CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

5. Kosmas Mus Guntur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon V; 7. Elfriddus Petrus Muga, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RechtsVinding Online

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 109/PUU-XIV/2016 Jabatan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 024/PUU-IV/2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XIV/2016 Dualisme Penentuan Unsur Pimpinan DPR Provinsi Papua dan Papua Barat

BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XII/2014 Pengisian Pimpinan DPRD

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan DPR Dalam Pembahasan APBN dan APBN-P

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN PUTUSAN Nomor 91/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

Transkripsi:

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018 Undang-undang merupakan salah satu instrumen penting dalam menentukan pembangunan hukum nasional. Sehingga kualitas dan arah pembangunan hukum sangat ditentukan oleh kualitas undangundang yang dibentuk. Untuk mendapatkan kualitas undang yang baik tentu harus memperhatikan tahapan pembentukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, pengundangan sampai dengan penyebarluasan. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan peraturan perundangundangan sudah di atur dalam Undangundang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Undang-undang tersebut merupakan pedoman bagi pembentuk undang-undang dalam melahirkan produk hukum sebuah undang-undang. Belum lama ini pembentuk undang undang yakni DPR dan pemerintah telah mengesahkan UU MD3. UU ini merupakan perubahan kedua atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Sebagaimana Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, maka Undang- Undang MD3 ini mengatur susunan kedudukan kewenangan serta hal-hal lainnya menyangkut kelembagaan legislative baik itu MPR, DPR, DPD dan DPRD, Sampai dengan tulisan ini dibuat, Undang Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang No. 17 tahun 2014 yang disetujui bersama pada sidang paripurna DPR tanggal 12 Februari 2017 belum ditandatangani Presiden dan diberikan penomoran oleh pemerintah. Jika menengok kebelakang Undang Undang No. 17 Tahun 2014 pernah dilakukan revisi pertama dengan diundangkannya Undang Undang No. 42 Tahun 2014. Adakah hal hal baru yang diatur dalam perubahan kedua atas Undangundang No. 17 Tahun 2014 ini. Mengutip keterangan dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas terdapat beberapa perubahan penting kaitannya dengan substansi Undang-Undang

MD3 yang baru. Pertama, adalah penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan MKD. Kedua, perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR, maupun RUU yang diajukan DPD. Ketiga, penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian. Keempat, penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pejabat negara. Kelima, menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. Keenam, penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum. Ketujuh, perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD. Kedelapan, penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengembalian keputusan pada pembicaraan tingkat I. Kesembilan, penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket. Kesepuluh, penguatan hal imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas. Kesebelas, penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengevaluasi Rancangan Perda dan Perda. Keduabelas, penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan rumusan terkait pelaksanaan tugas Badan Keahlian Dewan. Terakhir, penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019. (https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20180212181242-32-275684/dprsahkan-ruu-md3-menjadi-undang-undang, DPR Sahkan RUU MD3 menjadi Undang- Undang, dunduh pada tanggal 17 Februari 2018.) Dalam perjalanannya pasca disahkan revisi kedua undang-undang MD3 telah memunculkan sorotan dan kritik dari publik khususnya terkait dengan tiga Pasal yakni Pasal 73, Pasal 122 dan Pasal 245. Sorotan pertama adalah keberadaan Pasal 73 mengenai kewenangan DPR dalam

memanggil pihak-pihak tertentu untuk hadir dalam rapat DPR. Lebih lanjut diatur bahwa DPR dapat melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum atau warga masyarakat yang tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah. Sebelum membahas konten Pasal, perlu diketahui bahwa DPR adalah salah satu cabang kekuasaaan di antara fungsinya adalah terkait dengan pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR dapat memanggil siapapun untuk dimintai keterangan. Sehingga semangat yang muncul adalah bagaimana pihak yang diundang baik itu eksekutif, badan hukum ataupun perseorangan untuk hadir dalam sidang ataupun rapat haruslah hadir dalam rangka DPR menjalankan fungsinya di bidang pengawasan tersebut. Selanjutnya jika kita lihat secara detail perubahan atas Pasal 73 ini, secara substansi tidak ada yang berubah dengan bunyi ketentuan Pasal 73 sebelum Pasal 73 ataupun ayat yang terkandung di dalamnya direvisi. Terdapat beberapa ketentuan yang sifatnya mempertegas atas ketentuan yang belum diatur. Pengaturan selanjutnya terkait dengan prosedur atau tatacara pemanggilan paksa terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melayangkan panggilan sebanyak tiga kali berturut-turut. Sebelum direvisi sebenarnya ketentuan mengenai panggilan paksa sudah diatur dalam Undang- Undang No. 17 Tahun 2014. Dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara RI. Namun dalam tataran implementasi, terdapat kesulitan untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, dalam norma yang baru ini perlu diatur cara pemanggilan paksa tersebut, yakni DPR harus mengirimkan surat tertulis kepada Kapolri dan dari Kapolri akan menindaklanjuti untuk segera melakukan pemanggilan dengan melibatkan unsur Kapolda dibawahnya. Demikian pula terkait dengan penyanderaan bagi badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melakukan panggilan paksa. Hal ini sebenarnya juga sudah diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014. Sehingga secara implementasi sudah berlaku efektif per tahun 2014. Sedangkan terkait

penambahan klausul memberikan kewenangan lebih lanjut kepada Kapolri untuk membuat peraturan teknisnya dalam bentuk Peraturan Kapolri adalah dalam rangka mengatur teknis pemanggilan paksa tersebut agar memberikan kepastian hukum. Sehingga terkait dengan subtansi pemanggilan paksa dan penyanderaan ini bukan hal baru yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam revisi kedua Undang-Undang MD3, namun sudah termahtub sebelumnya dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014. Sorotan kedua, adalah pada Pasal 122 dimana DPR memiliki kewenangan untuk melakukan upaya hukum atau upaya lain terhadap terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR ataupun anggotanya. Dalam arti bahwa pihak-pihak yang tindakannya dengan sengaja merendahkan kehormatan kelembagaan DPR ataupun anggota DPR, dapat ditindaklanjuti dengan upaya hukum oleh Alat Kelengkapan DPR dalam hal ini Majelis Kehormartan Dewan (MKD). Semangat dari Pasal ini sebenarnya adalah bagaimana kelembagaan DPR maupun anggota DPR wajib untuk dijunjung tinggi kehormatannya terlebih dalam melaksanakan tugasnya di bidang legislasi, pengawasan dan budgeting. Sehingga menjadi beralasan bagi pembentuk undang-undang apabila pasal ini muncul sebagai pagar agar kelembagaan dewan tetap terjaga dengan baik. Namun kehadiran pasal ini tentu menimbulkan perdebatan di ruang publik. Di satu sisi Pasal penghinaan terhadap Presiden di dalam KUHP telah dinyatakan batal dan inkonstitusional melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2016. Di sisi lain DPR kembali menghidupkan pasal ini di Undang-Undang kelembagaannya sendiri yakni di UU MD3 terbaru. Keberadaaan pasal ini memberikan ruang penafsiran yang terlalu luas atau pasal karet atas definisi tindakan yang masuk kategori merendahkan DPR ataupun anggota DPR. Demikian juga cakupan dari upaya hukum ataupun upaya lain yang akan dilakukan atas tindakan merendahkan kelembagaan DPR maupun anggotanya. Apakah mengkritik anggota DPR maupun kelembagaan DPR termasuk dalam tindakan merendahkan DPR. Apakah tindakan pemerintah untuk tidak melaksanakan rekomendasi DPR masuk dalam kategori tindakan merendahkan kehormatan kelembagaan DPR. Apakah berunjuk rasa di

depan depan gedung DPR termasuk dalam merendahkan kehormatan DPR. Apakah pasal ini juga bisa berlaku mengikat secara internal bagi anggota DPR yang merendahkan kelembagaan DPR sendiri melalui tindakannya yang kurang terpuji. Tentu atas hal ini ruang lingkup merendahkan kehormatan DPR maupun anggotanya perlu dilihat kembali efektifitas di tataran sosiologis dan praktis, perbuatan apa saja yang masuk ke dalam kategori merendahkan kehormatan DPR ataupun anggotanya. Karena secara substansi pasal ini rentan untuk bisa dijadikan pasal karet yang mana dapat digunakan sewenangwenang terhadap pihak manapun yang mengkritisi lembaga atau anggota DPR. Sorotan ketiga adalah terkait dengan Pasal 245, dimana untuk pemanggilan atau permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Dalam rumusan pasal ini MKD sebagai alat kelengkapan Dewan diberikan wewenang untuk memberikan pertimbangan dan rekomendasi sebelum Presiden memberikan izin secara tertulis. Peran MKD disini adalah memberikan pertimbangan. Namun pertimbangan dan izin tertulis dari Presiden tidak diperlukan jika anggota DPR tertangkap tangan, melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi dan diancam hukuman pidana mati atau seumur hidup. Dalam Pasal yang baru ini izin tertulis Presiden tetap dipertahankan, tetapi dengan memasukkan klausul tambahan setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR. Perdebatan tentu akan muncul karena secara substansi berbeda antara yang hanya memerlukan izin tertulis Presiden dengan Izin tertulis Presiden terbit setelah mendapat pertimbangan dari MKD. Selain itu dari sisi kelembagaan, keanggotaan MKD bersifat dari dan oleh anggota DPR. Sehingga pertimbangan dari MKD dinilai rawan terjadinya konflik kepetingan. Argument menolak lainnya adalah kapasitas MKD sebagai lembaga etik dan tidak memiliki korelasi langsung dengan penentuan pidana keanggotan DPR. Terlebih Jika menengok ke kebelakang, Pasal 245 UU No. 17 Tahun 2014 pernah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi saat itu. Dalam

putusan Nomor 76/PUU/XII/2014, Mahkamah Konstitusi memutuskan mengganti izin MKD dengan izin tertulis Presiden. Terlebih UU sebelumnya tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yakni UU No 27 Tahun 2009, UU No 22 Tahun 2003 dan UU No 4 Tahun 1999, semuanya tersebut mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan dan penyidikan anggota DPR hanya memerlukan izin tertulis dari Presiden tanpa mencantumkan ketentuan harus ada pertimbangan dari MKD terlebih dahulu. Artinya penambahan pertimbangan MKD dalam revisi Undang Undang MD3 ini adalah sesuatu yang coba dimasukkan oleh pembentuk Undang-Undang dengan mencoba menutup mata atas ketentuan yang sudah mengatur sebelumnya dan putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2014. Potensi Judicial Review Semenjak Undang Undang No. 17 Tahun 2014 disahkan dan diundangkan terdapat beberapa pengajuan judicial review ke MK yang berujung pada pembatalan beberapa Pasal seperti yang sudah disampaikan di atas. Keberadaan Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245 dalam revisi kedua UU MD3 dengan menambahkan beberapa norma baru, berpotensi untuk dilakukan judicial review kembali. Namun demikian hal tersebut sah-sah saja diajukan uji materiil sepanjang memang terdapat kerugian konstitusional. Dan pastinya pemohon haruslah memiliki legal standing yang tepat untuk mengajukan pengujian tersebut. Tidak ada larangan bahwa sebuah peraturan perundang-undangan tidak boleh dilakukan pengajuan review sepanjangan memang memenuhi prasyarat pengajuan judicial review. Terakhir, keberadaan perubahan kedua Undang Undang No 17 Tahun 2014 menjadi refleksi bersama bahwa tidak satupun produk hukum yang sempurna selalu ada celah yang dapat menimbulkan pro dan kontra. Terlepas dari politik hukum pembentuk Undang-Undang, harus kita terima bersama bahwa Undang Undang selain dari produk hukum juga adalah produk politik. Selalu ada kepentingan dan konsensus politik di setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Terlebih jika DPR sebagai pembentuk undang-undang membuat undang-undang yang isinya mengatur dirinya sendiri dan kewenangannya. Secara alamiah pastinya akan memiliki kecenderungan untuk

memperkuat dan memperluas apa yang menjadi kewenangannya. Oleh karena itu, keberadaan UU MD3 terbaru ini perlu dikawal oleh semua pihak agar secara implementasi tidak merugikan pihak-pihak tertentu. Transparansi pembentukan undang-undang dirasa diperlukan agar masyarakat tidak kaget dengan undangundang yang tiba-tiba muncul dan dirasa jauh dari rasa keadilan. Namun dibalik itu semua perlulah kita menaruh harapan positif bahwa dengan undang-undang yang baru ini dapat menjadi jawaban kelembagaan dan anggota legislative yang semakin baik lagi di masa yang akan datang, bukan kelembagaan dan anggota DPR yang sewenang-wenang terhadap rakyat yang sudah memilihnya. * Penulis adalah CPNS Analis Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional.