Sekali pun Telah Berlalu Namun Tetap Ada Harapan Sektor Petrus & Paulus Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka Rabu, 25 September 2013 A. Perjalanan Hidup Perjalanan hidup manusia di dunia ini dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu: 1. Masa Persiapan Mulai dari lahir sampai tumbuh menjadi dewasa, selama kurang lebih 25 tahun. Sebagai persiapan untuk membentuk keluarga sendiri di kemudian hari. 2. Masa Produktif Sudah menyelesaikan pendidikan dan mulai bekerja, untuk kemudian menikah, memiliki anak dan membesarkan anak-anaknya. Periode ini bisa selama 30-40 tahun. 3. Masa Senja Anak-anak sudah memasuki masa produktif-nya, tidak ada lagi tanggungan anak. Masa ini berlangsung sampai akhir hayat. Umumnya orang sangat memperhatikan pernikahan pada saat memasuki Masa Produktif, mulai dari memilih pasangan hidup dan persiapan pernikahan lainnya. Seringkali diabaikan: persiapan untuk menjadi orangtua. Begitu pula halnya ketika seseorang memasuki masa ketiga, yakni Masa Senja. Menjadi tua seringkali berlangsung tanpa persiapan dan akhirnya menjadi tidak siap. B. Anak di Mata Orangtua Semua orangtua menginginkan memiliki anak yang beriman dan berprestasi, sehingga menjadi kebanggaan bagi orangtua. Namun banyak juga orangtua yang memiliki anak yang biasa-biasa saja, rata-rata, sama seperti anak-anak lainnya. Permasalahan mulai timbul ketika anak berperilaku buruk, tidak seperti harapan orangtuanya, mulai dari ancaman narkoba, seks bebas, sampai kepada perilaku-perilaku buruk lainnya, seperti: pemalas, melawan orangtua, pemarah, egois, dsb. Ada juga anak yang dilahirkan sebagai anak disabilitas, memiliki kekurangan dalam hal jasmani maupun dalam hal mental, antara lain: anak cacat, keterbelakangan mental, keterlambatan pertumbuhan, dsb. Ada juga orangtua tidak dikaruniai anak. Dari sinilah muncul berbagai istilah, antara lain: anak angkat (adopsi), ayah tiri, ibu tiri, saudara tiri, dsb. 1
1. Anak bukan keinginan orangtua Ketika belum dikaruniai anak, orangtua berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan anak. Tetapi ketika telah mendapatkan anak, seringkali orangtua belum siap untuk menjadi orangtua. Terlebih lagi ketika anak dilahirkan atau ketika anak tumbuh tidak seperti harapan orangtuanya, maka keluarga itu mesti menghadapi berbagai persoalan keluarga. 2. Orangtua bukan keinginan anak Seringkali orangtua tidak menyadari bahwa anak pun berharap memiliki orangtua seperti yang diinginkannya. Teman-teman seringkali mengolok-olok anak yang memiliki orangtua cacat, misalnya. Mejadi idola bagi anak, yakni menjadi orangtua seperti yang diharapkan oleh anakanaknya merupakan kewajiban orangtua. C. Kaidah Umum Umumnya anak akan menjadi sebagaimana dibentuk oleh orangtuanya. Anak yang dididik dengan kasih sayang akan menjadikannya anak yang baik, namun jika dididik dengan kekerasan, maka anak akan pandai melawan orangtuanya. Seringkali orangtua tidak menyadari bahwa anaknya adalah hasil karya -nya. Faktor-faktor eksternal bisa jadi turut membentuk anak. Ayah dan kakeknya seringkali berbeda dalam membersarkan anak/cucu mereka, dan bahkan berebut satu sama lainnya. Menitipkan anak, atau menggaji baby sitter, karena orangtua bekerja, adalah problematika yang umum terjadi namun tidak disikapi dengan bijaksana dan benar, anak dibentuk oleh orang lain, bukan oleh orangtuanya sendiri. Dasar-dasar iman anak dibangun pada tiga tahun pertama sejak ia dilahirkan. Pada masa ini, perhatian orangtua kandung menjadi penting, karena orangtua adalah guru iman yang primer, original dan tak tergantikan. D. Menjadi Orangtua Tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua Tanpa buku petunjuk, tanpa persiapan: dengan apa kita mendidik anak kita? Rata-rata orangtua tidak siap menjadi orangtua Tidak tahu cara membesarkan anak-anak. Kesulitan mendidik anak. Orangtua belajar dari orangtuanya. Bagaimana kita dibesarkan, begitu kita membesarkan. Kita tidak setuju cara orangtua kita mendidik, tetapi mengapa kita ulangi terhadap anak-anak kita? 2
E. Menyadari kekeliruan sebagai orangtua Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seringkali orangtua tidak siap untuk menjadi orangtua, dan hal ini baru disadari setelah melihat bagaimana anak-anaknya tumbuh. Lalu orangtua pun merasa nasi telah menjadi bubur, dan tidak jarang orangtua lalu menjadi putus-asa. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan orangtua ini. Tiga hal pokok yang semestinya dilakukan oleh para orangtua: a. Mengenali dan memahami kebutuhan anak. Umumnya orangtua menuntut agar anak-anaknya mengenali dan memahami keinginan orangtuanya, lalu mereka mengabaikan apa yang menjadi keinginan maupun kebutuhan anak. b. Berusaha memulihkan relasi yang terlanjur memburuk. Sangat jarang bisa terjadi, anak yang memulai upaya memulihkan relasi dengan orangtuanya. Oleh karenanya, orangtualah yang mesti mengambil inisiatif. Ini terjadi bukan karena anak tidak menginginkan agar relasi dengan orangtuanya bisa membaik, melainkan karena anak-anak itu tidak tahu bagaimana caranya, dari mana mesti memulainya. c. Menumbuhkan Iman di dalam Keluarga. Tuhan adalah Sang Pencipta Manusia. Sebagai pencipta, tentulah Tuhan menginginkan agar manusia menjalani hidupnya sesuai dengan yang dikehendaki-nya. Menolak Tuhan sama artinya dengan menolak pertolongan-nya. Hadirkanlah Tuhan di dalam keluarga, agar Roh Kudus, dengan cara-nya yang seringkali tidak dimengerti oleh manusia, akan membantu memperbaiki relasi di dalam keluarga. Telah banyak sekali kesaksian, orang menemukan keluarganya yang seolah telah hilang itu ketika ia mengandalkan Tuhan dan memohon kepada-nya. Anak perlu mengetahui apa yang telah diperbuat oleh orangtuanya. Semua orangtua tentu mengasihi anak-anaknya. Tetapi anak seringkali tidak mengetahui akan hal ini. Inilah yang diajarkan Yesus kepada kita: Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? [Mat 7:9-10] Masalahnya, orangtua tidak pandai menuturkan apa yang telah diperbuat demi anak-anak yang dikasihinya itu, atau seringkali terlalu berlebihan menempatkan orangtua sebagai yang paling berjasa, sehingga menimbulkan antipati anak. Anak perlu mengetahui apa yang telah diperbuat oleh orangtuanya. Seringkali anak belum mampu melihat sendiri sehingga perlu diberitahu. Menceritakan dengan perbuatan akan jauh lebih efektif dibandingkan men-dongeng. Orangtua yang baik akan mendampingi anaknya di saat anaknya mengalami kesusahan, jangan malah meninggalkan, apalagi menambah-nambahi dengan omelan yang tidak berguna bagi anak. Misalnya, anak dihukum di sekolah karena kedapatan ada gambar porno di handphone-nya, lalu pihak sekolah mengabari orangtuanya. Sebagai orangtua, apa yang mesti kita lakukan? Memarahi anak? Pura-pura tidak tahu? 3
F. Menjadi Tua Akan menjadi sengsara jika orangtua tidak siap untuk menjadi tua. Mereka akan dihantui berbagai perasaan yang bisa mengganggu batinnya. Berbagai penyakit mulai menggerogoti jasmaninya, merasa ajal tidak akan lama lagi, dan menjadi semakin parah ketika merasa diri tidak berguna lagi. Sisa hidup dilewatkan dengan berbagai kekhawatiran. Perlu disadari bahwa setiap orang akan menjadi tua dan kemudian meninggal dunia. Mempersiapkan masa senja (masa tua) akan sangat menolong orang untuk melewatinya dengan baik. Mungkin ada orangtua yang mempunyai anak-anak yang berbakti, sehingga itu bisa menjadi penghiburan bagi mereka. Tetapi tidak sedikit orangtua yang justru ditinggalkan oleh anaknya di saat orangtuanya sudah tidak lagi berdaya. Beberapa tips berikut akan berguna dalam persiapan menjadi tua : Anak tumbuh menjadi dewasa, ia menjadi semakin matang. Ketika masih kanak-kanak, mungkin saja mereka tidak memiliki kemampuan atau nalar untuk memahami soal kehidupan dunia, tetapi anak akan berubah menjadi dewasa, ia tumbuh menjadi semakin matang. Tidak ada istilah terlambat dalam hal ini. Selalu ada peran bagi orangtua, tidak ada gunanya merasa tak berguna. Peran di masa tua perlu dipersiapkan dengan baik. Misalnya: tidak memberikan warisan sebelum waktunya. Adalah kekeliruan jika menghibahkan sertifikat tanah sebelum meninggal. Peran orangtua di masa tua bukan hanya materi semata. Ada banyak peran yang bisa dilakoni sehingga tetap menjadi berguna di mata anakanak. Ambillah yang paling sederhana, orangtua bisa menjadi pengasuh dan pendidik bagi cucunya karena kedua orangtuanya bekerja, namun tetap berpegang pada prinsip bahwa anak-anak itu adalah cucunya, bukan pengganti anaknya (sering terjadi, cucu dianggap sebagai kesempatan untuk memperbaiki dalam hal mendidik anak, lalu cucu pun diperlakukan seperti anak). Orangtua berkesempatan menjadi pembawa Damai Sejahtera di dalam keluarga, sekali pun anak-anaknya telah berkeluarga dan tinggal di tempat lain. Ada banyak kesaksian, ayah atau ibu mertua menjadi penolong ketika relasi suami-istri sedang mengalami guncangan. Menjadi masalah jika orangtua justru menjadi pencipta prahara atau kekacauan. Sebagai orang yang lebih berumur tentunya dikarunia kebijaksanaan yang lebih dibandingkan orang yang usianya lebih muda. Damai Sejahtera di rumah Iman. Ada banyak orangtua yang melewati masa senjanya dengan menganggap diri sebagai tak lagi berguna, lalu ia memilih mengundurkan diri dan memilih tidak berbuat apaapa. 4
Kutipan: Ini kesalahan besar. Berperan aktif di lingkungan basis, di wilayah/sektor atau di Paroki sesungguhnya merupakan langkah bijak untuk melewati masa senja. Dalam hal iman, orang yang lebih tua tentulah lebih bisa berperan, kalau ia mau melakukannya. Melihat ke Dalam Diri dan Memberikan Motivasi Ada empat lilin yang menyala, sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka. Lilin yang pertama berkata, Aku adalah Perubahan. Namun manusia tak mampu berubah, sehingga aku tak lagi berguna, maka lebih baik aku mati saja. Demikian sedikit demi sedikit sang lilin padam. Lilin yang kedua berkata, Aku adalah Iman. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku, tak ada gunanya aku tetap menyala. Lalu tiupan angin pun memadamkannya. Dengan sedih giliran lilin yang ketiga berbicara, Aku adalah cinta. Aku tak mampu lagi menyala, manusia tak lagi memandang dan menganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya. Tanpa menunggu waktu lama, matilah lilin ketiga. Kemudian seorang anak kecil masuk ke dalam kamar, dan menemukan ketiga lilin telah padam, lalu berkata, Kalian harus tetap menyala, aku takut kegelapan! Lalu anak itu menangis tersedu-sedu. Dengan terharu, lilin ke-empat berkata, Jangan takut. Jangan menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita masih dapat menyalakan ketiga lilin itu. Akulah Harapan. Dengan mata bersinar sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya. Apa yang tidak pernah mati hanyalah Harapan yang ada dalam hati kita Dan kita dapat menjadi alat, seperti anak itu, yang dalam situasi apa pun, mampu menghidupkan kembali: iman, cinta dan perubahan dengan harapannya. Kita memiliki kemampuan untuk menyalakan semangat, menghidupkan iman, cinta dan perubahan, dengan harapan. Sekali pun telah berlalu, namun tetap ada harapan! 5
Ketika terpaksa kita harus pergi, apa yang kita tinggalkan? Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Apakah kita akan pergi membawa kekecewaan, amarah, perasaan terluka, dan sakit hati? Adakah yang bisa kita tinggalkan bagi anak-cucu kita? Ada anak yang meratapi kepergian orangtuanya, tetapi ada juga yang bersyukur. Ada anak yang berharap agar orangtuanya cepat-cepat meninggal dunia karena hanya bikin susah saja. Ada anak yang menitipkan orangtuanya di panti jompo, menjalani hidup bersama orangorang jompo lainnya. Tetapi ada anak yang merelakan orangtuanya menghadap Tuhan, sekali pun menyisakan kesedihan karena kehilangan. Setelah meninggal dunia, kita tidak bisa lagi kembali ke dunia ini. Jika ingin mewarisi hal-hal baik bagi anak-cucu, lakukanlah itu se masih hidup. Ketika lahir kita tidak membawa apa-apa, ketika meninggal kita juga tidak membawa apa-apa, seluruhnya kita warisi kepada anak-cucu kita. Bali, 25 September 2013 Disadur dari berbagai sumber, Pasutri Sandy - Erna 6