BAB I PENDAHULUAN. mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. oleh Psikolog Salovery dan John Mayer untuk menerapkan kualitas-kualitas

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai naksir lawan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses kehidupan manusia mengalami tahap-tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN. Remaja sebagai generasi penerus, calon orang tua dan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja ini disebut sebagai masa penghubung atau masa

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase krusial dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Remaja mengalami perkembangan begitu pesat, baik secara fisik maupun

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa merupakan individu yang. bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2004).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. ketertarikan mereka terhadap makna dari seks (Hurlock, 1997). media cetak maupun elektronik yang berbau porno (Dianawati, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DAN GAYA PACARAN DENGAN KECENDERUNGAN MEMBELI KONDOM PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB IV HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seksual yang tidak sehat dikalangan remaja Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Beberapa dekade lalu, orang tua sering menjodohkan anak mereka dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yaitu tahun, adalah. disebut masa remaja. (Widyastuti, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Santrock (dalam Dariyo, 2003) masa dewasa awal ditandai dengan adanya transisi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

RELATION BETWEEN KNOWLEDGE AND ADOLESCENT POSITION ABOUT HIV-AIDS WITH BEHAVIOR OF SEX BEFORE MARRIEDINDIUM SMA PGRI 1 SEMARANG ABSTRAK

INTENSI MELAKUKAN SEKS PRANIKAH PADA MAHASISWA DITINJAU DARI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANGTUA-ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat mengisi berbagai posisi di masyarakat. Remaja diharuskan

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Remaja adalah individu yang berusia antara 12 21 tahun yang sudah mengalami peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dengan pembagian 12 15 tahun adalah masa remaja awal, 15 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18 21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, 1999). Menurut Hurlock (1999) salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi seorang remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dimana remaja harus mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup, dimana hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewati. Remaja pasti ingin memperluas pergaulan dengan banyak teman, tidak hanya dengan teman yang sesama jenis kelaminnya saja, tetapi juga dengan teman yang berbeda jenis kelamin. Ada remaja yang memilih untuk berpacaran tapi adapula yang lebih senang bersahabat saja dengan lawan jenisnya ( sudah, 2001). Pacaran merupakan hubungan antara seseorang dengan lawan jenisnya dan melibatkan hubungan yang lebih intim dari sekedar pertemanan biasa. Hubungan seperti ini disebut dengan relasi heteroseksual, atau yang biasa kita kenal dengan pacaran ( sudah, 2001). Menurut Santrock (1998) pacaran bagi remaja merupakan salah satu bentuk perkembangan aspek sosial yang penting. Pacaran pada masa remaja dapat membantu proses pembentukan hubungan yang romantis dan pernikahan dimasa dewasa. Lebih lanjut Hidayati & Mashum (2002) pacaran 1

adalah sebuah proses saling mengenal, memahami dan menghargai perbedaan diantara dua individu. Pacaran bagi remaja bertujuan untuk menemukan dan mengetahui lebih jauh mengenai seseorang yang berbeda jenis kelaminnya yang disukainya. Intinya adalah menemukan pasangan (Duvall & Miller, 1985). Turner dan Helms, dalam bukunya Life Span Development mengemukakan keuntungan pacaran buat remaja yakni remaja dapat mengasah kemampuan bersosialisasi, menyadari jujur pada pasangan itu penting. Hubungan kasih sayang juga semakin terjaga saat kita saling memberi saran dan bukan menyalahkan. Kemampuan bernegosiasi untuk menyelesaikan konflik sama pacar pun bermanfaat buat melanggengkan hubungan. Lebih jauh lagi, melalui pacaran remaja dapat belajar mentolerir perbedaan. Semua ilmu yang berhasil dipetik dari masa pacaran itu sangat berguna. Terutama buat bekal memasuki dunia pernikahan ( Witri, 2003). Pacaran sebagai salah satu bentuk hubungan intim dapat terjadi dimana saja, di kelas, di tempat kerja, di toko, ditempat bermain dan lain-lain, untuk memulai terjadinya suatu hubungan, maka biasanya dimulai dengan adanya ketertarikan (interpersonal attraction, yaitu keinginan untuk dekat dengan seseorang (Brehm, 1992). Sebelum berpacaran, pertama-tama harus muncul rasa ketertarikan (attraction) antara dua individu. Ketertarikan dapat berupa mengirim dan menerima tanda seksual tertentu, yang dapat diekspresikan melalui gaya berpakaian atau gaya berjalan seseorang. Ketertarikan dapat juga sebagai bentuk umum dan rasa suka (liking) (Geer, Heiman & Leitenberg, 1984). 2

Menurut Brehm (1992), ketertarikan meliputi kebutuhan, preferensi, dan keinginan dari orang yang dianggap menarik, dan situasi dimana kedua individu saling menemukan dirinya. Kebutuhan seseorang dapat mempengaruhi bagaimana ia menerima orang lain dan bagaimana ia bereaksi terhadap situasi. Menurut Baron & Byrne (1997) ketertarikan itu dimulai ketika seseorang mulai berinteraksi dengan orang lain dan biasanya interaksi tersebut dapat terjadi dimana saja dan tanpa disengaja. Langkah pertama yang dapat membuat seseorag tertarik dengan orang lain, yaitu kedekatan fisik (physical proximity). Faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi adalah seseorang menyukai atau tidak orang yang dijumpainya yaitu keadaannya pada saat itu (affective state). Seseorang akan senang dengan orang yang dijumpainya ketika perasaan emosinya positif dan begitu juga sebaliknya. Pacaran ternyata bukan cara yang tepat untuk mengenali calon pendamping hidup. Maksudnya bahwa pacaran ternyata lebih banyak menimbulkan aspek negatif daripada positif dalam mencapai proses pengenalan. Proses ini cenderung hanya untuk kesenangan semata dan adapula yang menjalaninya hanya untuk ikut-ikutan dan tidak dengan tujuan pernikahan (Adhim, 2003). Pendapat ini didukung oleh Turner dan Helms (dalam Witri, 2003) yang menyatakan sisi negatif yang muncul dari berpacaran adalah 1) ingin buat gaya. Fenomena ini sering terjadi di kalangan cowok yang merasa bangga bila pamer ke teman-teman tentang puluhan cewek yang berhasil ditaklukkan. Bahkan, ada suatu geng yang anggotanya saling bersaing buat membuktikan siapa yang paling 3

sukses menebar pesona, 2) kecenderungan playful saat pacaran. Remaja belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. Hal ini dapat berakibat salah satu pasangan yang serius dengan pasangannya jengkel karena ditinggalkan oleh pasangan yang belum mau berkomitmen serius dan menganggap pacaran cuma untuk main-main belaka. 3) alasan klasik yang sering dipakai untuk mengakhiri hubungan: tidak cocok sama pasangan., jalur memutuskan hubungan memang yang paling gampang diambil. Cara ini justru mengesankan remaja tersebut adalah sosok egois yang malas mencari solusi. 4) keterbatasan waktu bergaul dengan teman-teman kita., terutama teman yang berasal dari lawan jenis karena pacar suka keberatan kalau pasangannya terlalu dekat sama lawan jenis lain sehingga menelantarkan teman-temannya, 5) terjerumus seks bebas. Kemungkinan terjerumus juga makin besar karena kita dipengaruhi gejolak hormon seksual. Keberadaan pacar dijadikan kesempatan untuk eksplorasi seksual. Tanpa disadari, keintiman fisik dengan pacar semakin meningkat dan meningkat, sementara kita belum siap menghadapi konsekuensinya., seperti hamil di luar nikah atau ketularan penyakit kelamin. Menurut Imran (2000) mengatakan bahwa ada beberapa bentuk perilaku dalam berpacaran adalah berbincang-bincang, berciuman, meraba, berpelukan, masturbasi, oral, petting, dan intercourse. Penelitian yang dilakukan oleh Yarmato (2004) menyimpulkan Sebanyak 45,9 persen (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3 persen (378 responden) membolehkan cium pipi, 22 persen (176 responden) tidak menabukan cium bibir, 11 persen (88 responden) oke saja dengan necking alias cium leher 4

atau cupang, 4,5 persen (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8 persen (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3 persen (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah. Minimnya informasi yang benar mengenai pacaran yang sehat, maka tidak sedikit remaja saat berpacaran unsur nafsu seksual menjadi dominan. Jenis perilaku seksual yang dilakukan remaja dalam berpacaran biasanya bertahap mulai dari timbulnya perasaan saling tertarik, lalu diikuti kencan, bercumbu dan akhirnya melakukan hubungan seksual. Hasil Baseline Survei Lentera-Sahaja PKBI memperlihatkan, perilaku seksual remaja mencakup kegiatan mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, necking, petting, hubungan seksual, sampai dengan hubungan seksual dengan banyak orang (Adrianus, 2001). Berbagai penelitian menunjukkan, perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di empat kota menunjukkan, 3,6 persen remaja di Kota Medan; 8,5 persen remaja di Kota Yogyakarta, 3,4 persen remaja di Kota Surabaya, serta 31,1 persen remaja di Kota Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif. Penelitian yang pernah dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan UGM menemukan, 33,5 responden laki-laki di Kota Bali pernah berhubungan seks, sedangkan di desa Bali sebanyak 23,6 persen laki-laki. Di Yogyakarta kota sebanyak 15,5 persen sedangkan di desa sebanyak 0,5 persen (Tito, 2001). 5

Perkembangan zaman juga akan mempengaruhi perilaku seksual dalam berpacaran para remaja. Hal ini, misalnya, dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan remaja pada beberapa tahun lalu seperti berciuman dan bercumbu, kini dibenarkan oleh remaja. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini, misalnya, terjadi dengan pandangan remaja terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh tahun lalu, hanya 1,2 persen hingga 9,6 persen setuju hubungan seks sebelum menikah. Sepuluh tahun kemudian angka itu naik menjadi di atas 10 persen. Lima tahun kemudian angka ini naik menjadi 17 persen setuju. Bahkan ada remaja sebanyak 12,2 persen yang setuju free sex (Tito, 2001). Sementara itu kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki sebagai akibat perilaku seksual di kalangan remaja juga makin meningkat dari tahun ke tahun. Meski sulit diketahui pasti, di Indonesia angka kehamilan sebelum menikah, tetapi dari berbagai penelitian tentang perilaku seksual remaja, menyatakan tentang besarnya angka kehamilan remaja (Tito, 2001). Catatan konseling Sahaja menunjukkan, kasus kehamilan tidak dikehendaki pada tahun 1998/1999 tercatat sebesar 113 kasus. Beberapa hal menarik berkaitan dengan catatan itu, misalnya, hubungan seks pertama kali biasanya dilakukan dengan pacar (71 persen), teman biasa (3,5 persen), suami (3,5 persen); inisiatif hubungan seks dengan pasangan (39,8 persen), klien (9,7 persen), keduanya (11,5 persen); keputusan melakukan hubungan seks: tidak direncanakan (45 persen), direncanakan (20,4 persen) dan tempat yang biasa 6

digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah rumah (25,7 persen) hotel (13,3 persen) (Tito, 2001). Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam menghindari dari hal-hal yang negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional (Monks, 1999). Masa badai dan tekanan adalah suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar hormon. Kondisi ini disebabkan karena remaja di bawah tekanan sosial, juga diakibatkan dari kecenderungan remaja dalam memandang kehidupan menurut apa yang mereka inginkan. Mereka melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan bukan sebagaimana adanya (Hurlock, 1999). Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif (Monks, 1999). Masa remaja merupakan masa dimana remaja banyak sekali menghadapi tantangan. Manusia dapat menghadapi tantangan serta mampu memainkan perannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia maka perlu adanya peningkatan kualitas kepribadian. Salah satu unsur kepribadian yang dianggap penting bagi kehidupan manusia dalam kaitannya dengan dunia sekitar adalah kecerdasan emosional (http://www.kompas.com/kompas- 7

cetak/0211/15/dikbud/kece35.htm). Goleman (2001) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan suasana hati. Cooper & Sawaf (2002) juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah sebagai kecerdasan yang dapat dipelajari, kecerdasan yang dapat dikembangkan dan disempurnakan kapan saja dan pada usia berapa saja. Goleman (2001) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam hidupnya 20 % ditentukan oleh IQ dan 80% ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lainnya termasuk kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional memegang peranan penting, di mana ia mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilanketerampilan seperti ini dapat diajarkan kepada anak-anak semenjak dini, untuk memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi yang ada dalam diri mereka (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/15/ dikbud/kece35.htm). Havighurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa orang yang matang adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengontrol emosinya. Kemampuan untuk mengontrol emosi tidak terlepas dari kecerdasan emosional seseorang untuk menghadapi dan mengatasi masalah. 8

Keterampilan mengelola emosi tersebut meliputi: mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar) perasaan, mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, dan mampu mengetahui perbedaan antara perasaan dan tindakan (Hidayati dan Mashum, 2002). Ketrampilan kecerdasan emosional yang dikenal dengan kecakapan emosional yang merupakan kecakapan hasil belajar yang mencakup kesadaran diri, mengidentifikasi dan mengelola perasaan serta mengendalikan dorongan hati. Pengendalian dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan dan belajar membuat keputusan emosional yang baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan untuk bertindak, kemudian mengidentifikasi tindakan alternatif serta konsekuensinya sebelum bertindak ( Goleman, 2001). Goleman (2001) membagi emotional intelligence ini ke dalam lima aspek yaitu : 1) kesadaran diri, 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4) empati, dan 5) ketrampilan sosial. Menurut Hidayati & Masyum (2005) kecerdasan emosional penting dan perlu untuk pacaran. Individu yang berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik terampil dalam mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar perasaan), mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku, seperti : perilaku verbal 9

(mampu mengajukan permintaan-permintaan dnegan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negative, mampu mendengarkan orang lain) dan perilaku non verbal (eksperi wajah, sikap tubuh, dan pandangan mata). Hal ini didukung oleh Goleman (2003) remaja yang kecerdasan emosionalnya berkembang dengan baik akan merasakan bahwa tekanan baru para teman sebaya, meningkatnya tuntutan akademis, godaan merokok, menggunakan obat-obat terlarang, dan seks bebas tidak lagi merisaukan mereka dibandingkan dengan teman sebaya yang kecerdasan emosionalnya tidak berkembang dengan baik Mereka yang sudah menguasai kecerdasan emosional yang sekurangkurangnya utuk jangka pendek, memberi vaksinasi bagi mereka utuk melawan guncangan dan tekanan yang akan mereka hadapi. Intinya, untuk mengembangkan kecerdasan emosional harus dimulai sejak dini yang disesuaikan dengan usia dan dilangsungkan sepanjang tahun ajaran serta dikaitan dengan sekolah, rumah, dan masyarakat. Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran. I.B. Identifikasi Permasalahan Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran 10

I.C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran I.D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi perkembangan dalam hal mengembangkan kecerdasan emosional bagi remaja yang berpacaran. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian sebagai sumber informasi dan layanan konseling berupa pendidikan seks (sex education) bagi remaja yang berpacaran sehingga tercipta hubungan yang sehat yang berhubungan juga dengan kecerdasan emosional. I.E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini dijelaskan latar belakang penelitian tentang gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran. Bab II : Landasan teori 11

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian kecerdasan emosional, manfaat kecerdasan emosional, komponen-komponen kecerdasan emosional, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, ciri-ciri kepribadian individu yang memiliki kecerdasan emosional, pengertian remaja, tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, pengertian pacaran, proses pacaran, dinamika gambaran kecerdasan emosional pada remaja yang berpacaran, dan hipotesa. Bab III : Metode Penelitian Pada bab ini akan di jelaskan mengenai identifikasi variable penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, dan metode analisa data. Bab IV: Analisis Data dan Interpretasi Bab ini menguraikan analisis data dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian. Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini merupakan bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan, diskusi, dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 12

Kerangka Berpikir Remaja Salah satu tugas perkembangan remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup + Berpacaran - Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional Kecerdasan Emosional Ket : + : Berpacaran yang sehat - : Berpacaran yang tidak sehat : Berkembang dengan baik (tinggi) : Berkembang dengan tidak baik (rendah) Salah satu tugas perkembangan remaja adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis dan mempersiapkan diri untuk mendapatkan pasangan hidup. Salah satunya adalah remaja akhir yang berada pada usia 18 21 tahun. Untuk menemukan dan mengetahui lebih jauh mengenai seseorang yang berbeda jenis 13

kelaminnya yang disukainya. Intinya adalah menemukan pasangan, dimulai dengan proses berpacaran (Duvall & Miller, 1985). Menurut Hidayati & Masyum (2005) kecerdasan emosional penting dan perlu untuk pacaran. Individu yang berkembang kecerdasan emosionalnya dengan baik terampil dalam mengelola emosinya, seperti mampu mengidentifikasikan serta mendefenisikan perasaan yang muncul, mampu mengungkapkan perasaan, mampu menilai intensitas (kadar perasaan), mampu mengelola perasaan, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mengurangi stress, mampu mengetahui antara perasaan dan tindakan dan terampil dalam berperilaku, seperti : perilaku verbal (mampu mengajukan permintaan-permintaan dnegan jelas, menanggapi kesulitan dengan efektif, mampu bersikap asertif untuk menolak pengaruh-pengaruh negative, mampu mendengarkan orang lain) dan perilaku non verbal (eksperi wajah, sikap tubuh, dan pandangan mata). 14