BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. penerapan teori yang didapat sebelumnya dari periode praklinik untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Deskripsi cantik fisik, setiap orang punya paham sendiri-sendiri. Orang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupan. Masyarakat membutuhkan layanan kesehatan seperti

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perusahaan mengandalkan berbagai divisi karyawan yang saling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya

BAB 1 PENDAHULUAN. muncul dari perubahan konteks sosio-ekonomi, politik dan budaya. Konteks ini

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB I PENDAHULUAN. terhadap ancaman bahaya kebakaran (Kidokoro, 2008; Sufianto dan Green, 2011). Kota

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. dambaan bagi setiap keluarga. Suatu pernikahan diharapkan mampu memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Individu pada tahap perkembangan dewasa awal umumnya aktif, kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan (profesi dokter) merupakan institusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat di berbagai

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase kehidupan manusia secara umum ialah menikah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara dengan intensitas bencana alam yang

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. keduanya merupakan peran bagi pria, sementara bagi wanita akan menjadi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. tenaga pendidik yang disebut dengan dosen. Menurut jenisnya, perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap diri mereka

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Agama merupakan suatu kepercayaan tentang konsep Tuhan. Indonesia memiliki 6

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan, dengan memberdayakan berbagai kesatuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan ini Indonesia marak terjadi kasus kekerasan. Kejadian demi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Bertambahnya usia merupakan proses menua alami yang akan dihadapi manusia. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode X Bab XXIV dan Bab XXVII, pendeta

BAB 1 PENDAHULUAN. buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Kartini

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai penopang ekonomi keluarga terpaksa menganggur. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia. Menurut mantan Wapres Boediono (dalam Munady, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hasyim,

1 2

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. struktur nilai dan norma-norma pada masyarakat. Salah satunya, terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

LAMPIRAN A. Alat Ukur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam keluarga, pria dan wanita sebagai individu dewasa yang telah menikah memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga tradisional suami dipandang sebagai kepala keluarga dengan tugas utama bekerja mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan keluarganya, sedangkan istri sebagai individu yang bertugas untuk merawat suami dan anak di rumah. Penelitian di Asia menunjukkan, sebagian besar wanita dinilai sebagai ibu rumah tangga (Davis & Risman, 2003). Nilai ini sesuai dengan kepercayaan tradisional tentang wanita di Asia, dimana wanita seharusnya berada di rumah dan mengurus suami serta anak (Kim 1997; Lewis et al. 1992; Saso 1990 dalam Davis & Risman, 2003). Terdapat stigma terhadap istri yang bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, mereka seringkali dianggap mengabaikan suami dan anak (Davis & Risman, 2003). Pandangan ini berubah seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan jumlah penduduk serta dengan munculnya era globalisasi. Wanita memiliki kesempatan memeroleh pendidikan yang lebih tinggi, sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan yang diperlukan di sektor ketenagakerjaan. Kemampuan dan keterampilan wanita sebagai tenaga kerja mulai diakui, hal ini membuka kesempatan bekerja bagi wanita. Kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi dan adanya kemiskinan juga membuat wanita mulai bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Saat ini, tidak hanya pria sebagai ayah dalam keluarga yang bekerja mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan keluarga. Partisipasi wanita dalam tenaga kerja, khususnya ibu dari anak yang berusia dini merupakan salah satu 1

2 tren demografis yang dramatis pada abad keduapuluh (Hernandez, 1997 dalam Crouter & McHale, 2005). Peningkatan tenaga kerja wanita juga terjadi di Indonesia, terutama di beberapa kota besar seperti Bandung. Tidak ditemukan data statistik yang menyebutkan secara pasti berapa banyak jumlah ibu bekerja yang ada di Bandung, namun terdapat data mengenai peningkatan jumlah tenaga kerja wanita yang ada di Bandung. Pada tahun 2012 terdapat 44.81% tenaga kerja wanita di Bandung yang bekerja secara aktif (Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2015). Jumlah tersebut mengalami sedikit penurunan pada tahun 2013 menjadi 44.28% tenaga kerja wanita di Bandung yang bekerja secara aktif (Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2015). Berdasarkan data tahun 2014, terjadi peningkatan tenaga kerja wanita di Bandung yang bekerja secara aktif yaitu sebesar 47.97% (Badan Pusat Statistik Kota Bandung, 2015). Tenaga kerja wanita tersebut memiliki waktu kerja waktu kerja tujuh jam satu hari dan empat puluh jam satu minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu; atau delapan jam satu hari dan empat puluh jam satu minggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu (dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 77 Ayat 2, Kantor Perburuhan Internasional, 2004). Waktu kerja bisa saja melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, tergantung kebijakan instansi perusahaan. Peningkatan partisipasi ibu bekerja menimbulkan banyak kontroversi, stereotip dan mitos. Menurut Tan (2008) mitos mengenai ibu bekerja pada umunya yaitu ibu bekerja di luar rumah untuk memeroleh kehidupan yang mewah, ibu yang bekerja dianggap egois, ibu bekerja menelantarkan anak mereka yang menjadi penyebab kenakalan remaja atau perilaku antisosisal pada anak, dan tempat penitipan anak yang dianggap berdampak buruk. Munculnya kontroversi mengenai ibu yang bekerja di luar rumah didorong oleh pemikiran bahwa ibu yang bekerja di luar rumah mengganggu perkembangan anak dan attachment anak dengan ibu. Adanya perdebatan dua kubu antara ibu rumah tangga dan ibu bekerja

3 membentuk perasaan bersalah pada ibu bekerja dan penegasan bahwa tempat terbaik bagi ibu adalah di rumah (Tan, 2008). Pada dasarnya alasan utama ibu bekerja adalah untuk membantu menyokong keluarga secara finansial, sedangkan alasan sekunder adalah untuk aktualisasi diri ibu bekerja itu sendiri (Scarr, Phillips, & McCartney, 1989 dalam Tan, 2008). Ibu bekerja memiliki tiga peran yaitu sebagai seorang tenaga kerja yang terikat aturan dengan instansi tertentu, sebagai seorang istri yang memiliki tugas tertentu, dan sebagai seorang ibu yang memiliki kewajiban untuk mengasuh anak. Terdapat konsekuensi negatif dan konsekuensi positif dari pemenuhan ketiga peran (sebagai wanita karier, istri, sekaligus ibu) yang dimiliki ibu bekerja. Konsekuensi positif maupun negatif dapat berdampak terhadap ibu bekerja itu sendiri, suami, ataupun anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Reynolds, Callender, & Edwards (2003) ibu bekerja memandang pekerjaannya menguntungkan bagi anak mereka baik secara emosional, perkembangan, dan materi. Ibu bekerja merasa telah memenuhi kebutuhan anaknya dengan mengembangkan kemampuan yang berguna dan menyediakan materi untuk membiayai aktivitas dan kebutuhan yang diperlukan untuk anak mereka yang mana tidak akan bisa dipenuhi jika mereka tidak bekerja. Disamping keuntungan secara finansial, terdapat beberapa keuntungan yang didapatkan ibu bekerja, bukan hanya keuntungan bagi ibu bekerja namun keuntungan untuk seluruh anggota keluarga, seperti halnya meningkatkan self-esteem ibu, kesejahteraan psikologis, dan kualitas perhatian yang diberikan dalam pemenuhan kebutuhan anak (Tan, 2008). Peningkatan kesejahteraan psikologis ibu bekerja berdampak positif pada kemampuan ibu untuk menjadi orangtua yang hangat, suportif, dan positif secara emosional (Tan, 2008). Pengalaman kerja yang positif dapat mengarah pada pengasuhan anak yang positif. Ibu yang merasa puas akan pekerjaannya tidak mudah depresi dan memiliki emotional well-being positif yang akan mengarah pada interaksi positif dengan anak selama

4 pengasuhan (Tan, 2008). Namun, perlu digaris bawahi dampak ibu bekerja bisa saja berbeda pada setiap keluarga. Sikap positif ibu bekerja terhadap peran ganda sebagai ibu dan tenaga kerja sangat penting dalam adaptasi pengasuhan di keluarga (Gottfried & Gottfried, 2008). Perlu diingat bahwa ketika ibu merasa tidak puas dengan pekerjaannya atau tidak puas dengan pengaturan terhadap perawatan anaknya, pekerjaan bisa menjadi sumber stres (Tan, 2008). Terkadang ibu bekerja membawa perasaan mereka selama bekerja ke rumah, yang mana hal ini memengaruhi hubungan dengan keluarga mereka (Reynolds, Callender, & Edwards, 2003). Hal ini dapat menjadi hal yang positif, dengan mengalami hari yang baik di kantor berarti ibu bekerja merasa bahagia dan siap untuk menghadapi pasangan serta anak. Namun ketika ibu bekerja mengalami hari yang buruk di kantor, ibu bekerja dapat membawa pulang stres dan ketegangan selama bekerja. Kebanyakan ibu bekerja berusaha menghindari hal ini, namun perasaan tersebut terkadang melampaui batas dan menyebabkan kesulitan dalam hubungan keluarga mereka (Reynolds, Callender, & Edwards, 2003). Selain itu, berkurangnya waktu untuk mendampingi anak juga merupakan salah satu konsekuensi negatif yang didapatkan ibu bekerja. Bianchi (dalam Crouter & McHale, 2005) meneliti kuantitas waktu anak-anak dengan orangtua mereka dari tahun 1981 sampai 1997 dan menyimpulkan bahwa pada periode tersebut ada perubahan dalam durasi waktu yang ibu habiskan bersama anak mereka. Ketika ibu menghabiskan waktu untuk bekerja, ibu harus meninggalkan anak mereka dan meminta bantuan pihak lain untuk mengawasi anaknya. Ibu bekerja terkadang harus mendahulukan tuntutan pekerjaan dengan konsekuensi mengurangi intensitas untuk merawat anak mereka ataupun sebaliknya. Ketidakhadiran ibu bekerja di rumah dapat membuat anak merasa kurang diperhatikan, sehingga terkadang timbul keluhan dari anak. Perasaan bersalah dan emosi negatif lainnya dapat muncul karena keterbatasan

5 waktu ibu bekerja yang tidak bisa mengawasi perkembangan anak secara langsung dan optimal. Ibu bekerja harus bisa menyeimbangkan tuntutan peran yang dimilikinya. Menyeimbangkan ketiga peran dengan tuntutan yang berbeda-beda tidaklah mudah. Kelelahan, mudah marah, dan burnout umunya terjadi seiring dengan bertambahnya tanggung jawab dan aktivitas yang dihadapi pasangan yang bekerja (Lamanna & Riedmann, 1985). Ibu bekerja menghadapi situasi penuh tuntutan peran baik sebagai tenaga kerja wanita, istri, maupun ibu yang dalam prosesnya mungkin saja ibu tidak bisa benar-benar melakukan semua tuntutan perannya dalam satu waktu. Memilih tuntutan apa yang akan dilaksanakan mungkin menyebabkan individu merasa cemas, stres, dan bersalah karena telah mengabaikan tuntutan lainnya yang sama-sama penting (Lamanna & Riedmann, 1985). Berdasarkan hasil survei awal terhadap sepuluh orang ibu bekerja, sebagian besar merasakan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran sebagai tenaga kerja, istri, sekaligus ibu. Secara rinci, 70% ibu bekerja merasa kesulitan ketika harus melaksanakan berbagai kewajiban dalam satu waktu dan memilih kewajiban mana yang harus lebih dulu dipenuhi. Terkadang perasaan bersalah muncul karena mereka tidak bisa mendampingi anak terutama ketika anak sakit, hal ini berdampak pada berkurangnya konsentrasi dan menurunnya kinerja di kantor. Selain itu, ibu bekerja juga merasa bersalah melihat respon anak ketika berpisah dengan ibu seperti menangis serta mengeluh karena ibu jarang ada di rumah. Terdapat 28% dari 70% ibu bekerja tersebut bahkan meragukan apakah dirinya telah melakukan keputusan yang tepat untuk bekerja sementara mereka merasa telah mengabaikan tugas mereka sebagai istri dan ibu, sehingga terkadang muncul pemikiran untuk berhenti bekerja. Sebanyak 30% ibu bekerja memandang kesulitan membagi waktu dalam melaksanakan ketiga peran yang mereka miliki memang konsekuensi yang dihadapi oleh ibu bekerja. Menurut mereka ibu bekerja pada umumnya mengalami hal yang sama, sehingga kesulitan tersebut tidak perlu

6 menjadi penghalang bagi mereka karena yang terpenting adalah mencari solusi untuk membagi waktu dan memprioritaskan mana yang lebih mendesak. Ketika menghadapi kesulitan melaksanakan ketiga perannya, ibu bekerja melakukan hal yang berbeda-beda dan hal ini berkaitan dengan self-compassion. Self-compassion adalah kondisi saat seseorang bersikap terbuka, menerima dan peduli terhadap penderitaan yang dialami, kegagalan dan kekurangan diri sendiri (Neff, 2003a). Selfcompassion memiliki tiga komponen yaitu memahami kelemahan dan kegagalan yang dialami diri sendiri daripada mengeritik diri atau menghakimi diri sendiri (self-kindness), memandang kesulitan dan kegagalan sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi dan dialami semua orang (common humanity), dan memandang apa yang terjadi saat ini secara jelas dan menerima kenyataan tanpa menghakimi (mindfulness). Ketiga komponen ini secara berkesinambungan membentuk self-compassion pada diri individu. Self-compassion dibutuhkan sebagai salah satu strategi untuk meregulasi emosi untuk mencegah timbulnya penderitaan, sehingga dapat menimbulkan perilaku proaktif yang dapat memertahankan kesejahteraan individu (Neff, 2003a). Self-compassion sangat penting dalam membantu individu untuk menemukan harapan dan makna ketika menghadapi kesulitan dalam hidup (Neff Rude, & Kirkpatrick, 2007). Untuk membantu menghilangkan emosi negatif dan membuat hidup mereka lebih berharga dan penuh kasih sayang, mereka perlu mengembangkan self-compassion (Saricaoglu & Arslan, 2013). Selain itu, self-compassion penting bagi orangtua, dengan memiliki self-compassion mereka dapat mengatasi rasa frustasi dan kesulitan dalam mengasuh anak (Neff, 2011b). Orangtua tidak selalu bisa mengatasi situasi sulit ketika menghadapi anak mereka dengan cara yang ideal. Ketika ibu bekerja memiliki compassion, mereka akan dengan mudah mengakui ketidaksempurnaan mereka sebagai orangtua, istri, maupun karyawan. Hal ini dapat membantu ibu bekerja untuk

7 menyadari bahwa mereka dapat keliru, dapat membuat kesalahan, dan kesalahan itu bukanlah suatu akhir dunia. Terdapat salah satu faktor yang memengaruhi self-compassion yaitu trait kepribadian (Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Neff, Rude, & Kirkpatrick (2007) terlihat bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan trait kepribadian (berdasarkan big five personality trait). Trait merupakan dimensi yang menunjukkan pola kecenderungan perbedaan pada setiap individu dalam hal pikiran, perasaan, dan tindakan yang bersifat konsisten (McCrae & Costa, 2003). Trait memberikan pengaruh pada perbedaan perilaku individu, konsistensi perilaku individu dari waktu ke waktu, dan stabilitas perilaku dalam menghadapi berbagai situasi (Feist J. & Feist J. Gregory, 2008). Dalam hal ini trait kepribadian dapat menentukan bagaimana pola pikir, perasaan serta tindakan yang akan diambil ibu bekerja; sehingga dapat memengaruhi berkembangnya selfcompassion dalam diri ibu bekerja khususnya ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Trait kepribadian dapat menggambarkan karakteristik individual dari berbagai domain yang berbeda, sehingga dapat diasumsikan bahwa trait kepribadian dapat memprediksi self-compassion (Thurackal, Corveleyn, & Dezutter; 2016). Berdasarkan big five personality traits, terdapat lima dimensi trait kepribadian yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness dan conscientiousness. Neuroticism menggambarkan kecenderungan seseorang untuk merasa cemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, emosional, dan rentan terkena gangguan yang berhubungan dengan stres. Extraversion merupakan kecenderungan penuh kasih sayang, periang, banyak berbicara, senang berada dalam kelompok, menyukai hal-hal menyenangkan. Openness to experience merupakan kecenderungan seseorang mencari perubahan dan pengalaman yang beragam, kreatif, imajinatif, memiliki rasa ingin tahu, bebas, dan memiliki pilihan yang berbeda. Agreeableness merupakan kecenderungan dapat dipercaya, murah hati, fleksibel,

8 menerima orang lain, dan baik hati. Conscientiousness merupakan kecenderungan bekerja keras, teliti dan berhati-hati, tepat waktu, dan tekun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Neff, Rude, dan Kirkpatrick (2007) diketahui bahwa trait neuroticism, trait extraversion, trait agreeableness, dan trait conscientiousness memiliki pengaruh signifikan terhadap self-compassion; sedangkan trait openness to experience tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap self-compassion. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Thurackal, Corveleyn, dan Dezutter (2016) diketahui bahwa kelima trait kepribadian berpengaruh signifikan terhadap self-compassion. Penelitian mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap self-compassion masih minim dengan hasil penelitian yang beragam. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti pengaruh trait kepribadian terhadap self-compassion. 1.2. Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui signifikansi pengaruh trait kepribadian yang terdiri atas neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung baik secara simultan (bersamaan) ataupun secara parsial (masing-masing). 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai gambaran trait kepribadian dan self-compassion ibu bekerja di Bandung.

9 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik mengenai signifikansi pengaruh trait kepribadian terhadap self-compassion ibu bekerja di Bandung baik secara simultan ataupun secara parsial. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoretis 1) Memberikan sumbangan informasi dan bahan pengembangan bagi bidang ilmu Positive Psychology dan Kesehatan Mental, khususnya mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap self-compassion ibu bekerja di Bandung. 2) Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh trait kepribadian terhadap self-compassion ibu bekerja di Bandung. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1) Memberikan informasi kepada ibu bekerja di Bandung mengenai gambaran selfcompassion dan trait kepribadian. Diharapkan dengan informasi tersebut, mereka dapat mengenal pentingnya self-compassion sebagai bahan untuk mengembangkan diri agar tanggap menyadari tindakannya terhadap diri sendiri saat mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Diharapkan juga mereka dapat berusaha untuk mengubah atau memertahankan sifat-sifat yang memengaruhi self-compassion dalam diri mereka.

10 1.5. Kerangka Pikir Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan baru (Hurlock, 1997). Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/istri, orang tua, pencari nafkah, mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan dan nilai baru. Penyesuaian diri menjadikan periode ini suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Ketika wanita menikah dan memiliki anak, di samping memiliki peran sebagai individu, mereka juga memiliki peran sebagai seorang istri dan seorang ibu. Sebagai seorang istri, ibu bekerja memiliki peran untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, mengatasi konflik yang muncul dengan cara yang konstruktif, menjaga kedekatan dan hubungan intim dengan pasangan, dan melaksanakan tugas sebagai istri baik mengurus rumah atau mengurus anak (Lestari, 2012). Sebagai seorang ibu, ibu bekerja memiliki tugas untuk menerima dan menyesuaikan diri terhadap tekanan sebagai ibu, mempelajari bagaimana cara merawat anak dengan kompeten, membangun dan mempertahankan rutinitas yang sehat bagi keluarga, menyediakan kesempatan bagi perkembangan anak, membagi tanggung jawab sebagai orangtua dengan suami, mempertahankan kepuasan hubungan dengan suami, menjaga rasa otonomi pribadi, serta mengeksplorasi dan mengembangkan rasa puas sebagai angota keluarga (Duvall & Miller, 1985). Selain itu, ibu bekerja juga memiliki tugas dan kewajiban sebagai seorang karyawan yang sesuai dengan job description dengan lamanya waktu bekerja yang telah ditetapkan serta berbagai peraturan yang ada di instansi. Ibu bekerja harus bisa menyeimbangkan ketiga tuntutan peran yang dimilikinya. Menyeimbangkan ketiga peran dengan tuntutan yang berbeda-beda tidaklah mudah. Kelelahan, mudah marah, dan burnout umunya terjadi seiring dengan bertambahnya tanggung jawab dan aktivitas yang dihadapi pasangan yang bekerja (Lamanna & Riedmann, 1985). Ibu bekerja menghadapi situasi penuh tuntutan peran baik sebagai tenaga kerja wanita,

11 istri, maupun ibu yang dalam prosesnya mungkin saja ibu tidak bisa benar-benar melakukan semua tuntutan perannya dalam satu waktu. Memilih tuntutan apa yang akan dilaksanakan mungkin menyebabkan individu merasa cemas, stres, dan bersalah karena telah mengabaikan tuntutan lainnya yang sama-sama penting (Lamanna & Riedmann, 1985). Pada dasarnya ibu yang memutuskan untuk bekerja (ibu bekerja) memiliki keinginan untuk mengembangkan kariernya ataupun membantu perekonomian keluarga. Tuntutan dan tanggung jawab pekerjaan yang dimiliki ibu bekerja mengharuskan mereka untuk menghabiskan waktu di luar rumah; sehingga waktu yang dihabiskan ibu bekerja untuk mengurus keluarga, terutama anak menjadi berkurang. Ibu bekerja seringkali harus meninggalkan anak mereka di rumah dan tidak dapat mengawasi secara langsung masa perkembangan anak mereka secara optimal. Ibu bekerja terkadang harus mendahulukan tuntutan pekerjaan dengan konsekuensi mengurangi intensitas untuk merawat keluarga terutama anak mereka ataupun sebaliknya. Pada dasarnya, penghayatan ibu bekerja ketika menghadapi kesulitan menyeimbangkan ketiga perannya tersebut berbeda. Ketika menghadapi situasi tidak menyenangkan; ibu bekerja perlu bersikap terbuka dalam menerima dan memahami situasi yang dihadapinya, sehingga tidak terlarut dan membesar-besarkan perasaan bersalah atau emosi negatif lainnya yang muncul. Untuk membantu menghilangkan emosi negatif dan membuat hidup mereka lebih berharga dan penuh kasih sayang, mereka perlu mengembangkan self-compassion (Saricaoglu & Arslan, 2013). Self-compassion adalah kondisi dimana seseorang bersikap terbuka, menerima dan peduli terhadap penderitaan yang dialami, kegagalan dan kekurangan diri sendiri (Neff, 2003a). Self-compassion memiliki tiga komponen yaitu memahami diri sendiri daripada mengeritik dan menghakimi diri sendiri (self-kindness), merasa terhubung dengan orang lain daripada merasa terisolasi dan terasing dengan penderitaan yang dialami

12 (common humanity), dan menyadari dan menerima masa-masa sulit daripada menyangkal dan melebih-lebihkannya (mindfulness). Melalui self-kindness, ibu bekerja dapat menyayangi dan memahami diri sendiri daripada mengeritik dan menghakimi diri ketika harus mendahulukan pelaksanaan suatu peran dibandingkan kedua perannya yang lain. Self-kindness membantu ibu bekerja untuk dapat menyayangi diri sendiri ketika menghadapi keterbatasan karakteristik personalnya yang tidak bisa dikendalikan seperti kepribadian. Melalui common humanity, ibu bekerja memandang situasi sulit yang muncul ketika harus menyeimbangkan ketiga perannya bersifat manusiawi serta dialami juga oleh ibu bekerja lainnya. Hal ini dapat membantu ibu bekerja untuk merasa terhubung dengan orang lain. Mindfulness membantu ibu bekerja untuk menyadari dan menerima bahwa dirinya menjalani peran ganda dengan konsekuensi berkurangnya intensitas untuk merawat anak mereka tanpa membesar-besarkan hal tersebut. Dengan mindfulness, ibu bekerja tidak menyangkal dan tidak melarikan diri dari kenyataan bahwa dirinya terkadang tidak dapat mengawasi anak mereka secara optimal dan harus meninggalkan anak mereka di bawah pengawasan orang lain. Ketiga komponen tersebut; selfkindness, common humanity, dan mindfulness secara berkesinambungan membangun selfcompassion ibu bekerja. Self-compassion dipengaruhi oleh faktor trait kepribadian (Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007). Trait dapat didefinisikan sebagai dimensi yang menunjukkan kecenderungan perbedaan pada setiap individu dalam hal pola berpikir, perasaan, dan bertindak yang bersifat konsisten (Costa & McCrae, 2003). Trait kepribadian terdiri atas neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Trait memberikan pengaruh pada perbedaan perilaku individu, konsistensi perilaku individu dari waktu ke waktu, dan stabilitas perilaku dalam menghadapi berbagai situasi (Feist J. & Feist J. Gregory, 2008). Trait kepribadian dapat menggambarkan karakteristik individual dari berbagai domain yang

13 berbeda, sehingga dapat diasumsikan bahwa trait kepribadian dapat memprediksi selfcompassion (Thurackal, Corveleyn, & Dezutter; 2016). Dalam hal ini ibu bekerja memiliki perbedaan dalam menghadapi dan menghayati situasi serta perasaan bersalah yang muncul ketika menjalankan peran ganda; sehingga dapat memengaruhi berkembangnya selfcompassion dalam diri ibu bekerja. Ibu bekerja dengan trait kepribadian neuroticism atau emotional instabillity merasa cemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, emosional, dan rentan terkena gangguan yang berhubungan dengan stres. Ibu bekerja cenderung merasa cemas ketika harus meninggalkan dan menitipkan anaknya di bawah pengawasan orang lain. Ibu bekerja cenderung merasa bersalah karena tidak bisa mendampingi anaknya. Hal ini membuat ibu bekerja seringkali mengeritik dan menghakimi diri sendiri, sehingga sulit untuk menyayangi dan berusaha memahami dirinya (self-kindness). Ibu bekerja juga cenderung mengasihani diri sendiri. Sikap mengasihani diri sendiri ini membuat ibu bekerja hanya berfokus pada emosi negatif (perasaan bersalah dan cemas); mereka akan merasa terisolasi dan tidak terhubung dengan orang lain. Hal ini membuat ibu bekerja tidak dapat menyadari bahwa perasaan cemas, bersalah, dan situasi yang dialaminya tersebut dialami juga oleh ibu bekerja lainnya serta bersifat manusiawi (common humanity). Ibu bekerja yang terlalu terbawa oleh perasaan cemas dan bersalah; cenderung mengasihani diri sendiri, membesar-besarkan masalah yang dialami, sulit untuk melihat masalah secara jelas, dan berusaha memahaminya (mindfulness). Ibu bekerja dengan trait kepribadian neuroticism cenderung menghakimi diri sendiri, merasa terisolasi, dan sulit untuk melihat masalah secara jelas, hal ini membuat self-compassion ibu bekerja rendah. Ibu bekerja dengan trait kepribadian extraversion cenderung senang berada dalam kelompok dan mudah bergaul. Ibu bekerja cenderung sering berkumpul bersama orang lain, merasa terhubung dan menjadi bagian dari mereka. Ibu bekerja yang merasa terhubung

14 dengan orang lain tidak merasa takut untuk menghadapi masa-masa sulit dan penderitaan dalam hidupnya serta siap untuk menghadapi hal tersebut. Hal ini membuat ibu bekerja dapat mengingatkan dirinya sendiri bahwa perasaan bersalah merupakan pengalaman manusiawi dan orang lain menghadapi situasi yang sama (common humanity). Ibu bekerja juga cenderung senang beraktivitas, menikmati hidup, dan merasakan emosi-emosi positif seperti kegembiraan. Hal ini membuat ibu bekerja cenderung dapat menanggapi masa-masa sulit dan perasaan bersalah mereka dengan kebaikan dan tidak mengeritik serta menghakimi diri sendiri (self-kindness). Ibu bekerja dengan trait kepribadian extraversion cenderung menyayangi diri sendiri, merasa terhubung dengan orang lain, dan akan dapat melihat masalah secara jelas, hal ini membuat self-compassion ibu bekerja tinggi. Ibu bekerja dengan trait kepribadian openness to experience cenderung memiliki rasa ingin tahu, mencari perubahan, dan pengalaman yang beragam. Ibu bekerja cenderung termotivasi secara intrinsik untuk mengetahui cara mengatasi situasi yang tidak menyenangkan. Rasa ingin tahu ini dapat memfasilitasi ibu bekerja untuk dapat melihat situasi yang dialaminya dari perspektif yang berbeda. Hal ini dapat membantunya untuk melihat secara jelas situasi yang dihadapinya, tidak menghindari, menekan, dan melebihlebihkan perasaan yang muncul (mindfulness). Ibu bekerja cenderung berani mencoba mengambil keputusan yang berbeda dan mampu menghadapi kesulitan tanpa merasa takut gagal secara berlebihan. Ibu bekerja yang berpikiran terbuka cenderung menghargai pengalaman, melihat hal tersebut sebagai sumber dari kehidupan yang bermakna; sehingga dapat memahami bahwa kesulitan yang dihadapi ketika berusaha menyeimbangkan ketiga peran merupakan bagian dari pelajaran hidup yang dialami oleh semua manusia (common humanity). Ibu bekerja dengan trait kepribadian openness to experience cenderung dapat melihat secara jelas masalah yang dihadapinya serta tidak melebih-lebihkan perasaan yang muncul, memahami bahwa kesulitan yang dihadapi juga dialami oleh orang lain, kedua hal

15 tersebut akan membantu ibu bekerja mengembangkan sikap menyayangi diri sendiri ketika menghadapi masa-masa sulit. Dapat dikatakan bahwa ibu bekerja dengan trait kepribadian openness to experience memiliki self-compassion yang tinggi. Ibu bekerja dengan trait kepribadian agreeableness memiliki kecenderungan dapat dipercaya dan memercayai orang lain, fleksibel, menerima orang lain, dan baik hati. Ibu bekerja memiliki kecenderungan stabil secara emosional. Ibu bekerja juga cenderung bersahabat, memahami, menghormati, dan memiliki hubungan baik dengan orang lain. Sifat bersahabat dan memahami orang lain tersebut dapat membantu ibu bekerja untuk merasa terhubung dengan orang lain; sehingga ibu bekerja menyadari bahwa semua manusia dapat melakukan kesalahan dan mengambil keputusan yang salah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain itu, pengalaman tidak menyenangkan ketika menjalani peran ganda juga dialami oleh orang lain bukan hanya dirinya sendiri (common humanity). Ibu bekerja yang dapat bergaul dengan orang lain, memercayai dan memahami mereka, serta tidak menghakimi orang lain dapat mengembangkan sikap menyayangi dan memahami dirinya sendiri. Ibu bekerja juga dapat bersikap hangat dan lembut terhadap dirinya sendiri. Hal ini dapat membantu ibu bekerja memahami situasi dan perasaan negatif yang muncul ketika menjalankan peran ibu; daripada menyalahkan diri sendiri (self-kindness). Ibu bekerja dengan trait kepribadian agreeableness cenderung merasa terhubung dengan orang lain, dapat mengembangkan sikap menyayangi diri sendiri ketika mengalami situasi sulit, sehingga dapat membantu ibu bekerja melihat situasi tidak menyenangkan secara jelas dan tidak melebihlebihkan perasaan negatif yang muncul. Dapat dikatakan bahwa ibu bekerja dengan trait kepribadian agreeableness memiliki self-compassion yang tinggi. Ibu bekerja dengan trait kepribadian conscientiousness cenderung bekerja keras, teliti dan berhati-hati, tepat waktu, dan tekun. Ibu bekerja cenderung rasional, ambisius dan sangat disiplin, sehingga dapat meraih tujuan mereka. Ibu bekerja berfokus pada pertumbuhan diri

16 (personal growth), membuat rencana spesifik untuk mengembangkan kemampuan diri mereka dan mencapai tujuan hidup. Ibu bekerja tidak mengeritik dan menghakimi kelemahan diri sendiri, tidak merasa takut akan kegagalan dalam melakukan rencana untuk mencapai tujuan hidup, sehingga dapat bebas menghadapi tantangan untuk mengembangkan diri (selfkindness). Di satu sisi; ketika mengalami kegagalan ibu bekerja dapat menyadari kelemahan dan menerima kesulitan yang dialami, serta kegagalan tanpa membesar-besarkan hal tersebut, sehingga dapat menyadari tujuan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan kemampuan diri (mindfulness). Ibu bekerja dengan trait kepribadian conscientiousness cenderung tidak menghakimi diri sendiri ketika mengalami kesulitan, dapat melihat permasalahan dengan jelas tanpa melebih-lebihkannya, kedua hal tersebut akan membantu ibu bekerja menyadari bahwa kesulitan yang dialaminya bersifat manusiawi. Dapat dikatakan bahwa ibu bekerja dengan trait kepribadian conscientiousness memiliki self-compassion yang tinggi. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa data sosio-demografis yang akan dijaring sebagai upaya untuk memberikan gambaran lebih utuh mengenai ibu bekerja. Adapun data sosio-demografis tersebut adalah usia ibu, lamanya menikah, lamanya bekerja, jumlah jam meninggalkan rumah per-hari, jumlah dan usia anak, status pekerjaan suami, pendidikan terakhir, alasan bekerja, serta cara menanggulangi pengasuhan anak saat bekerja.

17 Berikut ini adalah bagan berdasarkan penjelasan di atas : Data Sosiodemografis : 1. Usia 2. Usia Pernikahan 3. Lama Kerja 4. Jam Kerja Per-hari 5. Pendidikan Terakhir 6. Jumlah dan Usia Anak 7. Alasan Bekerja 8. Status Pekerjaan Suami 9. Pengasuhan Anak Selama Bekerja Ibu Bekerja di Bandung Trait Kepribadian berdasarkan Big Five Theory : Neuroticism Komponen Self- Compassion : 1. Self-kindness 2. Common humanity 3. Mindfulness Extraversion Openness to experience Self-Compassion Agreeableness Conscientiousness Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir

18 1.6. Asumsi Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan sejumlah asumsi sebagai berikut : 1) Ibu bekerja memiliki tiga peran yaitu sebagai seorang istri, seorang ibu, dan juga seorang karyawan yang mana ketiga peran tersebut memiliki tuntutan dan tugas yang harus dipenuhi. Pemilihan tuntutan peran yang akan dilaksanakan dapat menyebabkan ibu bekerja mengabaikan tuntutan lainnya yang sama-sama penting. 2) Ketika menyeimbangkan perannya, ibu bekerja membutuhkan self-compassion sebagai upaya untuk beradaptasi dengan beragam situasi sulit yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. 3) Self-compassion ibu bekerja muncul dari interaksi ketiga komponennya yaitu selfkindness, common humanity, dan mindfulness. Ketiga komponen tersebut secara berkesinambungan membentuk self-compassion. 4) Trait kepribadian ibu bekerja dapat menjadi prediktor bagi derajat self-compassion. 1.7. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini terdiri dari hipotesis mayor dan hipotesis minor. Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.7.1. Hipotesis Mayor Terdapat pengaruh signifikan antara trait neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness terhadap self-compassion secara simultan pada ibu bekerja di Bandung.

19 1.7.2. Hipotesis Minor Hipotesis Trait Neuroticism Terdapat pengaruh signifikan antara trait neuroticism terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung. Hipotesis Trait Extraversion Terdapat pengaruh signifikan antara trait extraversion terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung. Hipotesis Trait Openness to Experience Terdapat pengaruh signifikan antara trait openness to experience terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung. Hipotesis Trait Agreeableness Terdapat pengaruh signifikan antara trait agreeableness terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung. Hipotesis Trait Conscientiousness Terdapat pengaruh signifikan antara trait conscientiousness terhadap self-compassion pada ibu bekerja di Bandung.