I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan yang lainnya. Sebagai contoh Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.65/MEN/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Selama menjelajah Nusantara, ia telah menempuh jarak lebih dari km dan berhasil mengumpulkan spesimen fauna meliputi 8.

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN KEMAJUAN BROP DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Labuan, Pebruari 2010

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

RENCANA STRATEGIS

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

Pendahuluan. Bab 1. Hutan dan Pengelolaan Hutan di Jamali-Nusra. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Taman Nasional Ujung Kulon

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

SMP NEGERI 3 MENGGALA

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Hubert Forestier dan Truman Simanjuntak (1998, Hlm. 77), Indonesia

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.64/MEN/2009 TENTANG

BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

KEPUTUSAN NOMOR KEP.38/MEN/2009 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 ( 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB X. PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN BERBASIS EKOLOGI

SAMBUTAN. PADA PEMBUKAAN SEMINAR BENANG MERAH KONSERVASI FLORA DAN FAUNA DENGAN PERUBAHAN IKLIM Manado, 28 Mei 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

BAB II DESKRIPSI TEMPAT WISATA Sejarah Taman Wisata Alam Mangrove Pantai Indah Kapuk. lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.35/MEN/2011 TENTANG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

BAB. I. PENDAHULUAN A.

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kawasan konservasi memiliki sejarah pembentukan yang berbeda-beda. Masing-masing mempunyai tujuan tersendiri yang mungkin tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk perlindungan habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), Taman Nasional Komodo sebagai habitat Komodo (Varanus komodoensis), Cagar Alam Pagerwunung Darupono di Kendal Jawa Tengah untuk perlindungan jati alam. Sejarah mengenai kawasan konservasi merupakan hal penting yang perlu diketahui, Simon, (2004) menuliskan bahwa sejarah merupakan salah satu sumber informasi yang penting artinya untuk evaluasi dan perencanaan serta rekayasa pengelolaan ke depan. Jadi dengan mempelajari sejarah kawasan konservasi diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi ke arah yang lebih baik di masa mendatang. Mengkaji sejarah perkembangan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah tidak terlepas dari pengaruh pemerintahan kolonial Belanda. Kegiatan konservasi sendiri merupakan perkembangan dari preservasi. Sejarah ide preservasi lahir di Eropa kemudian berkembang menjadi konservasi dengan prinsip pemanfaatan di Amerika. Meski demikian, Indonesia juga terkena imbasnya, terutama pada masa Kolonial Belanda. Para naturalis Belanda juga mempunyai rasa memiliki terhadap alam Indonesia yang kaya dengan aneka ragam flora dan fauna. 1

Hal ini terbukti dengan perlawanan para naturalis tersebut terhadap berbagai kebijakan kolonialis yang merusak alam, seperti perdagangan burung Cendrawasih yang tidak terkontrol. Para naturalis Belanda seperti M.C Piepers dan P.J Van Houten terus melakukan tekanan terhadap pemerintah kolonial Belanda agar peduli mengenai laju kepunahan cendrawasih, dan akhirnya membuahkan hasil, yaitu Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels (Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar) yang dikeluarkan pada tahun 1910. Tepat pada tanggal 22 Juli 1912 di Buitenzorg (Bogor), para naturalis ini sepakat mendirikan perkumpulan ini didirikan dengan nama Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming) dengan diketuai oleh Dr. SH Koorders, Mereka juga merintis pendirian kawasan perlindungan seperti cagar alam (Natuurmonument) di Depok (Yudhistira, 2011). Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1916 telah menerbitkan Natuurmonumenten-Ordonnantie (Peraturan tentang Monumen Alam). Peraturan ini menjadi landasan hukum penunjukkan kawasan cagar alam di wilayah Hindia Belanda. Ada 43 monumen alam yang ditunjuk sekitar tahun-tahun tersebut. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya, telah ditetapkan sebagai Monumen Alam pada tahun 1921 (Jepson & Whittaker, 2002). Tonggak sejarah baru dimulai pada 1932, Natuurmonumenten En Wildreservaten Ordonnantie Stbl 17 Th 1932 atau Ordonasi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. 2

Dalam perkembangannya, hingga tahun 2010 pemerintah Indonesia telah menunjuk tak kurang 521 unit kawasan konservasi, dengan luasan mencapai lebih dari 27,2 juta hektar dengan berbagai tipe ekosistem. Jumlah dan luasan kawasan konservasi ini sudah berkurang dari tahun sebelumnya yang mencapai 28 juta hektar lebih (Ditjen PHKA, 2011). Di Propinsi Jawa Tengah terdapat 38 kawasan konservasi dan 25 di antaranya merupakan tinggalan dari Belanda dan kawasan konservasi tersebut memiliki ukuran yang bervariasi dari 0,5 ha sampai 11.000 ha. Kawasan konservasi ini tersebar tidak merata dan terkonsentrasi di beberapa tempat dan menyisakan daerah kosong di tempat lain. Jepson (2002) menuliskan bahwa kegiatan konservasi pada masa pemerintahan kolonial Belanda dipengaruhi oleh kegiatan konservasi dunia internasional pada masa itu. Sejumlah publikasi mengenai sejarah lingkungan (termasuk kehutanan) Indonesia dari Proyek EDEN (Ecology, Demography, and Economy in Nusantara) membuka wawasan akan isu-isu menyangkut hubungan manusia-lingkungan di Indonesia. Karya yang disunting Peter Boomgaard, David Henley and Freek Colombijn Paper Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press, 1997) telah memberi banyak sumbangan. Dari proyek EDEN juga telah terbit beberapa monografi penting mengenai sejarah lingkungan. Penggalakan kajian sejarah lingkungan memberikan wawasan yang lebih mendalam atas persoalan lingkungan yang dihadapi pada masa kini dalam rangka mencari pemecahan yang komprehensif (Nawiyanto, 2011). 3

Penelitian mengenai perkembangan sejarah kawasan konservasi masih sangat sedikit, sebagian besar hanya membahas sejarah kehutanan secara umum, seperti Sejarah Kehutanan Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) pada tahun 1986 yang hanya sedikit sekali mengulas masalah sejarah konservasi. Ini terlihat hanya beberapa penulis lokal dan luar yang mengulas mengenai sejarah konservasi di Indonesia seperti contohnya Nancy Pelluso menulis mengenai The History of State Forest Management in Colonial Java pada tahun 1991. Beberapa tulisan yang tercatat dan yang saat ini dapat ditemukan yaitu Sejarah Kawasan Konservasi Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PHKA, Kementerian Kehutanan serta tulisan tulisan lepas yang dibuat oleh Walman Sinaga dan Ir. Herman Soewardi dalam buku Menyongsong Kehadiran Taman Nasional di Indonesia: Makna dan Manfaat dan Pengelolaan yang diterbitkan oleh Direktoral Jenderal Kehutanan, 1978. Beberapa penulis asing yang juga menyumbangkan tulisan mengenai sejarah konservasi adalah Paul Jepson dan Robert J.Whitakerr dalam Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia) pada tahun 2002, sebelumnya J.H Westerman juga menulis Wild Life Conservation In The Netherlands Empire, Its National And International Aspects. Selain itu tulisan yang sangat berharga disumbangkan oleh Peter Boomgaard, David Henley and Freek Colombijn Paper Landscapes: Explorations in the Environmental History of Indonesia (Leiden: KITLV Press, 1997) 4

B. Permasalahan Provinsi Jawa Tengah terletak pada koordinat 8º 30' - 5º 40' LS dan 108º 30' - 111º 30' BT (termasuk Kepulauan Karimunjawa) dengan batas utara adalah Laut Jawa, batas barat Propinsi Jawa Barat batas Timur Propinsi Jawa Timur dan batas selatan adalah Samudera Hindia. Luas kawasan konservasi yang ada di Provinsi Jawa Tengah saat ini adalah seluas 13.918,56 dengan total jumlah kawasan 38 kawasan konservasi dengan luasan mulai 0,5 ha (CA Wijaya Kusuma) sampai dengan 111.625 ha (TN Karimujawa & BKSDA Jawa Tengah, 2011). Prosentase Luas kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah hanya 2,14 % dari total kawasan hutan di propinsi tersebut yaitu 650.836,12 ha (tanpa menghitung kawasan perairan),dan apabila dibandingkan dengan luas wilayah provinsi maka luas kawasan konservasi tersebut hanya 0,47 % dari luas total Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah ini mempunyai nilai yang penting. Secara iklim menunjukkan suatu peralihan yang menarik antara kawasan bagian barat Pulau Jawa yang basah dengan bagian timur yang kering. Kawasan ini juga merupakan jembatan bagi mobilitas spesies yang mempunyai cakupan sebaran populasi di seluruh Pulau Jawa (Hermawan, 2002). Berbagai tipe ekosistem hutan yang dapat dijumpai mulai ekosistem pegunungan sampai ekosistem pantai serta ekosistem laut, beberapa telaga juga dijumpai di sini. Dominasi hutan yang ada adalah hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dengan jenis vegetasi utama jati dan mahoni. Kepadatan penduduk 5

di Provinsi Jawa Tengah 994,9 jiwa/km² (statistik Jawa Tengah, 2010) menjadikan kawasan ini mempunyai tekanan penduduk yang sangat tinggi dan mempengaruhi keutuhan hutan di wilayah ini. Hutan yang tersisa terpisah-pisah dalam bentuk fragmen-fragmen kecil terutama di daerah pegunungan. Selain mempermasalahkan tingginya tekanan terhadap kawasan konservasi, pertanyaan juga ditujukan pada desain kawasan konservasi yang ada. Seperti telah disebutkan di atas, kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah memiliki luasan kecil-kecil. Lokasi kawasan konservasi tersebar tidak merata dan hanya terkonsentrasi di beberapa kabupaten saja dengan hanya melindungi beberapa tipe ekosistem saja. Pemerintah Kolonial Belanda yang memulai penujukan kawsasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah yang kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada saat itu tentunya memiliki alasan mengapa menunjuk kawasan konservasi dengan luasan kecil-kecil di Provinsi Jawa Tengah dan terisolasi antara satu dengan lainnya mengingat kawasan konservasi yang kecil tersebut rentan menghadapi kepunahan. Lamanya pendudukan Peran Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek, tidak terkecuali dibidang konservasi. Bagaimana pengaruh Belanda terhadap kawasan konservasi di Jawa, apakah Belanda juga mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kawasan konservasi dan apakah Pemerintah Indonesia masih melanjutkan sistem yang digunakan oleh Kolonial Belanda merupakan bahasan yang sangat menarik untuk diteliti mengingat kawasan konservasi termasuk dalam bagian kehutanan. 6

Melihat hal tersebut pengkajian sejarah penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah menjadi hal yang sangat penting untuk melihat kembali pengelolaan kawasan konservasi yang telah dilakukan mulai dari masa kolonial Belanda (1919) sampai saat ini. adalah: Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini 1. apa yang mendasari penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana peran Kolonial Belanda dan Pemerintah Indonesia pada penunjukkan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah 3. Bagaimana persebarannya dan luasan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah. C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menyusun periodesasi sejarah penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah sejak masa kolonial Belanda sampai dengan saat ini. 2. Menganalisa faktor-faktor yang berperan dalam penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah. 3. Mengetahui pola sebaran dan luasan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah. 7

D. Manfaat 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini merupakan data sejarah mengenai sejarah perkembangan kawasan konservasi yang ada di Provinsi Jawa Tengah. 2. Manfaat bagi praktisi Masukan bagi instansi terkait sebagai pengelola kawasan koservasi dalam mengelola kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah. E. Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi hanya pada fase-fase penunjukan kawasan konservasi di Provinsi Jawa Tengah dan sejarah kawasan konservasi secara umum. 8