I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Secara nasional, hanya 40% dari sampah kota yang dapat dikelola sedangkan sisanya dibakar atau dibuang ke badan air dan lahan terbuka (KMNLH 1997). Dampak yang terjadi adalah pencemaran udara, air dan tanah dengan resiko pada kesehatan lingkungan. Permasalahan pengelolaan persampahan meliputi koordinasi yang buruk, tidak ada unit perencana, sistem akuntansi lemah, terbatasnya dana, produktivitas pekerja lemah dan pengelola merupakan organisasi yang kecil di lingkungan pemerintah kota (Anschütz 1996). Jumlah sampah tergantung dari jumlah penduduk dan tingkat timbulan sampah (waste generation). Masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk adalah kenyataan bahwa sebagian penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan dengan tingkat kepadatan tinggi. Agenda 21 menyebutkan bahwa pada tahun 1990 sebanyak 30% dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Persentase ini akan meningkat menjadi 50% pada tahun 2020 dengan konsentrasi pertumbuhan di kota besar dan metropolitan. Tingkat timbulan sampah juga akan meningkat sebanyak lima kali lipat sebagai akibat dari berubahnya pola konsumsi karena meningkatnya kesejahteraan. Agenda 21 juga menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai kebijakan untuk berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan, sehingga strategi dalam pengelolaan sampah pun harus mengikuti prinsip tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan limbah padat (sampah) mengikuti prinsip bahwa sampah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan sampah harus dibatasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimalkan. Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan sampah harus dimulai dari sumber sampah sampai tempat
2 pembuangan akhir. Terdapat empat komponen yang menentukan keberhasilan pengelolaan sampah. Pertama, minimasi limbah, yaitu upaya mengurangi jumlah sampah baik dari proses produksi industri maupun dari rumah tangga. Kedua, daur ulang dan pembuatan kompos, yaitu memanfaatkan sampah baik organik maupun anorganik yang masih bernilai untuk didaur ulang atau dijadikan kompos. Ketiga, peningkatan pelayanan umum. Tidak seluruh sampah dapat didaur ulang atau dijadikan kompos, selalu saja ada sebagian sampah yang tetap harus dibuang. Karena itu, pelayanan umum diperlukan untuk mengelola sampah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan. Keempat, meningkatkan pengolahan dan pembuangan sampah yang akrab lingkungan, yaitu usaha pengelolaan tempat pembuangan akhir secara benar tanpa mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Pengelolaan sampah kota terdiri dari 6 elemen, yaitu sumber sampah, pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et al. 1993). Keterbatasan lahan pembuangan mengharuskan dilakukannya usaha mengurangi sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir (WasteNet 2006). Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai permasalahan dengan ketersediaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sebagai Kota Metropolitan Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter di atas permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah Selatan 675 Meter di atas permukaan laut. Kota Bandung terdiri dari 26 kecamatan mempunyai luas 167,29 km 2 atau 16.729 hektar dengan jumlah penduduk 2.228.268 jiwa dan kepadatan penduduk 133 jiwa per hektar (BPS 2003). Sampai dengan bulan Februari 2005, seluruh sampah Kota Bandung dibuang ke TPA Leuwigajah yang berjarak 15 km dari pusat kota. Namun pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi longsor di TPA tersebut sehingga pembuangan dialihkan ke TPA lain. Salah satu TPA pengganti adalah TPA Cicabe yang sebenarnya sudah ditutup. Saraswati (2003) melakukan penentuan lokasi TPA berdasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan pendekatan sistem informasi geografis. Berdasarkan studi tersebut lokasi yang sesuai untuk TPA sampah berada di
3 Kabupaten Bandung. Bila lokasi TPA sampah terpilih semakin jauh jaraknya dari pusat Kota Bandung, akan mengakibatkan biaya pengangkutan lebih tinggi sehingga biaya operasional pengelolaan sampah di Kota Bandung akan semakin tinggi. Berdasarkan permasalahan ketersediaan lahan untuk TPA sampah di Kota Bandung, perlu dilakukan usaha untuk meminimalkan timbulan sampah di sumber. Usaha tersebut dilakukan melalui 3R (reduce, reuse, recycle) oleh sumber sampah. Reduce adalah meminimalkan jumlah sampah yang timbul, misalnya dengan tidak menggunakan barang sekali pakai. Reuse adalah menggunakan barang yang sifatnya tidak sekali pakai. Recycle adalah mendaur ulang sampah menjadi bahan baku dalam pembuatan kompos dan produk daur ulang. Melalui 3R maka jumlah sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir akan menyusut karena hanya berupa sampah sisa. Usaha recycle hanya bisa berjalan bila sumber sampah bersedia untuk melakukan pemilahan pada sampah, yaitu memisahkan antara sampah yang berupa bahan organik dan non organik. Sampah organik dapat dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik dapat dijadikan bahan baku produk daur ulang. Aspek kelembagaan sering ditafsirkan sebagai organisasi. Sebenarnya organisasi merupakan salah satu bentuk dari aspek kelembagaan. Dalam mengkaji aspek kelembagaan selain organisasi yang menjadi perhatian, juga aspek peraturan, norma dan etika. Pada prinsipnya, aspek kelembagaan melibatkan aktor atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan. Agar pengelolaan persampahan secara terpadu dapat dicapai, peran sumberdaya manusia perlu diperhatikan. Karena itu, aspek partisipasi atau peranserta masyarakat perlu ditingkatkan dalam pengelolaan persampahan ini (Djogo et al. 2003). Diperlukan pengkajian untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat ke dalam aspek kelembagaan dalam pengelolaan persampahan kota.
4 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menyusun model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota, untuk itu tujuan antaranya adalah: 1. Menganalisis kelembagaan eksisting pada pengelolaan persampahan Kota Bandung. 2. Menyusun skenario untuk mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat. 3. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat. 4. Membuat simulasi reduksi jumlah sampah dan strategi pencapaiannya. 1.3. Kerangka Pemikiran Aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam pengelolaan persampahan. Bila pengembangan pada kedua aspek ini dilakukan tepat dan sinergis dengan aspek operasional pengelolaan sampah maka diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan persampahan kota. Pada pengelolaan persampahan, lembaga yang menangani pengelolaan persampahan secara umum belum optimal, jika ditinjau dari komponen organisasi, peraturan, pembiayaan dan sumberdaya manusia. Ketidakoptimalan tersebut perlu untuk dikuantifikasi dengan pengkajian (assessment) dan analisis. Hasil pengkajian dan analisis ini merupakan masukan untuk pengembangan kelembagaan (Patan Conservation and Development Program 1996). Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari penanganan sampah disumber, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et.al. 1993). Penelitian akan dibatasi pada sumber sampah berupa rumah tangga. Pengumpulan sampah rumah tangga dikelola oleh organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) setempat, berupa pengambilan sampah dari setiap rumah. Sampah dari hasil pengumpulan kemudian dibawa ke suatu tempat pembuangan sementara (TPS) yang merupakan milik organisasi pengelola sampah kota. Oleh organisasi pengelola sampah kota
5 tersebut, sampah selanjutnya diangkut untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Di TPA terdapat kegiatan pemanfaatan sampah oleh pemulung yang mengambil barang bekas yang masih bernilai dan produsen kompos yang memanfaatkan sampah organik. Diluar sistem pengelolaan sampah terdapat lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terhadap masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, dan masyarakat pemanfaat sampah, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), (Gambar 1). Gambar 1. Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota (diadopsi dari Tchobanoglous et.al. 1993)
6 Pada Gambar 1, tampak bahwa terdapat lima kelompok besar pelaku pengelolaan persampahan kota, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, pemerintah, dan masyarakat pemanfaat sampah serta masyarakat pemerhati lingkungan. Masyarakat penghasil sampah terbagi menjadi dua, yaitu penghasil sampah domestik (rumah tangga) dan non domestik (pasar, pertokoan, industri rumah tangga). Sampah domestik dikelola oleh organisasi masyarakat, umumnya dari organisasi Rukun Tetangga (RT/RW), sedangkan sampah non domestik dikelola langsung oleh Dinas atau Perusahaan Daerah. Sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Masyarakat pemanfaat sampah adalah mereka yang mengambil material yang masih bernilai dari sampah. Terdapat dua jenis material yaitu yang bersifat organik untuk dijadikan kompos dan yang bersifat anorganik untuk didaur ulang. Material ini dapat diperoleh langsung dari sumber, dari RT/RW, atau TPA. Dilihat dari terkonsentrasinya para pemulung di TPA maka tampak bahwa kegiatan pengambilan material daur ulang hampir seluruhnya terjadi di TPA. Keadaan ini secara tidak langsung merugikan karena seluruh sampah harus diangkut ke TPA sehingga membutuhkan biaya besar. Bahan organik sudah tidak dalam kondisi segar untuk dikomposkan, dan material daur ulang relatif kotor dan sulit untuk dipilah karena sudah dalam kondisi tercampur. Masyarakat pemanfaat sampah perlu ditingkatkan perannya dalam pengelolaan sampah, dengan cara mengintegrasikannya kedalam lembaga pengelola sampah. Pengintegrasian lembaga berbasis masyarakat ini dapat dilakukan dengan beberapa skenario. Konsep pengembangan kelembagaan ini diperoleh dengan bantuan para pakar melalui analisis prospektif. Para pakar yang terlibat meliputi pakar di bidang persampahan, pakar kelembagaan, wakil dari pengelola persampahan kota dan wakil dari LSM. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah. 1. Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama pengelolaan persampahan kota.
7 2. Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah kota. 3. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan. 1.5. Novelty (Kebaruan) Jumlah sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Keterbatasan lahan tempat pembuangan akhir membuat pengelolaan sampah harus mengarah pada usaha menekan jumlah sampah yang harus dibuang dengan cara memanfaatkan sampah. Penelitian-penelitian sudah ada bersifat partial, yaitu hanya difokuskan pada salah satu stakeholder. Schenberg et al. (1999) dan Bulle S. (1999) melakukan penelitian tentang hubungan gender dan sampah. Moningka (2000) dan Anschutz (1996) melakukan penelitian tentang jenis partisipasi masyarakat. Damanhuri (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui potensi daur ulang sampah Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian yang utuh yaitu meliputi semua stakeholder yang berperan dari hulu sampai dengan hilir, yaitu mulai dari sumber sampah sampai dengan usaha pemanfaatan sampah melalui program reduce, reuse dan recycle (3R).