PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4450); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesisa Nomor 5135); 5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009; 6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 552); Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. BAB I PENGERTIAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Pegawai Negeri Sipil adalah Calon Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999. 2. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari.
3. Pelanggaran adalah segala bentuk ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang bertentangan dengan Kode Etik. 4. Pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pembina Kepegawaian atau Pejabat yang berwenang menghukum atau Pejabat lain yang ditunjuk. 5. Majelis Kehormatan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Majelis Kode Etik adalah lembaga non struktural di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta penyelesaian pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. 6. Terperiksa adalah Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik. 7. Saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan mengenai suatu peristiwa yang berhubungan dengan perkara Terperiksa. 8. Saksi ahli adalah orang yang memiliki keahlian tertentu yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik. 9. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh masyarakat, Pegawai Negeri Sipil atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pejabat yang berwenang dan/atau atasan Pegawai Negeri Sipil. 10. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang dan/atau atasan Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan pemeriksaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga telah melakukan pelanggaran Kode Etik. 11. Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral BAB II TUJUAN Pasal 2 Kode Etik bertujuan : a. meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil; b. menjamin terpeliharanya tata tertib; c. menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan terciptanya iklim kerja yang kondusif; d. menciptakan dan memelihara kondisi kerja serta perilaku yang profesional; dan e. meningkatkan citra dan kinerja Pegawai Negeri Sipil dan unit kerja. BAB III KODE ETIK Pasal 3 Dalam pelaksanaan tugas setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada : a. Kode Etik terhadap kehidupan bernegara; b. Kode Etik terhadap organisasi; c. Kode Etik terhadap masyarakat; d. Kode Etik terhadap diri sendiri; dan e. Kode Etik terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil. Pasal 4 Kode Etik terhadap kehidupan bernegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; b. menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah.
Pasal 5 Kode Etik terhadap organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi: a. bersikap jujur, tegas dan loyal dalam melaksanakan tugas dan wewenang; b. konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kerja; c. bekerja kreatif dan inovatif secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna; d. tidak memanfaatkan data dan atau informasi kedinasan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan/atau pihak lain; e. menjaga kerahasiaaan informasi dan data yang dimiliki dalam pelaksanaan tugas dengan cara : 1. mengamankan data atau berkas; 2. mengamankan kode sandi (password) komputer dan tidak membocorkan kepada Pegawai Negeri Sipil dan pihak lain yang tidak berhak; 3. memusnahkan dokumen yang tidak terpakai sesuai dengan prosedur yang berlaku; 4. tidak mengizinkan orang yang tidak berhak berada dalam ruangan kerja. f. bertanggung jawab dalam memelihara dan mengamankan dokumen dan inventaris kantor dengan sebaik-baiknya; g. tidak menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain tanpa seizin pejabat yang berwenang; h. tidak memanfaatkan kewenangan jabatan dan pengaruhnya untuk memperoleh keuntungan pribadi atau orang lain; i. tidak menerima dan/atau memberi fasilitas baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan jabatan dan pekerjaannya seperti hiburan, jamuan, perjalanan wisata, bantuan dana dan jasa lainnya; j. tidak melakukan pertemuan dengan pihak lain dalam urusan kantor untuk kepentingan diri sendiri/golongan/kelompok; k. melaporkan kepada atasannya jika ada situasi konflik kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugas; l. menjaga tempat kerja dalam keadaan bersih, aman, dan nyaman serta peduli dengan situasi dan kondisi lingkungan kerja; m. tanggap terhadap laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas kedinasan; dan n. bersikap netral dari pengaruh semua golongan dan/atau partai politik. Pasal 6 Kode Etik terhadap masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi: a. menghormati agama/kepercayaan, suku, budaya, dan adat istiadat yang berlaku; b. memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan dengan baik dan tidak diskriminatif; c. tidak merendahkan/meremehkan martabat orang lain; d. tidak melakukan pelecehan seksual; dan e. tidak membawa senjata tajam. Pasal 7 Kode Etik terhadap diri sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi : a. berpenampilan, berbusana rapi dan sopan; b. tidak memakai dan/atau mengedarkan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya baik di lingkungan kantor maupun luar kantor; c. menerima umpan balik secara obyektif; dan d. berperilaku hemat energi dan air. Pasal 8 Kode Etik terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e meliputi: a. bersedia menerima dan memberi kritik yang konstruktif; b. menghormati norma ilmiah keilmuan masing-masing; dan c. mengendalikan diri dalam berinteraksi.
BAB IV KODE ETIK INSTANSI Pasal 9 (1) Kode Etik dijabarkan lebih lanjut dalam Kode Etik disetiap Unit Eselon I Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sesuai dengan karakteristik masing-masing Unit Eselon I. (2) Setiap Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral wajib menyusun peraturan Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyusunan Kode Etik Unit Eselon I di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan. (4) Pimpinan unit Eselon I dalam menyusun Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip dasar sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kode Etik; b. disusun dalam bahasa yang mudah dipahami dan diingat; c. dijabarkan sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing unit Eselon I. BAB V PENEGAKAN KODE ETIK Pasal 10 (1) Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dijatuhi sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sanksi moral dan tindakan administratif. Pasal 11 (1) Pelaksanaan sanksi moral dapat disampaikan secara tertutup atau terbuka. (2) Sanksi moral dapat berupa permohonan maaf secara lisan dan/atau tertulis (3) Tindakan adminstratif berupa rekomendasi dari Majelis Kode Etik kepada Pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin BAB VI TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK Pasal 12 (1) Penanganan pelanggaran Kode Etik dimulai dari adanya laporan atau pengaduan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I A dan I B Peraturan Menteri ini. (2) Pejabat yang berwenang dan/atau atasan Pegawai Negeri Sipil yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau menerima laporan dan/atau pengaduan wajib meneliti dugaan pelanggaran Kode Etik tersebut dan menjaga kerahasiaan identitas Pelapor. (3) Pejabat yang berwenang dan/atau atasan Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan pelanggaran, secara hirarki wajib meneruskan laporan dan/atau pengaduan kepada pimpinan unit eselon I paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak laporan dan/atau pengaduan diterima, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I C Peraturan Menteri ini. (4) Pejabat dan/ atau atasan Pegawai Negeri Sipil yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap melakukan pelanggaran Kode Etik dan dikenakan sanksi moral. (5) Sanksi moral yang dijatuhkan kepada pejabat dan/atau atasan Pegawai Negeri Sipil yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dilakukan setelah mendengar keterangannya, dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
(6) Pejabat yang berwenang, membentuk Majelis Kode Etik paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterima laporan dugaan pelanggaran kode etik, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II A Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Pemanggilan kepada Terperiksa dilakukan oleh Majelis Kode Etik paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II B Peraturan Menteri ini. (2) Apabila pada tanggal yang seharusnya Terperiksa tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal seharusnya yang bersangkutan diperiksa pada panggilan pertama. (3) Apabila pada tanggal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Terperiksa tidak hadir juga, maka Majelis Kode Etik memberikan rekomendasi berdasarkan alat bukti dan keterangan yang ada tanpa dilakukan pemeriksaan. Pasal 14 (1) Pemeriksaan dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II C Peraturan Menteri ini. (2) Berita acara pemeriksaan ditandatangani oleh Majelis Kode Etik dan Terperiksa. (3) Dalam hal Terperiksa tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan, berita acara pemeriksaan tersebut tetap dijadikan sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi. (4) Sidang Majelis Kode Etik dilaksanakan secara cepat dan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak sidang Majelis Kode Etik terakhir sudah harus menjatuhkan putusan. (5) Keputusan Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah mufakat. (6) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. (7) Dalam hal suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai, Ketua Majelis wajib membuat keputusan. (8) Keputusan hasil sidang Majelis Kode Etik untuk pelanggaran Kode Etik bersifat final dan tidak dapat diajukan keberatan. (9) Dalam melaksanakan tugasnya, Majelis Kode Etik bekerja dengan prinsip praduga tak bersalah. (10) Apabila dipandang perlu, Majelis Kode Etik dapat meminta keterangan saksi atau saksi ahli. Pasal 15 (1) Berdasarkan rekomendasi Majelis Kode Etik, pejabat yang berwenang menghukum menjatuhkan sanksi. (2) Majelis Kode Etik wajib menyampaikan keputusan hasil sidang berupa rekomendasi Majelis Kode Etik kepada Pejabat yang berwenang memberikan sanksi moral dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II D Peraturan Menteri ini. (3) Dalam hal pelanggaran Kode Etik terdapat dugaan pelanggaran disiplin, Majelis Kode Etik merekomendasikan kepada atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk melakukan pemeriksaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin. Pasal 16 (1) Sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Pejabat yang berwenang yang memuat jenis pelanggaran Kode Etik yang dilakukan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II E Peraturan Menteri ini. (2) Penyampaian sanksi moral secara tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan oleh Pejabat yang berwenang dalam ruang tertutup dan dihadiri oleh Terperiksa serta disaksikan oleh Pejabat terkait
dengan syarat pangkat Pejabat tersebut tidak boleh lebih rendah dari Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral. (3) Penyampaian sanksi moral secara terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan sebanyak 1 (satu) kali oleh Pejabat yang berwenang melalui forum pertemuan resmi Pegawai Negeri Sipil atau forum lain yang dipandang sesuai untuk itu. (4) Dalam hal tempat kedudukan Pejabat yang berwenang dan tempat Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral berjauhan, Pejabat yang berwenang dapat menunjuk Pejabat lain dalam lingkungannya untuk menyampaikan sanksi moral tersebut dengan syarat Pejabat tersebut serendah-rendahannya Pejabat Struktural Eselon III. (5) Sanksi moral berlaku sejak tanggal ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang. (6) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral tidak hadir tanpa alasan yang sah pada waktu penyampaian Keputusan sanksi moral maka dianggap telah menerima keputusan sanksi moral tersebut. (7) Keputusan sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) disampaikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang. (8) Sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak keputusan sanksi moral disampaikan. (9) Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral diwajibkan membuat permohonan maaf secara lisan dan/atau tertulis paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak disampaikannya keputusan sanksi moral. (10) Dalam hal Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral tidak bersedia mengajukan permohonan maaf secara lisan dan/atau tertulis dapat dijatuhi hukuman disiplin ringan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai disiplin. BAB VII PEJABAT YANG BERWENANG MEMBENTUK MAJELIS KODE ETIK DAN MENJATUHKAN SANKSI MORAL Pasal 17 (1) Menteri menetapkan pembentukan Majelis Kode Etik dan menjatuhkan sanksi moral untuk Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan: a. struktural Eselon I; b. fungsional tertentu jenjang Utama. (2) Pimpinan Unit Eselon I menetapkan pembentukan Majelis Kode Etik dan menjatuhkan sanksi moral untuk Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan; a. struktural Eselon II, III dan IV; b. fungsional tertentu jenjang Pelaksana Pertama sampai dengan Madya; c. fungsional umum golongan I/a sampai dengan IV/d. (3) Pimpinan Unit Eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mendelegasikan wewenangnya untuk membentuk Majelis Kode Etik dan menjatuhkan sanksi moral di lingkungannya masing-masing kepada serendah-rendahnya Pejabat Struktural Eselon II yang membidangi kepegawaian. (4) Dalam hal tempat kedudukan Pejabat yang berwenang dan tempat Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan sanksi moral berjauhan, Pejabat Struktural Eselon II yang membidangi kepegawaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menunjuk Pejabat lain dalam lingkungannya serendahrendahannya Pejabat Struktural Eselon III untuk membentuk Majelis Kode Etik dan menjatuhkan sanksi moral. Pasal 18 (1) Majelis Kode Etik dibentuk setiap terjadi pelanggaran Kode Etik. (2) Susunan keanggotaan Majelis Kode Etik terdiri dari: a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota; c. sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota.
(3) Sekretaris dijabat oleh pejabat yang melaksanakan fungsi kepegawaian. (4) Pangkat dan Jabatan Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah dari jabatan dan pangkat Terperiksa. (5) Khusus pejabat Eselon I atau pejabat fungsional jenjang Utama, apabila melanggar Kode Etik maka anggota Majelis Kode Etik harus memiliki pangkat serendah-rendahnya sama dengan Terperiksa. Pasal 19 Majelis Kode Etik mempunyai tugas dan berwenang untuk: a. melakukan pemanggilan dan pemeriksaan; b. menghadirkan saksi dan saksi ahli untuk didengar keterangannya; c. melakukan persidangan; d. mengajukan pertanyaan secara langsung kepada Terperiksa, saksi dan saksi ahli mengenai sesuatu yang diperlukan dan berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Terperiksa; e. menandatangani absensi dan berita acara pemeriksaan; f. membuat rekomendasi pemberian sanksi administrasi kepada pejabat yang berwenang. Pasal 20 (1) Ketua Majelis Kode Etik berkewajiban: a. melaksanakan koordinasi dengan anggota Majelis Kode Etik untuk mempersiapkan pelaksanaan sidang dengan mempelajari dan meneliti berkas pekara pelanggaran Kode Etik; b. menentukan jadwal persidangan; c. menentukan saksi dan/atau saksi ahli yang perlu didengar keterangannya; d. memimpin jalannya sidang; e. menjelaskan alasan dan tujuan persidangan; f. mengatur anggota Majelis Kode Etik untuk mengajukan pertanyaan kepada terperiksa, saksi, dan saksi ahli; g. mengangkat sumpah saksi dan saksi ahli sesuai agama dan kepercayaannya; h. mempertimbangkan saran, pendapat dari anggota Majelis Kode Etik untuk merumuskan putusan sidang; i. menandatangani berita acara pemeriksaan; j. menandatangani rekomendasi Majelis Kode Etik atas hasil sidang; k. membacakan putusan hasil sidang. (2) Sekretaris Majelis Kode Etik berkewajiban: a. menyiapkan administrasi keperluan sidang; b. membuat dan mengirimkan surat panggilan kepada Terperiksa, saksi dan saksi ahli yang diperlukan; c. menyusun berita acara pemeriksaan; d. menyiapkan konsep dan menandatangani rekomendasi Majelis Kode Etik atas hasil sidang; e. menandatangani berita acara pemeriksaan; f. mengamankan dan mendokumentasikan hasil sidang. (3) Anggota Majelis Kode Etik berkewajiban: a. mengajukan pertanyaan kepada terperiksa, saksi dan saksi ahli untuk kepentingan pemeriksaan; b. mengajukan saran kepada Ketua Majelis Kode Etik baik diminta ataupun tidak; c. mengikuti seluruh kegiatan persidangan termasuk melakukan peninjauan di lapangan; d. menandatangani berita acara pemeriksaan dan rekomendasi Majelis Kode Etik atas hasil sidang. Pasal 21 (1) Anggota Majelis Kode Etik yang berbeda pendapat dengan putusan sidang harus tetap menandatangani putusan sidang.
(2) Perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Pasal 22 Atasan langsung dari Pegawai Negeri Sipil yang melanggar Kode Etik berkewajiban untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan sanksi moral. BAB VIII TERPERIKSA Pasal 23 (1) Terperiksa berhak : a. menerima dan mempelajari isi berkas perkara sebelum dilaksanakan sidang; b. dapat menunjuk pendamping untuk memberikan pembelaan dalam persidangan; c. mengajukan saksi dan saksi ahli dalam proses persidangan. (2) Terperiksa berkewajiban : a. memenuhi semua panggilan; b. menghadiri sidang; c. menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Ketua dan Anggota Majelis Kode Etik secara jujur dan obyektif; d. memberikan keterangan untuk memperlancar jalannya sidang Majelis Kode Etik; e. menaati semua ketentuan yang dikeluarkan oleh Majelis Kode Etik dan berlaku sopan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, DARWIN ZAHEDY SALEH PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 488