diesel Yanmar TF-85 18

3.3 PROSEDUR PENELITIAN Diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Mulai Identifikasi masalah Penentuan viskositas optimum minyak nyamplung Penentuan suhu pemanasan optimum minyak nyamplung Perancangan elemen pemanas: a. Analisis teknik b. Gambar kerja Pembuatan elemen pemanas Uji fungsional elemen pemanas: Kinerja pemanasan minyak, Pola semprotan minyak, dan Sudut semprot minyak nyamplung. Tidak Ya Ya Kinerja motor Diesel Ya Tidak Selesai Gambar 7. Flowchat prosedur penelitian. 19

1. Identifikasi masalah Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam perancangan alat. Viskositas minyak nyamplung yang tinggi menyebabkan minyak nyamplung tidak bisa langsung diaplikasikan pada motor Diesel. Viskositas minyak nyamplung harus diturunkan agar sama atau lebih kecil dari viskositas biosolar yaitu 5-7 cst. Sehingga perlu dibuat elemen pemanas yang dapat menurunkan viskositas dari minyak nyamplung agar dapat diaplikasikan pada motor bakar diesel. 2. Pengukuran viskositas Pengukuran viskositas dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB. Viskositas minyak nyamplung dan biosolar diukur menggunakan Brockfield Shyncro-lecytric Viscosimeter, dimana prosedur penggunaan dari alat tersebut adalah Sampel yang diuji didinginkan sampai mencapai suhu ruang (suhunya tetap selama ± 15 menit). Sampel minyak yang akan diukur viskositasnya ditempatkan dalam wadah atau gelas piala. Kemudian spindel dicelupkan ke dalam larutan hingga batas yang telah ditentukan dan alat dihidupkan selama 5 menit dengan rpm tertentu. Viskositas dari sampel dapat dibaca dari angka yang ditunjukkan oleh jarum skala pada alat. Pembacaan pada alat diusahakan berkisar 10-100 dengan cara mengatur spindel dan kecepatan yang digunakan pada alat. Nilai kekentalan diperoleh dari perkalian antara nilai pembacaan pada alat dengan bilangan tertentu (faktor) tergantung dari nomor spindel dan rpm yang dipergunakan. Spindel yang digunakan adalah spindel nomor 1 dan rpm 30, maka faktor perkalian = 2. Nilai kekentalan dalam satuan cp. 3. Penentuan suhu pemanasan optimum minyak nyamplung Suhu pemanasan optimum didapatkan dengan mengukur viskositas terlebih dahulu. Setelah diperoleh data viskositas minyak nyamplung setiap kenaikan suhu 10 o C mulai dari suhu 30 o C sampai dengan suhu 110 o C, maka akan dapat ditentukan suhu pemanasan minyak nyamplung untuk menurunkan viskositasnya sehingga dapat mendekati nilai viskositas dari biosolar. 4. Perancangan elemen pemanas Elemen pemanas dirancang berdasarkan hasil perhitungan pindah panas setelah diketahui suhu pemanasan optimum minyak nyamplung. Uraian mengenai perancangan elemen pemanas ini dapat dilihat pada Bab IV tentang pendekatan pancangan elemen pemanas. 5. Pembuatan elemen pemanas Elemen pemanas akan dibuat sebanyak dua buah dengan tipe yang berbeda. Pembuatan dua tipe ini bertujuan untuk mendapatkan perbandingan dan menentukan tipe yang paling baik bagi pemanasan minyak nyamplung. 6. Uji fungsional elemen pemanas a. Pengukuran suhu Pengukuran suhu dilakukan di lima titik. Pertama adalah suhu minyak dalam tangki bahan bakar tambahan, kedua adalah suhu minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas, ketiga adalah suhu minyak nyamplung keluar dari elemen pemanas, keempat adalah suhu keluaran dari knalpot, dan kelima adalah suhu ruangan. Suhu diukur dengan menggunakan termokopel dan hybrid recorder. 20

Pengukuran suhu dilakukan dengan cara memasang termokopel ke dalam pipa saluran bahan bakar, kemudian suhu dapat dibaca di hybrid recorder dan data suhu langsung disimpan. Pengukuran dilakukan setiap menit, agar data yang diperoleh lebih akurat. Pengukuran suhu dilakukan pada minyak nyamplung dengan empat jenis perbedaan perlakuan (minyak N1, N2, N3, dan N4). Pada awalnya motor bakar dinyalakan menggunakan biosolar dengan tujuan untuk memanaskan minyak nyamplung dalam elemen pemanas. Posisi awal kran biosolar berada dalam keadaan terbuka sedangkan kran minyak nyamplung dalam keadaan tertutup sehingga minyak nyamplung dalam tangki tambahan tertahan di dalam pipa tembaga pada elemen pemanas. Gas buang hasil pembakaran biosolar yang melalui elemen pemanas akan memanaskan minyak tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan minyak berbeda-beda, tergantung pada jenis minyaknya. Untuk minyak N1 dan N2 dibutuhkan waktu 20-30 menit, sedangkan minyak N3 dan N4 dibutuhkan waktu 10-20 menit. Faktor yang mempengaruhi lama waktu pemanasan tersebut antara lain viskositas masing-masing minyak yang berbeda-beda dan jenis elemen pemanas yang digunakan. Setelah waktu pemanasan dilakukan maka kran minyak dibuka dan kran biosolar ditutup sehingga motor bakar mengalami pergantian bahan bakar. Minyak yang mengalir keluar secara kontinyu dari elemen pemanas diukur suhunya setiap 1 menit sekali selama 30 menit dan tersimpan secara otomatis di hybrid recorder. Pengukuran suhu dilakukan 3 kali ulangan tiap jenis minyak dengan 2 variasi kecepatan putaran motor bakar diesel (rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 )). b. Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Parameter tersebut hanya diambil melalui salah satu lubang dari empat buah lubang penyemprotan yang terdapat pada nozzle injektor. Pengambilan profil penyemprotan dilakukan untuk lima jenis bahan bakar, yaitu biosolar, minyak N1, N2, N3, dan N4. Untuk minyak nyamplung (semua jenis perlakuan) terdapat dua perlakuan berbeda, yaitu tanpa pemanasan dan dengan pemanasan sampai mencapai suhu optimum (110 o C). Untuk pengambilan profil penyemprotan diperlukan satu buah tangki tambahan yang dilengkapi dengan pemanas (heater). Pemanas akan memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu pemanasan optimum. Untuk mempertahankan suhu pemanasan minyak agar tidak terjadi kehilangan panas, maka saluran (pipa) bertekanan tinggi dilengkapi dengan elemen pemanas yang disentuhkan pada permukaan luar saluran pipa bertekanan tinggi. Pemanas (heater) ini berasal dari elemen pemanas setrika. Untuk mengetahui suhu pada pipa bertekanan tinggi maka di pasang termokopel dan dihubungkan ke hybrid recorder. Pada pengukuran diameter penyemprotan, salah satu lubang injektor diarahkan tegak lurus menuju permukaan lantai. Di bawah lubang tersebut diletakkan kertas milimeter blok dengan jarak 30 cm dari ujung lubang. Kemudian poros engkol diputar secara manual sampai bahan bakar menyemprot dari nozzle injektor. Sebelumnya ujung lubang nozzle injektor tersebut diberi wadah agar penyemprotan awal yang keluar tidak mengenai kertas milimeter blok. Setelah putaran poros engkol cukup stabil, kemudian wadah tersebut dijauhkan dari nozzle injektor agar bahan bakar menyemprot pada kertas milimeter blok. Poros engkol terus diputar sampai injektor menyemprot sebanyak lima kali. Setelah lima kali penyemprotan, nozzle injektor kembali diberi wadah agar tidak ada bahan bakar yang tercecer di kertas milimeter blok. 21

Gambar 8. Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar (Miftahuddin, 2009) Hasil penyemprotan tersebut kemudian langsung difoto dengan menggunakan kamera digital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran bentuk penyemprotan bahan bakar akibat terserap oleh kertas milimeter blok, sehingga dapat mempengaruhi besarnya diameter hasil penyemprotan yang diukur. Dari foto inilah dapat diketahui diameter hasil penyemprotan bahan bakar. Bentuk penyemprotan tidak selalu berbentuk lingkaran, sehingga untuk mendapatkan diameter penyemprotan perlu mengacu pada sumbu vertikal dan sumbu horizontal kertas milimeter blok. Kedua sumbu ini akan menunjukkan panjang hasil penyemprotan yang diukur melalui dua titik penyemprotan terjauh secara vertikal dan horizontal. Diameter penyemprotan merupakan hasil rata-rata dari panjang penyemprotan di sumbu vertikal dan sumbu horizontal. Berdasarkan data diameter hasil penyemprotan, menurut Suastawa, dkk (2006) besarnya sudut penyemprotan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: (7) dimana: Ss : Sudut penyemprotan ( ) Ds : Diameter penyemprotan (mm) Tn : Tinggi nozzle (mm) Bentuk pola, diameter, dan sudut penyemprotan ini kemudian dibandingkan, antara bahan bakar biosolar dengan minyak nyamplung. Perbandingan ini akan menunjukan seberapa besar pengaruh pemanasan pada minyak nyamplung terhadap hasil penyemprotannya. 7. Kinerja Motor Diesel Setelah minyak dipanaskan sampai viskositas minyak nyamplung mendekati atau sama dengan minyak biosolar maka langsung diujicobakan pada motor diesel. Pengujian yang dilakukan adalah pengukuran daya motor diesel tanpa beban. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaaan daya poros yang dihasilkan oleh motor diesel pada saat menggunakan bahan bakar biosolar dan minyak nyamplung. Pengukuran dilakukan menggunakan dynamometer tipe disc brake. 22

IV. PENDEKATAN RANCANGAN 4.1 KRITERIA PERANCANGAN Pada prinsipnya suatu proses perancangan terdiri dari beberapa tahap atau proses sehingga menghasilkan suatu desain atau prototipe produk yang sesuai dengan kebutuhan. Perancangan elemen pemanas (heat exchanger) pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suhu pemanasan minyak nyamplung agar dapat menurunkan nilai viskositasnya sehingga mendekati nilai viskositas biosolar. Panas dari gas buang akan dimanfaatkan sebagai sumber panas untuk memanaskan minyak, dengan asumsi suhu gas buang keluaran knalpot sama dengan suhu gas buang yang keluar dari ruang pembakaran masuk ke knalpot (pangkal saluran pengeluaran gas buang). Panas ini akan memanaskan minyak baik secara konduksi maupun konveksi. 4.2 RANCANGAN FUNGSIONAL Secara fungsional, rancangan elemen pemanas ini berbentuk seperti knalpot motor bakar diesel pada umumnya, hanya saja terdapat perbedaan dari segi ukuran dan penambahan pipa tembaga sebagai saluran bahan bakar minyak nyamplung. Elemen pemanas ini terdiri atas: saluran masuk gas buang, muffler, saluran minyak nyamplung, tabung knalpot, dan saluran keluar gas buang. 1. Saluran Masuk Gas Buang Saluran ini merupakan tempat masuknya gas buang hasil pembakaran ke dalam elemen pemanas. Panas gas buang yang bersuhu tinggi akan mengalami sedikit penurunan suhu setelah melewati saluran ini, karena saluran ini memiliki kontak langsung dengan lingkungan. 2. Muffler Muffler berfungsi sebagai peredam suara dan meratakan panas di dalam elemen pemanas. 3. Saluran Minyak Nyamplung Saluran ini merupakan tempat mengalirnya minyak nyamplung secara gravitasi di dalam elemen pemanas. 4. Tabung Knalpot Tabung knalpot berfungsi sebagai selubung dari elemen pemanas. Selain itu, tabung ini juga berfungsi sebagai penampung panas gas buang untuk memanaskan minyak nyamplung di dalam salurannya. 5. Saluran Keluar Gas Buang Saluran ini berfungsi untuk mengeluarkan dan mengarahkan keluaran gas buang. 23

4.3 RANCANGAN STRUKTURAL Dalam perancangan pemilihan bahan dan bentuk rancangan yang akan digunakan merupakan suatu proses yang sangat penting. Rancangan struktural dari elemen pemanas ini dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan dan sesuai untuk dirangkaikan pada motor bakar diesel. Pada penelitian ini dibuat empat buah elemen pemanas dengan ukuran yang berbeda. Untuk bentuk knalpot disesuaikan dengan bentuk asli dari motor bakar diesel yang digunakan yaitu Motor Diesel Yanmar tipe TF 85. 1. Saluran gas buang Saluran gas buang dirancang menyerupai saluran knlapot pada umumnya. Pada saluran inilah elemen pemanas dirangkaikan ke motor bakar. Lubang masukan saluran ini terhubung dengan lubang keluaran gas buang hasil pembakaran pada motor diesel. Saluran gas buang pada semua rancangan menggunakan saluran gas buang asli dari knalpot yang digunakan, yang terbuat dari pipa besi berdiameter 30 mm, panjang 100 mm, dan tebal 1.5 mm. Gambar 9. Saluran masuk gas buang 2. Muffler Muffler terbuat dari pipa besi berdiameter 30 mm dengan tebal 1 mm. Pipa ini memiliki lubang pada seluruh dindingnya dan pada bagian tengahnya diberi sekat sebagai penahan gas buang agar tidak langsung keluar melalui saluran keluaran. Panas gas buang yang tertahan oleh sekat tersebut keluar dari muffler melalui lubang-lubang pada dinding pipa sebelum sekat dan keluar menuju saluran keluaran melalui lubang-lubang pada dinding pipa setelah sekat. Muffler berada pada bagian tengah elemen pemanas. Bentuk muffler yang digunakan pada semua rancangan adalah sama, yang membedakan hanya tinggi dari muffler tersebut. Tinggi muffler disesuaikan dengan tinggi dari lilitan pipa tembaga yang dibutuhkan. 24

Gambar 10. Muffler 3. Saluran Minyak Nyamplung Saluran ini terbuat dari pipa tembaga, pada rancangan pertama posisi dari saluran ini dipasang melilit pada tabung knalpot bagian luar, sedangkan pada rancangan lainnya posisi saluran ini berada di antara muffler dan tabung knalpot. Pemilihan bahan tembaga sebagai saluran minyak nyamplung ini didasarkan oleh nilai konduktivitas termalnya yang cukup tinggi dibanding dengan bahan lainnya yaitu 386 W/m K. Tembaga juga memiliki titik lebur yang tinggi yaitu 1089 o C sehingga dapat menahan suhu gas buang yang mencapai 600 o C. Selain itu juga pipa tembaga tersedia di pasaran dengan ukuran yang cukup bervariasi. Pada perancangan elemen pemanas ini, digunakan pipa tembaga yang ukurannya mendekati ukuran selang bahan bakar motor diesel pada umumnya, sehingga mudah dirangkaikan pada sistem penyaluran bahan bakar motor diesel. Diameter pipa tembaga yang digunakan adalah 6 mm dan 8 mm. Gambar 11. Pipa tembaga elemen pemanas 4. Tabung knalpot Tabung knalpot terbuat dari plat besi dengan tebal 2 mm. Ukuran tabung knalpot dirancang menyerupai ukuran knalpot dari motor Diesel Yanmar TF85, yaitu tabung berdiameter 107 mm, sedangkan tinggi dari tabung disesuaikan dengan tinggi dari lilitan pipa tembaga. Pada 25

rancangan pertama tinggi dari tabung knalpot adalah 140 mm, rancangan kedua 200 mm, rancangan ketiga 240 mm, dan rancangan keempat tinggi dari tabung adalah 230 mm. Gambar 12. Tabung knalpot 5. Saluran keluar gas buang Saluran keluar gas buang ini terbuat dari pipa besi dengan diameter 32 mm. Saluran ini akan dihubungkan pada bagian ujung muffler yang keluar dari tabung knalpot dan dikencangkan dengan menggunakan klem agar posisinya tidak berubah. Bentuk saluran ini menyiku, fungsinya untuk mengarahkan keluaran gas buang dari elemen pemanas. Gambar 13. Saluran keluar gas buang 26

V. ANALISIS TEKNIK RANCANGAN ELEMEN PEMANAS Elemen pemanas pada penelitian ini tergolong dalam jenis counter-flow double-pipe heat exchanger. Tabung knalpot berfungsi sebagai selubung dari pipa tembaga yang ada didalamnya. Secara skematik elemen pemanas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Skema aliran panas pada elemen pemanas (Miftahuddin, 2009) Elemen pemanas ini akan digunakan untuk memanaskan minyak nyamplung dari suhu ruangan (± 30 C) sampai mencapai suhu optimum yang diharapkan yaitu 110 C. Dalam perhitungan ini, suhu gas buang yang masuk dan keluar dari knalpot diasumsikan dengan beberapa variasi suhu. Suhu gas buang yang masuk ke dalam elemen pemanas berkisar antara 150 300 C dan suhu gas buang yang keluar berkisar antara 50 100 C. Asumsi suhu gas buang ini akan digunakan dalam perhitungan perbedaan suhu rata-rata logaritmik (ΔT lm ) (persamaan 6). Akan tetapi pada rancangan II, III, dan IV data suhu yang digunakan adalah data suhu gas buang dari motor Diesel Yanmar TF 85 dengan mengasumsikan bahwa suhu gas buang keluaran dari knalpot sama dengan suhu gas buang keluaran dari pangkal saluran pengeluaran motor bakar diesel. Nilai laju aliran massa (m) didapatkan dari pengukuran konsumsi bahan bakar hasil penelitian Aidil (2001). Pengukuran konsumsi bahan bakar dilakukan dengan mengukur volume bahan bakar sebelum dan sesudah motor diesel dioperasikan, sehingga didapatkan selisih antara keduanya, kemudian selisih volume bahan bakar ini dibagi dengan waktu selama motor diesel beroperasi, dan didapatkanlah nilai konsumsi bahan bakar dengan satuan volume per satuan waktu (liter/jam). Konsumsi bahan bakar rata-rata yang dijadikan acuan sebesar 1.334 liter/jam atau 3.71 x 10-7 m 3 /s. Jadi, laju aliran massa minyak nyamplung pada elemen pemanas dapat diketahui dari: m = konsumsi bahan bakar x densitas minyak nyamplung (8) = (3.17 x 10-7 m 3 /s) x (915 kg/m 3 ) = 0.00034 kg/s 27

Setelah diketahui laju aliran massa dari minyak nyamplung, maka laju pindah panas yang diterima oleh minyak nyamplung juga dapat diketahui dengan memasukkan variabel-variabel yang diketahui pada persamaan 4: Q = m C (T out -T in ) = (0.00034 kg/s)(6.25 kj/kg o C)(110-30 o C) =170 watt Menurut Cengel (2003), nilai koefisien pindah panas (U) berdasarkan jenis fluida pemanas dan fluida yang dipanaskan seperti pada kasus ini berkisar antara 50 200 W/m 2 C. Lalu ditetapkan nilai koefisien pindah panas keseluruhan yang digunakan untuk perhitungan ini adalah nilai minimum, yaitu 50 W/m 2 C. Karena suhu gas buang diasumsikan dan angka asumsinya bervariasi, maka nilai perbedaan suhu rata-rata logaritmik pun menjadi bervariasi, begitu juga dengan luas permukaan pindah panas dan panjang pipa tembaga yang dibutuhkan untuk menghasilkan suhu keluaran minyak nyamplung optimum. Luas permukaan pindah panas dapat diperoleh melalui persamaan 5: A Setelah diketahui luas permukaan pindah panas dan diameter pipa tembaga yang digunakan, maka panjang pipa tembaga yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui persamaan: (9) Dimana: A = Luas permukaan pindah panas (mm 2 ) D = Diameter pipa tembaga (mm) l = Panjang pipa tembaga (mm) Diameter pipa tembaga yang digunakan untuk rancangan III adalah 6 mm, dan untuk rancangan I, rancangan II, dan rancangan IV adalah 8 mm. Nilai perbedaan suhu rata-rata logaritmik, luas permukaan pindah panas, dan juga panjang pipa untuk semua jenis rancangan dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, 4, dan 5. Dari tabel hasil perhitungan tersebut, didapatkan panjang pipa tembaga terbesar yang dibutuhkan untuk menghasilkan suhu keluaran minyak nyamplung 110 C pada rancangan I, II, III, dan IV berturut-turut adalah sebesar 340 cm, 679 cm, 905 cm, dan 679 cm. 28

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 PENGUKURAN VISKOSITAS MINYAK NYAMPLUNG Nilai viskositas adalah nilai yang menunjukan kekentalan suatu fluida. semakin kental suatu fuida maka nilai viskositasnya semakin besar, begitu juga sebaliknya semakin rendah kekentalan fluida maka nilai viskositasnya semakin kecil. Grafik hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. (a) (b) (c) (d) Gambar 15. Grafik pengukuran viskositas minyak (a) N1, (b) N2, (c) N3, (d) N4 Dari Gambar 15a, dapat dilihat pengukuran viskositas minyak N1, yaitu minyak nyamplung hasil ekstrasi dari biji nyamplung tanpa diberi perlakuan (tidak ada penambahan zat kimia). Viskositas awal dari minyak N1 ini adalah sebesar 63 cst kemudian dipanaskan hingga 110 o C sehingga viskositas minyak menjadi 5 cst. Dari hasil pengukuran viskositas biosolar yang merupakan bahan bakar untuk motor diesel diperoleh nilai viskositas sebesar 5-7 cst sedangkan solar 3-5 cst. Jadi minyak N1 sudah dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel ketika dipanaskan hingga suhu optimum yaitu 110 o C. Sedangkan dari Gambar 15b, menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak N2, yaitu minyak nyamplung yang telah mengalami proses pemurnian dengan menambahkan asam 29

fosfat dengan tujuan untuk menghilangkan gum yang ada pada minyak (degumming). Setelah dilakukan degumming, nilai viskositas dari minyak nyamplung mengalami penurunan 7 cst dari minyak N1, yaitu menjadi 56 Cst. Kemudian setelah dipanaskan dengan suhu mencapai 110 o C nilai viskositas dari minyak N2 menjadi 5 cst, sehingga minyak nyamplung hasil degumming (N2) dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan 110 o C. Selanjutnya Gambar 15c menunjukkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung dengan perlakuan netralisasi (N3), dimana nilai viskositas dari minyak mengalami penurunan 20 cst dari minyak N1. Menurut Hendrix (1990), proses netralisasi merupakan proses pemisahan asam lemak dalam minyak dengan cara menambahkan NaOH yang bertujuan menghilangkan kotoran/zat berupa asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi. Setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C, nilai viskositas minyak nyamplung N3 mengalami penurunan menjadi 3 cst hampir sama dengan nilai viskositas dari bahan bakar solar. Oleh karena itu, minyak hasil netralisasi juga dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel setelah dipanaskan dengan suhu 110 o C. Gambar 15d, menunjukan viskositas dari minyak nyamplung dengan perlakuan degumming dan netralisasi (N4). Viskositas minyak nyamplung N4 lebih rendah dibanding minyak nyamplung yang lainnya (N1, N2, N3). Pada suhu ruangan (30 o C) viskositas minyak nyamplung N4 adalah 30 cst. Setelah dipanaskan 110 o C, viskositas minyak menjadi 4 cst dan sudah dapat di gunakan untuk motor diesel. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas minyak nyamplung pada setiap perlakuan tersebut maka dapat diketahui bahwa minyak nyamplung dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 110 o C (suhu optimum), sehingga dibutuhkan elemen pemanas yang dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu 110 o C. 6.2 HASIL RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS (HEAT EXCHANGER) Pada penelitian ini telah dirancang empat buah elemen pemanas yang mempunyai bagianbagian utama yang sama. Masing-masing bagian ini juga terbuat dari bahan yang sama, namun secara keseluruhan semuanya memiliki perbedaan dari segi ukuran. 1. Rancangan I Elemen pemanas I dibuat dari knalpot asli dari motor diesel Yanmar TF 85 MLY-di. Pada elemen pemanas ini pipa tembaga diameter 8 mm dililitkan di bagian luar tabung lalu ditutup kembali dengan plat yang dipasang melingkar pada tabung yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan pindah panas. Dimensi dari knalpot yang digunakan yaitu diameter tabung 104 mm, tinggi tabung 149 mm, dan tebal plat 2 mm. Sedangkan diameter selimut tabung sebesar 124 mm dengan tinggi selimut 155 mm dan tebal plat 2 mm. Sehingga jika berdasarkan perhitungan menurut Cengel (2003) panjang pipa tembaga yang digunakan pada rancangan I adalah 2520 mm, (Lampiran 2) hanya saja pada penelitian ini panjang dari pipa tembaga yang digunakan dibuat lebih panjang menjadi 3400 mm (asumsi pindah panas 75%). Saluran masuk gas buang memiliki diameter 30 mm dengan panjang 100 mm. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pemanasan minyak nyamplung dari rancangan I ini belum maksimal karena hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C sedangkan suhu yang dibutuhkan untuk menurunkan viskositas dari minyak nyamplung adalah sebesar 110 o C. Namun, sebenarnya motor diesel sudah dapat dhidupkan dengan menggunakan rancangan I tetapi tidak stabil dan kadangkadang tersendat. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas dari minyak nyamplung yang masih 30

tinggi saat dipanaskan pada suhu 54 o C, yaitu sebesar 21-28 cst. Sehingga dibuat elemen pemanas rancangan II. Gambar 16. Knalpot rancangan I 2. Rancangan II Elemen pemanas rancangan II mempunyai tabung yang berukuran lebih panjang dibandingkan dengan knalpot asli motor bakar Diesel Yanmar TF 85, bentuk dan ukuran saluran minyak nyamplung pada elemen pemanas rancangan II ini membutuhkan ruang yang cukup besar karena lilitan tembaga yang pada awalnya dipasang di bagian luar tabung menjadi dipasang di bagian dalam tabung. Hal ini dikarenakan jika lilitan tembaga dipasang di bagian luar tabung menghasilkan suhu pemanasan yang tidak optimum. Knalpot yang digunakan adalah knalpot asli dari motor Diesel Yanmar TF 85 hanya dilakukan penggantian tabung dan muffler menjadi lebih panjang. Diameter tabung menjadi 107 mm, tinggi tabung 220 mm, dan tebal plat 2 mm. Adapun dimensi dari muffler adalah diameter muffler 30 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan II adalah 6790 mm atau kurang lebih 6800 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 3). Diameter lilitan pipa tembaga di dalam tabung knalpot adalah 100 mm. Perbedaan panjang pipa tembaga pada elemen pemanas I dan II adalah pada rancangan II dilakukan perubahan perhitungan, dimana data keluaran suhu dari knalpot/ gas buang yang digunakan berbeda. Akan tetapi, pada rancangan II yang dibuat ini juga masih belum dapat mencapai suhu optimum yang diinginkan. Suhu minyak hasil pemanasan pada rancangan II di rpm 2000 hanya mencapai 74.5 o C. Hal ini dapat disebabkan karena ukuran diameter lilitan dari pipa tembaga yang sama dengan diameter dalam dari tabung knalpot yaitu 100 mm sehingga lilitan pipa tembaga (saluran minyak nyamplung) menempel pada dinding tabung knalpot. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpindahan panas secara konduksi dari pipa tembaga ke dinding tabung knalpot ke lingkungan, selain itu pemanasan yang diterima oleh pipa tembaga dari panas gas buang motor diesel tidak maksimal karena hanya sisi bagian dalam saja yang mendapat pemanasan maksimum dari panas gas buang motor diesel dalam knalpot. Berdasarkan hal tersebut, sehingga dibuat rancangan elemen pemanas III dengan mengubah diameter lilitan pipa tembaga menjadi lebih kecil yaitu 85 mm dan diameter pipa tembaga menjadi 6 mm, dengan harapan panas yang diperoleh dari gas buang lebih optimum. 31

Gambar 17. Knalpot rancangan II 3. Rancangan III Elemen pemanas rancangan III dibuat dengan tujuan untuk memperoleh hasil pemanasan optimum untuk minyak nyamplung. Pada rancangan III ini, digunakan ukuran pipa tembaga yang berbeda dengan rancangan I dan II, yaitu berdiameter 6 mm. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil akan menghasilkan pemanasan yang lebih merata dan optimum atau tidak, sesuai dengan kebutuhan minyak nyamplung yaitu mencapai suhu 110 o C. Adapun dimensi elemen pemanas rancangan III yaitu, diameter tabung 107 mm, tinggi 250 mm, dan tebal plat 2 mm. Dimensi dari muffler yaitu diameter muffler 30 mm, tinggi 300 mm, dan tebal plat 2 mm. Panjang pipa tembaga yang dibutuhkan pada rancangan III adalah 9050 mm (asumsi pindah panas 90%) (Lampiran 4). Diameter lilitan tembaga di dalam tabung knalpot adalah 85 mm. Akan tetapi, setelah dilakukan pengujian pengukuran, suhu pemanasan yang dihasilkan rancangan III kurang stabil atau sering berubah-ubah. Rata-rata suhu pemanasan minyak yang dihasilkan rancangan III pada rpm 2000 adalah sebesar 83.2 o C sehingga suhu optimum pemanasan minyak nyamplung, yaitu 110 o C belum tercapai. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan diameter pipa tembaga menjadi lebih kecil, yaitu dari 8 mm menjadi 6 mm, menyebabkan aliran minyak nyamplung yang masuk ke elemen pemanas lebih lambat. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa minyak nyamplung mempunyai kekentalan yang sangat tinggi sehingga aliran minyak di dalam elemen pemanas tidak lancar. Oleh karena itu dibuat rancangan IV dengan mengubah kembali ukuran diameter pipa tembaga dari 6 mm menjadi 8 mm, dengan harapan mendapatkan suhu pemanasan minyak nyamplung yang optimum. Gambar 18. Knalpot rancangan III 32

4. Rancangan IV Elemen pemanas rancangan IV ini dibuat hampir sama dengan rancangan II, hanya saja pada rancangan IV diameter dari lilitan pipa tembaga diperkecil menjadi 85 mm yang awalnya (pada rancangan II) adalah sebesar 100 mm. Hal ini dilakukan karena pada rancangan II ketika lilitan diameter pipa tembaga dibuat 100 mm, pipa tembaga menempel di dinding tabung yang menyebabkan pemanasan kurang optimum karena terjadi kehilangan panas dari pipa tembaga ke dinding tabung. Pada rancangan IV, diameter lilitan pipa tembaga diperkecil agar tidak menempel pada dinding tabung sehingga ada celah antara lilitan pipa tembaga dengan dinding di dalam tabung knalpot. Setelah dilakukan pengukuran suhu, rancangan IV dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum 110 o C (hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Gambar 23) sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk memanasakan minyak nyamplung sehingga dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Gambar 19. Knalpot rancangan IV 6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS 1. Pengukuran Suhu Minyak Nyamplung Hasil Pemanasan Elemen Pemanas Pengukuran suhu minyak hasil pemanasan elemen pemanas dilakukan untuk mengetahui apakah rancangan elemen pemanas yang dibuat sudah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mencapai suhu optimum pemanasan minyak nyamplung hingga 110 o C. Pengukuran suhu minyak nyamplung dilakukan pada semua rancangan. Pengukuran dilakukan di lima titik. Titik pengukuran pertama yaitu mengukur suhu minyak dalam tangki bahan bakar minyak nyamplung. Titik pengukuran kedua yaitu mengukur suhu minyak nyamplung di pipa saluran bahan bakar sebelum minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas. Titik pengukuran ketiga yaitu mengukur suhu minyak nyamplung setelah keluar dari elemen pemanas. Titik pengukuran keempat yaitu mengukur suhu keluaran gas buang dari motor diesel (suhu knalpot), dan titik pengukuran kelima mengukur suhu ruangan. Letak titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 20. 33

5 1 4 2 3 Keterangan : 1 : Titik pengukuran suhu dalam tangki bahan bakar (T1) 2 : Titik pengukuran suhu minyak masuk ke elemen pemanas (T2) 3 : Titik pengukuran suhu minyak keluar dari elemen pemanas (T3) 4 : Titik pengukuran suhu keluaran knalpot (T4) 5 : Titik pengukuran suhu ruangan (T5) Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel Pengukuran suhu dilakukan dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu pengukuran suhu pada rpm 1700 dan 2000, masing-masing rpm dilakukan 3 kali pengulangan. Untuk membandingkan hasil pemanasan dari semua rancangan, jenis minyak yang digunakan hanya minyak N2. Hal ini dilakukan karena persediaan minyak yang terbatas, selain itu penggunaan minyak N2 adalah dikarenakan minyak N2 memiliki viskositas yang lebih kecil dibandingkan minyak N1, dan proses pembuatan minyak N2 lebih mudah dibandingkan dengan minyak N3 dan N4. Minyak N1 tidak digunakan di awal pengujian karena dikhawatirkan minyak N1 tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar motor diesel, dengan mempertimbangkan dari kekentalan minyak yang mencapai 63 cst sehingga dipilih minyak N2 pada pengujian awal, dan digunakan untuk semua rancangan. Hasil pengujian pengukuran suhu rata-rata semua rancangan dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Tabel 6 dapat dilihat hasil pengukuran suhu semua rancangan pada rpm 1700 dan 2000 yang menunjukkan bahwa rancangan IV merupakan rancangan yang dapat memanaskan minyak hingga suhu 110 o C. Sedangkan pada rancangan I suhu maksimal untuk memanaskan minyak hanya mencapai 54.8 o C (T3), pada rancangan II pemanasan minyak hanya mencapai 74.5 o C (T3), dan pada rancangan III pemanasan minyak hanya mencapai 83.2 o C (T3). Perbedaan hasil pemanasan minyak juga dipengaruhi oleh rpm mesin, semakin tinggi rpm mesin maka suhu keluaran dari knalpot semakin besar begitu juga sebaliknya. Seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6, T5 menunjukkan suhu keluaran gas buang dari motor diesel. Pada rancangan IV suhu minyak mencapai 110 o C ketika rpm mesin 2000 sedangkan pada rancangan 34

Suhu ( o C) lainnya pada rpm 2000 tidak dapat memanaskan minyak hingga 110 o C (Lampiran 8). Untuk mengetahui perbedaan hasil pemanasan minyak pada setiap rancangan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan Elemen Pemanas Bahan Bakar Rpm T1 ( o C) T2 ( o C) T3 ( o C) T4 ( o C) T5 ( o C) R I N2 1700 30.3 31.5 54.8 141.8 30.3 R II R III R IV N2 N2 N2 N3 N4 N1 1700 30.3 36.8 70.6 139.8 30.4 2000 26.4 37.5 74.5 156.2 25.9 1700 29.6 29.4 65.6 138.8 31.9 2000 31.7 43.2 83.2 156.4 31.6 1700 28.0 30.4 86.4 149.0 28.5 2000 29.6 36.3 98.6 171.6 29.8 1700 30.7 32.1 83.9 157.3 31.0 2000 29.7 31.8 100.8 180.5 29.8 1700 30.8 32.5 91.6 151.9 30.7 2000 29.3 31.8 108.5 180.7 29.7 1700 32.6 36.2 87.0 154.7 32.0 2000 29.1 38.3 107.4 175.6 29.9 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R1 (1700) R2 (1700) R3 (1700) R4 (1700) Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 (n 1 ) pada semua rancangan 35

Suhu ( o C) 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran R2 (2000) R3 (2000) R4 (2000) Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 (n 2 ) pada semua rancangan Gambar 21 menunjukkan perbedaan hasil pemanasan minyak N2 di setiap rancangan pada rpm mesin 1700. Pada grafik dapat dilihat, rancangan I hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C (T3), hal ini dikarenakan pipa tembaga yang menjadi saluran minyak nyamplung pada rancangan I dililitkan di bagian luar tabung knalpot yang kemudian diselimuti oleh plat sehingga panas yang diterima oleh pipa tembaga kurang maksimal. Selain itu panjang pipa tembaga yang digunakan masih kurang panjang. Hal ini dikarenakan perhitungan yang digunakan pada rancangan I masih menggunakan data sekunder dari literatur, bukan data dari hasil pengukuran. Sehingga pengujian rancangan I pada rpm 2000 tidak dilakukan. Setelah memperoleh data suhu keluaran dari knalpot/gas buang, maka dilakukan perhitungan ulang rancangan dan hasilnya digunakan untuk membuat elemen pemanas rancangan II. Hasil pemanasan yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan rancangan I yaitu pemanasan minyak mencapai suhu 70.6 o C (T3). Akan tetapi rancangan II ini belum dapat memanaskan minyak hingga suhu optimum (110 o C) pada rpm 1700. Kemudian rpm motor diesel dinaikkan menjadi 2000 (Gambar 22), dan hasil pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 74.5 o C, terjadi kenaikan suhu pemanasan minyak sebesar 3.9 o C. Oleh karena rancangan II belum dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum, maka dibuat rancangan III dengan mengubah diameter pipa tembaga dari 8 mm menjadi 6 mm. Pada pengujian pertama yaitu pada rpm 1700, pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 65.6 o C lebih rendah dibandingkan dengan rancangan II. Sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak yang diperoleh mencapai 83.2 o C atau terjadi kenaikan pemanasan suhu sebesar 17.6 o C dan lebih tinggi dari rancangan II. Akan tetapi, rancangan III belum mencapai pemanasan suhu optimum minyak nyamplung sehingga dirancang kembali rancangan IV. Pada rancangan IV dibuat sama dengan rancangan II hanya saja diameter lilitan pipa tembaga pada rancangan IV diperkecil (lebih jelasnya dapat dilihat di hasil rancangan elemen pemanas. Hasil pengujian pada rpm 1700 diperoleh suhu pemanasan minyak hingga 86.4 o C lebih tinggi dibandingkan dengan rancangan lainnya, sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak mencapai 98.6 o C. Bila dibandingkan dengan rancangan I, II, dan III, rancangan IV menghasilkan suhu hasil pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu 36

Suhu ( o C) pemanasan optimum minyak nyamplung. Sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk menguji minyak nyamplung lainnya (minyak N1, N3 dan N4). Untuk mengetahui hasil dari pemanasan minyak nyamplung pada rancangan IV dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 menunjukan perbedaaan suhu hasil pemanasan minyak nyamplung dari rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000. Pada rpm 1700, dapat di lihat bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi yaitu 91.6 o C, sedangkan minyak N1 87 o C, minyak N2 86.4 o C, dan minyak N3 83.9 o C. Pada rpm 2000, minyak N4 memiliki hasil pemanasan yang lebih tinggi yaitu 108.5 o C dan mendekati suhu optimum (110 o C), sedangkan minyak N1 107.4 o C, minyak N2 98.6 o C, dan minyak N3 100.8 o C. Dari pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada rpm yang berbeda yaitu pada rpm 1700 dan 2000 dapat disimpulkan bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu optimum pemanasan minyak nyamplung yaitu 110 o C. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas minyak N4 pada suhu ruangan (30 o C) lebih kecil dibanding minyak nyamplung lainnya.. 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran N1 (1700) N2 (1700) N3 (1700) N4 (1700) N1 (2000) N2 (2000) N3 (2000) N4 (2000) Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 (n 1 ) dan 2000 (n 2 ) Selain melakukan pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada semua rancangan, dilakukan pula pengukuran rpm motor diesel. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui perubahan rpm motor diesel pada saat menggunakan biosolar dan minyak nyamplung. Untuk mengetahui hasil pengukuran rpm, dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara umum kecepatan motor diesel relatif cukup stabil. Pada saat pergantian bahan bakar dari biosolar ke minyak nyamplung terjadi penurunan rpm, namun hal ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa menit selanjutnya rpm motor kembali stabil. Pada saat pengujian, motor diesel sempat beroperasi tersendat-sendat, hal ini dikarenakan terdapat rongga udara di dalam saluran bahan bakar yang menyebabkan aliran bahan bakar tidak lancar. Rongga udara di dalam saluran bahan bakar ini ditimbulkan akibat aliran minyak nyamplung yang belum lancar dan stabil. Salah satu cara agar aliran bahan bakar minyak nyamplung lancar dan stabil adalah dengan memastikan minyak yang keluar dari elemen pemanas sudah mengalir dengan baik dan kontinyu. 37

Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV Rancangan Bahan Bakar Rpm Waktu (menit) 6 12 18 24 30 I N2 1700 1716 1704 1702 1695 1691 II III IV N2 N2 N1 N2 N3 N4 1700 1726 1732 1730 1724 1723 2000 2029 2028 2024 2018 2015 1700 1715 1721 1719 1715 1713 2000 2020 1903 1946 1979 1989 1700 1699 1694 1692 1697 1707 2000 2016 2005 2004 2004 2001 1700 1730 1720 1719 1719 1715 2000 2018 2008 2008 2013 2008 1700 1718 1708 1709 1710 1710 2000 2019 2017 2017 2016 2010 1700 1691 1680 1684 1680 1683 2000 2011 2009 2009 2008 2007 Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hasil pengukuran rpm motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung dengan menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.. Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 1700 menggunakan R IV Pada grafik (Gambar 24), dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar di banding biosolar. Minyak N1 terlihat mengalami kenaikan rpm dibanding dengan minyak lainnya (N2, N3, N4). Akan tetapi secara umum rpm dari motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung tidak konstan/stabil. Sehingga belum dapat ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel terhadap kinerja motor diesel bila dibanding dengan biosolar. Hal ini pun terjadi pada pengujian di rpm 2000, rpm motor diesel turun naik atau tidak 38

kostan/stabil. Sebagai contoh pada minyak N1, pada saat pengujian di rpm 1700 performa motor diesel (rpm) mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada saat pengujian di rpm 2000. Sehingga perlu dilakukan pengujian daya poros dari motor diesel yang menggunakan minyak nyamplung agar bisa ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel. Untuk mengetahui lebih jelas hasil pengukuran rpm di rpm awal 2000, dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV 2. Uji karakteristik Penyemprotan Bahan Bakar Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar dilakukan untuk membandingkan bahan bakar dilihat dari segi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil penyemprotan minyak nyamplung dengan biosolar. Pengujian penyemprotan dilakukan untuk semua jenis perlakuan minyak, yaitu minyak N1, N2, N3, dan N4. Hasil penyemprotan minyak N1 dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27, sedangkan hasil penyemprotan boiosolar dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) tanpa pemanasan 39

Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude (kasar) dengan pemanasan 110 o C menggunakan R IV Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan hasil semprotan antara minyak nyamplung dengan biosolar, baik dengan perlakuan tanpa pemanasan ataupun dengan pemanasan pada suhu 110 o C. Butiran-butiran pengkabutan pada biosolar terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung cenderung lebih besar dan tidak merata. Pengujian semprotan dilakukan pada semua jenis perlakuan minyak nyamplung (minyak N1, N2, N3, dan N4). Gambar hasil dari pola semprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 7. 40

Diameter Penyemprotan (mm) 80 70 60 54.83 61.33 62.83 70.67 63.33 53.33 61.5 63.33 67.67 50 40 30 20 10 0 N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar Gambar 29 menunjukkan diameter penyemprotan untuk kelima jenis bahan bakar, yaitu minyak N1, N2, N3, N4, dan biosolar. Minyak nyamplung semua jenis perlakuan (N1, N2, N3 dan N4) tanpa pemanasan (suhu ruangan) menghasilkan semprotan dari nozzle injektor dengan diameter 54.83 mm, 62.83 mm, 63.33 mm, dan 61.5 mm. Setelah dipanaskan pada suhu 110 o C, diameter penyemprotan yang dihasilkan sebesar 61.33 mm, 70.67 mm, 53.33 mm, dan 63.33 mm. Biosolar sebagai bahan bakar utama dari motor diesel memiliki diameter penyemprotan sebesar 67.67 mm. Dari hasil penyemprotan dapat dilihat bahwa ada perubahan diameter penyemprotan ketika minyak nyamplung dipanasakan hingga suhu 110 o C. Sebagai contoh, diameter semprotan minyak N1 sebelum dipanaskan adalah 54.83 mm, kemudian setelah dipanaskan meningkat menjadi 61.33 mm lebih besar 6.5 mm, begitu juga untuk minyak nyamplung dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi minyak N3 mengalami pengecilan ukuran diameter sebesar 10 mm. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan pada saat pengujian, seperti angin, dan lain-lain sehingga pengkabutan hasil dari semprotan minyak N3 tidak sepenuhnya mengenai kertas milimeter blok. Namun, secara umum minyak nyamplung hasil pemanasan dengan suhu 110 o C mengalami perubahan diameter menjadi lebih besar dibanding sebelum dipanaskan dan sudah mendekati diameter semprotan dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama motor diesel. Setelah mengetahui diameter semprotan dari masing-masing bahan bakar, maka dapat diketahui sudut penyemprotan. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perhitungan sudut penyemprotan. Dari pengolahan data diameter diatas dan memperhitungkan tinggi penyemprotan yaitu 30 cm, maka didapatkan sudut penyemprotan seperti tertera pada Gambar 30. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 6. 41

Sudut Penyemprotan ( o ) 16 14 12 10 10.44 11.67 11.96 13.43 12.05 10.16 11.71 12.05 12.87 8 6 4 2 0 N1 N1 (110) N2 N2 (110) N3 N3 (110) N4 N4 (110) Biosolar Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar Gambar 30 menunjukkan sudut penyemprotan dari semua jenis bahan bakar minyak nyamplung dan biosolar. Dari gambar dapat dilihat bahwa diameter penyemprotan bahan bakar mempengaruhi sudut penyemprotannya. Semakin besar diameter penyemprotan maka sudut penyemprotan semakin besar. Dengan asumsi bahwa tinggi penyemprotan adalah sama di tiap pengujian. Sama halnya dengan diameter penyemprotan, minyak nyamplung setelah dipanaskan akan memiliki sudut semprot yang lebih besar dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak dipanaskan karena butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung yang sudah dipanaskan lebih halus dibandingkan dengan minyak nyamplung tanpa pemanasan. Sebagai contoh, minyak N1 sebelum dipanaskan memiliki sudut diameter 10.44 o, setelah dipanaskan menjadi 11.67 o selisihnya adalah 1.23 o. Akan tetapi selisih tersebut tidak berlaku sama untuk semua jenis minyak nyamplung karena setiap jenis minyak nyamplung memiliki hasil penyemprotan yang berbeda. 3. Uji daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung menggunakan R IV Setelah dilakukan pengukuran suhu minyak hasil pemanasan dan uji karakteristik semprotan dari minyak nyamplung selanjutnya dilakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban dengan menggunakan bahan bakar minyak nyamplung yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan daya poros tanpa beban yang dihasilkan motor diesel dengan menggunakan bahan bakar biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan pada pengukuran daya adalah minyak N4 karena N4 merupakan minyak yang terbaik (dilakukan proses degumming dan netralisasi) dibanding minyak nyamplung perlakuan lainnya. Pengukuran daya dilakukan tiga kali ulangan. Berikut adalah grafik pengukuran daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung, sedangkan untuk mengetahui hasil lengkap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 12. 42

Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III 43

Gambar 31 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji I. Pada pengukuran pertama diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 4.88 kw dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. kenaikan torsi terjadi sangat tinggi sampai pada saat titik maksimum yaitu pada rpm 1246. Gambar 32 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji II. Pada pengukuran kedua diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.35 kw dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. Kenaikan torsi yang sangat tinggi pada pengukuran kedua terjadi pada rpm 1367. Sedangkan pada pengujian ketiga diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.39 kw dan torsi maksimum yang dicapai adalah sebesar 123.74 Nm, serta kenaikan torsi maksimum terjadi pada pengukuran rpm 1377. Grafik hasil pengukuran ulangan ketiga dapat dilihat pada Gambar 33. Kenaikan torsi secara tajam menunjukan bahwa pengereman berlangsung dengan cepat, dari titik nol mencapai pengereman maksimum (Pramuditya. A.F, 2009). Nilai torsi maksimum di setiap pengulangan diperoleh hasil yang sama, nilai torsi maksimum diperoleh ketika sesaat mesin akan mati. Nilai gaya (µs) yang ditunjukan handy strain meter pada saat motor diesel akan mati adalah 11 µs, hanya saja terjadi pada perbedaan rpm motor diesel di setiap pengukuran. Sehingga daya yang diperoleh di setiap pengulangan berbeda. Untuk mengetahui perbandingan daya poros yang dihasilkan motor diesel berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung Bahan bakar Torsi (N.m) Daya (kw) Uji I Uji II Uji III Uji I Uji II Uji III Biosolar 144.53 144.53 123.74 5.99 5.95 5.87 Minyak Nyamplung 123.74 123.74 123.74 4.88 5.35 5.39 Data pengujian daya motor diesel berbahan bakar biosolar diperoleh dari hasil penelitian Ahmad. H (2010), hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan daya dari motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung jika dibandingkan dengan motor diesel berbahan bakar biosolar. Rata-rata penurunan torsi adalah sebesar 9.59% dan rata-rata penurunan daya motor sebesar 12.26%. Hal ini menunjukkan bahwa biosolar masih memiliki daya maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nyamplung. Akan tetapi dengan rata-rata penurunan yang tidak terlalu jauh (< 15%) dari biosolar maka minyak nyamplung memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar motor diesel pengganti biosolar. Penurunan daya dan torsi motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung adalah akibat dari penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar, karena nilai kalor dari minyak nyamplung lebih rendah 9.7% dibanding nilai kalor biosolar.. 44

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Viskositas minyak nyamplung pada suhu ruangan (30 o C) untuk minyak nyamplung kasar (N1), degumming (N2), netralisasi (N3), dan degumming netralisasi (N4) adalah 63 cst, 56 cst, 43 cst, dan 30 cst. Setelah dipanaskan 110 o C viskositas menjadi 5 cst, 5cSt, 3 cst, dan 4cSt. 2. Pada penelitian ini telah dibuat empat buah elemen pemanas. Rancangan IV memiliki pemanasan yang optimum dibanding dengan rancangan lainnya. Suhu optimum pemanasan minyak nyamplung untuk menurunkan viskositas menjadi sama dengan viskositas dari biosolar adalah 110 o C. 3. Dari hasil pengujian fungsional elemen pemanas diperoleh rata-rata hasil pemanasan minyak nyamplung N2 dari masing-masing rancangan yaitu RI, RII, RIII, dan RIV pada rpm 1700 adalah 54.8 o C, 70.6 o C, 65.6 o C, dan 86.4 o C. pada rpm 2000 hasil pemanasan dari masing-masing rancanganyaitu RII, RIII, dan RIV adalah 74.5 o C, 83.2 o C, dan 98.6 o C. 4. Setelah dilakukan uji karakteristik penyemprotan bahan bakar dapat disimpulkan bahwa minyak nyamplung yang telah dipanaskan memiliki diameter dan sudut penyemprotan yang hampir sama dengan biosolar. Perbedaaan pengkabutan minyak nyamplung sebelum dipanaskan dan setelah dipanaskan pada suhu 110 o C yaitu sebelum dipanaskan pengkabutan minyak lebih kasar dan tidak merata, sedangkan setelah dipanaskan pengkabutan minyak nyamplung lebih halus dan merata. 5. Terjadi penurunan daya poros tanpa beban dan torsi maksimum motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar dibandingkan dengan menggunakan biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan adalah minyak N4. Pada saat menggunakan biosolar, daya maksimum yang diperoleh sebanyak tiga kali ulangan adalah 5.99 kw, 5.95 kw, dan 5.87kW dan torsi maksimum sebesar 144.53 Nm, 144.53 Nm, dan 123.74 Nm. Sedangkan pada saat menggunakan minyak N4, daya poros maksimum yang diperoleh adalah 4.88 kw, 5.35 kw, dan 5.39 kw, dan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm pada semua pengulangan. Rata-rata mengalami penurunan daya poros sebesar 12.26% dan penurunan torsi sebesar 9.59%. 45

7.2 Saran 1. Dalam pembuatan elemen pemanas perlu diperhatikan pada saat pembuatan lilitan pipa tembaga. Pada lilitan pipa tembaga tidak boleh terjadi patahan atau lekukan yang menyebabkan diameter pipa tembaga mengecil, sehingga terjadi penyempitan saluran bahan bakar. Hal ini dapat menyebabkan aliran minyak dalam saluran bahan bakar (pipa tembaga) terhambat. 2. Sebelum melakukan perancangan elemen pemanas, sebaiknya dilakukan pengukuran konsumsi bahan bakar minyak nyamplung, untuk mengetahui laju aliran massa minyak nyamplung dalam elemen pemanas dan dilakukan pengukuran suhu keluaran dari gas buang motor diesel yang akan digunakan, agar rancangan yang dibuat memiliki perhitungan yang tepat. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penggunaan minyak nyamplung terhadap ketahanan motor diesel. Terutama pada ruang pembakaran (misalnya, timbulnya kerak, korosi) yang bisa menyebabkan kerusakan atau menyebabkan umur teknis dari motor diesel menjadi berkurang. 46

DAFTAR PUSTAKA Aidil, D. 2001. Mempelajari Karakteristik Tenaga Dan Penggunaan Bahan Bakar Traktor Dan Motor Diesel Sebagai Sumber Tenaga Gerak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Arismunandar, W. 2005. Penggerak Mula Motor Bakar Torak. Penerbit ITB: Bandung. Arismunandar, W. dan K. Tsuda. 2008. Motor Diesel Putaran Tinggi. Pradnya Paramita: Jakarta. [Balitbang Kehutanan] Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Departemen Kehutanan. Jakarta. Bhatia, M. V. and P. N. Cheremisinoff. 1980. Heat Transfer Equipment. Technomic Publishing Company, Inc.: Pennsylvania. Cengel, Y. A. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. McGraw-Hill: New York. Davis, G. L. 1983. Agricultural And Automotive Diesel Mechanics. Pretince-Hall, Inc.: New Jersey. Debaut, V. J., Y. B. Jean dan S. A. Greentech. 2005. Tamanol a Stimulan for Collagen Synthesis for Use in anti Wrinkle and anti Stretch Mark Products Cosmetic and Toiletries Manufacture World Wide. Greentech, St. France. Desrial. 1990. Mempelajari Pemanfatan Gas Buang Motor Bakar Diesel Sebagai Sumber Energi Panas Dan Mekanis Untuk Alat Pengering Gabah Tipe Rak Zig-Zag. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Dweek, A. C. Dan T. Meadows. 2002. Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) the Africa, Asia Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci., 24:1-8. Fathiyah, Syelly. 2010. Kajian Proses Pemurnian Minyak Nyamplung Sebagai Bahan Bakar Nabati. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fatiha, Pramuditya, A. Evaluasi Kinerja Daya Poros Motor Diesel Berbahan Bakar Minyak Kelapa Menggunakan Water Brake Dynamometer yang Sudah Dimodifikasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Fitrian, A. E. 1986. Mempelajari Karakteristik Motor Diesel Pada Beberapa Besar Beban. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Harsokoesoemo, D.1999.Pengantar Perancangan Teknik (Perancangan Produk).Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Tinggi.Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Holman, J. P. 1993. Perpindahan Kalor. Erlangga: Jakarta. Jones, F. R. 1963. Farm Gas Engine and Tractors. McGraw Hill Book Company, Inc.: New York. Kamil, S. dan Pawito. 1983. Termodinamika Dan Perpindahan Panas. Depdikbud: Jakarta. Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak Dan Lemak Pangan. UI-Press: Jakarta. Kilham, C. 2004. Oil of Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) http://www.newchapter.info/media [12 Februari 2010]. Kreith, F. 1973. Principles Of Heat Transfer. Erlangga: Jakarta. Liljedahl, J. B., W. M. Carleton, P. K. Turnquist and D. W. Smith. 1989. Tractor And Their Power Unit. An Avi Book: New York. Miftahuddin. 2009. Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Kelapa untuk Motor Bakar Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. 47

Murniasih, Dedeh. 2009. Kajian Proses Produksi Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Putra, Anes, K.2009.Rancang Bangun Bagian Penyalur dan Penampung Pada Mesin Penyapu Jalan.Skripsi.Fakultas Teknologi Pertanian.IPB:Bogor. Saipul. 1994. Studi Penggunaan Minyak Kemiri (Aleurites moluccana WILLD) Sebagai Bahan Bakar Motor Diesel. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Suastawa, I. N., W. Hermawan, Desrial, R. G. Sitompul dan Gatot P. 2006. Pedoman Praktikum Alat Dan Mesin Budidaya Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Wharton, A. J. 1991. Diesel Engines. Butterworth-Heinemann Ltd.: London. Zemansky, M. W. dan Richard H. D. 1986. Kalor dan Termodinamika. Penerbit ITB: Bandung. 48

LAMPIRAN 49

Lampiran 1. Spesifikasi motor bakar Diesel No Keterangan Data 1 Merek Yanmar TF 85 MLY-di 2 Tipe Motor bakar Diesel horizontal 4 langkah, 1 silinder 3 Daya kerja 7.5 HP = 5.59 kw pada 2200 rpm 4 Daya kerja maksimum 8.5 HP = 6.34 kw pada 2200 rpm 5 Volume silinder 493 cc 6 Bahan bakar Solar 7 Tipe pompa injeksi Bosch 8 Sistem pembakaran Direct injection 10 Sistem pelumasan Tekanan dan percikan 11 Tipe pompa pelumas Trikoida 13 Minyak pelumas SAE 30 14 Sistem pendinginan Pendingin air tipe radiator 16 Saringan udara Tipe basah 17 Sistem katup Over head valve 19 Starter Engkol Gambar 34. Motor diesel Yanmar TF-85 50

Lampiran 2. Analisis pindah panas pada rancangan 1 NYAMPLUNG OIL EXHAUST GAS TEMPERATURE( C) ΔT 1 ΔT 2 ΔT 1 -ΔT 2 ΔT 1 /ΔT 2 ln ΔT 1 /ΔT 2 RATE OF HEAT TRANSFER (Q) watt LMTD (ΔT LM ) SURFACE AREA (A) m 2 LENGTH (l) m T in T out T in T out 150 50 40 20 20 2.00 0.69 170 28.85 0.12 4.68 30 110 150 100 40 70-30 0.57-0.56 170 53.61 0.06 2.52 150 150 40 120-80 0.33-1.10 170 72.82 0.05 1.85 200 50 90 20 70 4.50 1.50 170 46.54 0.07 2.90 200 100 90 70 20 1.29 0.25 170 79.58 0.04 1.70 200 150 90 120-30 0.75-0.29 170 104.28 0.03 1.29 250 50 140 20 120 7.00 1.95 170 61.67 0.05 2.19 250 100 140 70 70 2.00 0.69 170 100.99 0.03 1.34 250 150 140 120 20 1.17 0.15 170 129.74 0.03 1.04 300 50 190 20 170 9.50 2.25 170 75.51 0.04 1.79 300 100 190 70 120 2.71 1.00 170 120.18 0.03 1.12 300 150 190 120 70 1.58 0.46 170 152.33 0.02 0.89 Keterangan : diameter pipa tembaga = 0.8 cm (8mm) Asumsi pindah panas 75 % x 2.52 m = Panjang pipa yang dibutuhkan = 3.4m 51

Lampiran 3. Analisis pindah panas pada rancangan 2 NYAMPLUNG OIL EXHAUST GAS TEMPERATURE( C) ΔT 1 ΔT 2 ΔT 1 -ΔT 2 ΔT 1 /ΔT 2 ln ΔT 1 /ΔT 2 RATE OF HEAT TRANSFER (Q) watt LMTD (ΔT LM ) SURFACE AREA (A) m 2 LENGTH (l) m T in T out T in T out 115 50 5 20-15 0.25-1.39 170 10.82 0.31 12.51 30 110 115 90 5 60-55 0.08-2.48 170 22.13 0.15 6.12 115 130 5 100-95 0.05-3.00 170 31.71 0.11 4.27 125 50 15 20-5 0.75-0.29 170 17.38 0.20 7.79 125 90 15 60-45 0.25-1.39 170 32.46 0.10 4.17 125 130 15 100-85 0.15-1.90 170 44.80 0.08 3.02 135 50 25 20 5 1.25 0.22 170 22.41 0.15 6.04 135 90 25 60-35 0.42-0.88 170 39.98 0.09 3.39 135 130 25 100-75 0.25-1.39 170 54.10 0.06 2.50 145 50 35 20 15 1.75 0.56 170 26.80 0.13 5.05 145 90 35 60-25 0.58-0.54 170 46.38 0.07 2.92 145 130 35 100-65 0.35-1.05 170 61.92 0.05 2.19 Keterangan : diameter pipa tembaga = 0.8 cm (8mm) Asumsi pindah panas 90 % x 6.12 m = Panjang pipa yang dibutuhkan = 6.79 m 52

Lampiran 4. Analisis pindah panas pada rancangan 3 NYAMPLUNG OIL EXHAUST GAS TEMPERATURE( C) ΔT 1 ΔT 2 ΔT 1 -ΔT 2 ΔT 1 /ΔT 2 ln ΔT 1 /ΔT 2 RATE OF HEAT TRANSFER (Q) watt LMTD (ΔT LM ) SURFACE AREA (A) m 2 LENGTH (l) m T in T out T in T out 115 50 5 20-15 0.25-1.39 170 10.82 0.31 16.68 30 110 115 90 5 60-55 0.08-2.48 170 22.13 0.15 8.15 115 130 5 100-95 0.05-3.00 170 31.71 0.11 5.69 125 50 15 20-5 0.75-0.29 170 17.38 0.20 10.38 125 90 15 60-45 0.25-1.39 170 32.46 0.10 5.56 125 130 15 100-85 0.15-1.90 170 44.80 0.08 4.03 135 50 25 20 5 1.25 0.22 170 22.41 0.15 8.05 135 90 25 60-35 0.42-0.88 170 39.98 0.09 4.51 135 130 25 100-75 0.25-1.39 170 54.10 0.06 3.34 145 50 35 20 15 1.75 0.56 170 26.80 0.13 6.73 145 90 35 60-25 0.58-0.54 170 46.38 0.07 3.89 145 130 35 100-65 0.35-1.05 170 61.92 0.05 2.91 Keterangan : diameter pipa tembaga = 0.6 cm (8mm) Asumsi pindah panas 90 % x 8.15 m = Panjang pipa yang dibutuhkan = 9.05 m 53

Lampiran 5. Analisis pindah panas pada rancangan 4 NYAMPLUNG OIL EXHAUST GAS TEMPERATURE( C) ΔT 1 ΔT 2 ΔT 1 -ΔT 2 ΔT 1 /ΔT 2 ln ΔT 1 /ΔT 2 RATE OF HEAT TRANSFER (Q) watt LMTD (ΔT LM ) SURFACE AREA (A) m 2 LENGTH (l) m T in T out T in T out 115 50 5 20-15 0.25-1.39 170 10.82 0.31 12.51 30 110 115 90 5 60-55 0.08-2.48 170 22.13 0.15 6.12 115 130 5 100-95 0.05-3.00 170 31.71 0.11 4.27 125 50 15 20-5 0.75-0.29 170 17.38 0.20 7.79 125 90 15 60-45 0.25-1.39 170 32.46 0.10 4.17 125 130 15 100-85 0.15-1.90 170 44.80 0.08 3.02 135 50 25 20 5 1.25 0.22 170 22.41 0.15 6.04 135 90 25 60-35 0.42-0.88 170 39.98 0.09 3.39 135 130 25 100-75 0.25-1.39 170 54.10 0.06 2.50 145 50 35 20 15 1.75 0.56 170 26.80 0.13 5.05 145 90 35 60-25 0.58-0.54 170 46.38 0.07 2.92 145 130 35 100-65 0.35-1.05 170 61.92 0.05 2.19 Keterangan : diameter pipa tembaga = 0.8 cm (8mm) Asumsi pindah panas 90 % x6.12 m = Panjang pipa yang dibutuhkan = 6.79 m 54

Lampiran 6. Data hasil uji karakteristik penyemprotan Bahan Bakar Minyak nyamplung kasar tanpa pemanasan Minyak nyamplung kasar dengan pemanasan 110 o C Minyak nyamplung degumming tanpa pemanasan Minyak nyamplung degumming dengan pemanasan 110 o C Minyak nyamplung netralisasi tanpa pemanasan Minyak nyamplung netralisasi dengan pemanasan 110 o C Minyak nyamplung degumming dan netralisasi tanpa pemanasan Ulangan Sumbu horizontal Panjang (mm) Sumbu vertical Diameter penyemprotan (mm) Sudut penyemprotan ( o ) 1 53 55 54 10.28 2 60 55 57.5 10.95 3 56 50 53 10.09 Rata- rata 56.33 53.33 54.83 10.44 1 65 59 62 11.79 2 64 55 59.5 11.33 3 70 55 62.5 11.89 Rata- rata 66.33 56.33 61.33 11.67 1 65 68 66.5 12.65 2 62 63 62.5 11.89 3 61 58 59.5 11.33 Rata- rata 62.67 63 62.83 11.96 1 68 64 66 12.55 2 75 70 72.5 13.78 3 82 65 73.5 13.97 Rata- rata 75 66.33 70.67 13.43 1 65 65 65 12.37 2 68 60 64 12.18 3 62 60 61 11.61 Rata- rata 65 61.67 63.33 12.05 1 58 50 54 10.29 2 55 50 52.5 10.00 3 58 49 53.5 10.19 Rata- rata 57 49.67 53.33 10.16 1 65 61 63 11.99 2 55 57 56 10.66 3 67 64 65.5 12.46 55

Minyak nyamplung degumming dan netralisasi dengan pemanasan 110 o C Rata- rata 62.33 60.67 61.50 11.71 1 65 62 63.5 12.08 2 65 67 66 12.55 3 61 60 60.5 11.52 Rata- rata 63.67 63 63.33 12.05 Biosolar 1 69 63 66 12.55 2 67 50 58.5 11.14 3 79 78 78.5 14.91 Rata- rata 71.67 63.67 67.67 12.87 56

Lampiran 7. Foto hasil uji karakteristik penyemprotan - Minyak N1 tanpa pemanasan - Minyak N1 dengan pemanasan 110 o C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 57

Lampiran 7. Lanjutan - N2 tanpa pemanasan - N2 dengan pemanasan 110 o C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 58

Lampiran 7. Lanjutan - N3 tanpa pemanasan - N3 dengan pemanasan 110 o C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 59

Lampiran 7. Lanjutan - N4 tanpa pemanasan - N4 dengan pemanasan 110 o C Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 60

Lampiran 7. Lanjutan Biosolar Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 61

Lampiran 8. Hasil Pengukuran Suhu Elemen Pemanas Elemen Pemanas Bahan Bakar Ulangan ke- Rpm T1 ( o C) T2 ( o C) T3 ( o C) T4 ( o C) T5 ( o C) R I N2 1 1700 30.3 31.5 54.8 141.8 30.3 R II R III R IV N2 N2 N2 N3 N4 1 32.3 43.3 67.3 131.1 30.3 2 1700 28.9 30.2 72.1 144.2 30.3 3 29.7 37.1 72.5 144.2 30.6 Rataan 30.3 36.8 70.6 139.8 30.4 1 28.0 36.9 74.2 153.7 27.2 2 2000 26.4 37.3 73.6 154.0 25.3 3 24.8 38.2 75.8 160.8 25.0 Rataan 26.4 37.5 74.5 156.2 25.9 1 31.4 30.5 57.4 136.4 33.5 2 1700 27.1 26.9 68.4 136.3 29.6 3 30.4 30.6 70.8 143.6 32.4 Rataan 29.6 29.4 65.6 138.8 31.9 1 31.3 42.3 83.3 156.4 30.5 2 2000 32.0 42.9 82.7 157.2 32.4 3 31.9 44.5 83.6 155.5 31.9 Rataan 31.7 43.2 83.2 156.4 31.6 1 26.8 29.3 86.7 146.3 27.6 2 1700 27.3 29.3 85.1 146.7 28.2 3 29.7 32.7 87.3 154.1 29.8 Rataan 28.0 30.4 86.4 149.0 28.5 1 26.4 32.6 99.1 168.0 27.1 2 2000 30.7 39.4 97.4 172.1 30.6 3 31.5 37.0 99.4 174.7 31.5 Rataan 29.6 36.3 98.6 171.6 29.8 1 32.1 34.0 72.7 154.8 33.6 2 1700 32.0 33.2 89.6 160.3 31.7 3 28.2 29.1 89.4 156.7 27.7 Rataan 30.7 32.1 83.9 157.3 31.0 1 26.3 28.7 98.9 177.8 27.4 2 2000 30.1 32.1 101.0 180.7 30.3 3 32.8 34.5 102.5 183.0 31.9 Rataan 29.7 31.8 100.8 180.5 29.8 1 29.9 31.5 85.0 139.9 29.3 2 1700 31.1 32.7 93.7 157.0 31.2 3 31.6 33.0 96.0 158.8 31.5 Rataan 30.8 32.5 91.6 151.9 30.7 62

N1 1 30.3 32.8 107.6 179.5 31.2 2 2000 29.3 31.7 110.1 181.2 28.8 3 28.3 30.9 107.7 181.5 29.1 Rataan 29.3 31.8 108.5 180.7 29.7 1 32.9 36.6 76.5 155.9 32.2 2 1700 32.5 34.6 90.7 153.8 30.6 3 32.2 37.4 93.9 154.3 33.3 Rataan 32.6 36.2 87.0 154.7 32.0 1 31.7 45.5 108.6 177.1 31.7 2 2000 26.4 32.5 107.0 174.9 28.1 3 29.4 36.7 106.6 174.8 29.9 Rataan 29.1 38.3 107.4 175.6 29.9 Keterangan : T1 = Suhu rata-rata dalam tangki minyak nyamplung T2 = Suhu rata-rata minyak nyamplung sebelum masuk elemen pemanas T3 = Suhu rata-rata minyak nyamplung setelah masuk elemen pemanas T4 = Suhu rata-rata gas buang knalpot T5 = Suhu rata-rata ruangan 63

Lampiran 9. Data Kalibrasi Termokopel Termokopel 1 Termokopel 2 Termokopel 3 Termokopel 4 Termokopel 5 Termokopel Standar 34.6 34.5 34.7 33.4 34.7 33.0 37.7 37.7 37.6 35.5 37.8 35.0 41.8 41.7 41.6 38.6 41.7 38.0 43.8 43.5 43.7 40.2 43.6 40.0 49.5 49.1 49.2 44.7 49.3 45.0 55.5 55.3 55.3 49.9 55.5 50.0 59.1 58.9 58.9 52.6 58.8 53.0 61.6 61.4 61.4 54.9 61.4 55.0 65.2 65.0 65.0 58.0 65.0 58.0 67.7 67.6 67.4 59.7 67.6 60.0 72.1 71.9 71.9 63.5 72.1 63.0 74.4 74.2 74.2 65.3 74.2 65.0 77.8 77.7 77.6 68.3 77.8 68.0 80.3 80.2 80.1 70.4 80.5 70.0 84.7 84.8 84.5 74.2 84.8 73.0 86.8 86.8 86.6 75.9 86.9 75.0 90.3 90.3 90.1 78.8 90.4 78.0 92.5 92.5 92.4 80.8 92.4 80.0 98.7 98.7 98.4 85.9 98.7 85.0 102.1 102.2 102.0 89.0 102.2 88.0 104.6 104.5 104.4 90.9 104.7 90.0 108.0 108.0 107.8 93.9 108.2 93.0 110.3 110.3 110.2 95.9 110.4 95.0 113.1 112.9 112.9 98.1 112.9 98.0 114.9 114.7 114.7 99.9 114.8 100.0 120.6 120.2 120.3 105.0 120.3 105.0 125.8 125.6 125.6 109.8 125.6 110.0 131.2 131.0 131.0 114.8 131.0 115.0 64

Lampiran 10. Grafik Data Kalibrasi Termokopel Grafik dan Persamaan 65

Lampiran 10. Lanjutan 66

Lampiran 10. Lanjutan 67

Lampiran 11. Grafik Prestasi Biosolar Ulangan 1 Rpm Torsi (N.m) Daya (kw) 2100 9.40 0.62 1930 19.79 1.30 1920 30.19 1.83 1900 40.58 2.44 1700 61.37 3.30 1620 92.56 4.74 1500 123.74 5.87 1310 144.53 5.99 68

Lampiran 11. Lanjutan Ulangan 2 Rpm Torsi (N.m) Daya (kw) 2040 9.40 0.61 1940 30.19 1.30 1930 40.58 2.48 1900 40.58 2.44 1810 82.16 4.71 1680 102.95 5.47 1500 123.74 5.87 1300 144.53 5.95 69

Lampiran 11. Lanjutan Ulangan 3 Rpm Torsi (N.m) Daya (kw) 2100 9.40 0.62 1920 30.19 1.30 1900 40.58 2.44 1860 61.37 3.61 1800 82.16 4.68 1690 102.95 5.51 1500 123.74 5.87 1330 134.14 5.65 70

Lampiran 12. Data hasil pengukuran daya minyak nyamplung Ulangan 1 Rpm Gaya (µstrain) Gaya (N) Torsi (Nm) N P (kw) 1987 1 35.99 19.79 600.72 1.24 1982 1 35.99 19.79 599.21 1.24 1979 1.2 39.77 21.87 598.30 1.37 1974 1.2 39.77 21.87 596.79 1.37 1970 1.2 39.77 21.87 595.58 1.36 1966 1.4 43.55 23.95 594.37 1.49 1957 1.5 45.44 24.99 591.65 1.55 1948 2 54.89 30.19 588.93 1.86 1334 5 111.59 61.37 403.30 2.59 1310 6.4 138.05 75.93 396.05 3.15 1289 8 168.29 92.56 389.70 3.78 1246 11 224.99 123.74 376.70 4.88 1226 9 187.19 102.95 370.65 3.99 Ulangan 2 Rpm Gaya (µstrain) Gaya (N) Torsi (Nm) N P (kw) 2013 0.6 28.43 15.64 608.58 1.00 2011 0.8 32.21 17.72 607.98 1.13 2010 0.8 32.21 17.72 607.67 1.13 2000 1 35.99 19.79 604.65 1.25 1995 1 35.99 19.79 603.14 1.25 1987 1.2 39.77 21.87 600.72 1.38 1980 1.2 39.77 21.87 598.61 1.37 1973 1.4 43.55 23.95 596.49 1.50 1955 2.2 58.67 32.27 591.05 2.00 1924 2.6 66.23 36.43 581.67 2.22 1915 4.6 104.03 57.22 578.95 3.47 1882 6.6 141.83 78.01 568.98 4.65 1367 11 224.99 123.74 413.28 5.35 1298 8.6 179.63 98.80 392.42 4.06 71

Lampiran 12. Lanjutan Ulangan 3 Rpm Gaya (µstrain) Gaya (N) Torsi (Nm) N P (kw) 1982 0.6 28.43 15.64 599.21 0.98 1980 0.6 28.43 15.64 598.61 0.98 1978 1 35.99 19.79 598.00 1.24 1975 1 35.99 19.79 597.09 1.24 1959 1.6 47.33 26.03 592.26 1.61 1951 1.8 51.11 28.11 589.84 1.74 1950 1.8 51.11 28.11 589.54 1.73 1945 2 54.89 30.19 588.02 1.86 1931 2.4 62.45 34.35 583.79 2.10 1906 2.6 66.23 36.43 576.23 2.20 1888 3 73.79 40.58 570.79 2.42 1886 3 73.79 40.58 570.19 2.42 1852 3.2 77.57 42.66 559.91 2.50 1730 4 92.69 50.98 523.02 2.79 1610 6 130.49 71.77 486.74 3.66 1497 7 149.39 82.16 452.58 3.89 1401 7 149.39 82.16 423.56 3.64 1382 8 168.29 92.56 417.81 4.05 1377 11 224.99 123.74 416.30 5.39 1115 8 168.29 92.56 337.09 3.27 72

Lampiran 13. Harga pembuatan elemen pemanas. - Rancangan I Knalpot Yanmar TF-85 Rp. 55.000 Pipa tembaga 8 mm, panjang 4 m Rp. 45.000 Plat besi Rp. 25.000 Upah pembuatan Rp. 75.000 Total biaya Rp. 200.000 - Rancangan II Knalpot Yanmar TF-85 Rp. 55.000 Pipa tembaga 8 mm, panjang 7 m Rp. 80.000 Plat besi Rp. 25.000 Upah pembuatan Rp. 75.000 Total biaya Rp. 235.000 - Rancangan III Knalpot Yanmar TF-85 Rp. 55.000 Pipa tembaga 6 mm, panjang 9.5 m Rp. 76.000 Plat besi Rp. 25.000 Upah pembuatan Rp. 75.000 Total biaya Rp. 231.000 - Rancangan IV Pipa tembaga 8 mm, panjang 7 m Rp. 80.000 Plat besi Rp. 25.000 Pipa besi Rp. 20.000 Upah pembuatan Rp. 75.000 Total biaya Rp. 200.000 73

Lampiran 14. Gambar Teknik Rancangan I 74