BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Raden Ario Wicaksono/

BAB I PENDAHULUAN I - 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB VI SEJARAH GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sukajadi dan Sekitarnya, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Bab I Pendahuluan)

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar 1. Lokasi kesampaian daerah penyelidikan di Daerah Obi.

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB V SEJARAH GEOLOGI

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Analisis Struktur Daerah Pasirsuren dan Sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Geologi Daerah Sadawarna dan Sekitarnya Kabupaten Subang, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Bogor merupakan cekungan yang terisi oleh endapan gravitasi yang memanjang di tengah-tengah Provinsi Jawa Barat. Cekungan ini juga merupakan salah satu kunci dari dipelajarinya evolusi geologi Pulau Jawa. Daerah penelitian merupakan bagian dari Cekungan Bogor, tepatnya di daerah Sibanteng-Kalong Dua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Daerah tersebut termasuk ke dalam Cekungan Bogor yang membentuk Zona Antiklinorium. Berdasarkan peta geologi regional lembar Bogor (Effendi, 1998), daerah Leuwiliang-Leuwisadeng memiliki persebaran batuan dan pola struktur yang bervariasi. Pola struktur yang terlihat secara umum berupa antiklinorium. Kenampakan topografi dari daerah ini pun cukup menarik. Penelitian ini membahas mengenai segala aspek geologi daerah Leuwiliang- Leuwisadeng secara khusus. Aspek-aspek tersebut berupa sedimentologi, stratigrafi, struktur geologi, mikropaleontologi, geomorfologi dan petrografi. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan pendidikan tingkat sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kondisi geologi yang meliputi sebaran litologi, geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi daerah Sibanteng-Kalong Dua, Kabupaten Bogor. Penelitian ini didasarkan pada analisis data pengamatan unsur-unsur geologi di lapangan dengan cara pemetaan geologi. Hasil dari penelitian berupa peta lintasan, peta geomorfologi, dan peta geologi. 1

1.3. Lokasi Penelitian Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1.1). Daerah penelitian memiliki luas ± 25 km 2, terletak sekitar 30 km ke arah barat dari Kota Bogor dan berada pada ketinggian 23 396 mdpl. Dengan menggunakan transportasi darat, daerah penelitian dapat dicapai dalam waktu ± 4 jam perjalanan dari Bandung. Letak geografis daerah penelitian yaitu 106 0 34 00 106 0 36 30 LS dan 6 0 32 30 6 0 35 00 BT. Lokasi Penelitian Gambar 1.1. Peta Lokasi Daerah Penelitian 1.4. Kondisi Umum Daerah Penelitian Sebagian besar daerah penelitian merupakan kawasan hutan tropis, persawahan, perladangan, dan pemukiman penduduk. Kondisi tanah umumnya cukup subur dengan curah hujan yang tinggi setiap tahun. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh dengan baik disini, baik tanaman padi untuk daerah yang beririgasi dan tanaman sayuran maupun perkebunan untuk daerah non-irigasi. Masyarakat yang tinggal di daerah ini pada umumnya adalah suku Sunda dan sebagian besar beragama Islam. Mata pencaharian utama mereka adalah sebagai petani, peternak, gurandil (penambang emas tradisional), buruh, tukang ojek, pegawai negri, dan pedagang. Ketersedian air bersih pada sebagian masyarakat di daerah ini masih kurang, apalagi di saat musim kemarau, dimana sumur dan mata air surut atau bahkan kering. 2

Sarana perhubungan di daerah penelitian umumnya cukup baik. Untuk menghubungkan satu desa dengan desa lainnya sebagian besar berupa jalan berbatu dan jalan tanah, dan sebagian kecil berupa jalan aspal yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan roda empat. Sedangkan untuk mencapai daerah-daerah pelosok masih harus melalui jalan setapak. Sarana transportasi satu-satunya di daerah penelitian adalah sepeda motor yang dipakai sebagai ojek. Kondisi singkapan umumnya cukup baik dan segar, terutama yang ditemukan di sungai-sungai. Sedangkan di jalan raya, singkapan umumnya telah mengalami pelapukan kuat menjadi tanah. 1.5. Batasan Masalah Ruang lingkup penelitian meliputi tinjauan masalah geologi, dan analisa proses sedimentasi yang terjadi. Pembahasan permasalahan geologi meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi. Pembatasan masalah ditujukan untuk menghindari pembahasan yang tidak fokus pada tujuan penelitian. 1.6. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan melalu empat tahap yaitu : tahap persiapan, tahap penelitian, pengambilan data lapangan, tahap analisis dan pengolahan data, dan tahap penulisan laporan. 1.6.1. Tahap Persiapan Tahap persiapan ini dilakukan untuk mempelajari geologi regional daerah penelitian serta studi khusus terkait yang diambil dari berbagai literatur berupa laporan, jurnal, proceeding, dan makalah-makalah geologi terdahulu serta tulisan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan daerah penelitian. Pada tahap ini dilakukan pula interpretasi citra satelit dan peta topografi skala 1 : 25.000 yang selanjutnya akan digunakan untuk memperoleh gambaran umum mengenai 3

kondisi geologi dan morfologi daerah penelitian sehingga dapat digunakan untuk perencanaan lintasan dan kegiatan lapangan lainnya. 1.6.2. Tahap Penelitian dan Pengambilan Data Lapangan Tahap pengambilan data lapangan dilakukan selama dua kali, selama kurang lebih 20 hari (pertengahan bulan Juli awal bulan Agustus dan pertengahan bulan Oktober) dengan luas daerah penelitian ± 25 km 2 (5 km x 5 km). Tahap ini ditujukan untuk memperoleh data geologi detail yang akan dianalisis. Pengambilan data lapangan meliputi: Observasi geomorfologi Observasi singkapan dan deskripsi batuan Pengamatan dan pengukuran unsur struktur geologi Pengambilan contoh batuan untuk analisis mikropaleontologi dan petrografi Sintesa lapangan Hasil dari tahapan ini berupa catatan lapangan (deskripsi singkapan, deksripsi batuan, dan sketsa), contoh batuan, foto singkapan, peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, dan peta geologi sementara. 1.6.3. Tahap Pengolahan Data dan Analisis Analisis dan pengolahan data dilakukan di laboratorium dan studio pengolahan data. Tahap ini dilakukan bersamaan dengan studi pustaka, studi literatur, dan diskusi dengan dosen pembimbing. Analisis laboratorium dan pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut: Analisis mikropaleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan dari suatu batuan di daerah penelitian berdasarkan kehadiran fosil foraminifera. Analisis petrografi untuk identifikasi batuan, penentuan mineral pembentuk batuan, dan tekstur yang terbentuk. 4

Pembuatan peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, dan penampang geologi. 1.6.4. Tahap Penulisan Laporan Tahap ini merupakan tahap akhir dari penelitian berupa laporan hasil penelitian. Laporan berupa skripsi yang memuat juga peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, dan penampang geologi. Skripsi yang disusun akan memberikan informasi dan penjelasan mengenai kondisi geologi daerah penelitian. 1.7. Sistematika Penelitian Sistematika pembahasan skripsi ini terbagi menjadi empat bab. Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing bab tersebut. Bab I : Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi dan kesampaian daerah penelitian, kondisi umum daerah penelitian, batasan masalah, tahapan penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II : Geologi Regional yang membahas tentang fisiografi, stratigrafi regional, dan struktur geologi regional untuk memberikan gambaran umum tentang geologi daerah penelitian. Bab III : Geologi Daerah Penelitian yang menyajikan data hasil pengamatan lapangan dan analisis laboratorium meliputi kajian tentang geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Bab IV : Sejarah geologi daerah penelitian. Bab V : Kesimpulan dari hasil studi Geologi Regional di Daerah Sadeng - Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. 5

BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a. Dataran Pantai Jakarta (Plain of Batavia); b. Zona Bogor (Bogor Zone); c. Zona Bandung (Bandung Zone); dan d. Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountains) Daerah Penelitian Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949). Terlihat bahwa daerah penelitian terletak di Zona Bogor yang dibatasi oleh Dataran Pantai Jakarta di bagian utara, Zona Bandung di bagian selatan dan timur, dan Zona Pegunungan Bayah di bagian barat. 6

Berdasarkan pembagian di atas, secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bogor bagian utara. Martodjojo (1984) menyatakan bahwa daerah ini memanjang barat - timur melalui Kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya mempunyai morfologi berbukit-bukit. Perbukitan disini umumnya memanjang barat - timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar kota Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium yang terdiri dari perlipatan kuat lapisan yang berumur Neogen. Beberapa intrusi telah membentuk morfologi yang lain pula. Morfologi intrusi disini umumnya mempunyai relief lebih terjal dibanding dengan tubuh intrusi di Zona Bandung yang berada di sebelah selatannya. G. Sanggabuana di Purwakarta, G. Kromong di Cirebon, merupakan contoh tubuh batuan terobosan di daerah ini. Sungai-sungai utama di daerah ini tidak jarang yang berbentuk aliran antecedent (S. Cimanuk terhadap struktur Baribis) dan sebagian lagi superposed (S. Ciliwung) terhadap struktur batuan yang ada. Kebanyakan aliran utama berarah dari selatan ke utara. Anak-anak sungai di daerah yang terlipat umumnya bersifat subsekuen terhadap jurus perlipatan. Di beberapa tempat, khususnya di daerah Krawang Selatan, sungai membentuk pola dendritik, disebabkan oleh sifat batuan yang dilaluinya, yakni Formasi Subang, yang tidak berlapis dan monoton (Martodjojo, 1984). 2.2. Stratigrafi Regional Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi tiga mandala sedimentasi, yaitu: - Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona Dataran Pantai Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian Barat oleh van Bemmelen (1949). Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal dengan ketebalan sedimen dapat mencapai 1500 m. 7

- Mandala Sedimentasi Banten hanya diketaui dari sedikit data. Pada Tersier Awal, mandala ini cenderung menyerupai Mandala Paparan Kontinen, sedangkan pada saat Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati Mandala Cekungan Bogor. - Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen Utara. Pada pembagian zona fisiografi Jawa Barat van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala ini merupakan mandala sedimentasi yang dicirikan oleh endapan aliran gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit, basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalan sedimen diperkirakan lebih dari 1700 m. Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian terletak pada Mandala Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984) mengalami perubahan dari waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier Kuarter. Mandala ini terdiri dari tiga siklus pengendapan. Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam, kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi sedimen laut dangkal, dan yang terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus pertama dan kedua sedimen berasal dari utara, sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Lebih lanjut, Martodjojo (1984) telah membuat penampang stratigrafi terpulihkan utara-selatan di Jawa Barat (Gambar 2.2). Menurut Martodjojo (1984), Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks batuan yang terdiri dari batuan beku dan metamorf yang berumur Kapur sampai Eosen Awal yang merupakan batuan tertua pada mandala ini. Kompleks batuan tersebut adalah melange yang merupakan suatu prisma akresi sejak Kapur sampai Eosen. Di sebelah selatan cekungan, Mandala Cekungan Bogor didasari oleh kompleks melange yang berumur Kapur sampai Eosen. Di atas kompleks melange tersebut diendapkan Formasi Ciletuh yang diperkirakan berumur Eosen Awal dan merupakan endapan laut dalam (pond deposit) dengan litologi berupa lempung dan pasir kuarsa dengan sisipan breksi, kaya fragmen batuan metamorf dan beku ultrabasa. Di atas Formasi Ciletuh diendapkan Formasi Bayah secara selaras yang tersusun dari batupasir kuarsa dan batulempung dengan sisipan batubara. Formasi yang terendapkan pada lingkungan darat sampai laut dangkal ini diperkirakan berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir. Puncak pendangkalan di sebagian atau seluruh Pulau Jawa diperkiraan terjadi bersamaan dengan pembentukan Formasi Bayah. 8

Bentang Bojonglopang Cimandiri = Kisaran Umur = Daerah Penelitian Gambar 2.2. Penampang Stratigrafi Utara-Selatan Jawa Barat (Martodjojo, 1984). Daerah penelitian terletak di sebelah timur penampang stratigrafi pada gambar ini. Hanya sebagian daerah penelitian yang terlihat yakni Formasi Cibulakan. Dan Formasi Batuasih diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Bayah. Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen Awal. Ciri litologi formasi ini adalah lempung napalan dengan sisipan pasir kuarsa. Pada beberapa horizon terdapat napal yang kaya foraminifera plankton, foraminifera bentos, dan juga moluska. Bagian teratas dari Formasi Batuasih lebih bersifat gampingan dan mengandung lensa-lensa gamping kalkarenit. Dari ciri batuannya dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah transisi sampai laut dangkal. Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal diendapkan Formasi Rajamandala, yang memiliki nama lain berupa Batugamping Tagogapu (Leopold dan van der Vlerk, 1931 op cit. Martodjojo, 1984) dan Satuan Gamping Terumbu (Effendi, 1974 op cit. Martodjojo, 9

1984). Bagian bawah formasi ini memiliki hubungan menjemari dengan Formasi Batuasih dan keduanya terletak tidak selaras di atas Formasi Bayah, tetapi di Teluk Bayah formasi ini tidak ditemukan. Formasi ini hanya terdiri dari gamping yang kadang-kadang berkembang sebagai terumbu. Penyebaran dari satuan ini hanya terdapat pada jalur tertentu, memanjang dari Citarate di Bayah-Sukabumi, dan menerus ke Rajamandala, sehingga disimpulkan pada waktu Formasi Rajamandala diendapkan, daerah poros Citarate-Sukabumi-Rajamandala merupakan pinggir dari suatu cekungan, berbatasan dengan daratan di selatan Ciletuh. Dari sistem terumbu yang ada menunjukkan arah laut terbuka ke utara (Martodjojo, 1984). Sejak Miosen Awal sampai Miosen Akhir di Cekungan Bogor diendapkan endapan aliran gravitasi. Pada Miosen Awal, di daerah selatan diendapkan Formasi Jampang yang terdiri dari breksi dan tuf, sedangkan di utaranya diendapkan Formasi Citarum yang terdiri dari tuf dan greywacke. Kedua satuan ini merupakan satu sistem kipas laut dalam, dengan Formasi Jampang yang merupakan bagian dalam dan Formasi Citarum merupakan bagian luar. Pada Miosen Tengah diendapkan Formasi Saguling berupa breksi yang ditutupi secara selaras oleh Formasi Bantargadung berupa lempung dan greywacke berumur akhir Miosen Tengah. Endapan termuda di Cekungan Bogor berupa breksi, berumur Miosen Akhir, termasuk Formasi Cigadung di bagian Lembah Cimandiri dan Formasi Cantayan di bagian utara cekungan. Di atas Formasi Cantayan diendapkan secara tidak selaras Endapan Vulkanik Plio-Pleistosen hingga Resen (Martodjojo, 1984). Di sebelah utara cekungan, batuan tertua yang dapat diteliti adalah batuan andesit dan tufa berumur Kapur hingga Eosen yang merupakan Formasi Jatibarang (Arpandi dan padmosoekismo, 1975 op cit. Martodjojo, 1984). Di atas formasi ini diendapkan secara tidak selaras Formasi Cibulakan yang berumur Miosen Tengan. Ciri litologi formasi ini adalah berupa serpih karbonan berwarna coklat keabu-abuan dengan sisipan lapisan batubara di bagian bawah, batugamping berwarna putih kotor dengan sisipan serpih dan pasir tipis di bagian tengah, dan pasir gampingan berselang-seling dengan napal dan lempung di bagian atas. Lingkungan pengendapan dari formasi ini berupa laut dangkal. Di daerah Leuwiliang yang terletak di sebelah barat dari sebaran formasi ini, formasi Cibulakan berubah fasies menjadi Formasi Bojongmanik dengan lingkungan pengendapan berupa daerah transisi antara pantai sampai lagoon. Formasi Bojongmanik ini memiliki 10

kisaran umur yang hampir sama dengan Formasi Cibulakan, yakni Miosen Tengah ( N9 N13 ) (Martodjojo, 1984). Di atas Formasi Cibulakan diendapkan secara selaras Formasi Parigi yang berupa satuan batugamping di Jawa Barat. Formasi Subang diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Ciri litologi Formasi Subang berupa lempung berlapis yang semakin keatas berubah menjadi masif dan tak berlapis dan lempung berwarna coklat. Formasi Subang ditutupi secara selaras oleh Formasi Kaliwangu yang umumnya terdiri dari batupasir dan batulempung (Martojojo, 1984). Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian terletak pada Formasi Bojongmanik (Tmb), dan Tuf - Breksi (Tmtb) Secara singkat stratigrafi regional daerah penelitian yaitu: - Formasi Bojongmanik (Tmb) Formasi ini terdiri dari batupasir, tuf batuapung, napal, batugamping, dan batulempung (Effendi, 1998). Menurut Martodjojo (1984), formasi ini memiliki lingkungan pengendapan transisi dari pantai hingga lagoon. Formasi ini berumur MiosenTengah. - Tuf dan Breksi (Tmtb) Satuan batuan ini berumur Miosen Akhir dan diendapkan secara tidak selaras di atas satuan batuan Formasi Bojongmanik (Tmb). Satuan batuan ini terdiri dari litologi berupa tuf batuapung, breksi tufaan fragmen andesit, batupasir tuf, lempung tufaan dengan kayu terkersikkan dan sisa tumbuhan, serta batupasir berlapis silang. 2.3. Struktur Geologi Regional Tatanan tektonik dan struktur geologi di daerah Jawa bagian barat dipengaruhi oleh tektonik kepulauan Indonesia bagian barat yang merupakan produk konvergensi Lempeng Indo-Australia yang relatif bergerak ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang relatif diam (Hamilton, 1979). Berdasarkan rekonstruksi geodinamika (Katili, 1975 op.cit Hamilton, 1979), subduksi lempeng Australia kebawah lempeng Eurasia yang aktif pada Eosen telah menghasilkan sistem busur kepulauan yang dapat diikuti kemenerusannya mulai dari 11

Burma di baratlaut, Andaman, Sumatra, Jawa, sampai ke Lengkong Banda di Indonesia bagian timur (Koesoemadinata, 2001). Aktivitas lempeng yang bekerja sangat berperan dalam membentuk tatanan tektonik suatu daerah, baik dalam membentuk blok-blok ketinggian atau blok-blok depresi yang dapat berubah fungsi menjadi cekungan-cekungan pengendapan. Aktivitas lempeng tersebut menjadi faktor yang sangat penting dalam pembentukkan tatanan struktur dan stratigrafi suatu daerah. Daerah Penelitian Gambar 2.3 Peta Pola Struktur Jawa Barat (Martodjojo, 2003) Terdapat 3 pola struktur dominan yang berkembang di Pulau Jawa berdasarkan Martodjojo (2003), yaitu: a. Pola Meratus berarah timurlaut-baratdaya yang merupakan pola tertua dan terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal). Pola ini diwakili oleh Sesar Cimandiri, Sesar Naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya. Pola Meratus yang dihasilkan oleh tektonik kompresi diduga merupakan arah awal penunjaman lempeng Samudra Indo-Australia ke bawah Paparan Sunda. b. Pola Sunda, berarah utara-selatan yang terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal Oligosen Awal). Pola ini berupa kelurusan Ciletuh Kepulauan Seribu. Pola Sunda dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa regangan ini 12

membentuk horst dan graben yang ditafsirkan terbentuk pada akhir Eosen. Pola ini umumnya terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat. c. Pola Jawa berarah barat-timur merupakan pola struktur termuda yang terbentuk pada Kala Neogen yang mengaktifkan pola sebelumnya dan mengakibatkan Pulau Jawa mengalami pola koompresi dengan tegasan berarah utara-selatan. Pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, sesar-sesar di lembah Cimandiri dan G. Walat. Pada Kala Miosen Awal-Pliosen, Cekungan Bogor yang Kala Eosen Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah menjadi cekungan belakang busur magmatik sehingga terbentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan. Berdasarkan peta pola struktur Jawa barat (Gambar 2.3), daerah penelitian dipengaruhi oleh struktur Pola Jawa dan Pola Sunda. Pola Sunda yang berarah utara selatan ditafsirkan terbentuk pada Kala Eosen, sedangkan Pola Jawa yang berarah barat timur ditafsirkan terbentuk pada Neogen. 13