BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS TERHADAP PASAL 19 AYAT 2 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH

BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGULANGAN AKAD NIKAH DENGAN WALI DI BAWAH UMUR

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI AGAMA NO. 11 TAHUN 2007

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah

BAB I PENDAHULUAN. harta yang banyak dan sebagian lagi ada yang sebaliknya. Setelah tiba. peristiwa hukum yang lazim disebut dengan kematian.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

Perkawinan dengan Wali Muhakkam

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari

BAB I PENDAHULUAN 280. h Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2013), h.

BAB I PENDAHULUAN. besar.segala hal yang menyangkut tentang perkawinan haruslah dipersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1

SKRIPSI. BATAS KEMAMPUAN MENIKAH DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Telaah Analitis Terhadap Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974)

BAB I PENDAHULUAN. tersebut diucapkan sebagai bentuk perjanjian suami atas isterinya, diucapkan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. bermakna perbuatan ibadah kepada Allah SWT, dan mengikuti Sunnah. mengikuti ketentuan-ketentuan hukum di dalam syariat Islam.

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah Swt dengan jenis yang berbeda

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG WALI. pengasuh, orang tua atau pembimbing terhadap orang atau barang 1.

Bayar Fidyah FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS DAN FIDYAH DENGAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. 1

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara laki-laki dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Perkawinan. a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV. A. Persamaan antara Ketentuan Batas Usia Anak Dalam Hak H{ad}a>nah Pasca

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB I PENDAHULUAN. satu firman-nya yakni Q.S. at-taubah ayat 60 sebagai berikut:

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

IBADAH JUM AT DAN PENYUSUNAN NASKAH KHUTBAH Oleh: Dr. Marzuki, M.Ag.

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan hukum adalah kecakapan. (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat. 2 Orang-orang yang dianggap

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB V PENUTUP. hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG MAHAR DENGAN SYARAT

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Tentang Persetujuan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Shalat telah diwajibkan pada malam Isra sebanyak lima puluh kali dalam

Tetapi Wali Yang Lebih Berhak Tidak Terhalang. Legal Memorandum

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TENAGA KERJA DI BAWAH UMUR PADA LPK CINTA KELUARGA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB I PENDAHULUAN. Makna dari mahar pernikahan yang kadang kala disebut dengan belis oleh

BAB I PENDAHULUAN. benda tapi tidak sampai batas nisab zakat, namun ada pula yang tidak memiliki harta

BAB IV HUKUM PERKAWINAN BAGI PENDERITA PENYAKIT IMPOTENSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA TANAH TEGALAN YANG DI KELOLA KELOMPOK TANI DI DESA PUTAT KECAMATAN TANGGULANGIN KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. menuju zaman modern. Ziauddin Sardar menyebut zaman modern merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. 3 Agar

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Transkripsi:

BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH A. Implementasi Ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Dengan Hukum Positif Di Indonesia Keberadaan wali dalam suatu akad nikah, adalah sebagai penentu sah tidaknya akad nikah itu. Ketentuan wali nasab dalam pernikahan menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 adalah baligh, sekurang-kurangnya berumur 19 tahun, hadirnya Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 ini menunjukkan bahwa pemerintah berkeinginan agar wali nikah jangan sampai dilakukan oleh anak-anak. Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, Anak adalah manusia yang masih kecil atau Anak-anak yang masih kecil (belum dewasa). Yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak sah melakukan suatu tindakan hukum. Maka implikasinya, jika ketentuan yang telah diatur oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tetap diimplementasikan, maka bagi wali nasab yang belum berusia 19 tahun itu tetap menjadi wali dalam pernikahan, tentunya pernikahannya menjadi tidak sah, karena tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007. 48

49 Hal ini perlu dicermati karena Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 ini merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Apalagi, Peraturan Menteri Agama ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007. Maka peraturan perundang-undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap orang. Wali adalah salah satu rukun (akad) nikah, selain calon pengantin laki-laki, dua saksi, dan ijab-qabul. Pernikahan harus dengan wali, apabila dilangsungkan pernikahan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak, maka pernikahan tersebut tidak sah, batal. Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, syarat bagi wali (nasab) nikah diterangkan dalam pasal 18 ayat (2) sebagai berikut: Syarat wali nasab adalah: 1. Laki-laki; 2. Beragama Islam; 3. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun; 4. Berakal; 5. Merdeka; dan 6. Dapat berlaku adil. Dalam hal ini syarat-syarat tersebut sejalan dengan keyakinan hukum yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda dan terlihat kontroversi adalah keterangan tambahan mengenai syarat baligh, yakni, kata-kata "berumur sekurang-

50 kurangnya 19 tahun". Jadi usia baligh menurut ketentuan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 adalah 19 tahun, seorang wali nasab yang telah baligh tetapi belum berusia 19 tahun, maka wali nasab tersebut tidak dapat menjadi wali nikah Hak perwaliannya gugur dan berpindah kepada wali nasab lain yang telah berusia 19 tahun. Perpindahan dari wali aqrab ke wali ab'ad hanya dapat terjadi karena keadaan wali aqrab seperti di bawah ini: 1. Ia adalah hamba sahaya; 2. Gila; 3. Bodoh (kurang akal); 4. Kafir; dan 5. Sedang ihram (mengerjakan haji). Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dua sebab bergesernya wali nikah dari aqrab ke ab'ad, yaitu: 1. Jika tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah; dan 2. Jika wali nikah menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur. Namun, dalam hal ini terkait aturan dan batasan usia dewasa yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin (Pasal 330 KUHPerdata). Kemudian pada Pasal 1330 berbunyi: tidak cakap adalah belum dewasa bagi mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

51 Adapun dalam soal hak dan kewajiban menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka yang menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang telah diatur di dalam pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi: Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Kemudian pada ayat 2 berbunyi: Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Menurut Pasal 47 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini artinya bahwa apabila anak belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka berada di bawah kekuasaan orang tuanya yang mana belum dibebani pertanggungjawaban hukum karena belum mampu berbuat hukum. Namun bila anak tersebut sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka kekuasaan orang tuanya atau wali tidak berlaku kembali bagi si anaknya, maka anak tersebut boleh melakukan tindakan hukum atau perbuatan hukum baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam Pasal 98 ayat 1 berbunyi: Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Artinya dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sebelum 21 tahun tetapi sudah menikah, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggung jawab atas dirinya.

52 Kemudian dalam Pasal 98 ayat 2 berbunyi: Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Ternyata menurut kompilasi hukum Islam dan kitab Undang-Undang hukum perdata, batas kedewasaan seseorang adalah 21 tahun. Sehingga secara a contario atau mafhum mukhalafah, seseorang yang belum berusia 21 tahun dianggap belum dewasa. Ia belum cakap bertindak hukum. Dalam perspektif ini, jelas ketetapan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang batasan minimal usia wali nasab sekurang-kurangnya 19 tahun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, maka tidak dapat diaplikasikan karena pada usia itu seseorang dianggap tidak cakap berbuat hukum, apalagi perbuatan hukum itu diperuntukkan bagi orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Dengan demikian, menurut penulis bahwa ketetapan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang batas minimal usia wali nasab 19 tahun nampaknya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena menurut Undang- Undang ini, hak dan kewajiban antara orang tua terhadap anak adalah sampai usia anak tersebut 18 tahun. Oleh karena itu, jika ada anak laki-laki yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua sudah berumur 18 (delapan belas) tahun, anak tersebut sudah memenuhi syarat maka menurut penulis boleh menjadi wali nikah. Namun di sisi lain tentang perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam diatur batasan usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah bagi mereka yang sudah mencapai umur 21 tahun dan atau

53 sudah pernah melangsungkan pernikahan. Menurut penulis usia 21 tahun ini perlu adanya penyesuaian dengan kondisi aktual sosial masyarakat sekarang karena dengan majunya perkembangan teknologi informasi dan terpenuhinya asupan gizi karena perkembangan teknologi rekayasa pangan, akan berpengaruh pada semakin cepatnya perkembangan kedewasaan seseorang, jadi aturan dan batasan usia anak berumur 21 perlu dicermati dan harus disesuaikan dengan kondisi saat ini. Begitu juga tentang batasan atau kriteria dewasa dalam hukum perdata menggunakan usia 21 tahun perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Dengan perpatokan pada rumusan baligh yang terdapat dalam hukum Islam dan juga sifat serta harkat kemanusiaan maka batasan usia 21 tahun ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi Indonesia saat ini. Tidak adanya sinkronisasi batasan usia atau tambahan keadaan tertentu penulis berpendapat Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Junto Kitab Undang- Undang Hukum Perdata pada Pasal 330, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 47 ayat 1 dan 2 dan Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 98 ayat 1 dan 2 karena menganut asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Karena Peraturan Menteri Agama merupakan pengejawantahan dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah mengambil jalan tengah dari batas minimal usia dewasa yang di bawah perwalian dan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak adalah 18 (delapan belas) tahun dan Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan batasan maksimal usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah bagi mereka yang sudah mencapai umur 21 tahun.

54 Maka, implementasi ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 dengan hukum postif di Indonesia perlu dicermati karena Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Apalagi, Peraturan Menteri Agama ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007. Selain itu, juga karena ia harus berlandaskan dan bersesuaian dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia sebagai lex generalis-nya. 56 Maka menurut penulis dalam hal ini berpendapat bahwa Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2007 mengatakan wali nasab harus baligh, sekurangkurangnya berumur 19 tahun, dikaitkan dengan kompilasi hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal batasan dan usia kedewasaan seseorang menyatakan 21 tahun anak itu sudah dewasa, harus dimaknai sebagai kebijakan untuk memastikan kematangan jiwa seseorang, bukan batas usia baligh menurut hukum. Sedangkan tentang kedewasaan haruslah yang dipergunakan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 47 dan 50, yaitu 18 tahun. Karena menurut Undang-Undang Perkawinan, batas usia dewasa adalah 18 tahun. B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Baligh Sebagai Syarat Wali Nasab Dalam Pernikahan Menurut Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Di dalam hukum Islam, seseorang yang dinyatakan cakap untuk menunaikan kewajiban adalah seseorang yang telah memiliki Ahliyyah Al Adda. Ahliyyah Al 56 Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 21.

55 Adda adalah sifat kecakapan atau kemampuan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk memikul pertanggungjawaban seluruh perbuatannya. Baik perbuatan yang positif maupun negatif. orang yang telah memenuhi Ahliyyah Al Adda ini wajib menunaikan shalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah yang sejenisnya. Ia wajib melaksanakan semua aturan yang berlaku dalam hukum Islam. Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki Ahliyyah Al Adda adalah aqil, baligh, mumayyiz dan cerdas atau dapat menggunakan akal sehatnya. Ketentuan Aqil dapat dilihat berdasarkan kemampuan akal seseorang dalam berfikir sehingga ia bisa memutuskan tindakan yang paling bermanfaat dan maslahat. Sedangkan baligh merupakan kriteria yang berhubungan dengan dewasa atau belumnya seseorang, ia telah mencapai keadaan fisik tertentu dengan diketahui menggunakan umur atau ciri biologis. Mumayyiz merupakan kriteria akal seseorang mampu menelaah, ada kesempatan untuk berpikir dan tidak terganggu jiwanya. Kemudian menurut Dr. Yusuf Qardhawi, Ijtihad pada zaman moderen ini merupakan suatu kebutuhan. Maka ada tiga macam ijtihad yang dikemukakan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, yaitu Ijtihad Intiqa i, Ijtihad Insya i, dan Ijtihad campuran antara Ijtihad Intiqa i dan Insya i. 57 57 Dr. Yusuf Al Qardhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, alih bahasa oleh Abu Barzani (Surabaya: Risalah Gusti 1995) Cet. Ke 1, hlm. 23

56 Ijtihad intiqa i ialah ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat. 58 Ijtihad insya i adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, yang permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru atau lama. 59 Sedangkan gabungan antara ijtihad intiqa i dan ijtihad insya i ialah menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru. 60 Telah diketahui pada bab sebelumnya bahwa penentuan usia bagi wali nikah yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 adalah mendasarkan pada pencapaian baligh-nya seseorang yaitu wali nasab harus Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun. Oleh karena itu, untuk bisa mengetahui lebih jelas tentang tinjauan hukum Islam terhadap ketentuan usia wali nasab menurut pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, maka harus merujuk pada ketentuan yang terdapat pada Al-Qur an dan Hadits serta pendapat para ulama mazhab. Batasan baligh tidak ditentukan secara terperinci di dalam Al-Qur an maupun Hadist, para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai kriteria indikasi luar untuk mengetahui baligh. Ketentuan ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al- Nur ayat 59: 58 Dr. Yusuf Al Qardhawi, Op. Cit., hlm. 24. 59 Dr. Yusuf Al Qardhawi, Op. Cit., hlm. 43. 60 Dr. Yusuf Al Qardhawi, Op. Cit., hlm. 47.

57 Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Berdasarkan ayat tersebut, Al-Qur an telah memberikan kriteria anak-anak yang telah baligh yaitu apabila ia telah mencapai hulm atau ihtilam yaitu apabila anak telah mengeluarkan air mani baik dalam mimpi atau dalam keadaan terjaga. Maka ia telah dianggap baligh, Implikasi dari syarat pertama ini adalah anak kecil, orang-orang lupa, orang terpaksa, orang tidur dan orang tersalah tidak dikenakan pembebanan hukum atau pertanggungjawaban hukum. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang persyaratan wali nasab yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam khazanah ilmu fiqh, penentuan baligh didasarkan kepada kejadian ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Penentuan kriteria baligh juga didasarkan pada Hadits Nabi SAW, sebagai berikut: عن عا ئشة عن النبي صلى للاه عليه : القل هرفع قال وسلم هم عن ثلثة : عن النائم حتى يستيقظه وعن الصغيرحتى يحتلم المجنون حته وعن ى يعقل.

58 Dari Aisyah r.a dari nabi SAW. Bersabda: Terangkat pertanggungjawaban dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia terbangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia sembuh. (H.R. An Nasa i). 61 Al-Qur an dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam tidak memberikan batasan atau kriteria secara terperinci terhadap ketentuan pertanggungjawaban hukum. Al-Qur an dan Hadits hanya memberikan petunjuk umum terhadap pertanggungjawaban hukum. Para ulama mazhab memberikan fatwa hukum tentang baligh sebagai salah satu batasan kriteria pertanggungjawaban hukum secara terperinci dan operasional. Di antara para ulama mazhab tersebut terjadi perbedaan fatwa tentang batasan pertanggungjawaban hukum, karena disebabkan oleh adanya perbedaan dalam menggunakan istinbath ahkam (metode penelitian atau penafsiran hukum). Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai kriteria indikasi luar untuk mengetahui baligh. Adapun untuk menentukan seseorang itu sudah baligh atau belum ditandai dengan keluarnya haid kali pertama bagi wanita dan keluarnya mani (air sperma) kali pertama bagi pria melalui mimpi. 62 Perbedaan yang dimaksud usia minimal wali nasab menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pada Pasal 18 yang mengatakan baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun di sini menurut penulis adalah bukan usia minimal baligh, tetapi usia minimal mencapai derajat rusyd. 61 Abu Muhammad Abdillah Bin Abdurrahman, Sunan Ad Dzarimi Al Ma ruf juz 3 (Darul Mughni Linnasyri Wal Mauzi, 2000), hlm. 1477. 62 Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Fiqh a la al-madzahib al-khamsah, (Beirut : Dar aljawad, tt). hlm. 76.

59 Sebagaimana pendapat Ahmad Azhar Basyir, M.A, akan lebih tepat apabila penentuan kedewasaan itu tidak hanya dibatasi dengan kriteria baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal/mental). Baligh dan rusyd adalah dua hal yang berbeda. Baligh dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan kematangan fisik, sedangkan rusyd biasa diterjemahkan dengan kematangan mental atau kematangan akal pikiran. Baligh ditandai dengan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Sedangkan, rusyd ialah keadaan seseorang yang mampu memahami hakekat sesuatu yang diperlukan dan yang tidak, sesuatu yang mungkin dan yang tidak, dan sesuatu yang dianggap penting dan yang dianggap membahayakan. Untuk menentukan waktu seseorang dipandang matang atau rusyd, menurut Basyir, dapat diadakan penelitian terhadap orang-orang antara umur 15 dan 25 tahun. Kemudian diambil angka ratarata, kapan seseorang itu dipandang telah rusyd. Mungkin, akan ditemukan angka umur 19, 20, atau 21 tahun, yang kemudian dijadikan stándar baku untuk menentukan batas kedewasaan (rusyd) tersebut. Sementara itu di sisi lain, dalam literatur fiqh dikenal adanya satu mazhab yang mensyaratkan wali nikah harus sudah rusyd, tidak cukup sudah baligh. Mazhab tersebut adalah mazhab Hanbali. 63 Al-Quran memberikan petunjuk dalam menguji kematangan mental (rusyd) seseorang. Allah SWT berfirman Q.S. An-Nisa ayat 6. 63 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 31.

60 Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). Ayat ini menjelaskan tentang ketentuan menguji kematangan mental (rusyd) bagi anak yatim dan orang yang belum dewasa, baik bagi yang tidak normal karena ketidaksempurnaan daya pikirnya maupun yang semata-mata karena belum mencapai tingkat kedewasaan. Tampaknya, inilah yang dijadikan metode dan parameter para perumus Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 dalam mempertimbangkan syarat batas minimal usia wali nasab, yaitu batasan usia rusyd (kematangan mental), bukan batasan baligh (kematangan fisik). Sebab sebagaimana telah dikemukakan, di dalam hukum Islam, usia dewasa ditandai dengan suatu peristiwa biologis. Untuk kaum pria, ditandai dengan sebuah mimpi yang biasa disebut dengan mimpi basah. Sedangkan untuk kaum wanita, ditandai dengan menstruasi. Biasanya peristiwa ini dapat

61 dirasakan atau dialami oleh pria pada usia 15 sampai 20 tahun dan wanita 9 sampai 19 tahun, maka baligh paling lambat terjadi pada usia 15 tahun. Dengan demikian, penulis melihat bahwa bentuk Ijtihad yang digunakan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 adalah penggabungan antara Ijtihad Intiqa i dan Ijtihad Insya i. Dikatakan menggunakan Ijtihad Intiqa i karena menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu. Yaitu, dengan lebih memilih pendapat ulama mazhab Hanbali dan mazhab Syafi i. Dikatakan menggunakan Ijtihad Insya i karena ia menambahkan unsur-unsur Ijtihad baru ke dalam pendapat mazhab Hambali tersebut, yakni batasan definitif usia rusyd, yang berupa syarat usia wali nasab sekurang-kurangnya 19 tahun. Pembatasan usia semacam ini belum pernah ditemukan ketentuan hukumnya dalam literatur fiqh klasik. Maka penulis dalam hal ini menyimpulkan bahwa ini merupakan hasil Ijtihad kontemporer yaitu Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 ini merupakan perkembangan progresif dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia.