BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) merupakan buah yang telah banyak dimanfaatkan sejak lama oleh masyarakat baik sebagai bahan masakan maupun sebagai obat herbal di Indonesia. Dalam pengobatan tradisional, jeruk nipis memiliki khasiat empiris sebagai obat batuk, obat penurun panas, dan obat pegel linu (Depkeskesos RI, 2001). Salah satu bagian dari jeruk nipis yang banyak dimanfaatkan karena khasiatnya adalah kulit buah jeruk nipis. Kulit buah jeruk nipis mengandung beberapa senyawa kimia dimana senyawa kimia terbesar merupakan senyawa golongan flavonoid dan golongan minyak atsiri (Okwu, 2008; Tundis et al., 2012). Suatu tanaman obat akan memiliki kandungan zat kimia yang beragam. Hal tersebut akan sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, beberapa diantaranya adalah daerah asal tanaman dan kondisi tempat tumbuh tanaman tersebut (Dewoto, 2007; Rahardjo dkk., 2006). Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan untuk menjamin kualitas dari tanaman obat yang diinginkan (Giri et al., 2010). Berdasarkan data dari Badan Litbang Pertanian (2005), Jawa Timur merupakan provinsi pembudidaya dan penghasil jeruk nipis yang tinggi. Jeruk nipis tersebut dihasilkan dari beberapa daerah dengan letak dan ketinggian geografis yang berbeda-beda. 1
2 Menurut penelitian, ekstrak kulit buah jeruk nipis diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti antibakteri, antifungi, agen kemopreventif, dan antioksidan (Pathan et al., 2012; Tundis et al., 2012). Oleh karena aktivitasnya yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, maka kulit buah jeruk nipis sangat berpotensi digunakan dalam industri obat herbal sebagai bahan baku atau produk herbal dalam bentuk ekstrak. Untuk mendapatkan ekstrak yang memenuhi standar dan menjamin mutu sediaan diperlukan suatu kontrol kualitas terhadap bahan baku yang akan digunakan. Oleh karena itu diperlukan suatu standarisasi untuk menjamin kualitas dan reprodusibilitas senyawa aktif dari tanaman herbal yang digunakan. Salah satu metode standarisasi fitokimia tanaman herbal yang dapat digunakan adalah menganalisis profil sidik jari fitokimia yang bertindak sebagai identitas dan penanda (marker) tanaman tersebut. World Health Organization (WHO) telah menetapkan standardisasi fitokimia terhadap suatu tanaman dilakukan dengan kromatografi sidik jari sebagai standar utama dari bahan baku obat herbal atau produk herbal. Standardisasi ini telah ditetapkan dalam British Herbal Pharmacopoeia, United States Pharmacopoeia, India Pharmacopoeia dan WHO's Guidelines For Medicinal Plant Materials (Emilan et al., 2011). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode standar yang digunakan hampir di semua farmakope untuk proses identifikasi tanaman obat. Keuntungan menggunakan KLT dengan kromatografi pada tanaman obat adalah kesederhanaan, fleksibilitas, kecepatan tinggi, sensitif, dan persiapan sampel sederhana (Palanisamy and Natesan, 2012).
3 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MENKES/SK/IV2009, Indonesia telah memiliki Farmakope Herbal Indonesia (FHI) yang memuat berbagai macam simplisia dan beberapa persyaratan standar untuk masing-masing simplisia tersebut (Kemenkes RI, 2009). Dalam FHI disebutkan bahwa senyawa identitas dan senyawa pembanding KLT dari kulit buah jeruk nipis berturut-turut adalah hesperidin dan rutin. Sedangkan untuk ekstraksi digunakan pelarut metanol dan identifikasi dilakukan dengan metode KLT sederhana. Sistem kromatografi yang digunakan adalah fase diam silika gel GF254 dan fase gerak etil asetat-asam format-air (100:15:17) (Kemenkes RI, 2011). Namun, FHI belum menerapkan pengembangan metode kromatografi sidik jari seperti yang telah ditetapkan oleh WHO dan diterapkan oleh farmakope di beberapa negara-negara maju sebagai proses kontrol kualitas tanaman obat herbal. Metode dan hasil dari kromatografi sidik jari yang dilakukan dapat melengkapi parameter-parameter standar simplisia kulit buah jeruk nipis sehingga proses standardisasi tanaman obat herbal Indonesia dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan identifikasi dan analisis ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis untuk mendapatkan sidik jari kromatografi kemudian membandingkan dan melihat hubungan kedekatan sidik jari kromatografi ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis dari tiga daerah di provinsi Jawa Timur yaitu Desa Kalibaru Banyuwangi, Desa Umbulsari Jember, dan Desa Selorejo Malang dengan menggunakan metode KLT-
4 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimanakah sidik jari kromatografi ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) dengan metode KLT- Spektrofotodensitometri? 1.2.2. Bagaimanakah hubungan kedekatan sidik jari kromatografi ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) yang diperoleh dari Desa Kalibaru Banyuwangi, Desa Umbulsari Jember, dan Desa Selorejo Malang di provinsi Jawa Timur dengan metode KLT- Spektrofotodensitometri? 1.3. Tujuan Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian yang dilakukan antara lain: 1.3.1. Mengetahui sidik jari kromatografi ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) dengan metode KLT- 1.3.2. Mengetahui hubungan kedekatan sidik jari kromatografi ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) yang diperoleh dari Desa Kalibaru Banyuwangi, Desa Umbulsari Jember, dan Desa Selorejo Malang di provinsi Jawa Timur dengan metode KLT-
5 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan berupa sidik jari kromatografi atau profil kromatogram ekstrak metanol kulit buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle) yang bermanfaat dalam pemilihan bahan baku atau obat herbal Indonesia.