DETERMINAN STUNTING PADA BATITA USIA 13 36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SILOAM TAMAKO KABUPATEN SANGIHE PROVINSI SULAWESI UTARA Asnat W. R. Sedu*, Nancy S. H. Malonda*, Nova H. Kapantow* *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado ABSTRACT Stunting is a chronic nutritional problem as the result of prolonged malnutrition. In 2013, the prevalence of stunting nationally was 37,2%. In 2007, the prevalence of stunting in north sulawesi province was 31,2% and the prevalence stunting in Sangihe regency was 31,6%. Child development is influenced by factors heredity and environmental factors that influenced by food intake, clean environment, physical exercise and health status. The aim of this study is to investigate the determinants of stunting in children aged 13-36 months in the work area of pulblic health center Siloam Tamako.This study was conducted in cross-sectional design. The population was children aged 13-36 months amount 347 children. There are 108 children was being the samples and they obtained by purposive sampling. The data base were collected by measuring of subject s height and interview questionnaires to the respondents. Analysis was conducted by Chi-Square test and fisher s exact test The results of this study showed that subject s with low birth weight is 4,6%, subject s who are not exclusively breast feeding is 75,9%, subject s who complete immunization is 98,1% and subject s who are stunting is 28,7%. Statistical test analysis showed there is no relationship between birth weight, exclusive breastfeeding and immunization status with stunting among children aged 13-36 months in the work area of public health center Siloam Tamako. This study recommended the government and health workers to do a health promotion with counseling about the importance of maternal nutrition on the productive age, nutrition of pregnant women, the importance of exclusive breastfeeding and benefit of immunization. Keywords: Stunting; determinants; children 13-36 months ABSTRAK Stunting merupakan masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan malnutrisi yang berlangsung lama. Pada tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional adalah 37,2%. Pada tahun 2007, prevalensi (stunting) di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 31,2% dan prevalensi stunting di Kabupaten Sangihe sebesar 31,6%. Tumbuh kembang anak selain dipengaruhi oleh faktor keturunan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu masukan makanan, lingkungan yang bersih, latihan jasmani dan keadaan kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan stunting pada batita usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional. Populasi penelitian adalah batita usia 13 36 bulan yang berjumlah 347. Sampel pada penelitian ini berjumlah 108 batita yang didapat dengan cara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran tinggi badan subjek dan wawancara kuisioner kepada responden. Analisis data dilakukan dengan uji Chi square dan fisher s exact test. Hasil penelitian menunjukkan batita yang BBLR sebesar 4,6%, batita yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 75,9%, batita yang imunisasinya lengkap sebesar 98,1% dan sebesar 28,7% batita berstatus stunting. Analisis uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi dengan stunting pada batita di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. Penelitian ini menyarankan pemerintah dan petugas kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan melalui penyuluhan tentang pentingnya gizi ibu di usia produktif, gizi ibu hamil, pentingnya ASI eksklusif dan manfaat imunisasi. Kata Kunci: Stunting; determinan; anak usia 13 36 bulan
PENDAHULUAN Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur (Supariasa dkk, 2012). Di definisikan stunting jika di bawah minus dua standar deviasi dari tinggi rata rata menurut umur sesuai referensi populasi (UNICEF, 2003). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2012, tiga angka prevalensi stunting tertinggi di ASEAN adalah Laos (48%), Kamboja (40%) dan Indonesia (36%) (Kemenkes RI, 2012). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) (Kemenkes RI, 2013). Pada tahun 2007, prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) di Provinsi Sulawesi Utara lebih rendah dari angka nasional (36,8%) tetapi masih tergolong tinggi yaitu sebesar 31,2% (Depkes RI, 2009). Prevalensi stunting di Kabupaten Sangihe tahun 2007 sebesar 31,6% dengan kategori pendek dan sangat pendek sebesar 16,6% dan 15,0% (Depkes RI, 2009). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39% dan serius bila prevalensi pendek 40% (Kemenkes RI, 2013). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa balita yang mempunyai berat lahir rendah berpeluang menjadi stunting sebesar 1,71 kali (Fitri, 2012). Pola pemberian ASI eksklusif juga berpengaruh terhadap stunting pada anak balita (Kartikawati, 2011). Riwayat imunisasi juga berpengaruh signifikan terhadap terjadinya stunting (Picauly dan Toy, 2013). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi dengan stunting pada batita usia 13 36 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Siloam Tamako. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kejadian stunting dan menganalisis apakah berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi merupakan determinan stunting pada batita usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian di lakukan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako pada bulan Juli sampai bulan Oktober 2014. Populasi penelitian ini adalah anak usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako berjumlah 347 batita. Besar sampel di tentukan dengan menggunakan rumus Taro Yamane sehingga di peroleh jumlah sampel sebanyak 108 batita. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah di asuh oleh ibunya dan bersedia menjadi subjek penelitian sedangkan kriteria eksklusinya adalah memiliki cacat fisik yang mempengaruhi tinggi badan Teknik pengambilan sampel yang di gunakan adalah non probability sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah berat badan lahir,
ASI eksklusif dan status imunisasi dan variabel terikat adalah stunting. Data yang di kumpulkan antara lain karakteristik subjek, berat badan lahir batita, riwayat pemberian ASI, status imunisasi dan data tinggi badan subjek. Instrumen penelitian yang dipakai berupa microtoisse dan kuesioner. Analisis data menggunakan tabel distribusi frekuensi untuk memperoleh informasi secara umum mengenai karakteristik subjek dan untuk analisis bivariat menggunakan uji Chi- Square pada tingkat kemaknaan 95%. Namun apabila uji Chi-square tidak memenuhi syarat, maka digunakan uji fisher s exact. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 108 subjek dalam penelitian ini terdiri dari 58 batita perempuan dan 50 batita laki laki. Gambaran karakteristik subjek di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako bisa di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Siloam Tamako. Karakteristik Subjek n % Jenis Kelamin Perempuan 58 53,7 Laki laki 50 46,3 Usia (bulan) 13 24 56 51,9 25 36 52 48,1 Berat badan lahir Rendah 5 4,6 Normal 103 95,4 ASI Eksklusif Ya 26 24,1 Tidak 82 75,9 Status Imunisasi Lengkap 106 98,1 Tidak lengkap 2 1,9 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 5 batita atau 4,6% lahir dengan berat badan lahir < 2500 gram. Berat badan lahir rendah yang di maksud dalam penelitian ini adalah berat yang ditimbang pada saat lahir < 2500 gram dengan usia kehamilan 37-42 minggu. Untuk pemberian ASI eksklusif, sebesar 24,1% menerima ASI eksklusif, yang di maksud ASI eksklusif dalam penelitian ini adalah batita yang sejak lahir sampai enam bulan hanya diberi ASI saja, tanpa diberi minuman atau makanan tambahan. Untuk status imunisasi, sebesar 98,1% diberi imunisasi dasar secara lengkap. Gambaran stunting pada batita usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako bisa di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Batita Berdasarkan Status Stunting Status Gizi n % Stunting 31 28,7 Tidak Stunting 77 71,3 Total 108 100 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak 31 atau 28,7% batita di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako berstatus stunting. Menurut WHO, batas non public health problem untuk masalah kependekan sebesar 20 persen (Kemenkes, 2010) dan masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 39 persen dan serius bila prevalensi pendek 40 persen (Kemenkes, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa stunting di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako telah menjadi masalah kesehatan masyarakat karena berada di atas batas yang telah ditetapkan WHO. Analisis bivariat
menggunakan uji Chi square untuk variabel ASI Eksklusif sedangkan berat badan lahir dan status imunisasi menggunakan uji Fisher s exact karena syarat uji Chi squre tidak terpenuhi. Tabel 3. Hasil Analisis Bivariat Hasil analisis bivariat antara berat badan lahir, pemberian ASI eksklusif, status imunisasi dengan stunting bisa di lihat pada Tabel 3. Stunting Total Variabel Ya Tidak ρ n % n % n % Berat Badan Lahir Rendah 2 40 3 60 5 100 0,624 Normal 29 28,2 74 71,8 103 100 Pemberian ASI Tidak ASI Eksklusif 23 28 59 72 82 100 0, 789 ASI Eksklusif 8 30,8 18 69,2 26 100 Status Imunisasi Tidak Lengkap 1 50 1 50 2 100 0, 494 Lengkap 30 28,3 76 71,7 106 100 Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan hubungan antara pemberian ASI eksklusif bahwa batita yang lahir dengan berat badan lahir rendah berstatus stunting sebesar 40%. Uji yang di gunakan adalah uji fisher s exact dengan nilai ρ = 0, 624 dimana tidak terdapat hubungan bermakna antara berat badan lahir dengan stunting. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian stunting pada balita di Kecamatan Semarang Timur dimana berat badan lahir bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting dengan nilai ρ = 1,000 (Nasikhah dan Margawati, 2012). Demikian juga hasil penelitian mengenai faktor risiko stunting pada anak usia 12-36 bulan di Kabupaten Pati yang menunjukkan bahwa berat badan lahir bukan merupakan faktor risiko stunting (Anugraheni, 2012). Tabel di atas menunjukkan batita yang tidak mendapat ASI eksklusif berstatus stunting sebesar 28% dengan nilai ρ = 0,789 yang berarti bahwa tidak terdapat dengan stunting pada batita. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil dari penelitian tentang kejadian stunting pada anak usia 0 59 bulan di Papua Barat dimana pemberian ASI eksklusif bukan merupakan faktor risiko stunting (Wiyogowati, 2012). Hasil penelitian tentang hubungan konsumsi ASI dan MP ASI dengan kejadian stunting anak 6 12 di Kabupaten Bogor juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi energi dan zat gizi dari ASI dengan kejadian stunting (Astari, 2006). Hasil penelitian yang berbeda diperoleh dari penelitian tentang ASI Eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting di Yogyakarta dimana ada hubungan bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan (ρ = 0,03; OR=1,74) sehingga dapat dikatakan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 1,74 kali mengalami stunting
dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif (Hidayah, 2013). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa batita yang status imunisasi dasar tidak lengkap berstatus stunting sebesar 50%. Nilai ρ yang diperoleh dari hasil uji statistik adalah 0,494 dimana ρ > 0,05 yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara status imunisasi dengan stunting pada batita usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian tentang faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di Depok dimana tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian stunting (Anisa, 2012). Hasil penelitian tentang hubungan berat badan lahir dan pelayanan KIA terhadap status gizi anak balita di Makassar juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kelengkapan imunisasi status gizi balita berdasarkan indikator TB/U (Muqni dkk, 2012). Timbulnya gizi kurang tidak hanya disebabkan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit (Alamsyah, 2013). Imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Notoatmodjo, 2007). Program imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dan pada tahun 1990, Indonesia telah mencapai status Universal Child Immunization (UCI), yang merupakan suatu tahap dimana cakupan imunisasi di suatu tingkat administrasi telah mencapai 80% atau lebih. Saat ini Indonesia masih memiliki tantangan mewujudkan 100% UCI Desa/Kelurahan pada tahun 2014 (Probandari dkk, 2013). KESIMPULAN 1. Proporsi stunting pada anak usia 13 36 bulan di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako sebesar 28,7%. 2. Tidak terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan stunting pada batita di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. 3. Tidak terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan stunting pada batita di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. 4. Tidak terdapat hubungan antara status SARAN imunisasi dengan stunting pada batita di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Sangihe bersama pemerintah Kabupaten Sangihe dan petugas kesehatan untuk melakukan promosi kesehatan melalui penyuluhan tentang pentingnya gizi ibu di usia produktif, gizi ibu hamil, pentingnya ASI eksklusif dan manfaat imunisasi. Sasarannya kepada remaja putri, ibu usia produktif, ibu hamil dan ibu menyusui sehingga dapat terjadi peningkatan status gizi pada anak diawal kehidupannya. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, D. 2013. Pemberdayaan Gizi Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : Nuha Medika. Anisa, P. 2012. Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 25 60 bulan di
Kelurahan Kalibaru Depok. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia. Anugraheni, H. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12 36 bulan di kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Jurnal of Nutrition College. (Online). Vol 1 (1) : 30-37. (ejournals1.undip.ac.id). diakses 3 september 2014. Astari, L. 2006. Hubungan konsumsi ASI dan MP ASI serta kejadian stunting anak 6 12 bulan di Kabupaten Bogor. Media Gizi Keluarga. (Online). Vol 30 (1) : 15-23. (repository.ipb.ac.id). diakses 29 agustus 2014). Departemen Kesehatan R.I. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Sulawesi Utara tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Fitri. 2012. Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (12-59 bulan) di Sumatera Analisis data RISKESDAS 2010. Tesis. Depok : Universitas Indonesia. Hidayah, F. 2014. ASI Eksklusif Sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6 24 Bulan Di Kota Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Kartikawati, P. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunted Growth Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten Jember. Skripsi. Jember : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Kementerian Kesehatan R.I. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan R.I. Kementerian Kesehatan R.I. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Muqni A, Hadju V, Jafar N. 2012. Hubungan Berat Badan Lahir Dan Pelayanan KIA Terhadap Status Gizi Anak Balita Di Kelurahan Tamamaung Makassar. Media Gizi Masyarakat Indonesia. (Online). Vol 1(2): 109-116. (journal.unhas.ac.id). di akses 3 september 2014. Nasikhah, R dan Margawati, A. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24 36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College. (Online). Vol 1(1) :176-184. (ejournal-s1.undip.ac.id). diakses 3 september 2014. Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta. Picauly, I dan Toy, S. M. 2013. Analisis Determinan Dan Pengaruh Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah Di Kupang Dan Sumba Timur NTT. Jurnal Gizi dan Pangan. (Online). Vol 8 (1) : 55-62. (journal.ipb.ac.id). diakses 9 september 2014. Probandari A, Handayani S, Laksono N. 2013. Modul Field Lab : Keterampilan Imunisasi. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Supariasa I.D.N, Bakri B, Fajar I. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. UNICEF. 2003. Definition of the indicators.(online). www.unicef.org di akses 4 Oktober 2014