BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seks bebas dikalangan remaja semakin merajalela. Hal ini terbukti dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Unwanted pregnancy atau dikenal sebagai kehamilan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah seksualitas merupakan salah satu topik yang menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu. Masa ini merupakan masa transisi dari kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital intercouse

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. setiap individu yaitu merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Disusun oleh : PUJI YATMI J

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

Dinamika Kebidanan vol. 2 no. 1. Januari 2012 STUDI DISKRIPTIF TENTANG GAYA PACARAN SISWA SMA KOTA SEMARANG. Asih Nurul Aini.

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan tahapan seseorang dimana ia berada di antara fase anak

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan fisik, perilaku, kognitif, biologis serta emosi (Efendi &

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada masa remaja umumnya anak telah mulai menemukan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. penduduk dunia terdiri dari remaja berusia tahun dan sekitar sembilan

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

BAB I PENDAHULUAN. penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat sesuai dengan Visi Indonesia Sehat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanakkanak. menjadi masa dewasa. Masa transisi ini kadang

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku seks bebas dikalangan remaja semakin merajalela. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian bahwa perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam berbagai tingkah laku, mulai dari perasaan tertarik pada lawan jenis, berkencan, berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada diatas baju, memegang buah dada dibalik baju, memegang alat kelamin diatas baju, memegang alat kelamin dibawa baju, dan melakukan senggama. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kasus unwanted pregnancy yang selanjutnya memicu praktik aborsi yang tidak aman, penularan Penyakit Menular Seksual (PMS), dan HIV/AIDS, bahkan kematian (DeLamater dalam Azinar, 2013 : 154). Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah remaja umur 10-24 tahun sangat besar yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah Penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa (Winarti, 2010: 33 ). Melihat jumlah yang sangat besar, maka remaja sebagai generasi penerus bangsa perlu dipersiapkan menjadi manusia yang sehat secara jasmani, rohani, mental dan spiritual. Tetapi faktanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa remaja mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialami remaja. Penelitian yang di lakukan di Universitas Malaya didapatkan 39,8% remaja terlibat perilaku seks bebas (Sharif, 2011 : 117). Berdasarkan hasil survei kesehatan reproduksi remaja yang diselenggarakan BKKBN tahun 2010 perilaku pacaran permisif yang dilakukan oleh remaja akhir antara lain 1

2 berpegangan tangan saat pacaran (92%), berciuman (82%), rabaan petting (63%) (Ningtyas dalam Anesia, 2013 : 141). Dr. Boyke Dian Nugraha, memperkirakan angka aborsi di Indonesia berkisar antara 2,3 juta hingga 3 juta per tahunnya. Dari jumlah tersebut 50% dilakukan oleh remaja. Meningkatnya kasus aborsi juga terlihat dari data BKKBN dan Perhimpunan Obsteri dan Ginekologi (POGI) tahun 2008. Kedua institusi tersebut memaparkan bahwa saat ini setidaknya 2 juta aborsi setiap tahunnya, dimana 700 ribu diantaranya pengguguran disengaja. Sisanya adalah aborsi spontan. WHO memperkirakan di Asia Tenggara terjadi sekitar 4,2 juta aborsi setiap tahun, termasuk 750.000 hingga 1,5 juta di Indonesia (Inung, 21 April 2008 : 14). Survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) yang melibatkan responden sebanyak 1.660 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa 97,5% dari responden mengaku telah melakukan perilaku seks bebas (Anesia, 2013: 140). Survei dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2010, mengungkap fakta bahwa di Surabaya, remaja perempuan yang sudah tidak gadis mencapai 54%, Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%. Data penelitian BKKBN tahun 2010 di kota besar seperti Jabodetabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan Makassar berada pada kisaran 47,54% dan meningkat menjadi 63% remaja melakukan free sexs, dan pada usia 15-22 tahun pada bulan januari ditemukan 33 remaja hamil diluar nikah (Winarti, 2010: 33). Kehamilan remaja adalah faktor utama dalam putus sekolah banyak remaja perempuan putus sekolah dan pada remaja laki-laki lebih cenderung putus sekolah, menganggur, dan memiliki pendapatan lebih rendah (Markham et. al, 2011: 1)

3 Penelitian Hutri Agustino, Serli Megi, dan Setyo Rini tahun 2007 tentang perilaku seks bebas dan aborsi pada 19 mahasiswa yang tersebar pada 10 kampus terbesar di Malang tercatat 79% melakukan seks dengan alasan saling mencintai atau sebagai bukti kesetiaan terhadap pasangan, 5% just for fun, 16% bersifat materil. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) kota Malang pada tahun ini dari bulan Januari-Agustus 2014 Dispensasi kawin meningkat 40% dari tahun lalu, banyak siswa yang hamil di luar nikah diantaranya siswa SMP, SMK, SMA, lalu mereka mengajukan dispensasi kawin mencapai 70 orang, hanya 64 orang pengajuannya di kabulkan, 35 pengajuan karena hamil di luar nikah, fakta- fakta serta data diatas menunjukkan bahwa kehidupan remaja saat ini sangat memprihatinkan (Jawa Pos- Radar Malang, 2014 : 35). Remaja merupakan tahap dimana seseorang mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Menurut The Health Resources and Services Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (11-14 tahun); remaja menengah (15-17 tahun); dan remaja akhir (18-21 tahun). Usia 18-21 tahun seperti mahasiswa. pada rentang usia ini remaja khususnya mahasiswa beresiko mempunyai sikap dan perilaku seks bebas yang tidak sehat (Kusmiran, 2014 : 4). Remaja yang didefinisikan di sini sebagai orang muda berusia 10-19 tahun. Akhir masa remaja 15-19 tahun (Doyle et.al, 2012 : 797). Masalah seks bebas disebabkan adanya peningkatan jumlah informasi yang mengandung seksualitas dan pornografi (Claretta dalam Zuhri 2008 : 28). Mengkonsumsi pornografi secara terus menerus membuat remaja terdorong untuk melakukan hubungan seks pada usia dini dan diluar ikatan pernikahan. Pornografi pada umumnya tidak mengajarkan corak hubungan seks yang bertanggungjawab,

4 sehingga berpotensi mendorong perilaku seks yang dapat menyebabkan kehamilan diluar nikah dan penyebaran penyakit yang menular melalui hubungan seks, seperti HIV/AIDS (Bello et.al, 2008 : 94). Remaja adalah kelompok usia yang berisiko besar untuk Penyakit Menular Seksual( PMS ). Hampir semua remaja sering pada risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan Penyakit Menular Seksual (PMS ) karena mereka tidak mampu untuk mengendalikan dirinya. Penyakit Menular Seksual (PMS) lebih umum di kalangan wanita remaja dibandingkan laki-laki, sehingga dua pertiga dari remaja yang baru terinfeksi berusia 15-19 tahun adalah perempuan (Chinsembu, 2009 : 107) Faktor yang menyebabkan remaja melakukan seks bebas adalah karena kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, remaja juga mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan seks bebas karena kurangnya perhatian dan pantauan dari orang tua, adanya pergeseran moral dan etika dimasyarakat sehingga melakukan hubungan seksual tidak dianggap tabu lagi, adanya dorongan seksual dari dalam diri remaja untuk melakukan hubungan seksual karena telah berfungsinya organ sistem reproduksi dan kerja hormon, serta remaja tidak mampu mengendalikan dorongan seksualnya (Feriyani, 2010 : 120). Dorongan seksual merupakan kebutuhan biologis yang harus tersalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan norma sehingga tidak merugikan orang lain. pada masa remaja, dorongan seksual yang dihasilkan oleh hormon dapat meningkatkan sensitivitas daerah erogen. Kematangan seksual dan dorongan seksual pada remaja ternyata belum diimbangi oleh kemampuan dalam memahami resiko perilaku seksualnya, dan kemampuan mengendalikan dorongan seksual sehingga akibatnya dapat memunculkan keinginan bereksplorasi dan memenuhi dorongan

5 seksualnya (Hakim, 2014 : 234). Kemampuan mengendalikan dorongan seksual dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan keimanan seseorang (Depkes, 2010 : 58). Norma-norma masyarakat dan agama seharusnya mampu mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menjadi filter terhadap terjadinya perilaku-perilaku negatif, termasuk perilaku seks bebas, namun dalam realitasnya teknologi komunikasi dan globalisasi telah menyebabkan masuknya bermacam-macam norma dan nilainilai baru yang berasal dari budaya luar. Pergeseran antara norma masyarakat dan agama dengan norma dan nilai-nilai baru dari budaya luar dapat memicu adanya seks bebas (Hakim, 2014: 231). Banyaknya remaja yang melakukan seks bebas mengindikasikan bahwa upaya untuk mencegah hal tersebut adalah dengan mengurangi dorongan seksual remaja seperti tidak membaca buku atau melihat filem atau majalah porno yang dapat meningkatkan dorongan seksual, meningkatkan nilai spiritual remaja dengan meyakini bahwa perilaku seksual adalah perbuatan zina, remaja harus selalu aktif mencari informasi tentang kesehatan reproduksi remaja, dan tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah ( Setyorogo, 2013 : 12). Kaum remaja berupaya menggalih berbagai potensi yang ada pada dirinya dan mencoba mencapai suatu integrasi baru dengan mengolah seluruh keberadaannya hingga kini, termasuk juga keyakinan spiritualnya (Waruwu F.E dalam Hakim, 2014: 235). Remaja sebagai makhluk spiritual juga menganut agama atau spiritualitas lainnya. Agama bisa diartikan sebagai aturan-aturan hidup manusia yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan sesamanya. Nilai spiritual dijadikan sebagai panutan yang dapat membawa manusia kejalan yang benar dan berprilaku mulia. Adam dan Gullota mengatakan bahwa agama memberikan perlindungan dan rasa aman bagi remaja yang mencari eksistensi dirinya. Menurut Subandi, agama dapat dijadikan

6 alternatif untuk menghadapi goncangan emosional. Nilai spiritual menjadi penting bagi remaja karena nilai spiritual merupakan keyakinan atau iman yang dimiliki oleh remaja tersebut (Hakim, 2014 : 235). Berdasarkan penelitian oleh Maura O kete dalam Sharif (2011 : 119) salah satu hal yang menyebabkan masalah perilaku seksual adalah runtuhnya akhlak, sehingga dapat menimbulkan dorongan seksual dan naluri yang kuat, kedua hal ini dapat mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang dapat memicu timbulnya kepuasan tanpa memikirkan akibatnya (Sharif, 2011 : 118). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dalam Hakim (2014: 236) diperoleh hasil bahwa individu yang tingkat spiritualitas tinggi cenderung menggunakan tingkah laku koping yang matang. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Waruwu mengungkapkan bahwa remaja dengan spiritualitas yang baik mampu menyelaraskan hubungan interpersonalnya dengan baik, memiliki tanggung jawab atas dirinya, serta memiliki kejelasan tujuan hidup (Hakim, 2014: 236). Adanya deviasi tugas perkembangan remaja menunjukkan seseorang mengalami konflik pada masa perkembangannya, sehingga terbentuk perilaku yang tidak sesuai dengan tahap usianya atau mengalami hambatan dalam mencapai tugas perkembangan remaja. Akibatnya terjadi kesulitan belajar, bingung peran, kenakalan remaja dan perilaku seksual yang menyimpang (Depkes, 2010 : 79). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 10 mahasiswa Program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas Muhammadiyah Malang didapatkan data, 80% Mahasiswa telah berpacaran dan 20% tidak berpacaran. Dari 80% mahasiswa yang berpacaran telah terjadi kontak fisik 70% berpegangan tangan, 30% mahasiswa mengaku telah berciuman, 40% berpelukan dan hanya 10% tidak melakukan Kontak fisik. Kemudian tentang nilai

7 spiritual pada 10 mahasiswa menyatakan, 70% mengakui bahwa tingkat spiritualnya rendah, karena dalam hal beribadah masih belum tertib, dan jarang mengikuti kajian tentang agama, sedangkan 10% mahasiswa memiliki tingkat spiritual yang tinggi, karena tekun dalam hal beribadah, dan selalu mengikuti kajian tentang agama. Melihat kenyataan tersebut merupakan fenomena yang menarik untuk diamati, maka peneliti akan melakukan suatu penelitian untuk mengetahui Hubungan antara spritual value dengan pengendalian dorongan seksual pada remaja Berbasis prespektif gender. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara spritual value dengan pengendalian dorongan seksual pada remaja berbasis prespektif gender? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian Mengetahui hubungan antara spritual value dengan pengendalian dorongan seksual pada remaja berbasis prespektif gender. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian 1. Mendeskripsikan spiritual value pada remaja laki-laki dan perempuan 2. Mendeskripsikan pengendalian dorongan seksual pada remaja 3. Menganalisis hubungan spiritual value dengan pengendalian dorongan seksual pada laki-laki dan perempuan.

8 1.4 Manfaat 1.4.1 Teoritis Mendukung konsep dan teori bahwa nilai-nilai moral dan keimanan atau spiritual value dapat mengendalikan dorongan seksual pada remaja. Sehingga dapat diaplikasikan dalam keperawatan anak. 1.4.2 Praktis 1. Bagi Peneliti Mengembangkan konsep dan teori keperawatan anak khususnya dalam menjaga kesehatan reproduksi remaja dari perilaku seks bebas yang disertai dengan adanya dorongan seksual tinggi. 2. Bagi Pembaca Memberikan informasi kepada pembaca cara mengendalikan dorongan seksual dengan hal yang positif. 3. Bagi Responden Hasil penelitian ini diharapkan dimanfaatkan oleh remaja untuk memperkuat nilai spiritual dalam mengendalikan dorongan seksual sehingga mampu berkembang dengan baik sesuai dengan tahapan perkembangannya. 4. Bagi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi keperawatan dalam memberikan edukasi pada remaja untuk meningkatkan status kesehatan reproduksi remaja

9 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain yaitu : 1. (Lutfiah Nur Aini, 2011) meneliti tentang Hubungan Pemahaman Tingkat Agama (Religiusitas) dengan perilaku seks bebas pada remaja di SMAN 1 Bangsal Mojokerto. Penelitian tersebut menggunakan 173 responden yang diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling. Analisa tersebut menggunakan uji Korelasi Spearman s Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 66 responden (38,2%) yang mempunyai pemahaman kurang, terdapat 66 responden (38,2%) berpemahaman kurang dan perilaku negatif, serta tidak ada satupun yang berpemahaman kurang dan perilaku positif. Sedangkan dari 40 responden (23,1%) yang mempunyai pemahaman agama cukup diantaranya yaitu, 30 responden (17,3%) berpemahaman cukup dan perilaku negatif, 10 responden (5,8%) berpemahaman cukup dan perilaku positif. Sedangkan dari 67 responden (38,7%) yang mempunyai pemahaman baik diantaranya yaitu, 13 responden (7,5%) berpemahaman baik dan perilaku seks negatif, 54 responden (31,2%) berpemahaman baik dan perilaku positif. Dengan nilai Sig. (2-tailed) atau p value 0,000 (karena p value < 0,05) maka H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya ada hubungan pemahaman tingkat agama (religiusitas) terhadap perilaku seks bebas pada remaja di SMAN 1 Bangsal Mojokerto. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan, responden yang dipilih, dan tempat penelitian. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengendalian dorongan seksual, responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa, tempat penelitian ini adalah Universitas Muhammadiyah Malang. Sedangkan penelitian Lutfiah Nur Aini variabel dependennya adalah

10 perilaku seks bebas, responden dalam penelitiannya adalah remaja sekolah SMA dan tempat penelitiannya di SMAN 1 Bangsal Mojokerto. 2. Menurut hasil penelitian Trubus Raharjo yang berjudul Dorongan Seksual Dan Kecenderungan Perilaku Homoseksual Pada Santri Remaja Di Pesantren. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 280 santri dari beberapa pesantren yang ada di Kabupaten Kudus dan tinggal di pesantren (berasrama) dengan seluruh penghuni berjenis kelamin sama (laki-laki semua). Data yang terkumpul di uji analisis Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan Butir-butir angket dorongan seksual yang berjumlah 30 butir, 21 butir kategori favorabel dan 9 butir kategori tidak favorabel. Butir-butir angket kecenderungan perilaku homoseksual yang berjumlah 36 butir, 23butir kategori favorabel dan 13 butir kategori tidak favorabel. Dengan significant p<0,05. Simpulan hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara dorongan seksual dan kecenderungan perilaku homoseksual (rxy sebesar -0,386 dan p sebesar 0,000). Tidak adanya hubungan yang positif antara dorongan seksual dan kecenderungan perilaku homoseksual dimungkinkan karena di pesantren santri mengetahui larangan adanya perilaku homoseksual, atau larangan berdasarkan hukum agama. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan, responden yang dipilih, dan tempat penelitian. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat spiritual value, responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa, tempat penelitian ini adalah Universitas Muhammadiyah Malang. Sedangkan penelitian Trubus Raharjo variabel independennya adalah dorongan seksual, responden dalam penelitiannya adalah santri dari beberapa pesantren yang ada di Kabupaten

11 Kudus dan tinggal di pesantren (berasrama) dengan seluruh penghuni berjenis kelamin sama (laki-laki semua). dan tempat penelitiannya di pesantren yang ada di Kabupaten Kudus. 3. (Siswi Yuni Pratiwi, 2009) meneliti tentang, Hubungan Antara Tingkat Religiusitas Dan Pengetahuan Seksualitas Dengan Intensitas Masturbasi Pada Mahasiswa Yang Tinggal di Kos. Penelitian tersebut menggunakan 60 responden yang diambil dengan menggunakan teknik purposive non random sampling. Analisa tersebut menggunakan analisis regresi dua prediktor. Hasil analisis menggunakan analisis regresi dua prediktor diperoleh nilai koefisien korelasi (R)=0,522; Fregresi=10,669; p <0,01 yang berarti ada hubungan antara tingkat religiusitas dan pengetahuan seksualitas dengan intensitas masturbasi pada mahasiswa yang tinggal di kos. Hasil analisis anava 2-jalur diperoleh F= 12,778 ; p=0,01 (p<0,01) dengan RE perempuan= 56,567 dan RE laki-laki=69,367. Hal ini menunjukkan ada perbedaan intensitas masturbasi antara subjek laki-laki dan subjek perempuan. Subjek laki-laki memiliki intensitas masturbasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek perempuan. Selain itu juga diperoleh F= 0,580; p= 0,554 (p>0,05) dengan RE ada induk semang= 61,892 dan RE tidak ada induk semang= 64,696. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan intensitas masturbasi antara subjek yang tinggal di kos ada induk semang dengan subjek yang tidak ada induk semang. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan, responden yang dipilih, dan tempat penelitian. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengendalian dorongan seksual, responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa, tempat penelitian ini adalah Universitas Muhammadiyah Malang. Sedangkan penelitian Siswi Yuni Pratiwi

12 variabel dependennya adalah perilaku seks bebas, responden dalam penelitiannya adalah Mahasiswa Yang berstatus mahasiswa kos, dan tempat penelitiannya adalah di kampung Panggung Rejo, Kelurahan Jebres, Surakarta. 1.6 Batasan Penelitian 1. Spiritual value seseorang dapat dilihat dari sikap, perilaku, perkataan dan seluruh jalan hidupnya mengikuti aturan-aturan yang di ajarkan oleh agama (Hakim, 2014 : 232). 2. Pengendalian Dorongan Seksual adalah cara untuk mengendalikan diri dari perasaan ketertarikan secara seksual kepada orang lain, karena perasaan seksual ini dapat menjuruskan seseorang untuk melakukan penyaluran dorongan seksual (BKKBN, 2012: 8). 3. Remaja akhir adalah seseorang yang berusia mulai dari 18 21 tahun (Kusmiran, 2014 : 4).