SUMBANGAN PIKIRAN UNTUK SIDANG PLENO IV KONSULTASI TRANSMIGRASI 1 Tejoyuwono Notohadiprawiro Latar Belakang Persoalan 1. Keadaan lahan di daerah tujuan transmigrasi, khususnya di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, berbeda sama sekali dengan yang ada di daerah asal transmigran di Jawa dan Bali. Lahan atasan (lahan kering; upland) di daerah tujuan transmigrasi dirajai oleh tanah mineral masam yang berpersoalan kesuburan ganda, rentan (susceptible) terhadap erosi dan rentan pula terhadap pemampatan (compaction). Lahan baruh (lahan basah; low land) dirajai oleh tanah gambut, tanah gley yang sebagian besar mengandung bahan sulfida, dan atau tanah pasir kuarsa. Tanah lahan atasan memerlukan pembenahan menyeluruh (overhaul amandement), sedang tanah lahan baru yang yang bukan pasir kuarsa memerlukan reklamasi, sebelum dapat dikembangkan menjadi tanah pertanian yang baik. Tanah pasir kuarsa tidak berkemampuan untuk dijadikan tanah pertanian dan karena itu harus disingkirkan dalam pemilihan lahan untuk transmigrasi. 2. Dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau tanaman pakan (fodder), tanaman pangan pada dasarnya meminta persyaratan kemampuan lahan yang lebih banyak dan lebih tinggi. Tanaman pangan lebih peka terhadap kendala tanah, teristimewa yang berpredikat jenis unggul. Jenis unggul diciptakan untuk berdaya tanggap kuat terhadap peningkatan kesuburan tanah. Maka dengan sendirinya jenis unggul itu pun menjadi peka keburukan tanah 3. Dalam program transmigrasi berpola pertanian pada umumnya dan yang berpola usaha pokok tanaman pangan pada khususnya, para transmigran pada umumnya tidak memiliki ketrampilan yang memenuhi syarat minimum bagi seorang pengelola. Mereka terdiri atas tunawisma dan tunakarya yang mengadu nasib di kota-kota besar, buruh tani atau petani penggarap yang semata-mata bermotif keuntungan selagi masih mungkin, atau petani kecil yang tidak berkemampuan menerapkan teknologi produksi 1 Sumbangan pikiran untuk sidang pleno IV Forumkonsultasi transmigrasi. Deptrans RI Jakarta, 6-7 Februari 1986. 1
yang efektif dan efisien, apalagi berkiblat pada pelestarian fungsi sumberdaya lahan. Jadi, para transmigran itu pada umumnya tidak berbekal motif wiraswasta. Lingkup Persoalan 1. Teknologi tradisional yang berkembang dalam usahatani subsisten di Jawa dan Bali tidak cocok untuk lahan daerah tujuan transmigrasi. Teknologi konvensional yang diciptakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani di Jawa dan Bali tidak akan efektif kalau diterapkan di daerah tujuan transmigrasi. 2. Untuk membangun pertanian pangan di daerah tujuan transmigrasi diperlukan teknologi produksi khusus. Apabila teknologi ini diciptakan menurut konsep yang telah menghasilkan teknologi produksi yang sekarang digunakan secara konvensional di Jawa dan Bali, hasilnya akan berupa teknologi masukan tinggi yang mahal menurut ukuran usahatani transmigran. Teknologi semacam ini memberikan usikan (disturbance) banyak kepada lahan. Oleh karena pada lahannya pada dasarnya peka terhadap usikan, diperlukan teknologi pelengkap untuk memperkuat ketahanan lahan menghadapi usikan yang meningkat itu. Ini berarti teknologi produksinya bertambah mahal. 3. Petani transmigran yang dipilih menurut pertimbangan pemilihan sekarang pada dasarnya tidak berkualifikasi pelopor (pioneer) karena secara hakiki tidak bersemangat wiraswasta. Ketiadaan semangat wiraswasta disebabkan karena latar belakang kehidupannya tidak memungkinkan pertumbuhan jiwa inovatif dan kehendak berprakarsa. 4. Program transmigrasi berpola usaha pokok tanaman pangan menghadapi kendala berat yang saling berkaitan berupa: 4.1. Teknologi produksi yang sepadan (appropriate) belum dipersiapkan secara baik menurut pengertian sepadan dengan keadaan lahan yang khusus, dan sepadan dengan kategori usahatani yang direncanakan. 4.2. Kategori usahatani yang akan dimapankan (established) di daerah transmigrasi belum digariskan secara pasti. 4.3. Petani belum dipersiapkan secara baik untuk dapat menjadi pengelola yang inovatif sehingga dapat menangani teknologi produksi yang sepadan itu. Belum ada usaha nyata untuk mengubah petani yang bersikap sebagai petani jatah menjadi petani yang bersikap mandiri. 2
Arah Penyelesaian Persoalan 1. Langkah pertama ialah menetapkan secara jelas kategori usahatani yang akan dimapankan di daerah transmigrasi. Ada beberapa pilihan: subsisten plus, komersial, koperatif dengan KUD sebagai pengatur, atau semacam PIR atau TIR. 2. Langkah berikut ialah menciptakan teknologi produksi sepadan yang menyediakan peluang cukup untuk menampung rekaan inovatif petani. Unsur-unsur teknik budidaya yang dapat dipilih untuk menyusun teknologi itu adalah: 2.1. Adaptasi tanaman pada habitat khusus. Ini bermaksud memanfaatkan sebaikbaiknya kemampuan hakiki tanaman menggunakan bahan dan energi yang tersimpan dalam komponen-komponen sumberdaya lahan secara efektif, dan bersamaan dengan itu menggunakan masukan teknologi secara efisien, di bawah pengaruh keadaan lingkungan yang khusus. Asas adaptasi bertujuan memperoleh tingkat produksi tinggi tanpa keharusan menggunakan masukan komersial tinggi. Asas ini didukung dua program, yaitu rekayasa genetik untuk menciptakan jenisjenis unggul menurut ukuran daya produksi dan daya adaptasinya, dan pewilayahan produksi pertanian. Pewilayahan ini bermakna spesialisasi produksi sesuai dengan kemampuan lahan yang tersediakan. 2.2. Menyuburkan tanah secara biologi. Usaha ini terdiri atas penggiatan penyematan nitrogen secara biologi, pemacuan peranan jasad renik dalam meningkatkan ketersediaan fosfat tanah, pendauran ulang (recycling) hara dalam sisa pertanaman dan limbah pertanian, dan merawat bahan organik tanah. 2.3. Mengawetkan tanah dan air dalam hal lahan atasan, dan menata air dalam hal lahan baruh. 2.4. Memanfaatkan kendala tanah dengan jalan menggunakan masukan yang justru memerlukan kendala itu untuk mengefektifkan fungsinya. Misalnya memakai fosfat alam sebagai pupuk pada tanah masam. 2.5. Mengendalikan hama dan penyakit tanaman secara biologi, dengan perbaikan tata tanam, dan dengan menanam tanaman yang berdaya tahan tinggi. Dengan jalan ini kebutuhan akan pestisida dapat ditekan. Pengurangan pemakaian pemakaian pestisida juga penting karena kebanyakan pestisida bersifat fitotoksik. Teknologi produksi yang tersusun atas unsur-unsur tersebut di atas karena berasaskan pembatasan penggunaan masukan yang berkadar energi komersial tinggi, dikenal dengan nama teknologi masukan-rendah atau teknologi hemat energi. Usaha tani yang 3
menerapkan teknologi hemat energi, karena mengutamakan proses organik atau mekanisme ekologi dalam penyuburan tanah, disebut usahatani organik atau usahatani biologi. Dengan sistem pengelolaan semacam ini usahatani pangan, karena dapat meningkatkan efisiensi produksi, dapat memperoleh kedudukan kompetitif terhadap usahatani lain, seperti yang mengusahakan tanaman perdagangan (cengkih, kopi, dan sebagainya), mengusahakan ternak unggas, atau perikanan. 3. Langkah selanjutnya ialah menyiapkan petani untuk menjadikan mereka berpandangan inovatif dan bersikap mandiri. Langkah ini menggunakan program pendidikan dan latihan intensif sebelum pemindahan petani ke daerah baru, dan pembinaan serta penyuluhan secara sinambung sejak penempatan di daerah baru. Program ini tidak hanya mengenai teknik budidaya, akan tetapi mengenai juga sistem pengelolaan usahatani. Kecakapan mengelola akan melahirkan pandangan inovatif dan sikap mandiri karena memperoleh landasan percaya diri. Para pembina dan penyuluh lapangan harus dapat bertindak sebagai konsultan petani dan bukan sebagai sekedar kepanjangan tangan birokrasi. 4. Mengembangkan sebaik-baiknya jasa perdagangan, baik untuk memasarkan hasil pertanian maupun untuk memasokkan (supply) sarana produksi pertanian. Jasa perdagangan juga penting untuk membentuk tali hubungan (link) antar berbagai wilayah produksi yang berbeda spesialisasi produksinya. Kelangsungan komersialisasi dan spesialisasi usahatani pangan sangat ditentukan oleh efektivitas jasa perdagangan ini. Sistem informasi dan komunikasi yang efektif diperlukan untuk melancarkan proses alih teknologi dan untuk saluran indikator keadaan pasar. Hanya dengan sistem ini pandangan inovatif dan sikap mandiri yang telah dimiliki petani dapat dipelihara dan dikembangkan. 5. Pertanian pangan yang berkembang di daerah transmigrasi perlu diarahkan untuk dapat mengimbas (induce) pembanganan industri pengolahan hasil pertanian. Dengan mengikatkan diri pada industri hilir, pertanian pangan akan dapat memperoleh kedudukan ekonomi yang lebih kuat. Untuk maksud ini usahatani pangan dapat memenuhi satu syarat pokok, yaitu mampu menghasilkan hasil panen yang jumlahnya tidak berfluktuasi banyak karena musim atau dari tahun ke tahun dan mutunya memenuhi baku industri yang telah ditetapkan. Maka pengawasan proses produksi dan mutu hasil panen menjadi segi terpenting dalam pengelolaan usahatani. 4
6. Untuk menciptakan teknologi produksi hemat enegi yang sekaligus bersifat inovatif dan sepadan diperlukan secara mutlak data dasar berupa kemampuan lahan di wilayah masing-masing. Data ini dirupakan dalam bentuk peta yang berskala sekurangkurangnya 1 : 50.000. Dengan peta kemampuan lahan ini ditetapkan tataguna lahan sebagai kerangka menetapkan kebijakan peruntukan lahan. Alternatif peruntukan lahan dipertimbangkan atas dasar memperbandingkan untung-rugi penerapan teknologi produksi yang sepadan dengan tiap alternatif peruntukan lahan. 7. Pada dasarnya petani transmigran berada pada tataran ekonomi bawah, sehingga tidak dapat diharapkan mereka akan mampu menghimpun modal usaha sendiri. Maka disamping bantuan pemerintah untuk bertahan hidup yang diberikan selama masa awal penempatan sebelum usahataninya dapat berproduksi, perlu diadakan bantuan penghimpunan modal kerja. Modal kerja yang cukup diperlukan untuk mengembangkan usahatani menjadi komersial dan dapat menerapkan teknologi produksi inovatif yang efisien. Bantuan modal kerja ditetapkan dengan mengingat keadaan lahan, spesialisasi produksi dan kategori usahatani yang akan dimapankan. Bantuan ini dapat diberikan sebagai kredit lunak. 5