BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Bumi, air dan kekayaan alam yang

dokumen-dokumen yang mirip
RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan yang berada di sebuah desa atau kota harus dilestarikan oleh

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 7 Tahun 2000 SERI : B NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR : 07 TAHUN 2000 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

NGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

PENULISAN HUKUM. PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGAN PENEBANGAN HUTAN SECARA LIAR (ILLEGAL LOGGING) OLEH POLISI KEHUTANAN (Studi di Kabupaten Sumbawa)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

BAB V PENUTUP. Jumlah tenaga POLHUT/Polisi Hutan yang sangat minim yaitu: dengan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN HUTAN MANGROVE DI KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR : 8 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN IZIN KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI BUPATI ACEH BESAR

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. alam di Indonesia sebagai penunjang perekonomian nasional tetapi juga luas daya

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BAB I PENDAHULUAN. maupun ilegal dan melebihi batas imbang ekologis serta masalah pembakaran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB III KECAMATAN KEDUNG ADEM KABUPATEN BOJONEGORO MENURUT PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2003

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG IZIN PEMANFAATAN KAYU PADA KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 05 TAHUN 2007 TENTANG PERDAGANGAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 7/Juli/2016. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PENGRUSAKAN HUTAN MENURUT KETENTUAN YANG BERLAKU 1 Oleh: Hendra Djarang 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 27 TAHUN 1991 TENTANG R A W A PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 196 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN HAK DI KABUPATEN LAMONGAN

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 175 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 132 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen ke-4, Bab

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh Negara yang memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia. Dalam pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. 1 Hutan juga merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keaneka ragaman hayati sebagai sumber hasil kayu, non kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah. Menurut Danger 2, hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang luas dan tumbuhnya cukup rapat. Hutan sebagai sumber kekayaan alam yang di milik oleh bangsa Indonesia merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, disebutkan bahwa 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 33 Ayat 3. 2 Suriansyah Murhaini. 2012. Hukum Kehutanan. Cetakan II. Yogyakarta. Penerbit Laksbang Grafika. Hal. 9. 1

penguasaan hutan oleh Negara. Dalam pasal ini disebutkan Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pembangunan hutan sebagaimana yang diharapkan dapat terwujud, ternyata hal itu sekarang hanyalah sesuatu yang akan sulit terjadi, hal ini dikarenakan maraknya praktek penebangan secara liar (illegal logging) yang terjadi di Indonesia. Illegal logging sekarang ini menjadi permasalahan yang sangat serius di Indonesia karena dapat menimbulkan masalah multi dimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Jenis hutan berdasarkan fungsinya merupakan penggolongan hutan yang didasarkan pada penggunaannya. Berdasarkan fungsinya, hutan terbagi atas tiga fungsi yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 3 Jenis hutan berdasarkan statusnya merupakan suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut. Hutan 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 1 Huruf G, H dan I. 2

terdiri dari hutan Negara dan hutan hak. Hutan Negara adalah hutan yang berada di atas lahan yang tidak dibebani hak (milik). 4 Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah/lahan masyarakat yang telah dibebani hak atas tanah diluar kawasan hutan negara, dibuktikan dengan alasan title berupa sertifikat hak miik, letter C atau girik, hak guna usaha, hak pakai, atau dokumen penguasaan/pemilik lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). 5 Fungsi sosial budaya dari hutan dapat dilihat dengan adanya keterkaitan antara hutan dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan, baik dalam hubungannya sebagai sumber mata pencaharian, hubungan religius, hubungan adat dan sebagainya. Dilihat dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat terhadap hutan. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan ikut terpengaruh oleh praktik-praktik illegal logging yang pada akhirnya mengubah perspektif dan prilaku masyarakat terhadap hutan. Dampak kerusakan ekologi atau lingkungan akibat illegal logging tersebut menurut bebarapa pakar pemerhati lingkungan yang meneliti berbagai bencana alam yang terjadi, mensinyalir sebagai akibat dari illegal logging yang juga menimbulkan kerusakan flora dan fauna. Studi Indonesia Corruption Watch (ICW) selama kurun waktu 2004-2010, kerugian negara akibat pembalakan hutan di Indonesia mencapai Rp 169,7 triliun. 4 Dodik Ridho Nurrocmat. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. 3. 5 Peraturan Mentri Kehutanan Nomor P.30/MENHUT-II/2012 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak. Pasal 1 Ayat 2. 3

Nilai sebesar itu diperoleh dari perhitungan kekurangan penerimaan negara dari sektor pajak bumi dan bangunan serta sejumlah perijinan dan royalti. 6 Secara gramatikal illegal logging adalah menebang kayu untuk kemudian membawa ketempat gergaji yang dilakukan secara melanggar hukum, bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. 7 Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) illegal Logging terdiri dari: 8 1. Dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimiliki. 2. Melibatkan pencurian kayu, di mana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. Kabupaten Sumbawa memiliki luas kawasan hutan 389. 674,65 Ha. Fungsi hutan di Kabupaten Sumbawa terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Luas hutan konservasi 30.279,65 Ha, hutan lindung 167.130,68 Ha, dan hutan produksi 192.264,32 Ha. 9 Hal ini memberi peran besar kepada semua pihak untuk dapat memanfaatkan keberadaan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Sumbawa. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Sumbawa masih menggantungkan pada sektor pertanian, khususnya tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan bukan kayu. Pola usaha tani yang masih bersifat ekstensif, menyebabkan produksi hasil pertanian sangat tergantung pada luasnya 6 Mouna Wasef. Mengghitung Kerugian Negara Akibat Illegal Logging. www.antikorupsi.org. Diakes tanggal 12 Februari 2013. Pukul 12.39. WIB 7 Suriansyah Murhaini. 2012. Hukum Kehutanan. Cetakan II. Yogyakarta. Penerbit: Laksbag Grafika. Hal. 29-30. 8 Dalam Suriansyah Murhaini. 2012. Hukum Kehutanan. Cetakan II. Yogyakarta. Penerbit: Laksbang Grafika. Hal. 30. 9 Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Sumbawa. 2012 4

penguasaan lahan yang digunakan sebagai usaha tani. Semakin sempit lahan yang dikuasai sebagai lahan usaha, maka produksi hasil pertanian juga akan semakin kecil, yang berarti pula pendapatan masyarakat akan semakin rendah. Hal ini masih ditambah dengan penguasaan lahan yang relatif sempit. Adapun larangan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan, berdasarkan pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, mempuyai larangan: Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil ataudipungut secara tidak sah; g. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; h. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; i. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan 5

j. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. k. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin menteri; l. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; m. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksudtersebut oleh pejabat yang berwenang. 10 Dengan dibatasi akses dan penggunaan kawasan hutan, tidak menuntut kemunginan masyarakat akan melakukan penebangan hutan secara liar (illegal logging) untuk memenuhi kebutannya, seperti pemanfaatan lahan untuk pertanian, pemanfaatan kayu untuk bangunan rumah. Sejak zaman dahulu, interaksi antara masyarakat Sumbawa dengan hutan merupakan satu kesatuan yang erat. Hubungan masyarakatdengan sumber daya hutan adalah sebuah hubungan sosialekonomi yang komprehensif, kultural dan mengakar. 11 Selain rendahnya keadaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, hal lain yang menyebabkan semakin meningkatnya illegal logging adalah minimnya jumlah petugas kemanan hutan dan kurangnya sarana pengamanan hutan yang dimiliki oleh pemerintah seperti senjata api yang digunakan oleh petugas dalam menjaga keamanan hutan dari tindak pidana illegal logging. Upaya pengamanan hutan pada dasarnya mempunyai tujuan untuk melestarikan sumber daya alam hutan dalam rangka usaha menjaga fungsi hutan. Oleh karena itu di lingkungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan dibentuk Polisi Kehutanan (Setelah itu di singkat menjadi POLHUT). Minimnya jumlah POLHUT ini mengakibatkan kurangnya pengawasan hutan secara menyeluruh sehingga hal ini dijadikan 10 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat 3. 11 Dyes Supardi.(et.al.,). 2006. Pembebasan Hak Yang Tersandera. Yogyakarta. Penerbit BP Arupa. Hal. 2. 6

sebagai peluang oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab untuk melakukan tindak pidana illegal logging. Bahkan terlibatnya sejumlah oknum aparat yang mencoba bertindak sebagai backing dari kasus illegal logging yang terjadi. Apabila keadaan seperti ini terus berlangsung akan mengakibatkan kerugian di berbagai pihak baik masyarakat sendiri maupun pemerintah. Menyadari pentingnya peranan hutan dalam masyarakat serta untuk menciptakan ketertiban dan kemanan masyarakat, pemerintah harus tidak berpangku tangan melainkan bertindak dan mengambil langkah untuk menanggulangi praktek illegal logging yang telah lama terjadi. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengambil judul Pencegahan Serta Penanggulangan Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging) Oleh Polisi Kehutanan. (Studi di Kabupaten Sumbawa). B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan, berikut adalah permasalahan yang akan diangkat oleh penulis: 1. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktek illegal logging? 2. Bagaimana pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terkait praktek illegal logging yang terjadi di Dodo Jaran Pusang, Kabupaten Sumbawa? 7

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktek illegal logging di Kabupaten Sumbawa. 2. Untuk mengetahui pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terkait praktek illegal logging yang terjadi di Kabupaten Sumbawa. D. Manfaat/Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terkait praktek illegal logging yang terjadi di Kabupaten Sumbawa. 2. Kegunaan Penelitian a. Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi terhadap anggota masyarakat pada umumnya yang acap kali memanfaatkan kawasan hutan. b. Bagi Pemerintah Diharapkan sebagai tambahan informasi mengenai Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya praktek illegal logging dan pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan terkait 8

praktek illegal logging yang terjadi di kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, Kabupaten Sumbawa. c. Bagi Penulis Penelitian ini merupakan sarana pengembangan pemikiran serta wawasan pengetahuan, selain itu juga sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana di bidang hukum. E. Metode Penelitian Dalam rangka memperoleh data yang valid terhadap permasalahan yang di kemukakan, maka diperlukan suatu metode penelitian yang meliputi: 1. Metode Pendekatan Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan permasalahan dari segi yuridis sosiologis, yakni melihat hukum sebagai perilaku manusia dalam masyarakat dan lebih ditekankan pada segi hukum dengan mengadakan penelitian langsung ke lokasi penelitian, berusaha untuk mengidentifikasi hukum dan melihat hukum yang terjadi di masyarakat. 12 Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologi dengan jalan menggali keterangan dari berbagai pihak terkait dalam proses pembahasan dari segi paraktis dengan membandingkan teori dan kenyataan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 12 Surjono Sukanto. 2005. Pengantar Penilitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Hal. 20. 9

2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Dinas Kehutan Dan Perkebunan (DISHUTBUN) Kabupaten Sumbawa, Polisi Kehutanan dan di lokasi terjadi penebangan hutan secara liar dalam kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, desa Sepukur, Kecamatan Lantung, Kabupaten Sumbawa. Alasan pemilihan lokasi di kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, karena di daerah tersebut ada masyarakat desa yang melakukan illegal logging dan pembukaan lahan untuk di jadikan lahan pertanian dan lahan pertambangan emas yang di lakukan oleh masyarakat desa sepukur maupun luar desa. Penulis juga memilih tindakan pencegahan serta penanggulangan oleh Polisi Kehutanan, karena tugas pokok Polisi Kehutanan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta pengawasan peredaran hasil hutan. Selain itu, Polisi Kehutanan adalah ujung tombak dalam melakukan pengawasan serta pengamanan hutan agar tidak terjadi praktek illegal logging. 3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dilapangan dengan cara meminta penjelasan maupun keterangan pada pihak terkait dengan pembahasan. Serta menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 10

2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Dan Ekosistem, Peratutran Pemrintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. b) Data Sekunder yaitu jenis data yang membantu menganalisis dan memahami data primer, dalam hal ini data yang digunakan penulis adalah buku-buku, jurnal, internet, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan topik permasalahan. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian Secara ringkas metode penelitian ini akan menggunakan beberapa variasi metode yang saling melengkapi yaitu: a. Observasi: Digunakan pengamatan langsung di lokasi penelitian di kawasan hutan Dodo Jaran Pusang, Kecamatan Lantung dan mencatat secara teratur tentang berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, menggambarkan dan mendokumentasikan kondisi kawasan hutan. b. Wawancara: Dilakukan pada Dinas Kehutanan Dan Perkebunan yaitu dengan Bapak Adnan SH selaku Kasi Pengujian Hasil Hutan dan Perkebunan, Polisi Kehutanan dengan Bapak Muhammda SH selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Bapak Dodi 11

selaku kepala desa Sepukur Kecamatan Lantung, Bapak ZN masyarakat desa Sepukur yang pernah melakukan penebangan kayu di kawasan hutan Dodo Jaran Pusang dan Bapak AG Masyarakat luar desa Sepukur yang melakukan penambangan emas liar di kawasan hutan dodo Jaran Pusan Kecamatan Lantung, Kabupaten Sumbawa. c. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah metode pengumpulan dengan cara mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini. 5. Teknik Analisa Data Bahan Hukum yaitu bahan hukum yang terkumpul baik bahan hukum primer, sekunder, maupun bahan hukum tersier, dilakukan analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan instrumen teori serta konsep sebagaimana yang terdapat dalam kerangka teoritik untuk membahas dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang di teliti. F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini terlebih dahulu penulis membuat sistematika dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dalam memahami makna dan dapat memperoleh manfaatnya. Adapun sistematikanya sebagai berikut: 12

BAB I: PENDAHULUAN Bab berisikan latar belakang masalah, rumusan permasalahan,tujuan penulisan,manfaat dan kegunaan penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini peneliti akan memaparkan landasan teori atau kajian teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti yaitu pengertian hutan dan jenis-jenis hutan,kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam, perlindungan hukum dalam pelestarian hutan, tindak pidana yang berhubungan dengan perusakan hutan, penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku illegal logging. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan uraian tentang gambaran kawasan hutan di Kabupaten Sumbawa, faktor yang menyebabkan terjadinya praktek illegal logging, pencegahan serta penanggulangan yang dilakukan oleh polisi hutan terkait praktek illegal logging yang terjadi di Dodo Jaran Pusang. BAB IV: PENUTUP. Dalam bab ini menguraikan tentang kesimpulan-kesimpulan yang di peroleh dari pemahaman permasalahan yang sudah dilakukan 13

analisis terlebih dahulu dari bab-bab sebelumnya sehingga menghasilkan kesimpulan yang di anggap perlu untuk dikemukakan. 14