BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Untuk menjaga keberlangsungannya, perusahaan tidak bisa hanya memperhatikan aspek keuangan namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan karena kesadaran masyarakat telah meningkat bahwa kegiatan operasional perusahaan akan memberikan dampak sosial dan lingkungan disekitar perusahaan tersebut. Corporate social responsibility (CSR) merupakan klaim agar perusahaan tidak hanya beroperasi untuk kepentingan pemegang saham saja, tetapi juga untuk orang lain di sekitarnya dalam praktek bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen dan lingkungan. Fenomena yang berkaitan dengan pelanggaran tanggung jawab sosial perusahaan juga telah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus seperti banjir lumpur panas Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur, pencemaran Teluk Buyat di Minahasa Selatan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, pembakaran hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, masalah pemberdayaan masyarakat suku di wilayah pertambangan Freeport di Papua, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon mobil yang mengelola gas bumi di Arun merupakan kasus nyata dari diabaikannya tanggung jawab sosial perusahaan. Beberapa tahun belakangan ini juga terjadi kasus-kasus pelanggaran tanggung jawab sosial diantaranya kasus pencemaran lingkungan dan konflik dengan masyarakat setempat, misalnya pencemaran limbah oleh perusahaan yang
bergerak dibidang pemotongan ternak PT Ciomas Adisatwa naungan PT JAPFA yang berlokasi di Desa Bontotalasa, Kecamatan Simbang sangat meresahkan warga sekitar. Selanjutnya kasus sengketa lahan ratusan hektar pabrik PT Indocement yang diakui milik warga Desa Lulut Kecamatan Klapa Nunggal Kabupaten Bogor, Jawa Barat belum terselesaikan hingga saat ini. Teori legitimasi mengakui bahwa bisnis dibatasi oleh kontrak sosial. Menurut Ekowati (2012) perusahaan sepakat untuk menunjukkan berbagai aktivitas sosial perusahaan, agar perusahaan memperoleh penerimaan masyarakat. Penerimaan yang baik dari masyarakat dapat membantu perusahaan mencapai tujuannya, sehingga akhirnya dapat menjamin keberlangsungan hidup perusahaan. Legitimasi dari masyarakat dapat menjadikan perusahaan semakin berkembang. Menurut Patten (1992) salah satu upaya yang perlu dilakukan perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif adalah dengan melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan terkait dengan CSR. Dengan adanya pengungkapan CSR yang baik maka diharapkan perusahaan akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat sehingga berpengaruh terhadap eksistensi perusahaan. Dalam teori Triple Bottom Line yang dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P (Profit, People, Planet). Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Di Indonesia, kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan sudah mulai berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peraturan yang mengatur hal tersebut dalam Undang-undangan No.40 tahun 2007 tentang Persero Terbatas, pada bab IV bagian kedua pasal 66 (2), poin c yang mengatur tentang laporan tahunan, disebutkan bahwa direksi harus menyampaikan laporan tahunan yang sekurang-kuranganya memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Lebih jauh lagi, dalam Undang-undang No. 40 Pasal 74 Tahun 2007, bab V tentang Tanggung Jawab Sosial. Pada pasal 74 (1), (2), (3) dan (4) disebutkan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang ada atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu berupa biaya yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatuhan dan kewajaran. Apabila perusahaan tidak melakukan kewajiban tersebut maka akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Agar dapat berkesinambungan perusahaan sangat perlu mempertimbangkan lingkungan sosialnya dalam melakukan pengambilan keputusan. Teori agensi menyebutkan bahwa perusahaan adalah tempat atau intersection point bagi hubungan kontrak yang terjadi antara manajemen, pemilik, kreditor, dan pemerintah (Harahap, 2008). Hubungan keagenan muncul ketika principal membayar manajer professional untuk bertindak atas namanya dan mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan
perusahaan atau karyawan ( Maulana, 2013). Dalam teori agensi, perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung untuk mengungkapkan informasi sosial lebih banyak karena tingkat profitabilitas yang semakin tinggi mencerminkan kemampuan entitas dalam menghasilkan laba semakin tinggi, sehingga entitas mampu untuk meningkatkan tanggung jawab sosial, serta melakukan pengungkapan tangung jawab sosial dalam laporan keuangan dengan lebih luas (Ekowati, 2012). Hal ini sesuai dengan studi empirik yang lakukan oleh Almilia (2011), Putri (2013), Pradnyani (2015) yang menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara ROA dengan tingkat pengungkapan sosial. Namun penelitian lain seperti pada penelitian Merina (2012), Maulana (2013) menghasilkan bahwa ROA tidak memiliki pengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Dalam penelitian Pradnyani (2015) menyatakan bahwa ROE berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR, namun berbeda dari hasil penelitian Putri (2013) yang menyatakan bahwa ROE berpengaruh negatif terhadap pengungkapan CSR. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar nilai ROE yang dihasilkan maka justru semakin sedikit pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan. Pada penelitian Putri ( 2013) juga mengungkapkan bahwa NPM memiliki pengaruh yang positif terhadap pengungkapan CSR. Kepemilikan oleh manajemen (inside ownership) dapat membantu mensejajarkan kepentingan manajer dengan kepentingan pemegang saham sehingga mereka akan menanggung biaya yang sama jika mereka lalai atau berlebihan dalam menggunakan aset ( Fitriyani, 2014). Kepemilikan asing dalam perusahaan merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Seperti diketahui, negara-negara luar terutama Eropa dan United State merupakan negara-negara yang sangat memperhatikan isu-isu sosial seperti pelanggaran hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu lingkungan seperti, efek rumah kaca, pembalakan liar, serta pencemaran air (Hadi, 2011). Institusi sebagai pemilik tidak akan membiarkan perusahaan yang menjadi investasinya kehilangan going concern. Institusi dianggap lebih paham akan pentingnya kontrak sosial dan legitimasi dari seluruh pemangku kepentingan serta menyadari adanya biaya keagenan yang mungkin muncul, sehingga membuat tanggung jawab sosial masuk ke dalam komponen pengawasan dan evaluasi. Hal ini berarti kepemilikan institusi dapat menjadi pendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial. Telah ada beberapa penelitian mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap pengungkapan CSR namun penelitain penelitian tersebut masih memiliki hasil yang berbeda-beda. Diantaranya pada penelitian Purnama (2014) menyatakan bahwa kepemilikan institusi memiliki pengaruh terhadap pengungkapan CSR namun pada penelitian Djakman (2008) kepemilikan institusi tidak memiliki pengaruh terhadap pengungkapan CSR, dan pada penelitian Djakman (2008) juga menyatakan bahwa kepemilikan asing tidak memiliki pengaruh terhadap pengungkapan CSR. Sementara itu pada penelitian Anggraini (2006) menyatakan bahwa kepemilikan manajemen memiliki pengaruh terhadap pengungkapan CSR. Perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang
berukuran kecil (Purnama, 2014). Hal ini dikaitkan dengan teori agensi, dimana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan jumlah aset sebagai cara untuk mengukur ukuran perusahaan. Menurut Lako (2011) kenaikan laba otomatis akan meningkatkan jumlah aset dan jumlah ekuitas perusahaan. Dalam teori agensi menyatakan bahwa perolehan laba yang semakin besar akan membuat perusahaan mengungkapkan informasi sosial lebih banyak (Putri, 2013). Semakin banyak jumlah aset suatu perusahaan seharusnya semakin baik juga kondisi suatu perusahaan tersebut dan menarik perhatian bagi para investor untuk menanamkan sahamnya pada perusahaan tersebut (Maulana, 2014). Banyaknya investor yang menanamkan saham pada perusahaan tersebut diharapkan perusahaan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial. Telah ada beberapa penelitian yang menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel bebas maupun sebagai variabel moderasi. Dari beberapa penelitian tersebut masih memiliki hasil yang berbeda-beda. Pada penelitian Sari (2012), Almilia (2011), Maulana (2014), Krisna (2014) dan Purnama (2014) menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel bebas menghasilkan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap pengungkapan CSR, namun pada penelitian Anggraini (2006) menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan CSR. Penelitian yang menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel pemoderasi seperti pada penelitian Fauzi (2007) menyatakan bahwa ukuran perusahaan dapat memoderasi hubungan antara CSP
dengan FFP, namun pada penlitian Orlitzky (2001) menyatakan sebaliknya bahwa ukuran perusahaan tidak dapat memoderasi hubungan antara CSP dengan FFP. Pada penelitian Yustiana (2011) menyatakan bahwa ukuran perusahaan dapat memoderasi hubungan antara pengungkapan CSR dengan ROA namun tidak dapat memoderasi hubungan pengungkapan CSR dengan DER. Adanya fenomena-fenomena yang telah disampaikan diatas baik fenomena tentang kasus pelanggaran tanggung jawab sosial maupun adanya perbedaanperbedaan hasil penelitain terdahulu, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Pengaruh struktur kepemilikan dan kinerja keuangan terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan ukuran perusahaan sebagai pemoderasi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah untuk melihat secara empiris : 1. Apakah kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, kepemilikan asing, ROE, ROA dan NPM perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social responsibility (CSR) baik secara simultan dan parsial pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2012 2014? 2. Apakah ukuran perusahaan dapat memoderasi hubungan antara kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, kepemilikan asing, ROE, ROA dan NPM perusahaan dengan pengungkapan corporate social
responsibility (CSR) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa : 1. Pengaruh kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, kepemilikan asing, ROE, ROA dan NPM perusahaan terhadap pengungkapan corporate social responsibility (CSR) baik secara simultan dan parsial pada perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia tahun 2012 2014. 2. Ukuran perusahaan dapat memoderasi hubungan antara kepemilikan manajemen, kepemilikan institusi, kepemilikan asing, ROE, ROA dan NPM perusahaan dan kinerja keuangan perusahaan dengan pengungkapan corporate social responsibility (CSR) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan Peneliti khususnya tentang pengaruh struktur kepemilikan dan kinerja keuangan perusahaan terhadap pengungkapan corporate social responsibility dan bagaimana pengaruh ukuran perusahaan sebagai variabel pemoderasi terhadap struktur kepemilikan, kinerja keuangan perusahaan dan pengungkapan corporate social responsibility.
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan meningkatkan pengetahuan mengenai pengungkapan corporate social responsibility dengan segala komponen yang mempengaruhinya khususnya pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) 3. Bagi manajemen perusahaan, investor dan emiten, dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya pengungkapan corporate social responsibility dan sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijaksanaan perusahaan untuk lebih meningkatkan kepeduliannya pada lingkungan sosial. 1.5. Originalitas Penelitian ini didasarkan pada penelitian Djakman (2008), yang menyatakan bahwa Struktur kepemilikan tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan corporate social responsibility (CSR) dalam laporan tahunan perusahaaan. Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan penelitian sebelumnya, masih menunjukkan bahwa kepemilikan institusi dan kepemilikan asing tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah: 1. Penelitian ini mengambil 3 (tiga) tahun periode penelitian yaitu tahun 2012, 2013 dan 2014. Sedangan penelitian sebelumnya mengambil 1(satu) tahun periode penelitian yaitu tahun 2006.
2. Penelitian ini menambahkan variabel kepemilikan manajemen dan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROE, ROA dan NPM sebagai variabel independen dan ukuran perusahaan sebagai variabel pemoderasi. Tabel 1.1 Perbedaan Penelitian No. Keterangan Penelitian Sebelumnya 1. Dependent Variabel Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) 2. Independen Variabel Kepemilikan Institusi, Kepemilikan Asing Penelitian Sekarang Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Kepemilikan manajemen, kepemilikan asing, kepemilikan institusi, ROA, ROE, NPM 3. Variabel Moderasi - Ukuran Perusahaan 4. Tahun Penelitian 2006 2012-2014 5. Populasi Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2006 Sumber : Hasil peneliti Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2012-2014