I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketetapan MPR Nomor: XV/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, dengan demikian Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memposisikan daerah Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom yang mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah yang didasarkan kepada paradigma baru Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menuntut Pemerintah Daerah untuk dapat mandiri dalam menyelenggarakan proses pembangunan di daerahnya. Adanya tuntutan kemandirian ini membawa konsekuensi logis terhadap kesiapan Pemerintah Daerah untuk melakukan inisiatif pembangunan secara kreatif dalam mengelola potensi kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki untuk kemakmuran masyarakatnya.
Pembangunan ekonomi daerah dalam rangka pembangunan ekonomi nasional berarti menjadikan perekonomian daerah sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Sebagai agregasi dari ekonomi daerah, perekonomian nasional yang tangguh hanya mungkin diwujudkan melalui perekonomian daerah yang kokoh. Dengan adanya perubahan paradigma pembangunan daerah tersebut diharapkan perekonomian daerah akan digerakkan oleh kreativitas rakyat beserta kelembagaan lokal sedemikian rupa, sehingga potensi ekonomi yang terdapat di setiap daerah dapat dimanfaatkan demi kemajuan pembangunan daerah yang bersangkutan. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan oleh Syahrani (2001) bahwa sumberdaya ekonomi yang dikuasai oleh rakyat di setiap daerah adalah sumberdaya agribisnis, berupa sumberdaya agribisnis berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Oleh karena itu, cara yang paling efektif untuk mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui pengembangan agribisnis. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna pemberdayaan ekonomi rakyat antara lain adalah melalui pengembangan ekonomi pedesaan yang berbasis agribisnis yaitu pada subsektor peternakan. Subsektor peternakan sebagai bagian dari sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan bangsa, antara lain adalah dalam peningkatan taraf hidup petani ternak dan 2
pemenuhan gizi masyarakat dalam rangka pembangunan sumberdaya manuasia yang berkualitas. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia yang tinggi akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, peran pendidikan dan gizi khususnya kecukupan protein hewani sangat menentukan. Widya Karya Pembangunan oleh LIPI (1998) menetapkan konsumsi protein hewani orang Indonesia yang diperoleh dari ternak sebesar 6 gram/kapita/hari. Namun dalam kenyataannya, pada tahun 1993-1998 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan protein hewani yang berasal dari ternak baru mencapai 60%. Dari angka tersebut daging sapi menyumbang 22%. Jika dihitung dari angka protein ideal sebesar 6 gram/kapita/hari maka daging sapi hanya menyumbang 9%. Peranan penting lain dari subsektor peternakan adalah kontribusinya Produksi Nasional Bruto (PDB). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yang menunjukkan laju pertumbuhan PDB Peternakan yang relatif lebih tinggi dari subsektor tanaman pangan dan perkebunan. 15 10 Laju pertumbuhan (%) 5 0-5 1994-1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002-10 -15-20 Tahun Tanaman Bahan Makanan Tanaman perkebunan Peternakan Sumber : Putri (2003) Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan PDB Peternakan 1994 2002 (%/tahun) 3
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat, konsumsi daging dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang meningkat. Konsumsi daging sapi adalah 84,83% dari total daging ruminansia, menyusul kerbau, kambing dan domba. Permintaan daging sapi selama 2002 mencapai 438.900 ton atau setara dengan 2,35 juta ekor sapi lokal dan pada tahun 2005 terus meningkat menjadi 597.700 ton atau setara dengan 3,21 juta ekor sapi lokal (Putri, 2003). Secara umum peningkatan permintaan daging sapi dan hasil olahannya tidak dibarengi oleh peningkatan jumlah populasi sapi potong itu sendiri, sehingga produksi daging didalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan tersebut yang mengakibatkan pemerintah melakukan impor. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, dimana pada tahun 1998-2002 produksi daging sapi dalam negeri selalu tidak mencukupi kebutuhan konsumsi. Kondisi tersebut dan adanya program pemerintah swasembada daging tahun 2005, menunjukkan bahwa masih terbukanya peluang bisnis yang besar bagi pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Nilai Import Daging Sapi di Indonesia pada tahun 1998-2002 (dalam ton) Tahun Produksi Konsumsi Import 1998 342.298,0 351.111,8 8.813,8 1999 308.767,0 319.319,9 10.552,9 2000 339.941,0 366.903,3 26.962,3 2001 338.636,0 365.598,3 16.962,3 2002 323.900,0 393.495,2 69.595,2 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2002) Seperti juga hal yang melatar belakangi peluang usaha peternakan sapi potong tingkat nasional, kondisi tersebut juga terjadi di Kota Pekalongan. Dari data Kantor Pertanian dan Kehewanan Kota Pekalongan (2002) disebutkan bahwa 41% 4
Konsumsi dan Populasi Sapi (Ekor) suplai kebutuhan daging konsumsi di Kota Pekalongan berasal dari daging sapi dan konsumsi protein hewani masyarakat Kota Pekalongan sebesar 5,53 g/kapita/hari masih dibawah standar nasional 6 gr/kapita/hari. Selanjutnya disebutkan pula bahwa selama ini kebutuhan konsumsi daging di Kota Pekalongan sebagian besar masih didatangkan dari luar daerah. 5000 4500 4000 4070 4105 4325 4569 3500 3511 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 235 35 39 56 87 102 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Populasi sapi (ekor) konsumsi daging sapi (ekor) Sumber : Kantor Pertanian dan Kehewanan Kota Pekalongan (2003) Gambar 2. Grafik Populasi dan Konsumsi Daging Sapi Potong di Kota Pekalongan (ekor) Gambar 2 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun terdapat selisih yang sangat besar antara ketersediaan sapi (populasi sapi potong) dengan permintaan atau kebutuhan sapi potong untuk konsumsi di Kota Pekalongan, sehingga setiap tahun sebagian besar kebutuhan daging sapi tersebut harus disuplai dari luar daerah. Kendala utama yang menyebabkan rendahnya produksi ternak sapi potong ini adalah rendahnya minat petani ternak di Kota Pekalongan untuk mengembangkan 5
agribisnis penggemukan sapi potong, terbatasnya tingkat pengetahuan dan teknologi agribisnis penggemukan sapi potong dan faktor permodalan usaha bagi petani ternak. Pengusahaan sapi potong kurang populer di Kota Pekalongan, dan sampai dengan saat ini pengusahaan yang ada adalah peternakan rakyat berskala kecil (1-2 ekor) yang bersifat usaha sampingan. Peluang pengembangan sapi potong di Kota Pekalongan sebenarnya masih terbuka dengan adanya potensi seperti daya dukung lahan, ketersediaan sumberdaya petani ternak dan sumber pakan dari limbah hijauan hasil pertanian. Adanya peluang tersebut dan sejalan dengan program Pemerintah Kota Pekalongan dalam pengembangan agribisnis dan peningkatan gizi masyarakat melalui usaha peningkatan konsumsi protein hewani, maka perlu dilakukan upaya peningkatan populasi dan produktivitas ternak dengan tetap menjaga kelestarian ternak yang ada dan keseimbangan lingkungan. Untuk itu Pemerintah Kota Pekalongan melalui Kantor Pertanian dan Kehewanan telah menetapkan prioritas kegiatan di sektor pertanian khususnya subsektor peternakan, yaitu peningkatan produksi ternak melalui usaha penggemukan sapi potong. Populasi sapi potong per tahun di Kota Pekalongan menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan seperti yang terlihat pada Gambar 2, namun demikian kenaikan tersebut juga dibarengi dengan kebutuhan daging sapi yang relatif meningkat setiap tahunnya. Seiring dengan prioritas program peningkatan ternak di Kota Pekalongan maka perlu dilakukan kajian untuk membuat suatu perencanaan proyek usaha penggemukan sapi potong yang sesuai dengan peluang, kebutuhan, potensi dan kemampuan daerah, dengan pendekatan perencanaan proyek terpadu. Perencanaan proyek dilengkapi dengan analisis kebutuhan (studi 6
awal) dan analisis kelayakan untuk merancang suatu desain proyek usaha penggemukan sapi potong yang diharapkan dapat memanfaatkan seoptimal mungkin daya dukung daerah, yang juga layak diimplementasikan dengan tetap mendahulukan prinsip keberlanjutan usaha di masa datang (going concern). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : a. Model kegiatan/proyek penggemukan sapi potong apa sajakah yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka program peningkatan produksi ternak di Kota Pekalongan? b. Bagaimana formulasi rencana desain proyek penggemukan sapi potong yang sesuai dengan potensi, kebutuhan, peluang dan kemampuan daerah di Kota Pekalongan? c. Bagaimana studi kelayakan proyek penggemukan sapi potong di Kota Pekalongan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah yang disebutkan di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian adalah : a. Mengidentifikasikan alternatif-alternatif model kegiatan/proyek penggemukan sapi potong dalam rangka program peningkatan produksi ternak di Kota Pekalongan. b. Merumuskan desain proyek penggemukan sapi potong sesuai dengan potensi, kebutuhan, peluang dan kemampuan daerah di Kota Pekalongan. 7
c. Menganalisis kelayakan rencana proyek penggemukan sapi potong di Kota Pekalongan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Pekalongan sebagai acuan untuk melaksanakan proyek penggemukan sapi potong dalam rangka program peningkatan produksi ternak di Kota Pekalongan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah menganalisa perencanaan proyek penggemukan sapi potong di Kota Pekalongan. Pada analisis perencanaan proyek ini dilakukan studi awal dan studi kelayakan proyek. Studi awal adalah mengidentifikasikan model proyek yang sesuai dengan potensi wilayah, melakukan perencanaan investasi dan desain teknis proyek sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Pemerintah Kota Pekalongan. Studi kelayakan dilakukan dari aspek pasar, teknis, SDM & manajemen, sosial ekonomi dan finansial. Desain proyek ini juga dilengkapi dengan perencanaan waktu atau penjadwalan sebagai alat pengendalian kegiatan. Asumsi-asumsi dan keterbatasan-keterbatasan dalam analisis ini dikemukakan dalam masing-masing penggunaan teknik analisa. 8