BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekitar 80% penyebab kematian neonatal di seluruh dunia adalah komplikasi dari kelahiran prematur, infeksi neonatal dan asfiksia (WHO, 2006). Di Indonesia, penyebab kematian bayi terbesar adalah asfiksia. Angka kejadian asfiksia neonatorum di Indonesia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran hidup dan menyumbang 19% dari 5 juta kematian bayi baru lahir per tahunnya (Setiyobudi, 2008). Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak mampu bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir sehingga dapat menyebabkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2007). Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah prematuritas, kehamilan lewat waktu, lilitan tali pusar, gangguan pusat pernapasan,faktor ibu dan faktor lainnya (JNPK-KR, 2007). Metode untuk mendeteksi asfiksia pada bayi baru lahir adalah dengan melihat nilai APGAR menit pertama dan menit kelima. Salah satu faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum adalah usia kehamilan ibu. Usia kehamilan ibu yang kurang dari 37 minggu (prematuritas) dan lebih dari 42 minggu (kehamilan lewat waktu) dikatakan merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya asfiksia neonatorum. Persalinan prematur menyebabkan 60%-80% morbiditas dan mortalitas neonatus dan 23% dari kematian neonatus tersebut disebabkan oleh asfiksia neonatorum (Drage et al., 1980) Kehamilan prematur menyebabkan gangguan pada bayi baru lahir. Gangguan tersebut dapat berupa bayi lebih rentan terkena infeksi, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan asfiksia neonatorum (Mochtar, 1998). Bayi prematur cenderung memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lahir cukup bulan. Selain itu, bayi prematur memiliki kesempatan bertahan hidup dan skor intelegensia yang lebih rendah dibandingkan bayi yang memiliki berat 1
2 badan cukup. Berbagai penyulit dapat terjadi pada bayi prematur seperti sindroma gawat napas yang dapat berakhir dengan kematian bayi (merupakan penyulit jangka pendek) dan kebutaan, ketulian, kelumpuhan dan keterbelakangan mental (merupakan penyulit jangka panjang) (Hutapea, 2001). Kehamilan lewat waktu adalah kehamilan yang telah mencapai 42 minggu lengkap atau lebih dan dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Kehamilan lewat waktu adalah salah satu kehamilan berisiko dibandingkan kehamilan cukup bulan terbukti dengan tingginya angka mortalitas dan morbiditasnya dibandingkan dengan kehamilan cukup waktu. Pada kehamilan lewat waktu, plasenta akan mengalami penuaan sehingga fungsi plasenta dalam respiratorik, metabolik, nutrisi dan endokrin akan menurun. Penurunan fungsi plasenta dalam berbagai hal diatas akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan bayi di dalam rahim ibu. Bayi akan mudah mengalami komplikasi seperti hipoglikemia, polisitemia dan kelainan neurologis. Di Indonesia, angka kejadian kehamilan lewat waktu sekitar 10% apabila menggunakan batas waktu 42 minggu dan sekitar 3,4-4% jika menggunakan batas waktu 43 minggu (Varney et al., 2007). Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab kematian bayi baru lahir dan bisa dideteksi menggunakan nilai APGAR menit pertama dan menit kelima sedangkan prematuritas dan kehamilan lewat waktu adalah salah satu faktor pencetus asfiksia neonatorum. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa kali risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dibanding dengan usia kehamilan 37-41 minggu?
3 2. Berapa kali risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan lebih dari 41 minggu dibanding dengan usia kehamilan 37-41 minggu? 3. Berapa kali risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dibanding dengan usia kehamilan lebih dari 41 minggu? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perbandingan risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dibanding bayi dengan usia kehamilan 37-41 minggu 2. Mengetahui perbandingan risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan lebih dari 41 minggu dibanding bayi dengan usia kehamilan 37-41 minggu 3. Mengetahui perbandingan risiko terjadinya asfiksia bayi lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dibanding bayi dengan usia kehamilan lebih dari 41 minggu 1.4. Manfaat Penelitian Dengan mengetahui hubungan antara usia kehamilan dengan nilai APGAR bayi lahir diharapkan: 1. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan penulis dan mengaplikasikan teori yang diperoleh selama perkuliahan dan menambah pengetahuan tentang kesehatan masyarakat khususnya kesehatan ibu dan anak yaitu asfiksia neonatorum. 2. Bagi peneliti selanjutnya, dapat sebagai wahana pengetahuan dan referensi yang dapat digunakan untuk penelitian-penelitian
4 selanjutnya yang terutama berkaitan dengan hubungan usia kehamilan dengan nilai apgar bayi lahir. 3. Bagi institusi, dapat digunakan sebagai masukan program penanggulangan asfiksia neonatorum dan prevensinya sehingga dapat menurunkan insidensi. 1.5. Keaslian Penelitian Studi mengenai pengaruh usia kehamilan terhadap nilai APGAR bayi lahir sudah pernah dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh: 1. Wijayanti, Erna Eka. 2010. Hubungan Kehamilan Lewat Waktu Dengan Kejadian Asfiksia Bayi Baru Lahir (Di RSUD dr. R. Koesma Tuban) Tuban : STIKES NU TUBAN. Wijayanti (2010) melakukan penelitian tentang hubungan kehamilan lewat waktu dengan asfiksia bayi baru lahir dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara asfiksia dengan kehamilan lewat waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti hanya menilai hubungan kehamilan lewat waktu dengan kejadian asfiksia sedangkan penulis juga mencari hubungan antara prematuritas dengan kejadian asfiksia bayi lahir. 2. Ekasari, Wahyu Utami. 2015. Pengaruh Umur Ibu, Paritas, Usia Kehamilan Dan Berat Lahir Bayi terhadap Asfiksia Bayi Pada Ibu Pre Eklamsia Berat. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Pada studi ini Ekasari mencari hubungan antara umur ibu, paritas, usia kehamilan dan berat lahir bayi dengan asfiksia pada populasi ibu hamil dengan preeklamsia berat. Didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara asfiksia dengan umur ibu, paritas, usia kehamilan dan berat lahir bayi pada ibu dengan preeklamsia berat. Subjek penelitian yang digunakan adalah ibu dengan preeklamsia berat sedangkan subjek yang dipilih untuk penelitian penulis tidak hanya terbatas pada ibu yang memiliki preeklamsia berat.
5 3. Thorngren-Jerneck, K. & Herbst, A., 2001. Low 5-minute Apgar score: A population-based register study of 1 million term births. Obstetrics and Gynecology, 98(1), pp.65 70. Pada penelitian yang dilakukan di Swedia ini bertujuan mengetahui angka kejadian nilai APGAR 5 menit dibawah 7 pada bayi aterm dan mengetahui faktor risiko kehamilan apa saja yang dapat mempengaruhi nilai APGAR 5 menit. Hasil yang didapatkan adalah 0,76% subjek memiliki nilai APGAR 5 menit dibawah 7. Faktor risiko tertinggi untuk nilai APGAR dibawah 7 adalah kelahiran vaginal dengan presentasi bokong dan berat badan bayi diatas 5 kg. Selain itu, faktor risiko lain yang signifikan adalah primipara, usia ibu, merokok, kehamilan lewat waktu, analgesik epidural, bayi berjenis kelamin laki-laki dan melahirkan saat malam hari. Penelitian Thorngren-Jerneck & Herbst memiliki keluaran berupa faktor risiko apa saja yang dapat mempengaruhi nilai APGAR 5 menit dibawah 7 sedangkan penelitian yang dilakukan penulis tidak hanya berfokus pada nilai APGAR menit kelima tetapi juga nilai APGAR menit pertama. Selain itu, peneliti lebih memfokuskan untuk meneliti hubungan antara usia kehamilan ibu dengan nilai APGAR.