BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

ABSTRAK. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

Studi Deskriptif Mengenai School Engagement pada Siswa Kelas X SMA X Bandung

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dunia pendidikan. Keterikatan siswa oleh beberapa peneliti, pendidik dan

BAB I PENDAHULUAN. ilmunya dalam dunia pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Dalam jenjang

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa, mengembangkan pengendalian

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan formal pertama sistem pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. nonformal (Pikiran Rakyat, 12 November 1998). Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi remaja untuk mendapatkan

1 2

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Siswa-siswi yang sedang berada di tingkat pendidikan SMA. seringkali menjadi kekhawatiran bagi orang tua dan guru, karena

Bab I PENDAHULUAN. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterikatan siswa pada sekolah didefinisikan seberapa terlibat dan tertarik

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

Kata Kunci: Sekolah Engagement, metode deskriptif, Convenience sampling.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak terlepas dan bersifat sangat

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku, di mana individu

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

BAB I PENDAHULUAN. kejadian menghasilkan ke kejadian yang lain (Kuhn, 1991 dalam; John W

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak akan lepas

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. manusia dan masyarakat Indonesia yang maju, modern, dan sejajar dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Beberapa tahun terakhir ini sering kita melihat siswa siswi yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. sekedar persaingan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) saja, tetapi juga produk dan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terhadap masa depan seseorang. Seperti yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. SMPN T Kota Bandung merupakan salah satu SMP Negeri yang. mendapat nilai akreditasi A dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Dengan Metode Kerja Kelompok Siswa Kelas VI SDN Omu

BAB I PENDAHULUAN. kritis, kreatif dan mampu bersaing menghadapi tantangan di era globalisasi nantinya.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

Pengaruh Parent Autonomy Support terhadap School Engagement pada Siswa Kelas IV-VI SD X di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi anak usia sekolah tidak hanya dalam rangka pengembangan individu, namun juga untuk

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan pada bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pendidikan formal, belajar menunjukkan adanya perubahan yang sifatnya positif sehingga pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya (Wahyuningsih, 2004). Prestasi belajar tersebut sebagian besar dilihat dari hasil akhir penilaian siswa di sekolah selama mengikuti pelajaran yang diberikan. Hasil akhir penilaian tersebut adalah berupa nilai akademik yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam mengerjakan tugas, ulangan dan ujian di sekolah. Untuk mendapat hasil akhir penilaian tersebut, para siswa harus terlibat dalam proses pembelajaran dan kegiatan kegiatan yang diadakan di sekolah. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa adanya keterlibatan siswa terhadap kegiatan kegiatan di sekolah ternyata memiliki hubungan dengan prestasi mereka karena Finn et.al. (dalam Fredricks, Blumenfeld & Paris, 2004) menyatakan, tidak adanya partisipasi siswa dalam kegiatan sekolah dapat membuat siswa berhadapan pada kegagalan akademik berupa prestasi yang rendah dan tinggal kelas. Oleh karena itu, sekolah juga menginginkan siswa siswi mereka mau terlibat dalam setiap proses pembelajaran secara akademik maupun non-akademik. School Engagement adalah konstruk multidimensional mengenai keterlibatan siswa dalam aktivitas akademik dan non-akademik di sekolah yang meliputi keterlibatan behavioral, emotional, dan cognitive (Fredricks et al., 2004). Menurut Fredricks (2004), school engagement 1

2 terdiri dari tiga komponen yaitu behavioral, emotional, dan cognitive engagement. Behavioral engagement adalah dimana siswa terlibat dalam partisipasi pada kegiatan akademik dan non akademik di sekolah. Emotional engagement mengacu pada keterlibatan emosi berupa reaksi positif dan negatif siswa terhadap guru, teman, pelajaran, dan sekolah. Reaksi emosi positif siswa dapat berupa ketertarikan dan kebahagiaan, sedangkan reaksi emosi negatif siswa dapat berupa kebosanan, kesedihan, dan kecemasan. Cognitive engagement adalah dimana siswa melakukan strategi dalam pembelajaran. Penelitian School Engagement berfokus pada upper elementary yaitu kelas 4 6 SD dan masa SD merupakan masa meletakkan dasar dasar perkembangan bagi pendidikan selanjutnya (Fredricks, et.al, 2004). Menurut Appleton (2008), school engagement memberikan dampak dampak positif terhadap educational outcomes, yaitu terhadap prestasi akademik, relasi sosial, dan emosi. Diantara educational outcomes lainnya, academic achievement / performance merupakan salah satu hasil akhir dalam pencapaian proses pembelajaran siswa yang seringkali dijadikan tolak ukur keberhasilan siswa di sekolah. Academic achievement ini pada umumnya dipahami sebagai seberapa tinggi pencapaian akademik yang diperoleh siswa pada beberapa mata pelajaran di sekolah. Berdasarkan data yang telah peneliti dapatkan melalui sekolah SD X ini, diperoleh informasi bahwa sekolah ini memiliki visi, yaitu menjadi lembaga pendidikan unggulan yang mengutamakan Iman, Integritas, dan Ilmu. Pihak sekolah berharap para siswa mau terlibat di dalam kegiatan kegiatan di sekolah, khususnya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Seluruh siswa diwajibkan untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan akademik maupun non-akademik. sehingga diharapkan para siswa dapat memiliki prestasi belajar yang baik di sekolah. Peneliti juga mewawancarai tiga orang guru kelas 4, 5, dan 6 SD X mengenai harapan mereka terhadap siswa dan dukungan apa saja yang sudah mereka berikan. Dari hasil wawancara

3 tersebut diperoleh data dimana mereka menyatakan bahwa mereka memiliki harapan pada siswa agar mendapatkan nilai yang bagus, dapat naik kelas, khususnya untuk kelas 6 sangat diharapkan seluruh siswa dapat lulus dengan nilai yang baik. Hal ini diaplikasi oleh pihak sekolah melalui penetapan nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) berkisar 75 untuk sebagian besar mata pelajaran yang diajarkan. Secara tidak langsung, siswa harus mencapai nilai tersebut agar terhindar dari remedial ataupun tidak naik kelas. Namun, pada kenyataannya adalah masih ada siswa yang belum dapat mencapai nilai KKM dan pada waktu PRA UN dan melakukan try out, terdapat siswa yang masih mendapatkan nilai di bawah rata rata dari nilai standar kelulusan. Guru merasa sudah mendukung mereka dengan memberikan latihan latihan, mengajar dengan metode yang menarik agar para siswa dapat tertarik dengan pelajaran di sekolah agar siswa dapat memiliki strategi dalam pembelajaran (cognitive engagement) sehingga mendapatkan prestasi yang baik. Selain itu, dari school engagement yang terdapat pada siswa juga dapat menghasilkan sebuah perilaku. Setiap siswa biasanya memiliki perilaku berbeda dalam menghadapi proses pembelajaran di sekolah. Perilaku perilaku mereka tersebut ada yang positif dan juga negatif. Perilaku negatif mereka biasanya dianggap sebagai perilaku bermasalah bagi guru di sekolah. Perilaku bermasalah tersebut adalah seperti kesulitan belajar pada bidang tertentu, membolos, malas, dan perilaku lainnya yang merupakan masalah ringan yang terjadi di sekolah. Tetapi, perilaku membolos, menyontek, dan perilaku bermasalah lain yang tidak sesuai dengan tuntutan sekolah dapat dipicu oleh penolakan siswa untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran dan kegiatan akademik lainnya di sekolah (Janowitz, et.al. (1978) dalam Fredricks (2004)). Menurut Skinner dan Belmont (1993), mereka menemukan bahwa guru yang memiliki tanggapan dan harapan jelas terhadap siswa secara konsisten maka siswa akan lebih memiliki behavioral engagement dan emotional engagement. Namun, kenyataannya masih saja ada siswa

4 yang merasa bosan saat belajar dan banyak mengobrol saat sedang belajar. Selain itu, guru guru juga berharap para siswa dapat mengikuti aturan aturan guru dan sekolah yang sudah diterapkan terutama dalam hal pembelajaran, menghormati guru di sekolah saat mengajar, bersikap baik dan sopan. Oleh karena itu para guru berusaha keras membimbing mereka di sekolah. Meskipun guru merasa sudah cukup berusaha membimbing mereka, masih saja ada siswa di setiap masing masing jenjang kelas 4 sampai kelas 6 SD X yang bersikap tidak sesuai dengan apa yang guru harapkan. Terdapat siswa yang tidak memperhatikan saat guru mengajar dengan membuka buka buku lain di luar mata pelajaran yang guru tersebut ajarkan, mengobrol dengan temannya saat guru mengajar, mengumpulkan tugas hanya sekedarnya bahkan ada anak yang sering tidak mengumpulkan tugas dengan alasan lupa, tidak tahu disimpan dimana, hilang, dan alasan lainnya. Selain itu, ada juga beberapa siswa yang bersikap tidak sopan terhadap guru. Perilaku perilaku tersebut menunjukkan bahwa terdapat siswa SD X yang kurang engaged khususnya adalah dalam hal emotional engagement dan behavioral engagement. Berdasarkan fenomena tersebut maka dilakukan survei awal oleh peneliti terhadap 6 orang siswa SD X Bandung diperoleh hasil sebagai berikut. Dari 6 orang siswa, masing masing 2 orang siswa dari kelas 4 6, sebanyak 5 orang siswa (83,3%) mengatakan bahwa mereka aktif di dalam kelas saat menjawab pertanyaan guru atau aktif bertanya kepada guru saat ada materi yang tidak mereka mengerti, sedangkan 1 orang siswa (16,7%) mengatakan tidak aktif dalam proses pembelajaran tanya jawab saat di kelas, hal tersebut menggambarkan behavioral engagement. Selain itu, sebanyak 3 orang siswa (50%) merasa senang belajar mata pelajaran yang menarik dan cara guru mengajar juga menarik, sedangkan 3 siswa (50%) mengatakan mereka bosan dengan cara guru menerangkan di kelas, hal tersebut menggambarkan emotional engagement. Selain itu, sebanyak 2 orang siswa (33,3%) suka menandai materi pelajaran yang

5 penting untuk dipelajari lagi, sedangkan 4 orang siswa (66,7%) mengatakan tidak suka menandai materi pelajaran yang penting, hal tersebut menggambarkan cognitive engagement. Oleh sebab itu, sebagian besar siswa menunjukkan behavioral engagement yang disengaged, emotional engagement yang merata antara engaged dan disengagaed, dan sebagian besar siswa menunjukkan cognitive engagement yang disengaged. Berdasarkan fenomena dan hasil penelitian penelitian yang telah diungkapkan di atas, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang school engagement pada siswa kelas 4-6 SD X di kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran School Engagement pada siswa kelas 4-6 SD X di Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran seberapa besar derajat school engagement siswa di SD X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai School Engagement pada siswa kelas 4 6 SD X di Kota Bandung. Selain itu mengetahui gambaran tiap komponen School Engagement, yaitu Behavioral Engagement, Emotional Engagement, dan Cognitive Engagement 1.4 Kegunaaan Penelitian

6 1.4.1 Kegunaan Teoritis Kegunaan teoritis penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi mengenai school engagement bagi pengembangan Ilmu Psikologi terutama Psikologi Pendidikan. 2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai School Engagement siswa. 1.4.2 Kegunaan Praktis Kegunaan praktis penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi kepada pihak sekolah mengenai gambaran school engagement pada siswa SD X Bandung. 2. Memberikan masukkan kepada guru untuk meningkatkan school engagement siswa kelas 4 6 SD X Bandung agar dapat engage di sekolah. 1.5 Kerangka Pemikiran Siswa kelas 4 6 SD X Bandung ini sudah masuk ke dalam tahap perkembangan kognitif konkret operasional menurut Piaget, dimana mereka sudah dapat berpikir secara logis tentang suatu objek dan peristiwa serta mereka sudah dapat berpikir lebih terorganisasi. Dalam perkembangan emosinya, kebanyakan siswa sudah memiliki teknik teknik untuk dapat mengelola emosi mereka (Kliewer, Fearnow, & Miller, 1996). Di dalam situasi dimana mereka dapat mengontrol emosi dengan mencari cara untuk memecahkan masalah dan mencari dukungan sosial sebagai sebuah strategi. Di setiap sekolah, para siswa diharapkan memiliki keterlibatan dalam proses pembelajaran di sekolah. Keterlibatan mereka dapat dilihat saat proses belajar mengajar di

7 kelas ataupun di luar kelas namun masih di dalam lingkungan sekolah. Keterlibatan siswa tersebut dapat terlihat dari beberapa komponen yang dapat diukur. Dari pengukuran tersebut dapat diperoleh seberapa besar siswa SD X Bandung dapat engage atau terlibat dalam proses pembelajaran. Teori yang dipakai dalam mengukur keterlibatan siswa SD X Bandung ini adalah school engagement. School Engagement adalah konstruk multidimensional mengenai keterlibatan siswa dalam aktivitas akademik dan non-akademik di sekolah yang meliputi keterlibatan behavioral, emotional, dan cognitive (Fredricks et al., 2004). Menurut Fredricks (2004), school engagement terdiri dari tiga komponen yaitu behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement. Komponen behavioral engagement meliputi kegiatan partisipasi aktif siswa SD X Bandung dalam akademik, sosial, atau kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu siswa juga berperilaku positif dengan tidak bolos sekolah dan mau terlibat dalam tugas tugas pembelajaran di sekolah. Behavioral engagement juga ditunjukkan oleh siswa dengan perilaku aktif di dalam kelas seperti mau bertanya mengenai materi yang belum dimengerti, mau mengerjakan tugas dan mengumpulkannya tepat waktu, dan mentaati peraturan kelas/sekolah. Saat siswa SD X Bandung berperilaku positif dengan memperhatikan saat guru menjelaskan, aktif dalam pembelajaran tanya jawab di kelas, bertanya kepada guru saat tidak mengerti materi yang disampaikan, rajin mengerjakan setiap tugas dari guru dan mengumpulkan dengan tepat waktu, mentaati peraturan kelas/sekolah, misalnya masuk kelas tepat waktu, maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki behavioral engagement yang engaged. Sebaliknya di saat siswa SD X Bandung mengobrol ketika guru menjelaskan, diam saja saat pembelajaran tanya jawab di kelas, sering melanggar aturan kelas/sekolah, misalnya sering membolos, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu, memakai seragam

8 sekolah tidak sesuai dengan jadwal, maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki behavioral engagement yang disengaged. Komponen emotional engagement meliputi reaksi afektif positif dan negatif siswa SD X Bandung terhadap proses pembelajaran di kelas/sekolah. Emotional engagement ditunjukkan oleh siswa SD X Bandung dengan ketertarikan terhadap proses pembelajaran di kelas, ketertarikan mengikuti kegiatan esktrakurikuler wajib atau pilihan, antusias dalam diskusi di kelas, dan merasa senang saat dirinya menjadi bagian penting dalam kelas/sekolah. Saat siswa SD X Bandung menyukai guru guru di sekolah, tertarik dengsn pembelajaran di kelas, senang dalam bekerjasama dengan teman temannya dalam sebuah kelompok, senang mengikuti kegiatan kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan kegiatan sekolah yang lainnya, dan merasa senang berada di lingkungan sekolah, maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki emotional engagement yang engaged. Sebaliknya, di saat siswa SD X Bandung tidak menyukai guru guru yang mengajar, merasa bosan mengikuti pembelajaran, merasa cemas ketika berbicara dengan guru, lebih senang mengerjakan tugas sendiri dibandingkan berkelompok maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki emotional engagement yang disengaged. Komponen yang ketiga adalah komponen cognitive engagement dimana siswa SD X Bandung memiliki perhatian terhadap tugas, penguasaan tugas, dan bersedia mengerahkan upaya yang diperlukan untuk memahami ide ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Siswa menggunakan strategi belajar seperti latihan, merangkum dengan berbagai cara agar memahami materi lebih dalam. Siswa memiliki tujuan untuk mendalami setiap materi yang diberikan agar tidak hanya sekedar mengumpulkan tugas saja, tetapi juga mendapatkan nilai yang bagus dan dapat mengaplikasikan pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Saat siswa SD X Bandung memeriksa kembali pekerjaan setelah

9 mengerjakannya, mencari pengetahuan tambahan melalui buku pelajaran lain atau melalui internet, memiliki strategi dalam belajar, misalnya dengan menandai materi yang penting, menghafal materi dengan lagu, kata kunci atau gambar, maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki cognitive engagement yang engaged. Sebaliknya apabila siswa SD X Bandung sulit konsentrasi dengan pelajaran sehingga memikirkan hal lain di luar pelajaran, tidak berusaha mencari cara untuk mengerjakan tugas yang sulit, maka siswa SD X Bandung tersebut memiliki behavioral engagement yang disengaged. Beberapa faktor yang mempengaruhi School Engagement menurut Fredricks, et al 2004, yaitu school level factor, classroom context, dan individual needs. School level factor terdiri atas kebebasan dalam memilih, partisipasi siswa dalam kebijakan dan aturan sekolah, pengembangan akademis, tujuan yang jelas dan konsisten, serta ukuran kelas. Kesempatan siswa untuk memilih kegiatan, misalnya kebebasan mencipta dan kebebasan memilih kegiatan ekstrakurikuler,akan mempengaruhi School Engagement. Siswa yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, untuk mengembangkan relasi sosial, dan memiliki tujuan pembelajaran yang jelas akanmemiliki school engagement yang engaged. School level factor ini melakukan penelitian di satu sekolah jadi tidak bisa dibandingkan dengan sekolah lain. Hasilnya pun bukan hasil persepsi siswa jadi tidak akan diukur. Classroom context terdiri atas dukungan guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan kemandirian dan karakteristik tugas. Dalam dukungan guru, ketika guru memperlakukan siswa secara adil, hal tersebut dapat membuat hubungan yang positif antara siswa dan gurunya. Apabila guru memberi dukungan kepada siswanya, maka siswa akan engaged di sekolahnya. Sebaliknya jika guru bersikap acuh terhadap siswanya, maka siswa akan disengaged.

10 Pengaruh teman sebaya, dimana siswa SD X sedang berada pada masa perkembangan anak-anak menengah menuju akhir atau awal masa remaja sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Dapat dilihat ketika siswa merasa diterima oleh temantemannya, hal tersebut berpengaruh pada relasi sosial dan menjadikannya semakin positif. Siswa SD X akan berperilaku sesuai dengan lingkungan/aturan yang berlaku, juga sesama siswa akan saling berdiskusi dengan teman sekelas secara aktif mengenai permasalahan akademik atau tugas yang mereka hadapi. Dalam faktor struktur kelas, ketika norma dan aturan yang didapatkan oleh siswa jelas dan efisien, pengaturan kelas baik, dan harapan terhadap siswa jelas, akan dapat mengurangi masalah kedisiplinan yang muncul. Siswa akan merasa lebih senang di kelas dan tentu saja akan mempengaruhi keterlibatan, performa dan tujuan belajar siswa SD X. Sedangkan dalam faktor autonomy support, ketika siswa memiliki banyak pilihan untuk memilih kegiatan non akademik yang diikutinya contohnya seperti kegiatan ekstrakurikuler, turut aktif dalam kepanitiaan bazaar di sekolah, dan lain-lain, akan dapat lebih lama bertahan saat menghadapi suatu masalah dan akan meningkatkan minatnya dalam mempelajari materi. Faktor karakteristik tugas, akan mempengaruhi school engagement siswa SD X ketika komponen tugas yang diberikan menuntut siswa untuk mengerti dan memahami lebih dalam, misalnya dengan mengumpulkan materi-materi yang berhubungan dengan tema yang sedang dipelajari, dan mengevaluasi tugas atau pekerjaan akan meningkatkan perilaku belajar yang lebih positif, daripada tugas yang hanya memerlukan menghafal dan mengingat kembali. Faktor individual needs terdiri dari kebutuhan relasi, kebutuhan otonomi, dan kebutuhan kompetensi. Dalam faktor kebutuhan relasi, ketika siswa terpenuhi kebutuhan

11 relasinya, baik terhadap sekolah, guru, maupun teman-temannya, dapat berkontribusi dalam meningkatkan relasi yang positif dan dalam meningkatkan school engagement mereka. Dalam kebutuhan otonomi, ketika siswa memiliki banyak kesempatan untuk memilih, memiliki kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, memiliki kebebasan untuk menciptakan sesuatu, relatif bebas dari kontrol eksternal, siswa akan lebih bertindak dengan motivasi internalnya, akan lebih menyukai aktivitas tersebut dan berusaha mengerjakan tugas dengan baik. Dalam faktor kebutuhan kompetensi, ketika siswa dapat menentukan keberhasilan mereka, dapat menentukan dan merencanakan hal-hal yang dibutuhkan, dapat mengerjakan tugas dengan baik dan menampilkan yang terbaik, maka akan meningkatkan peran kognitif siswa dalam pencapaiannya. Namun, dalam hal ini peneliti tidak mengukur faktor faktor yang mempengaruhi School Engagement. Di dalam penelitian ini yang diukur adalah hanya gambaran secara deskriptif mengenai School Engagement pada siswa kelas 4 6 SD X Bandung, yaitu seberapa banyak siswa yang memiliki School Engagement yang engaged dan disengaged. Untuk mengetahui secara lebih jelas, dapat dilihat pada bagan kerangka pikir sebagai berikut :

12 Siswa kelas 4-6 SD X di Kota Bandung School Engagement Engaged Disengaged Behavioral Engagement Emotional Engagement Cognitive Engagement Bagan 1.5.1 Bagan Kerangka Pemikiran 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas, peneliti memiliki asumsi sebagai berikut : 1. Siswa kelas 4-6 SD X Bandung memiliki School engagement yang engaged atau disengaged. 2. School Engagement pada siswa kelas 4-6 SD X di Kota Bandung akan memengaruhi achievement / performance siswa yang diharapkan di sekolah.