BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, setiap tahunnya ada sekitar 1,7 miliar kasus diare dengan angka kematian 760.000 anak dibawah 5 tahun. Pada negara berkembang, anak-anak usia dibawah 3 tahun rata-rata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya, diare akan menyebabkan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, sehingga diare merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak dan menjadi penyebab kematian kedua pada anak berusia dibawah 5 tahun. Berdasarkan data United Nation Children s Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) pada tahun 2013, secara global terdapat dua juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena diare. Diare lebih dominan menyerang balita karena daya tahan tubuhnya yang masih lemah, sehingga balita sangat rentan terhadap penyebaran bakteri penyebab diare. Jika diare disertai muntah berkelanjutan akan menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan). Inilah yang harus selalu diwaspadai karena sering terjadi keterlambatan dalam pertolongan dan mengakibatkan kematian. Dehidrasi yang terjadi pada bayi ataupun anak akan cepat menjadi parah. Hal ini disebabkan karena seorang anak berat badannya lebih ringan daripada orang dewasa. Maka cairan tubuhnya pun relatif sedikit, sehingga jika kehilangan sedikit saja cairan dapat mengganggu organ-organ vitalnya. Apalagi sang anak juga belum mampu 1
2 mengomunikasikan keluhannya, sehingga tidak mudah mendeteksinya. Dehidrasi akan semakin parah jika ditambah dengan keluhan lain seperti mencret dan panas karena hilangnya cairan tubuh lewat penguapan. Kasus kematian balita karena dehidrasi masih banyak ditemukan dan biasanya terjadi karena ketidakmampuan orang tua mendeteksi tanda-tanda bahaya ini (Cahyono, 2010). Berdasarkan hasil Riskesdas (2007) diketahui bahwa prevalensi diare pada balita di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007, melaporkan bahwa angka nasional prevalensi diare adalah 9,0%. Prevalensi diare berdasarkan kelompok umur pada balita (1-4 tahun) terlihat tinggi menurut hasil Riskesdas (2007), yaitu 16,7%. Demikian pula pada bayi (<1 tahun), yaitu 16,5% (Kemenkes RI, 2011). Masalah diare di Indonesia sering terjadi dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB). KLB diare sering terjadi terutama di daerah yang pengendalian faktor risikonya masih rendah. Cakupan perilaku hygiene dan sanitasi yang rendah sering menjadi faktor risiko terjadinya KLB diare (Kemenkes RI, 2011). Jumlah penderita KLB diare tahun 2013 di Indonesia menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2012 dari 1.654 kasus menjadi 646 kasus pada tahun 2013. KLB diare pada tahun 2013 terjadi di 6 provinsi dengan penderita terbanyak terjadi di Jawa Tengah yang mencapai 294 kasus. Sedangkan angka kematian (CFR) akibat KLB diare tertinggi terjadi di Sumatera Utara yaitu sebesar 11,76%. CFR diare yang terjadi di Sumatera Utara Tahun 2013 mengalami
3 kenaikan dibandingkan Tahun 2012, yaitu dari 1,22% menjadi 11,76% (Profil Kesehatan Indonesia, 2013). Berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2013), jumlah kasus diare yang tercatat ada sebanyak 285.183 kasus, yang ditemukan dan ditangani sebanyak 223.895 kasus (78,5%), sehingga angka kesakitan (IR) diare per 1.000 penduduk mencapai 16,80. Capaian ini mengalami kenaikan dari tahun 2012 yaitu 16,36/1.000 penduduk. Namun, capaian ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2011 yaitu 19,35% dan 2010 yaitu 18,73%. Pencapaian IR ini jauh di bawah target program yaitu 214 per 1.000 penduduk. Rendahnya IR dikhawatirkan bukan merefleksikan menurunnya kejadian penyakit diare pada masyarakat tetapi lebih dikarenakan banyaknya kasus yang tidak terdata. Berdasarkan Riskesdas (2013), total rumah yang memenuhi syarat kesehatan di Sumatera Utara sampai dengan akhir 2013 (termasuk yang memenuhi syarat tahun 2012) ada sebanyak 1.821.173 unit (54,27%). Proporsi penduduk atau rumah tangga yang yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi layak (dikatakan layak apabila sarana tersebut milik sendiri atau bersama, kloset jenis leher angsa dan pembuangan akhir tinjanya ke tangki septik atau SPAL) provinsi sebesar 84,2%, dan proporsi RT yang ber-phbs baik sebesar 24,6%, sedangkan sisanya 75,4% adalah RT yang ber-phbs kurang baik. Pengelolaan sampah yang tidak baik dapat menjadi sarang vektor penyakit, terutama lalat. Lalat merupakan salah satu vektor yang dapat membawa bakteri penyebab diare Menurut Depkes (2001), jarak terbang lalat
4 efektif adalah 450-900 m sehingga mempermudah lalat untuk hinggap dimana saja terutama di pemukiman penduduk. Selain faktor sanitasi lingkungan, faktor personal hygiene (kebersihan perorangan) ibu juga sangat berpengaruh terhadap kejadian diare Perilaku ibu berkontribusi meningkatkan kasus diare Ibu merupakan orang terdekat dengan balita yang mengurus segala keperluan balita seperti mandi, menyiapkan dan memberi makanan/minuman. Perilaku ibu yang tidak hygienis seperti tidak mencuci tangan pada saat memberi makan anak, tidak mencuci bersih peralatan masak dan makan, dapat menyebabkan balita terkena diare. Personal hygiene ibu dan sanitasi lingkungan perumahan yang baik bisa terwujud apabila didukung oleh perilaku masyarakat yang baik (Depkes RI, 2008). Daerah dengan jumlah diare yang cukup tinggi di Sumatera Utara adalah Sibolga. Sibolga merupakan salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara yang secara geografis berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah utara, timur, selatan, dan barat. Sibolga merupakan satu-satunya kota pantai sebagai pusat pelayanan primer di pantai barat Sumatera Utara dengan fungsi utama sebagai pusat pemerintahan kota, pusat perdagangan barang dan jasa, pusat pelayanan pariwisata, pengolahan hasil perikanan, pusat transportasi laut dan pusat pendidikan (Profil Kota Sibolga, 2014). Dinas Kesehatan Kota Sibolga mencatat sebanyak 2150 masyarakat yang mengalami diare selama tahun 2010. Pada tahun 2011-2013 penderita diare di sibolga mengalami penurunan masing-masing tiap tahun menjadi 1737, 1712, dan
5 1307 orang. Akan tetapi pada tahun 2014, jumlah penderita diare kembali meningkat menjadi 1572 orang. (Dinkes Sibolga, 2010-2014). Kota sibolga terdiri dari beberapa lingkungan, yaitu lingkungan aek habil, pelabuhan, sambas, dan pintu angin. Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Sibolga, jumlah penderita diare di lingkungan pintu angin selalu tinggi tiap tahunnya dibandingkan jumlah penderita diare di lingkungan lain. Jumlah penderita diare dari tahun 2010-2014 di lingkungan pintu angin masing-masing tiap tahunnya 705, 694, 655, 514, dan 589 orang. Berdasarkan hasil survei pendahuluan diketahui jumlah balita di Kelurahan Sibolga Hilir ada 756 balita yang terdiri dari 429 laki-laki dan 327 perempuan dimana setiap tahunnya banyak balita yang menderita diare. Berdasarkan data laporan bulanan yang dilakukan di Puskesmas Pintu Angin, didapatkan data Kelurahan Sibolga Hilir sebagai daerah dengan jumlah penderita diare pada balita yang tertinggi dibandingkan kelurahan yang lain. Jumlah balita dari Kelurahan Sibolga Hilir yang mengalami diare dan berkunjung di Puskesmas Pintu Angin pada Bulan Januari hingga Bulan Juli 2015 ada 68 balita dan pada Bulan Agustus hingga Bulan Desember 2015 ada 120 balita yang terdiri dari 52 laki-laki dan 68 perempuan. Sedangkan pada Bulan Januari 2016 terdapat 15 balita dan Bulan Februari 2016 terdapat 25 balita yang mengalami diare dan berkunjung di Puskesmas. Kelurahan Sibolga Hilir terletak di daerah pinggir pantai dengan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang sehat, sehingga menyebabkan semakin tingginya angka kejadian diare Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di
6 Kelurahan Sibolga Hilir sekitar 1512 keluarga. Dari jumlah keluarga tersebut, yang memiliki jamban hanya 769 keluarga dan yang memiliki jamban sehat hanya 487 keluarga. Sementara untuk penyediaan tempat sampah hanya dimiliki oleh 897 keluarga dan yang memiliki tempat sampah sehat 627 keluarga. Untuk pengelolaan air limbah dimiliki oleh 769 keluarga dan yang memiliki pengelolaan air limbah sehat hanya 487 keluarga (Profil Kesehatan Puskesmas Pintu Angin Kota Sibolga, 2014). Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya tertarik mengangkat permasalahan tersebut untuk dilakukan penelitian dengan judul Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita di Lingkungan Pintu Angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga Tahun 2016. 1.2 Rumusan Masalah Tingginya angka kejadian diare pada balita dan kondisi sanitasi di Lingkungan Pintu Angin yang sebagian besar berada di tepi laut dengan akses sanitasi yang kurang serta personal hygiene ibu yang memiliki peranan penting dalam mencegah terjadinya penyakit diare pada balita, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian, yaitu bagaimana Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita di Lingkungan Pintu Angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga Tahun 2016. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
7 Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare pada balita di Lingkungan Pintu Angin, Kelurahan Sibolga Hilir, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Tahun 2016. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kejadian diare pada balita di Lingkungan Pintu Angin, Kelurahan Sibolga Hilir, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga. 2. Mengetahui hubungan sarana penyediaan air bersih dengan kejadian diare 3. Mengetahui hubungan sarana jamban keluarga dengan kejadian diare pada balita. 4. Mengetahui hubungan sarana pembuangan air limbah dengan kejadian diare 5. Mengetahui hubungan sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare 6. Mengetahui hubungan kebiasaan cuci tangan oleh ibu dengan kejadian diare 7. Mengetahui hubungan kebiasaan menjaga kebersihan kuku oleh ibu dengan kejadian diare 8. Mengetahui hubungan kebiasaan penggunaan botol susu oleh ibu dengan kejadian diare 9. Mengetahui hubungan kebiasaan menjaga kebersihan peralatan makanan oleh ibu dengan kejadian diare
8 10. Mengetahui hubungan kebiasaan menjaga kebersihan bahan makanan oleh ibu dengan kejadian diare 11. Mengetahui angka kepadatan lalat. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Institusi a. Dinas Kesehatan Sebagai masukan guna meningkatkan program kesehatan lingkungan khususnya dalam hal penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah, dan pemanfaatan jamban. b. Puskesmas dan Posyandu Sebagai masukan dalam rangka pengambilan keputusan dan meningkatkan penyuluhan serta membina partisipasi masyarakat dalam meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). 2. Bagi Masyarakat Masyarakat setempat mengetahui sebab, gejala, dampak, serta cara pencegahan dan penanggulangan penyakit diare. 3. Bagi Peneliti Lain Sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang hubungan sanitasi lingkungan dan personal hygiene ibu dengan kejadian diare