BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN & PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) LAPORAN AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

1. BAB I PENDAHULUAN. Jahe (Zingiber officinale) dan kunyit (Curcuma longa) merupakan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. impor yang serba mahal dan sebagainya. Mulai era 2000an pelan-pelan manusia

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

AGRIBISNIS TANAMAN OBAT

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Good Agricultural Practices

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Ekonomi Pertanian di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN PANGAN BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN TOROH, KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

Transkripsi:

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN & PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) 592478 LAPORAN AKHIR KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DI KABUPATEN JEPARA Tahun Anggaran 2017

KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas tersusunnya laporan akhir dari proses pelaksanaan pekerjaan Kajian Potensi Pengembangan Biofarmaka Di Kabupaten Jepara. Buku laporan tahap akhir berisikan tentang latar belakang, maksud, tujuan, dan sasaran penyusunan laporan, telaah literatur, gambaran umum kabupaten Jepara dan profil potensi biofarmaka, analisis potensi dan strategi pengembangan biofarmaka serta pemberdayaannya. Dengan terselesaikannya buku laporan akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan tanaman biofarmaka di Kabupaten Jepara. Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya laporan ini, diucapkan terima kasih. Jepara, November 2017 Penyusun i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iv vi BAB 1 PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Maksud, Tujuan dan sasaran... I-5 1.2.1. Maksud... I-5 1.2.2. Tujuan... I-5 1.2.3. Sasaran... I-5 1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan... I-5 1.4. Dasar Hukum... I-7 1.5. Keluaran... I-7 1.6. Sistematika Penulisan... I-7 BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN... II-1 2.1. Kajian Teori... II-1 2.1.1. Pembangunan Agribisnis... II-1 2.1.2. Zona Agroekologi... II-3 2.1.3. Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya... II-6 2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu... II-10 2.2. Kerangka Pikir Kajian... II-27 2.3. Metode kajian... II-28 BAB III GAMBARAN UMUM JEPARA & KAJIAN KEBIJAKAN... III-1 3.1. PROFIL WILAYAH... III-1 3.1.1. Letak Geografis... III-1 3.1.2. Karakteristik Fisik Alam... III-4 3.1.3. Administrasi... III-16 3.1.4. Kependudukan... III-17 3.1.5. Sosial Budaya... III-20 3.1.6. Pendidikan... III-21 3.1.7. Kesehatan... III-21 3.1.8. Agama... III-22 3.1.9. Perekonomian... III-23 3.1.10. Produk Domestik Regional Bruto... III-23 3.2. PROFIL POTENSI... III-26 3.2.1. Gambaran Umum Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara... III-26 3.2.2. Gambaran Umum Biofarmaka... III-31 3.2.3. Tanaman Biofarmaka yang didata di Jepara... III-33 3.3. KAJIAN KEBIJAKAN... III-74 3.3.1. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan... III-74 3.3.2. UU No 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura... III-75 ii

3.3.3. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029... 3.3.4. Perda Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031... 3.3.5. RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 (Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007)... III-83 III-87 III-94 BAB IV ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN.. IV-1 4.1. Identifikasi Potensi... IV-2 4.1.1. Identifikasi Potensi Pertanian... IV-2 4.1.2. Identifikasi Wilayah Potensial Biofarmaka... IV-6 4.1.3. Identifikasi Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha Pertanian Biofarmaka IV-36 4.1.4. Identifikasi Persoalan Agribisnis Biofarmaka... IV-38 4.2. Zona Agroekologi Kabupaten Jepara... IV-41 4.3. Analisis Potensi... IV-54 4.3.1. Kondisi Eksisting dan Analisis Produktivitas Budidaya Biofarmaka IV-54 4.3.2. Analisis Rantai Nilai... IV-62 4.3.3. Analisis SWOT... IV-65 4.4. Prospek Potensi Dan Arah Pengembangan... IV-67 4.4.1. Prospek potensi Pasar... IV-67 4.4.2. Prospek potensi budidaya... IV-68 4.4.3. Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan... IV-83 BAB V STRATEGI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DAN PEMBERDAYAANNYA... V-1 1. Kelembagaan... V-1 2. SDM... V-1 3. Teknologi dan Pengembangan Usaha... V-2 4. Pembiayaan... V-4 5. Promosi dan pemasaran... V-4 6. Kemitraan... V-4 DAFTAR PUSTAKA iii

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara dan Jawa tengah... I-4 Tabel 2.1 Matriks SWOT II-32 Tabel 3. 1 Ketinggian Permukaan Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Jepara Tabel 3. 2 Banyaknya Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kabupaten Jepara III-9 Tabel 3. 3 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016... III-14 Tabel 3. 4 Jumlah Kecamatan, Luas, Desa/Kelurahan, RW dan RT... III-16 Tabel 3. 5 Penduduk Menurut Kelompok Umur Dirinci Per Jenis Kelamin Di Kabupaten Jepara 2016... III-17 Tabel 3. 6 Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Jepara 2016... III-18 Tabel 3. 7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Jepara 2011-2016 III-20 Tabel 3. 8 Jumlah Sekolah dan Siswa Menurut Jenjang Pendidikan... III-21 Tabel 3. 9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Tahun 2016... III-22 Tabel 3. 10 PDRB Kabupaten Jepara ADHB Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun 2012 2016... III-24 Tabel 3. 11 PDRB Kabupaten Jepara ADHK Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun 2012 2016... III-25 Tabel 3. 12 Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013 Menurut Kecamatan dan Cakupan Usaha... III-27 Tabel 3. 13 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016... III-29 Tabel 3. 14 Kelompok Tanaman Biofarmaka... III-31 Tabel 3.15 Impor Tanaman Obat Tahun 2014-2015... III-32 Tabel 3.16 Ekspor Tanaman Obat Tahun 2014-2015... III-32 Tabel 3.17 Luas Panen Tanaman Dlingo/Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-33 Tabel 3. 18 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Tabel 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-36 Tabel 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-38 Tabel 3. 21 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-39 Tabel 3. 22 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-41 Tabel 3. 23 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-42 Tabel 3. 24 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-44 Tabel 3. 25 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-45 Tabel 3. 26 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-47 Tabel 3. 27 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-49 III-4 III-35 iv

Tabel 3. 28 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara(Ha)... III-50 Tabel 3. 29 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-52 Tabel 3. 30 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-53 Tabel 3. 31 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel 3. 32 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-56 Tabel 3. 33 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-58 Tabel 3. 34 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-59 Tabel 3. 35 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel 3. 36 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel 3. 37 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-64 Tabel 3. 38 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-65 Tabel 3. 39 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-66 Tabel 3. 40 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-68 Tabel 3. 41 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-69 Tabel 3. 42 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-70 Tabel 3. 43 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-72 Tabel 3. 44 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-73 Tabel 4. 1 Potensi Unggulan, Andalan Dan Potensial Sektor Pertanian... IV-4 Tabel 4. 2 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik... IV-6 Tabel 4. 3 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik... IV-35 Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kelompok Poktan... IV-37 Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Jenis Usaha Kelompok Tani... IV-37 Tabel 4. 6 Luas Lahan Sawah dan Jumlah Anggota Poktan... IV-38 Tabel 4.7 Sebaran bentuk lahan, Bahan Induk dan Luas... IV-41 Tabel 4.8 Sebaran bahan induk tanah di Kabupaten Jepara... IV-43 Tabel 4.9 Sebaran kelas kemiringan lahan di Kabupaten Jepara... IV-44 Tabel 4.10 Sebaran tekstur tanah di Kabupaten Jepara... IV-45 Tabel 4.11 Sebaran drainase tanah di Kabupaten Jepara... IV-45 Tabel 4. 12 Satuan Unit (SUL) Zona Agroekologi di Kabupaten Jepara dan tanaman Biofarmaka yang cocok... IV-47 Tabel 4. 13 Potensi Kecocokan Jenis Tanaman Biofarmaka berdasarkan Kecamatan... IV-52 III-55 III-61 III-62 v

DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis (Siregar, 2006)... II-2 Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka.. II-6 Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni Bahan Obat... II-8 Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional... II-9 Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar... II-10 Gambar 2. 6 SOP Simplisia Rimpang (Rizhoma)... II-21 Gambar 2. 7 SOP Simplisia Daun... II-22 Gambar 2. 8 SOP Simplisia Bunga... II-23 Gambar 2. 9 SOP Simplisia Buah... II-24 Gambar 2. 10 SOP Simplisia Biji... II-25 Gambar 2. 11 SOP Simplisia Akar... II-25 Gambar 2. 12 SOP Simplisia Kayu dan Kulit Batang... II-26 Gambar 2. 13 SOP Bubuk/Serbuk... II-27 Gambar 2. 14 Kerangka Pemikiran... II-28 Gambar 2. 15 Desain Matrik Metode Campuran... II-30 Gambar 3. 1 Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah... III-2 Gambar 3. 2 Peta Kabupaten Jepara... III-3 Gambar 3. 3 Peta Kemiringan Lereng... III-8 Gambar 3. 4 Peta Curah Hujan Kabupaten Jepara... III-10 Gambar 3. 5 Peta Jenis Tanah... III-12 Gambar 3. 6 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Jepara... III-15 Gambar 3. 7 Kepadatan penduduk masing-masing Kecamatan di Kabupaten Jepara... III-19 Gambar 3. 8 Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha Gambar 3. 9 Unit usaha Industri Kecil Menengah di Kecamatan di Kabupaten Jepara... III-26 Gambar 3. 10 Penyebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Gambar 3. 11 Luas Lahan Tanah Sawah dan Tanah Kering... III-30 Gambar 3. 12 Luas Lahan Tanah Sawah... III-30 Gambar 3. 13 Luas Lahan Tanah Kering... III-30 Gambar 3. 14 Luas Panen Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-34 Gambar 3. 15 Luas Panen Tanaman Dringo (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-34 Gambar 3. 16 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-35 Gambar 3. 17 Luas Panen Tanaman Jahe (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-36 Gambar 3. 18 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-37 Gambar 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-37 Gambar 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di III-23 III-28 vi

Kabupaten Jepara (Ha)... III-38 Gambar 3. 21 Luas Panen Tanaman Kejibeling (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-39 Gambar 3. 22 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-40 Gambar 3. 23 Luas Panen Tanaman Kencur (Ha) di Kab. Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-40 Gambar 3. 24 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-41 Gambar 3. 25 Luas Panen Tanaman Kunyit (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-42 Gambar 3. 26 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-43 Gambar 3. 27 Luas Panen Tanaman Laos (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-43 Gambar 3. 28 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-44 Gambar 3. 29 Luas Panen Tanaman Lempuyang (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-45 Gambar 3. 30 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-46 Gambar 3. 31 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-46 Gambar 3. 32 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon)... III-48 Gambar 3. 33 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-48 Gambar 3. 34 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon)... III-49 Gambar 3. 35 Luas Panen Tanaman Mengkudu (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-50 Gambar 3. 36 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-51 Gambar 3. 37 Luas Panen Tanaman Temuireng (ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-51 Gambar 3. 38 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-52 Gambar 3. 39 Luas Panen Tanaman Temukunci (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-53 Gambar 3. 40 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-54 Gambar 3. 41 Luas Panen Tanaman Temulawak (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-54 Gambar 3. 42 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-56 vii

Gambar 3. 43 Produksi Tanaman Dringo (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-56 Gambar 3. 44 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 45 Produksi Tanaman Jahe (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-58 Gambar 3. 46 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-59 Gambar 3. 47 Produksi Tanaman Kapulaga (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-59 Gambar 3. 48 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-60 Gambar 3. 49 Produksi Tanaman Kejibeling (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-60 Gambar 3. 50 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-61 Gambar 3. 51 Produksi Tanaman Kencur (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-62 Gambar 3. 52 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-63 Gambar 3. 53 Produksi Tanaman Kunyit (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-63 Gambar 3. 54 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 55 Produksi Tanaman Laos (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-65 Gambar 3. 56 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-66 Gambar 3. 57 Produksi Tanaman Lempuyang (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-66 Gambar 3. 58 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-67 Gambar 3. 59 Produksi Tanaman Lidah Buaya (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-67 Gambar 3. 60 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-68 Gambar 3. 61 Produksi Tanaman Mahkota Dewa (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-69 Gambar 3. 62 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-70 Gambar 3. 63 Produksi Tanaman Mengkudu (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-70 Gambar 3. 64 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-71 Gambar 3. 65 Produksi Tanaman Temuireng (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-71 Gambar 3. 66 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-72 III-57 III-64 viii

Gambar 3. 67 Produksi Tanaman Temukunci (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-73 Gambar 3. 68 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-73 Gambar 3. 69 Produksi Tanaman Temulawak (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-74 Gambar 4. 1 Luas Panen Jahe tahun 2010-2017... IV-7 Gambar 4. 2 Produksi Jahe tahun 2010-2017... IV-7 Gambar 4. 3 Luas Panen Laos tahun 2010-2017... IV-8 Gambar 4. 4 Produksi Laos tahun 2010-2017... IV-8 Gambar 4. 5 Luas Panen Kencur tahun 2010-2017... IV-9 Gambar 4. 6 Produksi Kencur tahun 2010-2017... IV-9 Gambar 4. 7 Luas Panen Kunyit tahun 2010-2017... IV-10 Gambar 4. 8 Produksi Kunyit tahun 2010-2017... IV-10 Gambar 4. 9 Luas Panen Lempuyang tahun 2012-2017... IV-11 Gambar 4. 10 Produksi Lempuyang tahun 2012-2017... IV-11 Gambar 4. 11 Luas Panen Temulawak tahun 2010-2017... IV-12 Gambar 4. 12 Produksi Temulawak tahun 2010-2017... IV-12 Gambar 4. 13 Luas Panen Temuireng tahun 2012-2017... IV-13 Gambar 4. 14 Produksi Temuireng tahun 2012-2017... IV-13 Gambar 4. 15 Luas Panen Temukunci tahun 2012-2017... IV-14 Gambar 4. 16 Produksi Temukunci tahun 2012-2017... IV-14 Gambar 4. 17 Produksi Dlingo tahun 2012-2017... IV-15 Gambar 4. 18 Luas Panen Kapulaga tahun 2012-2017... IV-15 Gambar 4. 19 Produksi Kapulaga tahun 2012-2017... IV-16 Gambar 4. 20 Luas Panen Mengkudu tahun 2012-2017... IV-16 Gambar 4. 21 Luas Panen Mahkota Dewa tahun 2012-2017... IV-17 Gambar 4. 22 Produksi Mahkota Dewa tahun 2012-2017... IV-18 Gambar 4. 23 Luas Panen Kejibeling tahun 2012-2017... IV-18 Gambar 4. 24 Produksi Kejibeling tahun 2012-2017... IV-19 Gambar 4. 25 Luas Panen Lidah Buaya tahun 2012-2017... IV-19 Gambar 4. 26 Produksi Lidah Buaya tahun 2012-2017... IV-20 Gambar 4. 27 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%)... IV-21 Gambar 4. 28 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%)... IV-21 Gambar 4. 29 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%)... IV-22 Gambar 4. 30 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%)... IV-22 Gambar 4. 31 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%)... IV-23 Gambar 4. 32 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%)... IV-23 Gambar 4. 33 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%)... IV-24 ix

Gambar 4. 34 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%)... Gambar 4. 35 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%)... Gambar 4. 36 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%)... Gambar 4. 37 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%)... Gambar 4. 38 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%)... Gambar 4. 39 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%)... Gambar 4. 40 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%)... Gambar 4. 41 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%)... Gambar 4. 42 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%)... Gambar 4. 43 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%)... Gambar 4. 44 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%)... Gambar 4. 45 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%)... Gambar 4. 46 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%)... Gambar 4. 47 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%)... Gambar 4. 48 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%)... Gambar 4. 49 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%)... Gambar 4. 50 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%)... Gambar 4. 51 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%)... Gambar 4. 52 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%)... Gambar 4. 53 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%)... Gambar 4. 54 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%)... Gambar 4. 55 Rata-rata Produktivitas Tanaman Biofarmaka Kabupaten Jepara... Gambar 4. 56 Peta Potensi Dringo... Gambar 4. 57 Peta Potensi Jahe... IV-24 IV-25 IV-25 IV-26 IV-26 IV-27 IV-27 IV-28 IV-28 IV-29 IV-29 IV-30 IV-30 IV-31 IV-31 IV-32 IV-32 IV-33 IV-33 IV-34 IV-34 IV-61 IV-69 IV-70 x

Gambar 4. 58 Peta Potensi Kapulaga... Gambar 4. 59 Peta Potensi Kejibeling... Gambar 4. 60 Peta Potensi Kencur... Gambar 4. 61 Peta Potensi Kunyit... Gambar 4. 62 Peta Potensi Laos/Lengkuas... Gambar 4. 63 Peta Potensi Lempuyang... Gambar 4. 64 Peta Potensi Lidah Buaya... Gambar 4. 65 Peta Potensi Mahkota Dewa... Gambar 4. 66 Peta Potensi Mengkudu/Pace... Gambar 4. 67 Peta Potensi Temuireng... Gambar 4. 68 Peta Potensi Temukunci... Gambar 4. 69 Peta Potensi Temulawak... IV-71 IV-72 IV-73 IV-74 IV-75 IV-76 IV-77 IV-78 IV-79 IV-80 IV-81 IV-82 xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah memberikan motivasi bagi setiap daerah untuk menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya seoptimal mungkin termasuk didalamnya sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian daerah di Jepara dalam posisi tiga besar. Pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan sangat menentukan jenis komoditas yang cocok untuk diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Keragaman potensi sumberdaya lahan mengindikasikan perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat, optimal dan berkelanjutan dengan mengacu pada hasil analisis dan informasi potensi sumberdaya lahan yang ada. Zona Agroekologi (ZAE) merupakan suatu konsep penyederhanaan dan pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif dengan menggunakan sistem informasi geografis. Pembangunan pertanian merupakan langkah strategis untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2015 sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen), angka ini mengalami kenaikan sebanyak 0,31 juta jiwa dibandingkan Maret 2014, yaitu jumlah penduduk miskin 28,28 juta jiwa (11,25 persen), hal ini terlihat bahwa secara absolut mengalami kenaikan, tetapi secara relatif mengalami penurunan. Selama periode Maret 2014-Maret 2015, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah 0,14 juta orang, sementara di daerah perdesaan bertambah 0,17 juta orang (BPS Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2015). Sedangkan untuk angka kemiskinan di Kabupaten Jepara pada Bulan September 2014 sebesar 100.484 jiwa (8,55 persen). Angka kemiskinan ini dalam kurun waktu 5 tahun mengalami penurunan, yaitu dari 9,38 persen pada tahun 2012 menjadi 8,50 persen pada tahun 2015 (sumber: paparan wabup). Upaya pencapaian target peningkatan kesejahteraan petani dan nilai I-1

tambah dilakukan melalui berbagai program. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengembangan agibisnis untuk mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan. Pengembangan agribisnis dijabarkan melalui berbagai kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, antara lain Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang (Kemtan, 2010). Produk biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah telah mengembangkan beberapa klaster biofarmaka. Di Jawa Tengah terdapat beberapa klaster biofarmaka antara lain di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Semarang. Sesuai klasifikasi sektor usaha di PDRB, terdapat 20 sektor usaha. Salah satu sektor adalah pertanian, kehutanan dan perikanan, sub sektornya adalah 1) Pertanian, Peternakan, Perburuan & Jasa Pertanian dengan sub sektor 1a) Tanaman Pangan, 1b) Tanaman Hortikultura, 1c) Perkebunan, 1d) Peternakan, 1e) Jasa Pertanian & Perburuan, 2) Kehutanan & Penebangan Kayu, 3) Perikanan. Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya. Kebutuhan dunia akan tanaman obat mencapai 1,2 juta ton per tahun dengan rata-rata kenaikan permintaan mencapai 6%-7% per tahun atau sekitar 80 ribu ton per tahun peningkatannya. Permintaan impor biofarmaka paling banyak berasal dari negara Jepang, Belanda, Jerman, Saudi Arabia dan USA. Pada tahun 2017, ekspor Indonesia telah mencapai 12,15 juta USD dengan negara tujuan I-2

ekspor terbesar adalah India (33%), Bangladesh (16%), Malaysia (9%), Vietnam (7%) dan Korea Selatan (6%). Potensi pasar dalam negeri juga masih terbuka lebar dengan adanya kebiasaan masyarakat Indonesia meminum jamu. Survey perilaku konsumen dalam negeri menunjukkan bahwa 61,3% responden mempunyai kebiasaan meminum jamu tradisional. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa industri obat tradisional (IOT) di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat Tahun 1999 jumlah IOT di indonesia sebanyak 449 industri yang terdiri atas 429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah IOT. Pada tahun 2009 jumlah IOT di Indonesia telah meningkat menjadi 810 buah dengan 723 IKOT dan 87 buah IOT. Industri sebanyak ini mampu menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1,5 trilyun per tahun. Sayangnya permintaan pasar yang besar, belum dapat dipenuhi. Kekurangan pasokan tersebut antara lain disebabkan rendahnya budidaya tanaman obat secara komersial. Petani juga menghadapi permasalahan rendahnya kualitas produk, sementara industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi (Pusat Studi Biofarmaka IPB, 2010). Selain itu, petani juga menghadapi hambatan rendahnya produktivitas dan harga, ketidakpastian pasar, dan lemahnya modal dan daya tawar (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007). Alasan rendahnya produktivitas yaitu belum diterapkannya teknik budidaya anjuran berdasarkan Standard operational procedure (SOP) yang dibakukan (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007), dan belum digunakannya bibit unggul (Departemen Pertanian, 2007). Masalah rendahnya harga yang diterima petani tak bisa dilepaskan dari rantai nilai. Proses transformasi produk dari bahan mentah menjadi barang jadi biasanya melalui rangkaian mata rantai kegiatan yang disebut value chain (rantai nilai) atau supply chain (rantai pasokan). Menurut FAO (2004), rantai nilai tanaman obat seringkali sangat panjang, yang melibatkan petani, tengkulak lokal, pasar grosir regional, pasar grosir besar dan pemasok khusus. Vodouhe dkk (2008) menemukan bahwa distribusi keuntungan kotor diantara para pelaku bisnis tanaman obat tidak merata. Petani, yang merupakan pelaku kunci, justru mendapatkan margin yang terendah I-3

sedangkan tengkulak memperoleh margin tertinggi. Meskipun pasar tanaman obat domestik maupun ekspor sangat menjanjikan, namun supply response (respon pasokan) dari petani belum seperti yang diharapkan karena masih terjadi kesenjangan yang tinggi antara permintaan dan penawaran. Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi industri biofarmaka. Pertama, belum kokohnya sektor industri hulu. Kedua, terdapatnya kebijakan yang berpotensi menghambat pengembangan industri ini. Ketiga, dari sisi pasar, beredarnya obat tradisional ilegal serta produk biofarmaka negara lain dengan tingkat inovasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pengembangan biofarmaka memerlukan strategi integrasi hulu-hilir, kategorisasi kebijakan kawasan industri, peningkatan mutu, pemasaran, dan daya saing untuk pasar domestik dan asing. Kabupaten Jepara memiliki potensi di bidang pertanian yang cukup baik, termasuk di dalamnya komoditas tanaman biofarmaka. Berbagai jenis tanaman biofarmaka hidup dan berkembang di dataran Jepara secara alami. Akan tetapi semua potensi tersebut belum teridentifikasi secara baik, sehingga strategi pengembangannya belum terdokumentasi. Dari analisis pendahuluan yang dilakukan oleh tim, perkembangan tanaman biofarmaka secara statistik, sebagai berikut: Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jenis tanaman biofarmaka Jepara dan Jawa tengah Trend 2008-2013 (persen) Jepara Jawa Tengah Kencur -59,09 69,33 Jahe -52,50 5,79 Kunyit -71,71 3,03 Laos -15,80-4,14 Temulawak -79,72 86,78 Sumber: olah data, 2017 Berdasarkan tabel 1.1, dapat dijelaskan bahwa semua hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara meliputi kencur, jahe, kunyit, laos dan temulawak mengalami trend penurunan yang drastis. Hal yang sebaiknya terjadi untuk jawa tengah yang trendnya mengalami kenaikan. I-4

Berangkat dari permasalahan ini, maka kajian untuk mengembangkan potensi biofarmaka perlu dilakukan. Kajian ini akan menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk menyusun kebijakan strategis daerah terutama yang terkait dengan potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara. 1.2. Maksud, Tujuan dan sasaran 1.2.1. Maksud Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara. 1.2.2. Tujuan Tujuan pekerjaan adalah menyusun dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara. 1.2.3. Sasaran Sasaran pekerjaan ini adalah: 1. Menganalisis potensi sumber daya tanaman biofarmaka yang ada di Jepara 2. Menganalisis zona agroekologi pengembangan budidaya tanaman biofarmaka di Jepara 3. Menganalisis pengembangan pasca panen tanaman biofarmaka yang ada di Jepara 1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan Lingkup kegiatan dalam Kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara adalah sebagai berikut: 1. Persiapan a. Melakukan studi literatur atau review studi yang relevan; b. Pengidentifikasian peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait pembangunan pertanian, khususnya terkait komoditas biofarmaka; c. Pemahaman kebijakan-kebijakan untuk menentukan dasar studi /desain; I-5

d. Menyusun jadual kerja dan kegiatan persiapan lain yang dibutuhkan. 2. Melaksanakan pengumpulan data, baik data primer, data sekunder yang terdiri dari: a. Pengumpulan Data Primer berupa: 1) Inventarisasi potensi tanaman biofarmaka di Kab. Jepara. b. Pengambilan data-data sekunder berupa : 1) Kondisi eksisting budidaya tanaman biofarmaka di Kab. Jepara 2) Identifikasi potensi panen komoditas biofarmaka di Kabupaten Jepara, 3) Data-data lainnya yang relevan. 3. Melakukan analisa dan evaluasi pengembangan budidaya biofarmaka di Kabupaten Jepara. a. Melakukan analisa kebutuhan sarana dan prasana untuk mendukung pengembangan budidaya dan pemanfaatan pasca panen komoditas biofarmaka di Kabupaten Jepara; b. Melakukan analisa dan proyeksi pengembangan komoditas biofarmaka baik ditinjau dari aspek budidaya maupun pemanfaatan pasca panen; 4. Menyusun laporan kegiatan. Penyusunan laporan kegiatan merupakan tahapan akhir dari kegiatan kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara. 1.4. Dasar Hukum 1. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 2. UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 3. UU No. 18 tahun 2002 Tentang Sistem Nasional penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 5. UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman 6. UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura 7. PP RI No. 103 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional I-6

8. Permenkes No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional 9. Permenkes RI No. 006 /2002 tentang Industri dan Obat Tradisional 10. Permenkes RI Mo. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk Menjamin Jamu Aman, Bermutu dan Berkhasiat 11. Perda No 2 Tahun 2007 Tentang RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 12. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 2029 13. Perda No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031 14. Perbup Kab. Jepara No 12 Tahun 2014 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah Kabupaten Jepara 1.5. Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari pelaksanan pekerjaan ini adalah tersedianya hasil kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara. 1.6. Sistematika Penulisan Penulisan Kajian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Pada bagian pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang pentingnya kajian ini, maksud, tujuan, dan sasaran, ruang lingkup, dasar hukum, keluaran, dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teori dan Metode Kajian Pada bab 2 berisi tentang kajian teori, metode pelaksanaan pekerjaan, metode analisis, dan tahapan analisis. Bab III Gambaran Umum Kabupaten Jepara Bab 3 berisi tentang gambaran umum Kabupaten Jepara secara luas, I-7

gambaran umum tanaman biofarmaka di Jepara, dan kajian kebijakan yang berhubungan dengan pekerjaan. Bab IV Analisis Potensi dan Strategi Pengembangan Pada bab 4 berisi tentang Identifikasi Potensi pertanian, identifikasi wilayah potensial tanaman biofarmaka, identifikasi pelaku utama dan pelaku usaha pertanian biofarmaka, identifikasi persoalan agribisnis biofarmaka, zona agroekologi kabupaten jepara, kondisi eksisting dan analisis produktivitas budidaya biofarmaka, analisis rantai nilai, analisis SWOT, prospek potensi dan arah pengembangan. Bab V Strategi Pengembangan Biofarmaka dan Pemberdayaannya Pada bab lima berisi mengenai strategi pengembangan biofarmaka dan pemberdayaannya meliputi kelembagaan, SDM, teknologi dan pengembangan usaha, promosi dan pemasaran, kemitraan. I-8

BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pembangunan Agribisnis Agribisnis merupakan cara baru dalam memandang pertanian yang mempunyai keterkaitan antar sektor (intersektoral) sebagai satu sistem dengan pendekatan bisnis. Agribisnis memperhatikan keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian. Menurut Saragih (1998), sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan jasa layanan pendukung. Subsistem agribisnis hulu meliputi kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (misalnya industri pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian). Subsistem usahatani mencakup kegiatan yang menggunakan barang-barang modal yang dihasilkan subsistem hulu dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Subsistem agribisnis hilir mencakup pengolahan hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap masak, siap saji, atau siap konsumsi, serta perdagangan di pasar domestik dan internasional. Yang terakhir adalah subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir. Keterkaitan antar subsistem dalam sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.1. II-1

Sumber: (Siregar, 2006) Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis Dalam pembangunan sistem agribisnis, keempat subsistem tersebut beserta usaha-usaha di dalamnya harus dikembangkan secara sumultan dan harmonis. Karena itu, tugas manejemen pembangunan adalah mengorkestra perkembangan perkembangan kelima subsistem tersebut secara harmonis. Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu cluster industri. Pembangunan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian melalui penciptaan nilai tambah dan mendorong peningkatan efisiensi usaha (Anonim, 2007). Ada tiga tahap pembangunan agribisnis (Siregar, 2006). Menurut tahapan tersebut, pembangunan agribisnis di Indonesia saat ini masih digerakkan oleh kelimpahan faktor produksi (factor driven) sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik. Peningkatan nilai produksi agregat lebih bersumber pada peningkatan jumlah konsumsi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan produksi akhir berupa produk komoditas primer (agricultural based economy). Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak akan mampu menghadapi kompetisi global yang semakin ketat dan manfaat ekonomi yang dihasilkan relatif kecil. Untuk itu pembangunan agribisnis perlu diarahkan agar dapat berpindah pada II-2

tahap selanjutnya, yaitu pengelolaan komoditas yang digerakkan oleh kekuatan investasi dan pendalaman industri pengolahan (agroindustri) serta industri hulu. Pada tahap ini produk akhir yang dihasilkan berupa produk yang bersifat padat modal dan tenaga terdidik sehingga nilai tambahnya lebih besar dan segmen pasarnya lebih luas. Perekonomian dengan demikian akan berbasis industri agribisnis (agroindustry based economy). Pada tahap pembangunan agribisnis selanjutnya, pembangunan akan didorong oleh inovasi pada setiap subsistem agribisnis yang disertai dengan peningkatan sumberdaya manusia. Ciri tahap ini adalah produktivitas yang tinggi dari lembaga- lembaga penelitian dan pada setiap subsistem agribisnis, sedangkan produk yang dihasilkan didominasi oleh produk berbasis ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik dengan nilai tambah yang tinggi. Pada tahap ini perekonomian akan berbasis teknologi (technology based economy). 2.1.2. Zona Agroekologi Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun keperluan lainnya membutuhkan pemikiran seksama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling optimal. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh, informasi faktor fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi lahan melalui kegiatan evaluasi sumberdaya lahan harus tersedia. Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi biofisik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Keragaman sifat lahan merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan pewilayahan komoditas pertanian. Perencanaan pembangunan pertanian yang berdasarkan pewilayahan akan dapat mengatasi terjadinya persaingan jenis dan produksi komoditas antar wilayah, sehingga peluang pasar akan terjamin. Jenis atau kelompok komoditas II-3

pertanian yang potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah perlu memperhatikan kondisi wilayah setempat. Hal ini disebabkan setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al, 1998). Berbagai langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya lahan secara optimal, antara lain: (a) pengenalan sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan (Budianto, 2001). Produksi pertanian menjadi optimum serta berwawasan lingkungan tercapai apabila lahan digunakan secara tepat dan dengan cara pengelolaan lahan yang sesuai. Djaenudin dkk., (2000) menyatakan bahwa pengembangan komoditas pertanian pada wilayah yang sesuai dengan persyaratan pedoagroklimat tanaman, yang mencakup iklim, tanah, dan topografi, akan memberikan hasil yang optimal dengan kualitas prima. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah aspek manajemen dalam mengelola lahan yang didasarkan pada sifat-sifat lahan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Secara ideal data sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 yang dipergunakan sebagai dasar penilaian kesesuaian lahan dan komoditas pertanian, dapat diperoleh melalui pemetaan sumberdaya lahan tingkat semi detil. Namun demikian, oleh karena membutuhkan waktu dan biaya yang cukup tinggi, maka digunakan pendekatan analisis permukaan lahan (terrain) (Marsoedi dkk., 1996 dan Puslittanak, 2001) dengan memadukan teknik interprestasi foto udara dan atau citra satelit, peta kontur atau peta topografi, serta survei dan verifikasi lapangan. Bahkan saat ini sedang dikembangkan sistem zonasi agroekologi secara digital menggunakan analisis citra satelit (BBSDL, 2013). Konsep zona agroekologi (ZAE) atau agroecological zone (AEZ) adalah II-4

suatu metode penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam kedalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las dkk, 1990). Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah digunakan untuk penentuan zona agroekologi sejumlah tanaman utama di sembilan daerah utama di Asia, Afrika dan di Amerika (Sivikumar dan Valentin, 1997). Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar pewilayahan berbagai komoditas pertanian agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan berkelanjutan. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1:50.000 berdasarkan ZAE dilakukan dengan identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologi/ bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam analisis terrain (Van Zuidam, 1986). Pemetaan tanah semi detail yang dapat digambarkan pada peta skala 1: 50.000, dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di tingkat kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994). Penerapan paket rekomendasi teknologi sistem usahatani juga harus didasarkan kepada suatu kajian zona agroekologi (ZAE) secara menyeluruh sehingga akan mempermudah perencanaan dan pengelolaan tanaman (Amien, 2000) serta produksi pertanian yang diperoleh menjadi optimum dan kelestarian sumberdaya lahan tetap terjaga. Pewilayahan komoditas dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan bagi pemerintah daerah, investasi, penentuan teknologi yang tepat guna dan keberlanjutan dalam rangka pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian akan dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif menuju kepada penggunaan lahan dengan jenis komoditas unggulan yang lebih produktif. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam hal penggunaan lahan, maka konversi tata guna lahan harus mengacu kepada rencana tata ruang baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten. Areal yang dipilih harus tercakup pada wilayah yan peruntukkanya sebagai kawasan budidaya pertanian dengan kriteria sektoral dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan atau daya dukung lahan II-5

(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Apabila pemilihan lahan dan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan dapat dilakukan secara benar dan sesuai dengan tujuan program, maka pusat pertumbuhan yang akan menjadi andalan daerah dapat diwujudkan (Haeruman, 2000). 2.1.3. Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya Istilah biofarmaka didefinisikan sebagai sumber daya alam (tumbuhan, hewan dan mikroba) yang mempunyai manfaat obat, makanan fungsional dan suplemen diet (obat dan nutraceuticals) untuk manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungannya. Berdasarkan definisi tersebut, jika dilihat dari kelompok komoditasnya, biofarmaka sangatlah bervariasi dan kaya akan keragaman, yaitu dapat berupa tumbuhan liar hutan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, atau tanaman yang tumbuh di lautan, seperti rumput laut, dan sebagainya. Cakupan yang luas dalam definisi biofarmaka akan menyebabkan usaha pengembangan dan pemanfaatannya melibatkan banyak pihak (multidisiplin). Pelibatan berbagai disiplin ilmu dan keahlian dapat dimulai dari pencarian sumber biofarmaka, bagaimana membudidayakan, menentukan komponen kimia dan khasiatnya, serta bagaimana mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dikonsumsi. Konservasi sumberdaya hutan, biologi, kelautan (etnobotani, etnofarmasi, m ikroba, produk laut dan lain-lain Budidaya pertanian, tanah (Studi SOP, agrobiofisik dan lain-lain) BIOFARMAKA Kimia (Purifikasi senyawa kimia dan lain-lain) Teknologi pertanian, social ekonomi (Pascapanen, pengolahan, pemasaran dan lain-lain Biokimia, Farmasi, Kedokteran Hewan (Uji Keamanan, pengolahan, pemasaran dan lain-lain) Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka II-6

Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka yang berbasis invensi dan inovasi, yaitu: (l) Komoditas biofarmaka untuk sumber keragaman senyawa kimia bahan obat; (2) Komoditas biofarmaka untuk produk langsung dari kearifan tradisional (etnofarmasi); (3) Komoditas biofarmaka untuk produk dari aturan legal. Tiap pendekatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka memiliki karakteristik masingmasing baik ditinjau dari segi dana, waktu, teknologi maupun keuntungan yang akan didapatkan. 1. Pendekatan Pertama: Komoditas Biofarmaka untuk Sumber Keragaman Senyawa Kimia Bahan Obat Produk biofarmaka yang dihasilkan melalui pendekatan ini merupakan suatu senyawa kimia murni untuk dijadikan obat dalam industri farmasi. Produksinya dalam skala besar akan tergantung pada kerumitan dan kelimpahan struktur kimia yang didapatkan, apakah dibuat dalam proses sintesis lab jika bentuknya tidak rumit atau diambil melalui proses pemurnian dari ekstrak jika struktur kimia yang berkhasiat sangat rumit. Waktu yang sangat panjang (10-15 tahun) dan dana yang besar dibutuhkan untuk pendekatan ini. Tahapan yang harus dilakukan sampai mendapatkan senyawa kimia murni berkhasiat ditunjukkan pada Gambar dibawah ini. II-7

BIODIVERSITY RESOURCES a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND a. Chromatoghraphy b. Crystalization STRUCTURE EDUCATION NMR, IR, MS, and X-Ray PATENT APPRECIATION PUBLIVATIONS DRUG DEVELOPMENT (Industry) IN VIVO ASSAYS BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv Diversity c. Search of New Species LARGE SCALE MANAGEMENT a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement BIOLOGICAL ACTIVITY a. Cardiova scular b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity d. Aphrosidiac e. Diabetic f. Hepatoprotector g. Rheumatic SELECTION OF BIOACTIVE COMPOUNDS DRUG FORMULATION and DELIVERY Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni Bahan Obat 2. Pendekatan Kedua : Komoditas Biofarmaka untuk Produk Langsung dari Kearifan Tradisional (Etnofarmasi) Bentuk produk yang dihasilkan melalui pendekatan ini adalah produk simplisia yang dikemas secara artistik dan modern dengan tetap mengedepankan prinsip quality, efficacy, dan safety. Produk yang dikembangkan melalui pendekatan ini tidak memerlukan waktu yang lama dan dana yang besar dalam proses pengembangannya. Penekanan lebih dilakukan pada pencarian teknologi bagaimana mengemas dan menampilkan produk sehingga lebih menarik. Inovasi dan invensi lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghasilkan simplisia II-8

yang terstandar baik melalui standarisasi teknik budidaya (misal dengan sistem organik) maupun standarisasi metode pascapanen. Hasil dari metode budidaya dan pascapanen yang terstandar ini, selain dikemas dalam bentuk produk kemasan kecil artistik tradisional tetapi juga simplisia dalam jumlah besar dapat disediakan untuk mensuplai industri farmasi lain sehingga dapat berperan sebagai Simplisia Center. Simplisia Center ini juga menjadi pendukung bagi dua pendekatan lainnya. Kajian etnobotani dan etnofarmasi Komoditas biofarmaka Budidaya (in situ, domestifikasi) SOP budidaya dan pascapanen (organic farming dll) Simplisia center Produk tradisional yang dikemas menarik Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional 3. Pendekatan Ketiga : Komoditas Biofarmaka untuk Produk dari Aturan Legal Terdapat beberapa jenis produk legal dalam kategori biofarmaka yaitu jamu, ekstrak herbal terstandar, fitofarmaka dan suplemen/nutraceutical. Produksi dari produk dengan pendekatan ketiga ini harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh institusi berwenang seperti BPOM, baik untuk kebutuhan dasar ilmiah produk maupun cara produksinya. Selain untuk kebutuhan manusia, karena kompetensi IPB, pengembangan produk dengan pendekatan ketiga ini juga dapat dilakukan untuk produk-produk kesehatan hewan atau tumbuhan, misalnya II-9

suplemen asam amino untuk mempercepat pertumbuhan tanaman sawit. Bentuk produk yang dikembangkan dapat berupa kapsul, serbuk instan, ekstrak yang kesemuanya untuk diproduksi sendiri atau dijadikan lisensi agar dapat dibuat oleh industri kecil masyarakat, atau bentuk produk dengan teknologi tinggi yang diproduksi sendiri melalui proses mikroenkapsulasi atau metode lainnya. Tahapan yang dilakukan untuk pendekatan ketiga ini tidak selama maupun semahal pada pendekatan pertama. Pencarian senyawa kimia dilakukan pada pendekatan ini hanya diarahkan untuk mendapatkan senyawa penciri sebagai marker pada proses standarisasi atau dapat pula proses standarisasinya berdasarkan pada adanya sidik jari ekstrak dari pola HPLC, TLC atau Spektra. BIODIVERSITY RESOURCES a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND a. Chromatoghraphy b. Crystalization Finger Print (HPLC, TLC, Spectra Ete) Marker Compound Standardized Extracts, Phytopharmaca (plus clinical BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv Diversity c. Search of New Species LARGE SCALE MANAGEMENT a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement BIOLOGICAL ACTIVITY a. Cardiova scular b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity d. Aphrosidiac e. Diabetic f. Hepatoprotector IN VIVO ASSAYS DRUG FORMULATION and DELIVERY Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar 2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu Sediaan bahan alam memberikan andil yang cukup besar terhadap II-10

kesehatan manusia tidak saja dalam hal melakukan suatu tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap suatu penyakit akan tetapi juga dalam hal menjaga kebugaran dan meningkatkan stamina tubuh. Selain itu dengan bergesernya konsep tentang kecantikan maka sediaan bahan alam juga banyak dimanfaatkan untuk mempercantik penampilan seseorang. Pencapaian tujuan penggunaan sediaan bahan alam ini tergantung pada tersedianya suatu bahan alam yang bermutu. Ada dua alternatif pemakaian bahan alam untuk membuat sediaan ini yakni mengambil dari alam dan diolah dalam keadaan segar menjadi suatu bentuk sediaan siap pakai atau berasal dari simplisia yakni bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun selain dikeringkan. Simplisia yang dipilih untuk suatu bahan pengobatan dapat berupa simplisia nabati berbentuk tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudatnya; simplisia hewani berbentuk utuh, bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang mempunyai efek pengobatan dan atau simplisia pélican (mineral yang belum atau sudah diolah secara sederhana). Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat dapat merujuk pada syarat baku mutu yang tertera dalam Materia Medika Indonesia. Baku mutu meliputi kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut air dan etanol dan bahan organik asing serta kemurnian yang diberikan dalam pemerian makro maupun mikroskopis. Persyaratan simplisia yang sedang dirintis oleh Departemen Pertanian ialah menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan dalam SNI ini juga menggunakan rujukan dari Materia Medika Indonesia dan standar WHO untuk Herbal. Simplisia yang beredar dipasaran dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan baku mutu, bisa berubah menjadi suatu simplisia yang kwalitasnya tidak sesuai dengan standar sehingga tujuan penggunaan obat bahan alam tidak tercapai atau bahkan mungkin bisa membahayakan. Perubahan kualitas simplisia bisa terjadi karena penanganan yang tidak baik dalam hal penyimpanan, pendistribusian maupun kemasan yang digunakan. Mutu dan keamanan (quality and safety) produk biofarmaka, seperti simplisia sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu mutu bahan baku II-11

(rimpang, batang, daun, akar, tanaman) dan teknologi pasca panen tanaman obat yang digunakan. Bahan baku yang bermutu sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan GAP (Good Agricultural Practices). Teknologi pasca panen tanaman obat di Indonesia pada dasarnya telah tersedia tetapi implementasinya di masyarakat masih sangat rendah. Masalah implementasi yang rendah tersebut pada dasarnya adalah alih teknologi yang terhambat. Produk tanaman obat berkhasiat atau produk biofarmaka dapat dikelompokkan menjadi pangan fungsional dan suplemen. Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Sedangkan suplemen adalah nutraceuticals yang mengandung komponen bioaktif, disajikan bukan dalam bentuk pangan tetapi dalam bentuk tablet, kapsul atau serbuk dengan dosis komponen bioaktif yang digunakan lebih tinggi dari jumlah yang dapat diperoleh dari konsumsi pangan secara normal. Penggunaan obat tradisional atau rempah-rempah untuk tujuan preventif dan atau kuratif harus memenuhi syarat aman, manfaat dan mutu. Aman berarti bahwa bahan tersebut tidak akan menimbulkan efek yang merugikan (efek toksik) bagi tubuh. Sedangkan syarat manfaat dan mutu mengandung arti bahwa dalam bentuk penggunaannya (bentuk sediaan) yang baik (berkualitas), bahan tersebut mempunyai khasiat yang dikehendaki secara optimal. Keamanan pada penggunaan bahan rempah-rempah atau obat tradisional menyangkut segi toksisitas dan efek lain yang tidak dikehendaki dari bahan itu sendiri maupun dari akibat pengolahan atau penanganan bahan dari tumbuhan sumber bahan menjadi sediaan jadi. Akibat yang tidak dikehendaki yang dapat berasal dari tumbuhan itu sendiri atau dari kontaminan yang berupa tumbuhan toksik, mikroorganisme atau toksin mikroba, pestisida atau bahan fumigan radioaktif, bahan mineral toksik (logam berat), bahan atau senyawa kimia sintetik dan bahan obat dari hewan yang ditambahkan atau senyawa yang mempunyai efek karsinogenik atau mutagenik. Pengembangan obat tradisional dari bahan alam pada prinsipnya mengacu II-12

pada praktek GAP (Good Agricultural Practices) untuk memperoleh bahan bakunya dan GMP (Good Manujacturing Practices) untuk penanganan dan pengolahan pasca panennya menjadi obat tradisional. GMP disebut pula CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik). Obat (tradisional) yang dihasilkan memenuhi tiga syarat seperti yang telah diuraikan di atas yaitu aman, manfaat dan mutu. 1. Pemilihan Bahan Baku Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan tanaman berkhasiat obat adalah sebagai berikut: a. Daun, dipetik sewaktu tumbuhan mulai berbunga, daun dapat dipetik untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat. b. Buah, pada umumnya yang dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah buah yang telah masak. c. Bunga, untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, sebaiknya bunga diambil sebelum mekar secara sempurna. d. Umbi, rimpang dan akar, dapat diambil untuk bahan obat ketika proses pertumbuhannya telah sempurna. Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda - beda antara lain tergantung pada: a. Bagian tanaman yang digunakan untuk simplisia b. Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen c. Waktu panen d. Lingkungan tempat tumbuh Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif (metabolit sekunder) dalam tanaman yang dipanen. Dengan demikian sebaiknya panen dilakukan pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif II-13

dalam jumlah terbesar. Tanaman yang dipanen dijamin tidak tercampur dengan tanaman lain ataupun yang semarga. Bagian tanaman yang dipanen harus dijamin bahwa bagian tersebut tidak tercampur bagian tanaman yang lain yang mengandung komponen bioaktif yang berbeda kuantitas dan kualitasnya. Untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian dapat diperoleh ekstrak terstandar dari suatu fitofarmaka. Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia yang sepernuhnya murni, kadang- kadang terdapat bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang kecil. Oleh karena itu sebelum membuka kemasan simplisia perhatikan apakah kemasannya masih bagus atau tidak. Kemudian perhatikan dalam simplisia tersebut apakah ada : (l) Cemaran berupa serangga; (2) Cemaran berupa fragmen hewan atau kotoran hewan; (3) Lendir dan cendawan atau kotoran lain yang beracun dan berbahaya; dan (4) Kemurnian simplisia. 2. Pembuatan Simplisia Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut: pemilihan/ pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu. a. Sortasi basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan asing lainnya dari simplisia. Misalnya simplisa yang terbuat dari akar suatu tanaman obat, sering tercampuri oleh bahan-bahan asing seperti : tanah, krikil, rumput, batang, ranting atau daun yang telah rusak. Bahan-bahan asing tersebut harus dipisahkan dan dibuang. Seperti diketahui tanah mengandung bermacam- macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian, perlu dilakukan pembersihan tanah yang terikat, sehingga mikroba awal dapat dikurangi jumlahnya. b. Pencucian Pencucian dengan menggunakan air bersih, misalnya air dari sumur, II-14

mata air atau PAM, untuk memisahkan kotoran yang melekat pada bahan baku simplisia. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, maka pencucian sebaiknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pembersihan/pencucian mengikuti prinsip sanitasi yang baik, baik dari segi sarana prasarana pencucian maupun pekerjanya. Pencucian bahan baku (tanaman maupun bagian tanaman) menggunakan air bersih dan mengalir. Kualitas air pencuci dan pekerja perlu diperhatikan karena pencucian yang tidak benar dapat menyebabkan tingginya kontaminan. Tangan pekerja hendaknya dicuci terlebih dahulu dengan sabun atau larutan desinfektan yang diijinkan. Apabila bahan baku tersebut akar atau rimpang yang diperoleh dari dalam tanah, maka selain kontaminan berupa * tanah dan logam berat (fisik dan kimia) juga yang sangat berbahaya adalah kontaminan spora bakteri. Spora bakteri dalam tanah berasal dari bakteri-bakteri tanah yang telah diketahui beberapa tahan panas, sehingga perlakuan pendahuluan. berupa pencucian yang benar merupakan syarat utama. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Bakteri yang banyak terkandung dalam air pencuci bahan simplisia antara lain : Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan Escherichia. Pada simplisia buah atau batang dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba terdapat pada permukaan bahan simplisia. c. Perajangan Beberapa jenis bahan simplisa perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses berikutnya yaitu : pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat proses penguapan air, sehingga dapat mempercepat waktu pengeringan. Namun demikian, irisan yang terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, rasa, dan bau II-15

yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia yang mengandung minyak atsiri, perlu dihindari perajangan yang terlalu tipis. Perlu diusahakan agar selama perajangan dilakukan dalam keadaan tetap bersih sehingga jumlah mikroba tidak berubah. Penjemuran sebelum perajangan sebaiknya dilakukan untuk mengurangi timbulnya pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dengan logam pisau (alat perajang). d. Pengeringan Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu lebih lama, yaitu dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik yang berlangsung di dalam sel simplisia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dalam sel yang kurang dari 10% sudah dapat menghentikan proses enzimatik. Oleh sebab itu, dengan pengeringan akan dapat dicegah penurunan mutu atau rusaknya simplisia. Untuk simplisia tertentu proses enzimatik ini justru dikehendaki setelah pemetikan/pengumpulan. Dalam hal ini sebelum proses pengeringan, bagian tanaman yang dipanen dibiarkan pada suhu dan kelembaban tertentu agar reaksi enzimatik dapat berlangsung. Cara lain dapat pula dilakukan dengan pengeringan perlahan-lahan agar reaksi enzimatik tetap berlangsung selama proses pengeringan. Dalam hal ini proses enzimatik masih diperlukan, karena senyawa aktif yang dikehendaki masih dalam ikatan kompleks dan baru dipecahkan dari ikatan kompleksnya oleh enzim tertentu dalam suatu reaksi enzimatik setelah tanaman itu mati. Contohnya simplisia ini antara lain adalah vanili (Vanilla fragrans) dan biji cola (Cola nítida). Dalam proses pengeringan tumbuhan berkhasiat obat tertentu juga dapat dicampur dengan madu, cuka beras atau jahe. Caranya, tumbuhan berkhasiat obat yang telah kering disangrai bersama bahan campuran yang ingin digunakan, misalnya madu, cuka beras ataupun jahe, setelah disangrai, tumbuhan berkhasiat obat yang telah dicampur dijemur kembali. Hal ini II-16

umumnya dilakukan dengan tujuan agar tumbuhan berkhasiat obat lebih efektif atau menetralkan toksin yang ada dalam tumbuhan. Cara lain untuk mengurangi toksin dari tumbuhan berkhasiat obat adalah dengan merendam tumbuhan tersebut selama beberapa hari sambil diganti airnya secara kontinyu, setelah proses perendaman tadi, tumbuhan obat tersebut dikeringkan dan siap digunakan. Pada jenis bahan simplisia tertentu, setelah panen langsung dilakukan pengeringan. Proses ini dilakukan pada bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang mudah menguap. Penundaan proses pengeringan bahan simplisia ini akan menurunkan kadar senyawa aktifnya yang berarti dapat menurunkan mutu simplisia. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah : suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan yang dikeringkan. Faktor-faktor tersebut sangat penting pengaruhnya agar didapatkan simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan yang kurang benar dapat mengakibatkan terjadinya face hardening" yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih belum kering. Hal ini dapat terjadi akibat dari rajangan bahan simplisia yang terlalu tebal ataupun suhu pengeringan terlalu tinggi, mengakibatkan penguapan air permukaan bahan lebih cepat dari pada difusi air dari dalam permukaan. e. Sortasi kering Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir dalam pembuatan simplisia. Tujuan sortasi ini untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak dikehendaki dan kotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus dan disimpan. f. Pengemasan dan penyimpanan II-17

Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena berbagai faktor luar dan dalam, antara lain : 1. Cahaya Sinar dengan panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan perubahan kimia pada simplisia isomerasi, polimerasi, dll. 2. Oksigen udara Senyawa tertentu di dalam simplisia dapat mengalami perubahan kimiawi oleh pengaruh oksigen udara yang menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Perubahan ini dapat berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya yang berbentuk cair, berubah menjadi kental, padat, mengkristal, dll. 3. Reaksi kimia intern Perubahan kimiawi dalam simplisia dapat disebabkan oleh reaksi intern misalnya oleh enzim, polimerasi, autooksidasi, dan lain-lain. 4. Dehidrasi Apabila kelembaban udara di luar lebih rendah dari pada di dalam simplisia, maka secara perlahan-lahan simplisia akan kehilangan sebagian airnya, sehingga semakin lama semakin mengkerut. 5. Penyerapan air Simplisia yang higroskopis, apabila disimpan di dalam wadah terbuka akan menyerap lengas udara sehingga menjadi, kental, basah, atau cair. 6. Pengotoran Pengotoran simplisia dapat disebabkan oleh berbagai sumber, debu atau air, eksresi hewan, bahan asing (misalnya minyak yang tumpah), fragmen wadah (bagian karung goni). 7. Serangga Kerusakan simplisia dapat diakibatkan oleh serangga yang meninggalkan kotoran baik larva ataupun imagonya, atau sisa dari metamorfosanya. 8. Kapang Bila kadar air dalam simplisia terlalu tinggi, maka simplisia dapat II-18

berkapang. Kerusakan yang timbul tidak hanya terbatas pada jaringan simplisia, tetapi juga akan merusak susunan kimia zat yang dikandung, bahkan dari kapangnya dapat mengeluarkan tosin yang mungkin dapat mengganggu kesehatan. Selama penyimpanan, ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran mutu, sehingga simplisia yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh sebab itu, dalam usaha penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu : cara pengepakan, pembungkusan daan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi, dan pemeriksaan mutu, serta pengawetannya. Penyebab utama kerusakan simplisia adalah air dan kelembaban. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama simplisia harus dikeringkan dahulu sampai kadar air tertentu yaitu kadar air yang tidak menyebabkan kerusakan yang merugikan. Simplisia yang berupa korteks, radiks, lignum yang mengandung resin, pada umumnya bersifat kurang menyerap uap air udara dan lebih tahan dalam penyimpanan. Beberapa simplisia folium atau herba kering dapat menyerap uap air udara sekitarnya sampai 10-15% dari bobot bahannya dan bahkan ada yang sampai 30%. Senyawa glikosida tumbuhan yang terdapat di dalam simplisia mudah sekali terurai dengan kadar air 8% atau lebih. Secara umum dapat diambil sebagai pedoman bahwa kadar air dalam simplisia seharusnya tidak tidak lebih dari 5% bobot bahan. Banyak simplisia jika disimpan lama akan berubah warnanya, sehingga kurang menarik. Perubahan ini dapat diakibatkan oleh terjadinya perubahan kimia dalam bahan aktifnya. Di lain pihak, perubahan warna dapat juga diakibatkan oleh cahaya matahari secara langsung. Cahaya matahari ini mengakibatkan kenaikan suhu sehingga dapat mempercepat perubahan susunan kimia senyawa aktif di dalam simplisia. Sebagian dari zat alam mudah teroksidasi oleh oksigen udara menjadi zat-zat teroksidasi. Reaksi II-19

oksidasi berlangsung lebih mudah apabila simplisia mengadung enzim oksidase. Beberapa serangga dan binatang pengerat dapat juga merusak simpanan simplisia. Cara pengemasan simplisia tergantung pada jenis simplisia dan tujuan penggunaan pengemasan. Bahan dan bentuk pengemasan harus sesuai, agar dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia dan menghemat pemanfaatan ruang penyimpanan dan pengangkutan. Wadah harus tidak beracun dan tidak bereaksi (inert) dengan isinya, sehingga tidak terjadi reaksi serta penyimpanan wadah, bau, rasa dan lain-lain pada simplisia. Selain itu, wadah harus melindungi simplisia dan cemaran mikroba, kotoran, serangga yang merusak serta mempertahankan senyawa aktif yang mudah menguap atau mencegah pengaruh sinar, masuknya uap air dan gasgas lain yang dapat menurunkan mutu simplisia. Terutama simplisia yang mengandung vitamin, pigmen dan lemak akan peka terhadap pengaruh cahaya. Untuk keperluan ini wadah/pembungkus dapat digunakan aluminium foil, plastik atau botol berwarna gelap, kaleng dan sebagainya. 9. Pemeriksaan mutu simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembelian. Suatu simplisia dinyatakan bermutu bila simplisia yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam SNI. Pengambilan contoh untuk kepentingan pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara uji petik sehingga contoh tersebut dapat mewakili keseluruhan simplisia yang diperiksa mutunya. Simplisia yang tidak memenuhi syarat SNI misalnya kekeringannya kurang akan ditumbuhi kapang, mengandung lendir, sudah berubah warna atau baunya, berserangga atau termakan serangga. Simplisia seperti ini harus ditolak penerimaannya. Secara lengkap berikut ini disajikan Standar Operasional Prosedur tentang penanganan pasca panen simplisia yang terdiri dari: a. Simplisia Rimpang (Rizhoma) II-20

b. Simplisia Daun c. Simplisia Bunga d. Simplisia Buah e. Simplisia Biji f. Simplisia Akar g. Simplisia Kayu dan Kulit Batang h. Simplisia Bubuk/Serbuk Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 6 SOP Simplisia Rimpang (Rizhoma) II-21

Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 7 SOP Simplisia Daun II-22

Pemanenan Sortasi Basah Pencucian dan Penimbangan Bahan Pengeringan Pegemasan dan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 8 SOP Simplisia Bunga II-23

Penyimpanan Bahan Baku Penyimpanan Peralatan dan Penyediaan Air Pencucian Air Bersih Penyortiran Awal Pencucian dan Penirisan Tanah, Kerikil, Rumput, Benda Asing Kotoran yang Melekat Penimbangan Bahan Baku Pengeringan Penyortiran Akhir & Pengemasan dan Pelabelan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 9 SOP Simplisia Buah II-24

Pemanenan Sortasi Basah dan Penimbangan Bahan Pengeringan Pengemasan dan Penyimpanan Gambar 2. 10 SOP Simplisia Biji Pemanenan Sortasi dan Pencucian Perajangan Penimbangan Bahan Baku Pengeringan, Pengemasan dan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 11 SOP Simplisia Akar II-25

Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 12 SOP Simplisia Kayu dan Kulit Batang II-26

Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 13 SOP Bubuk/Serbuk 2.2. Kerangka Pikir Kajian Pekerjaan kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupate jepara, dilakukan secara bertahap. Sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan, mulai dari persiapan, pelaksanaan, analisis dan evaluasi, berikut ini disusun kerangka pikir kajian. II-27

Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 14 Kerangka Pemikiran 2.3. Metode kajian 2.3.1. Rancangan Kajian Rancangan kajian dilakukan dengan metode campuran, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan banyak definisi yang disampaikan oleh peneliti terdahulu II-28

Johnson dkk (2007) mendefinisikan metode campuran sebagai jenis penelitian. Dalam metode ini, peneliti atau tim peneliti mengkombinasikan elemen pendekatan kualitatif dan kuantitatif (misalnya menggunakan sudut pandang, pengumpulan data, analisis dan teknik inferensi kualitatif dan kuantitatif) untuk mencapai pemahaman dan pembuktian tujuan penelitian yang luas dan mendalam. Johnson (2007) menyimpulkan penggunaan metode campuran bertujuan untuk: 1. Triangulation yaitu mencari konvergensi dan bukti-bukti yang menguatkan sebagai hasil dari metode yang berbeda untuk mempelajari suatu fenomena. 2. Complementarity yaitu mencari elaborasi, penguatan, ilustrasi, klarifikasi hasil dari sebuah metode dengan hasil dari metode lain 3. Development yaitu menggunakan hasil dari satu metode untuk membantu metode lain. 4. Initiation yaitu untuk menemukan paradoks dan kontradiksi yang bertujuan untuk membuat kerangka ulang pertanyaan penelitian 5. Expansion yaitu berusaha memperluas luasan dan jangkauan penelitian dengan menggunakan berbagai metode untuk menyelidiki komponen yang berbeda. Menurut Morse (2005), penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan (simultan) dilakukan karena interaksi diantara kedua sumber data sangat terbatas selama proses pengumpulan data tetapi temuannya akan saling melengkapi saat tahap intrepretasi. Sebaliknya triangulasi sekuensial digunakan ketika hasil dari satu pendekatan akan bermanfaat untuk perencanaan metode selanjutnya. Johnson dan Onwuegbuzie (2004) mengusulkan matrik yang berguna untuk memahami kaitan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam metode campuran. II-29

Sumber: Johnson dan Onwuegbuzie 2004 Gambar 2. 15 Desain Matrik Metode Campuran Pada kajian ini akan dilakukan metode campuran secara sekuensial, yaitu: metode kuantitatif kemudian diikuti oleh metode kualitatif dengan penekanan yang seimbang KUAL-KUAN. Tujuan penggunaan metode campuran dalam kajian ini adalah 1) Development yaitu menggunakan hasil dari satu metode untuk membantu metode lain dan 2) Expansion yaitu berusaha memperluas luasan dan jangkauan penelitian dengan menggunakan berbagai metode untuk menyelidiki komponen yang berbeda. 2.3.2. Metode Penentuan Informan Informan dalam kajian ini adalah informan kunci (key informan) yang ditentukan dengan kriteria tertentu (purposive), yaitu: memiliki pemahaman dan pengetahuan memadai terkait kisi-kisi wawancara yang disusun dan atau memiliki keahlian yang diperlukan. Penentuan informan kunci dilakukan secara purposive II-30

atau sengaja, yaitu: 1) Kepala Seksi produksi dan usaha hortikultura; 2) petani/poktan/gapoktan; 3) koordinator penyuluh pertanian masing-masing kecamatan; 4) penyedia saprodi usahatani biofarmaka; 5) unsur penunjang usahatani biofarmaka (marketing lembaga pembiayaan); dan 6) pedagang pengepul. 2.3.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam studi dokumen Kajian Potensi Pengembangan Biofarmaka Di Kabupaten Jepara Tahun 2017 sebagai berikut: 1. Observasi Observasi adalah pengamatan terhadap obyek yang dikaji secara langsung baik mulai dari Pemetaan titik lokasi, Pemetaan potensi dan permasalahan di lapangan. Selain itu dapat pula dengan mengamati aktivitas dari pelaku usahatani. 2. Wawancara Mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam adalah pengumpulan data dengan cara mewawancarai langsung informan yang telah dipilih dan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun secara semi terstruktur. Pemilihan informan merupakan keputusan penting karena akan mempengaruhi terhadap data serta informasi yang sedang dikumpulkan. Wawancara mendalam ini dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang banyak hal yang berkaitan dengan kajian. 3. Dokumen dan literatur Dokumen dan literatur adalah pengumpulan data dengan laporan-laporan kajian, publikasi, foto, peraturan-peraturan serta data yang relevan dengan kegiatan kajian. 2.3.4. Metode Analisis 1. Analisis SWOT Analisis yang dipakai untuk menyusun factor-faktor strategis adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan II-31

kekuatan dan kelemahan. Matrik ini data menghasilkan empat set kemungkinan alternative strategis. (Rangkuti,2001). Analisis SWOT dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor strategis (kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman) dari Potensi Pengembangan Biofarmaka. Data mengenai faktor strategis dari setiap potensi biofarmaka kemudian diolah menggunakan alat analisis matriks SWOT untuk mendapatkan rumusan strategi pengembangan biofarmaka. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis matriks SWOT digambarkan ke dalam Matriks dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Tabel 3.2. Matriks SWOT Strenght (S) Menentukan 5-10 faktor faktor kekuatan internal Weakness (W) Menentukan 5-10 faktorfaktor kelemahan internal Opportunities (O) Menentukan 5-10 faktorfaktor peluang eksternal Threats (T) Menentukan 5-10 faktorfaktor ancaman eksternal Sumber : Rangkuti, 2002 Strategi S-O Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Strategi W-O Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-T Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman II-32

Delapan tahapan dalam penentuan alternatif strategi yang dibangun melalui matriks SWOT adalah sebagai berikut : a. Menuliskan peluang faktor eksternal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. b. Menuliskan ancaman faktor eksternal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. c. Menuliskan kekuatan faktor internal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. d. Menuliskan kelemahan faktor internal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. e. Mencocokkan kekuataan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi S-O dalam sel yang sudah ditentukan. f. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi W-O dalam sel yang sudah ditentukan. g. Mencocokkan kekuatan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi S-T dalam sel yang sudah ditentukan. h. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi W-T dalam sel yang sudah ditentukan. 2. Analisis Rantai Nilai Pendekatan Rantai Nilai (Value Chain Approach) merupakan sebuah pendekatan sekaligius juga alat analisis untuk penguatan (upgrading) daya saing sebuah sub-sektor atau komoditas unggulan daerah secara komprehensif. Aplikasi dari instrument ini bersifat partisipasif yang melibatkan para pelaku yang terkait dalam penciptaan nilai suatu komoditas sejak dari input hingga tahap konsumsi. Melalui pendekatan rantai nilai dapat diperoleh strategi dan rencana aksi yang lebih aplikatif bagi penguat sebuah sub-sektor atau komoditas unggulan, melalui fasilitasi pembuatan peta rantai nilai (Value Chain Map), analisis rantai nilai (Value Chain Analysis), formulasi strategi dan rencana aksi upgrading rantai nilai, serta ketrampilan fasilitas untuk aspek terkait dengan implementasi penguatan rantai nilai (Fakultas Teknik Industri, 2009). Untuk mengidentifikasi rantai nilai dalam Potensi Pengembangan II-33

Biofarmaka dilakukan dengan menggunakan analisis value chain map. Untuk analisis rantai nilai (value chain map) dilakukan secara derskriptif dengan mengolah data mengenai rantai nilai Potensi Pengembangan Biofarmaka kemudian dipaparkan dalam bentuk tabel informatif. Adapun analisis value chain map meliputi profil pelaku dari setiap rantai yang terlibat dalam agroindustri mulai dari supplier, produsen, dan pemasar yang terlibat dalam Potensi Pengembangan Biofarmaka. II-34

BAB III GAMBARAN UMUM JEPARA & KAJIAN KEBIJAKAN 3.1. PROFIL WILAYAH 3.1.1. Letak Geografis Secara geografis Kabupaten Jepara terletak pada posisi 110 9' 48,02" sampai 110 58' 37,40" Bujur Timur dan 5 43' 20,67" sampai 6 47' 25,83" Lintang Selatan, sehingga merupakan daerah paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah. Berikut ini batas-batas wilayah administratif Kabupaten Jepara: Sebelah utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kabupaten Demak Sebelah Timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati Sebelah Barat : Laut Jawa Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa, di mana untuk menuju ke wilayah tersebut sekarang dilayani oleh kapal ferry dari Pelabuhan Jepara dan kapal cepat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Selain itu di Kepulauan Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang dapat didarati pesawat terbang berjenis kecil dari Semarang. Luas wilayah daratan Kabupaten Jepara 100.413,189 ha (1.004,132 km 2 ) dengan panjang garis pantai 72 km. Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (2.3710,001 ha) sedangkan wilayah terluas adalah Kecamatan Keling (12.311,588 ha). Sebagian besar luas wilayah merupakan tanah kering sebesar 74.122,133 ha (73,82%) dan sisanya merupakan tanah sawah sebesar 26.291,056 ha (26,28%). Berikut ini disajikan konstelasi Kab. Jepara di Jawa tengah. III 1

Gambar 3. 1 Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah Wilayah Kabupaten Jepara juga mencakup luas lautan sebesar 1.845,6 km 2. Pada lautan tersebut terdapat daratan kepulauan sejumlah 29 pulau, dengan 5 pulau berpenghuni dan 24 pulau tidak berpenghuni. Wilayah kepulauan tersebut merupakan Kecamatan Karimunjawa yang berada di gugusan Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau yang ada di Laut Jawa dengan dua pulau terbesarnya adalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sedangkan sebagian besar wilayah perairan tersebut dilindungi dalam Taman Nasional Laut Karimunjawa. Berikut ini disajikan peta administrasi Kab. Jepara. III 2

Gambar 3. 2 Peta Kabupaten Jepara

3.1.2. Karakteristik Fisik Alam 3.1.2.1. Topografi Kabupaten Jepara memiliki relief yang beraneka ragam, terdiri dari daratan tinggi (sekitar Gunung Muria dan Gunung Clering) dan daratan rendah di sekitar pantai (Pantai Kartini, Bandengan, Bondo, dll.). Secara topografi, Kabupaten Jepara dapat dibagi dalam empat wilayah yaitu wilayah pantai di bagian pesisir Barat dan Utara, wilayah dataran rendah di bagian tengah dan Selatan, wilayah pegunungan di bagian Timur yang merupakan lereng Barat dari Gunung Muria dan wilayah perairan atau kepulauan di bagian utara merupakan serangkaian Kepulauan Karimunjawa. Tabel 3. 1 Ketinggian Permukaan Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Jepara Kecamatan Tinggi (meter) (1) (2) 1 Kedung 0-2 2 Pecangaan 2-17 3 Kalinyamatan 2-29 4 Welahan 2-7 5 Mayong 13-438 6 Nalumsari 13-736 7 Batealit 68-378 8 Tahunan 0-46 9 Jepara 0-50 10 Mlonggo 0-300 11 Pakis Aji 0-1000 12 Bangsri 0-594 13 Kembang 0-1.000 14 Keling 0-1.301 15 Donorojo 0-619 16 Karimunjawa 0-100 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka, 2017 Dengan kondisi topografi demikian, Kabupaten Jepara memiliki variasi ketinggian antara 0 m sampai dengan 1.301 mdpl (dari permukaan laut), daerah terendah adalah Kecamatan Kedung antara 0-2 yang merupakan dataran pantai, sedangkan daerah yang tertinggi adalah Kecamatan Keling antara 0-1.301 merupakan perbukitan. Variasi ketinggian tersebut menyebabkan Kabupaten Jepara terbagai dalam empat kemiringan lahan, yaitu datar 41.327,060 ha, III 4

bergelombang 37.689,917 ha, curam 10.776 ha dan sangat curam 10.620,212 ha. Berdasar data tersebut, bagian daratan utama Kabupaten Jepara terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi yang merupakan kawasan pada lereng Gunung Muria. Kondisi sistem hidrologi demikian menyebabkan terdapatnya beberapa sungai besar yang memiliki beberapa anak sungai. Sungai-sungai besar tersebut antara lain Sungai Gelis, Keling, Jarakan, Jinggotan, Banjaran, Mlonggo, Gung, Wiso, Pecangaan, Bakalan, Mayong dan Tunggul. Berdasarkan karakteristik topografi wilayah, aliran sungai relatif dari daerah hulu dibagian timur (Gunung Muria) ke arah barat (barat daya, barat, dan barat laut) yaitu daerah hilir (Laut Jawa). Berdasarkan kondisi geologinya secara umum wilayah Kabupaten Jepara dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Di sepanjang garis pantai utara, yang meliputi wilayah dengan morfologi dataran-bergelombang. 2. Bagian Timur dengan morfologi berupa perbukitan. Berdasarkan kemiringan tanahnya, secara umum wilayah Kabupaten Jepara dibedakan dalam 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Kemiringan 0-2% lahan datar meliputi sebagian Kecamatan Mayong, sebagian Kecamatan Nalumsari, sebagian Kecamatan Welahan, sebagian Kecamatan Pecangakan, sebagian Kecamatan Kedung, sebagian Kecamatan Jepara, sebagian Kecamatan Tahunan, sebagian Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri, sebagian Kecamatan Kembang, sebagian Kecamatan Keling, Kecamatan Karimunjawa dan sebagian wilayah Batealit. 2. Kemiringan 2-15% lahan landai meliputi sebagian Kecamatan Mayong, sebagian Kecamatan Nalumsari, sebagian Kecamatan Batealit, sebagian Kecamatan Jepara, sebagian Kecamatan Tahunan, sebagian Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri, sebagian Kecamatan Keling, sebagian kecil wilayah utara Pecangaan dan Kedung. 3. Kemiringan 15-40% lahan agak curam meliputi sebagian Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Batealit, sebagian kecil III 5

Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri dan sebagian Kecamatan Keling. Merupakan daerah di sekitar gunung Muria, Trawean, Genuk, dan Pucang Pendawa. 4. Kemiringan > 40% lahan sangat curam meliputi wilayah puncak gunung Muria, Trawean, Genuk, dan Pucang Pendawa. Terletak di Kecamatan Mayong, Batealit, Mlonggo, Bangsri dan Keling. Morfologi daerah Jepara berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) satuan morfologi yaitu: a. Dataran Merupakan daerah dataran aluvial pantai dan sungai. Daerah bagian barat daya merupakan punggungan lereng perbukitan, bentuk lereng umumnya datar hingga sangat landai dengan kemiringan lereng medan antara 0-5% (0-3%), ketinggian tempat di bagian utara antara 0-25 mdpl dan di bagian barat daya ketinggiannya antara 225-275 mdpl. Luas penyebaran sekitar 164,9 km2 (42,36%) dari seluruh daerah Jepara. b. Daerah Bergelombang Satuan morfologi ini umumnya merupakan punggungan, kaki bukit dan lembah sungai, mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan kemiringan lereng medan 5-10% (3-9%), ketinggian tempat antara 25-200 mdpl. Luas penyebarannya sekitar 68,09 km 2. (17,36%) dari seluruh daerah Jepara. c. Perbukitan Berlereng Landai Satuan morfologi ini merupakan kaki dan punggungan perbukitan, mempunyai bentuk permukaan bergelombang landai dengan kemiringan lereng 10-15% dengan ketinggian wilayah 25-435 mdpl. Luas penyebaran sekitar 73,31 km 2 (18,84%) dari seluruh daerah Jepara. d. Perbukitan Berlereng Agak Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan lereng yang agak terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 15-30%, ketinggian tempat antara 25-445 mdpl. Luas penyebarannya sekitar 57,91 km 2 (14,8%) dari seluruh daerah Jepara. III 6

e. Perbukitan Berlereng Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan lereng yang terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 30-50%, ketinggian tempat antara 40-325 mdpl. Luas penyebarannya sekitar 17,47 Km 2 (4,47%) dari seluruh daerah Jepara. f. Perbukitan Berlereng Sangat Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng bukit dan tebing sungai dengan lereng yang sangat terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 50-70%, ketinggian tempat antara 45-165 mdpl. Luas penyebarannya sekitar 2,26 Km 2 (0,58%) dari seluruh daerah Jepara. g. Perbukitan Berlereng Curam Satuan morfologi ini umumnya merupakan tebing sungai dengan lereng yang curam, mempunyai kemiringan >70%, ketinggian tempat antara 100-300 mdpl. Luas penyebarannya sekitar 6,45 Km 2 (1,65%) dari seluruh daerah Jepara. Berikut ini disajikan peta kemiringan lereng Kab. Jepara. III 7

Gambar 3. 3 Peta Kemiringan Lereng

3.1.2.2. Klimatologi Kabupaten Jepara beriklim tropis dengan pergantian musim penghujan dan kemarau. Musim penghujan antara bulan Nopember-April dipengaruhi oleh musim Barat sedang musim kemarau antara bulan Mei-Oktober yang dipengaruhi oleh angin musim Timur. Sedangkan jumlah curah hujan ± 2.464 mm, dengan jumlah hari hujan 89 hari. Suhu udara Kabupaten Jepara terendah pada 21,55 C dan tertinggi sekitar 33,71 C, dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 84%. Kabupaten Jepara sebagaimana kota-kota di Pantai Utara Jawa beriklim tropis dengan dua musim bergantian sepanjang tahun yaitu penghujan dan kemarau. Berdasarkan katagori iklim menurut Schmidt dan fergusson, Kabupaten Jepara termasuk pada golongan iklim type D (sedang). Prinsip yang digunakan dalam kategori iklim menurut Schmidt dan Fergusson yaitu dengan mengambil data bulan kering dan bulan basah. Bulan basah adalah jika curah hujan lebih dari 100 mm/bulan sedangkan bulan kering jika curah hujan kurang dari 60 mm/bulan. Suhu atau temperatur rata-rata di Kabupaten Jepara setiap bulan berkisar antara 21,55 0-32,7 0 Celcius. Berdasarkan data tahun 2015, banyaknya hari hujan tertinggi rata-rata terjadi pada bulan januari, yaitu 29 hari hujan dan terendah terjadi pada bulan Oktober, yaitu 1 hari hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan januari, yaitu 1.122 mm dan terendah pada bulan Oktober, yaitu 5 mm sedangkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3. 2 Banyaknya Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kabupaten Jepara No Kecamatan Hari Hujan Curah Hujan (Hari) (mm) 1 Kedung 101,00 2.400 2 Pecangaan 69,00 1.725 3 Welahan 108,00 2.311 4 Nalumsari 128,00 2.334 5 Batealit 104,00 2.289 6 Tahunan 103,00 2.948 7 Jepara 103,00 2.948 8 Mlonggo 121,00 2.377 9 Bangsri 98,00 1.127 10 Keling 111,00 3.067 11 Donorojo 117,00 2.092 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka, 2017 III 9

Gambar 3. 4 Peta Curah Hujan Kabupaten Jepara

3.1.2.3. Jenis Tanah Jenis tanah yang ada di Kabupaten Jepara dibedakan atas 5 jenis tanah. Secara rinci penyebaran jenis tanah di Kabupaten Jepara dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Tanah Andosol Coklat. Terdapat di perbukitan dan puncak Muria bagian utara Muria dengan luas tanah 3.525.469 Ha, atau 3,15 %. 2. Tanah Regusol. Terdapat di bagian utara Kabupaten Jepara dengan luas tanah 2.700,857 Ha atau 2,69 % 3. Tanah Alluvial. Terdapat di sepanjang pantai utara dengan luas tanah 9.126,433 Ha, atau 9,09 %. 4. Tanah Asosiasi Mediteran. Terdapat di pantai barat Kabupaten Jepara dengan luas tanah 19.400,458 Ha, atau 19,32 % 5. Tanah Latosol. Jenis tanah ini paling dominan di Kabupaten Jepara terdapat di perbukitan Gunung Muria dengan luas tanah 65.659,972 Ha, atau 65,39%. Kabupaten Jepara terletak di sebelah barat Gunung Muria. Gunung Muria terletak di atas batuan neogen yang berupa batu gamping, batu lempung dan nepal. Penyebaran setiap litologi penyusunan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Batu Gamping: tersingkap sebagai inklusi di daerah puncak Gunung Genuk dan kawah rahtawu dan pada bantuan itu mengandung fosil foraminifera kecil cyclocypeous sebagai indikator umur. Sebagian dari inklusi batu gamping tersebut menunjukkan gejala telah tertetamorfosa. 2. Batu kerikil/batu pasir, mengandung fosil vertebrata. Adanya fosil vertebrata tersebut menunjukkan indikasi pembentukan batuan ini pada lingkungan darat. 3. Batu lanau, batu pasir, koilin, andesit dan breksi-breksi gunung api umumnya mengandung fosil vertebrata sebagai indikator lingkungan darat yang berumur pleistosin tengah. 4. Kerikil, pasir, lempung merupakan litologi hasil proses fluviovulkanik pada kala holosen dan terletak tak selaras diatas endapan hasil kegiatan gunung berapi. III 11

Gambar 3. 5 Peta Jenis Tanah

3.1.2.4. Hidrologi dan Hidrogeologi Kabupaten Jepara termasuk dalam wilayah Sub DAS Jratun Seluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana). Aliran sungai ini titik beratnya diarahkan pada pemanfaatan secara optimal sekaligus rehabilitasi terhadap sumber alam hutan, tanah dan air yang rusak serta untuk meningkatkan pembangunan pertanian yang dapat memberikan pengaruh pada sektor lain. Potensi air permukaan tanah dan air dalam tanah di daerah Kabupaten Jepara cukup besar. Air dalam tanah dapat dibagi 3 daerah menurut keadaan airnya, yaitu: 1. Daerah air tawar, meliputi daerah kaki gunung Muria, mempunyai mutu air yang baik dan digunakan sebagai sumber air minum. 2. Daerah air tanah payau, meliputi daerah dataran rendah yang merupakan batas antara air tanah asin dengan air tanah tawar. Persebaran akuifernya tidak merata pada tiap tempat dengan ketebalan antara 2-7 m. Air ini relatif masih bisa digunakan. 3. Daerah air asin, meliputi daerah dataran di pinggiran pantai atau pantai yang menjorok ke daratan. 3.1.2.5. Kondisi Penggunaan Lahan Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat mencapai 100.413,19 Ha. Luas wilayah tersebut terdiri dari 26.525,792 (26,42%) lahan sawah dan 73.887,397 Ha (73,58%) lahan bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan sederhana PU 9.187,126 Ha, lahan sawah dengan tadah hujan 5.717,318 Ha, selainnya berpengairan irigasi teknis, setengah teknis dan non PU. Lahan bukan lahan sawah digunakan untuk bangunan & halaman sekitarnya sebesar 29.750,919 Ha (29,63 %) yang merupakan persentase penggunaan terbesar, digunakan untuk tegai, padang rumput, rawa yang tidak ditanami, tambak, kolam, tanah yang sementara tidak diusahakan, tanah untuk tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan negara/swasta, dan tanah lainnya (jalan, sungai, kuburan, lambiran, tanah gege, lapangan olahraga, dll). III 13

Tabel 3. 3 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 No Kacamatan Tanah Tanah Sawah (ha) Kering (ha) 1 Kedung 1.974,29 2.333,52 2 Pecangaan 1.538,25 2.051,81 3 Kalinyamatan 1.393,13 978,64 4 Welahan 1.586,46 1.187,56 5 Mayong 2.075,78 4.433,26 6 Nalumsari 2.230,10 3.460,28 7 Batealit 2.253,10 6.640,52 8 Tahunan 1.028,46 2.867,11 9 Jepara 402,01 2.064,23 10 Mlonggo 1.141,27 3.098,89 11 Pakis Aji 1.481,70 4.571,25 12 Bangsri 2.740,08 5.800,95 13 Kembang 2.452,08 8.348,24 14 Keling 2.256,52 10.041,46 15 Donorojo 1.940,58 8.921,67 16 Karimunjawa 32,00 7.088,00 Total 26.525,79 73.887,40 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Berikut ini disajikan peta tata guna lahan kabupaten Jepara. III 14

Gambar 3. 6 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Jepara

3.1.3. Administrasi Secara administratif wilayah seluas 1.004,132 km² tersebut terdiri atas 16 kecamatan yang dibagi lagi dalam 195 desa/kelurahan, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3. 4 Jumlah Kecamatan, Luas, Desa/Kelurahan, RW dan RT Kecamatan Luas (km 2 ) Desa/Kel RW RT (1) (2) (4) (5) (6) 1 Kedung 43,063 18 64 267 2 Pecangaan 35,399 12 71 345 3 Kalinyamatan 24,179 12 50 341 4 Welahan 27,642 15 44 217 5 Mayong 65,043 18 74 395 6 Nalumsari 56,963 15 78 370 7 Batealit 88,879 11 52 292 8 Tahunan 38,906 15 74 312 9 Jepara 24,667 16 84 308 10 Mlonggo 42,402 8 51 278 11 Pakis Aji 60,553 8 38 236 12 Bangsri 85,352 12 120 443 13 Kembang 108,124 11 78 333 14 Keling 123,116 12 66 316 15 Donorojo 108,642 8 56 259 16 Karimunjawa 71,200 4 15 54 Jepara 1.004,132 195 1.015 4.766 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Berdasarkan tabel 3.4, Luas wilayah daratan Kabupaten Jepara 1.004,132 km 2 dengan panjang garis pantai 72 km. Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (24,179 km 2 ) sedangkan tiga kecamatan yang memiliki wilayah paling luas adalah keling (123,116 km 2 ), Donorojo (108,642 km 2 ) dan Kembang (108,124 km 2 ). sedangkan kecamatan yang paling banyak desanya adalah Kedung dan Mayong (masing-masing 18 desa). Penggunaan lahan di Kabupaten Jepara didominasi oleh bangunan dan halaman (29,57 persen dari total luas lahan), diikuti oleh tanah sawah (26,47 persen), Tegalan (17,69 persen), dan hutan negara (17,45 persen). III 16

3.1.4. Kependudukan 3.1.4.1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Jepara pada tahun 2016 sebanyak 1.205.800 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 601.206 jiwa dan perempuan sebanyak 604.594 jiwa. Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah penduduk terendah karena Kecamatan Karimunjawa merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Jepara yang berbentuk kepulauan sehingga tidak banyak penduduk yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut, serta difungsikannya Kecamatan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut dengan tujuan untuk melindungi dan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara lestari. Lebih jelasnya komposisi jumlah penduduk tampak pada tabel di bawah ini: Tabel 3. 5 Penduduk Menurut Kelompok Umur Dirinci Per Jenis Kelamin Di Kabupaten Jepara 2016 Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah (1) (2) (3) (4) 0-4 53.917 51.627 105.544 5-9 53.498 50.517 104.015 10-14 50.395 48.069 98.464 15-19 52.842 51.671 104.513 20-24 54.627 52.204 106.831 25-29 48.043 47.413 95.456 30-34 45.788 46.600 92.388 35-39 44.959 46.450 91.409 40-44 41.417 41.543 82.960 45-49 37.418 39.055 76.473 50-54 33.522 34.106 67.628 55-59 27.725 27.975 55.700 60-64 22.472 23.008 45.480 65-69 14.476 16.534 31.010 70-74 9.729 12.220 21.949 75 + 10.378 15.602 25.980 Jumlah 601.206 604.594 1.205.800 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Tabel piramida penduduk Kabupaten Jepara, seperti disajikan pada tabel 3.5 berbentuk expensive yaitu sebagian besar penduduk berada dalam kelompak III 17

umur termuda. Piramida ini menunjukkan bahwa Kabupaten Jepara mempunyai peluang tenaga kerja yang banyak di masa depan, akan tetapi juga bermasalah apabila tidak membuka lapangan pekerjaan karena akan menimbulkan pengangguran. 3.1.4.2. Kepadatan Penduduk dan Pertambahan Penduduk Kabupaten Jepara memiliki 16 kecamatan dan kecamatan yang memiliki desa paling banyak penduduknya adalah Kecamatan Tahunan, dengan luas wilayah sebesar 38,906 Km 2 dan memiliki jumlah penduduk yaitu 115.504 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.969 jiwa/km 2. Sedangkan kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit terdapat di Kecamatan Karimunjawa, dengan luas wilayah yaitu 71,200 Km 2 dan jumlah penduduk hanya sebesar 9.379 jiwa sehingga kepadatan penduduk hanya sebesar 132 Jiwa/Km 2. Lebih jelasnya mengenai kepadatan penduduk di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut ini. Tabel 3. 6 Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Jepara 2016 Kecamatan Luas Jumlah Kepadatan Daerah Penduduk (Km 2 Penduduk Per Km ) (orang) (1) (2) (3) (4) 1. Kedung 43,063 77.813 1.807 2. Pecangaan 35,399 85.082 2.404 3. Kalinyamatan 24,179 64.722 2.677 4. Welahan 27,642 74.843 2.708 5. Mayong 65,043 90.402 1.390 6. Nalumsari 56,963 74.155 1.302 7. Batealit 88,879 86.083 969 8. Tahunan 38,906 115.504 2.969 9. Jepara 24,667 89.116 3.613 10. Mlonggo 42,402 86.529 2.041 11. Pakis Aji 60,553 60.903 1.006 12. Bangsri 85,352 102.495 1.201 13. Kembang 108,124 70.122 649 14. Keling 123,116 62.448 507 15. Donorojo 108,642 56.204 517 16. Karimunjawa 71,200 9.379 132 Tahun 2016 1.004,132 1.205.800 1.201 III 18

Sumber : Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Jika dilihat berdasarkan kepadatan penduduk, pada tahun 2016, kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai 1.201 jiwa per km 2. Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara (3.613 jiwa per km 2 ), sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (132 jiwa per km 2 ). Berikut ini disajikan kepadatan penduduk per kecamatan. Gambar 3. 7 Kepadatan penduduk masing-masing Kecamatan di Kabupaten Jepara III 19

3.1.4.3. Tingkat Pertumbuhan Penduduk Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Jepara terjadi secara fluktuatif dari tahun 2012 sebesar 1.144.916 jiwa, tahun 2013 sebesar 1.153.213 jiwa tahun 2014 sebesar 1.170.797 jiwa dan Tahun 2015 sebesar 1.188.289 jiwa, tahun 2016 sebesar 1.205.800 jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.7 berikut ini. Tabel 3. 7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Jepara 2011-2016 Tahun Pertambahan Penduduk Prosentase Penduduk Per Akhir Tahun (%) Tahun (1) (2) (3) (4) 2011 1.124.203 26.923 2,45 2012 1.144.916 20.713 1,84 2013 1.153.213 8.297 0,72 2014 1.170.797 17.584 1,52 2015 1.188.289 17.492 1,47 2016 1.205.800 17.511 1,47 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 3.1.5. Sosial Budaya Kehidupan budaya masyarakat Kabupaten Jepara pada umumnya sangat dipengaruhi oleh budaya orang-orang pesisir/pantai. Budaya masyarakat pesisir pada umumnya mempunyai etos kerja yang kuat dan jiwa kewirausahaan yang besar. Kehidupan budaya masyarakat ini akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, hal itu dapat dilihat antara lain dengan banyaknya jumlah penduduk yang mata pencahariannya tidak tersentral dalam 1 atau 2 sektor saja, tetapi tersebar di semua sektor-sektor lapangan usaha. Angka kemiskinan di Kabupaten Jepara sampai dengan tahun 2016 berdasarkan data. Badan Pusat Statistik (BPS) Jepara, angka kemiskinan pada 2016 di Kabupaten Jepara tercatat masih 8,35 persen, atau sebanyak 100,32 jiwa. Angka ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini ternyata juga diikuti dengan kondisi kerawanan sosial yang masih relatif tinggi, khususnya balita terlantar, anak dan lanjut usia terlantar, gelandangan dan pengemis, serta penyandang cacat. III 20

Kondisi kesejahteraan sosial yang ada sebetulnya sudah didukung oleh ketersediaan sarana-sarana kesejahteraan seperti panti sosial asuhan anak sebanyak 33 buah. Namun demikian dilihat dari jumlah dan kualitas pelayanan belum sepenuhnya dapat menangani permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan pemikiran dan pemecahan masalah secara komprehensif, mengingat penyebab masalah sosial adalah sangat kompleks. 3.1.6. Pendidikan Keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pendidikan (guru) yang memadai. Berikut disajikan data jumlah sekolah, jumlah siswa dan jumlah guru menurut jenjang pendidikan. Tabel 3. 8 Jumlah Sekolah dan Siswa Menurut Jenjang Pendidikan Jenjang Pendidikan Sekolah Siswa (orang) Guru (orang) SD Negeri 573 83.762 5.567 SD Swasta 22 4.690 313 MI Negeri 2 1.325 56 MI Swasta 188 33.542 2.109 SLTP Negeri 39 22.006 1.147 SLTP Swasta 49 8.072 576 MTs Negeri 2 1.787 100 MTs Swasta 111 24.324 1.733 SMA Negeri 10 8.513 471 SMA Swasta 12 2.003 178 MA Negeri 2 1.375 76 MA Swasta 62 12.289 819 SMK Negeri 9 8.218 459 SMK Swasta 40 11.390 718 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 3.1.7. Kesehatan Kesehatan merupakan masalah kita bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, dan oleh karena itu kesehatan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Salah satu peran pemerintah dalam pembangunan kesehatan adalah menyediakan sarana kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, baik dari segi finansial maupun lokasinya. III 21

Sarana kesehatan tersebut antara lain berupa rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu dan tenaga kesehatan (medis/paramedis). Pada tahun 2016 di Kabupaten Jepara terdapat 6 RSU, 1 rumah bersalin, 21 puskesmas, 44 puskesmas pembantu, 47 balai pengobatan dan 1.117 posyandu. Selain itu, sarana kesehatan lain yang berupa tenaga kesehatan adalah 77 dokter umum dan 18 dokter spesialis, 452 bidan dan 726 tenaga paramedis. Fasilitas kesehatan lainnya adalah 80 apotik dan 4 toko obat yang tersebar diseluruh Kabupaten Jepara. No Tabel 3. 9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Tahun 2016 Kecamatan Rumah Sakit Rumah Bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu Balai Pengobatan Swasta Posyandu 1 Kedung - - 2 3 2 66 2 Pecangaan 1-1 1 4 70 3 Kalinyamatan - - 1 3 4 55 4 Welahan - - 2 3 3 76 5 Mayong 1-2 2 3 87 6 Nalumsari - - 1 2 7 71 7 Batealit - - 4 2 83 8 Tahunan - - 1 4 4 64 9 Jepara 3 1 1 1 4 104 10 Mlonggo - - 1 3 1 60 11 Pakis Aji - - 1 5 1 53 12 Bangsri - - 2 3 8 113 13 Kembang - - 1 5 1 69 14 Keling 1 2 2 3 73 15 Donorojo - - 1 1-54 16 Karimunjawa - - 1 2-19 JUMLAH 6 1 21 44 47 1.117 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 3.1.8. Agama Kesadaran beragama di Kabupaten Jepara cukup tinggi, hal itu digambarkan dengan fasilitas tempat-tempat ibadah sangat memadai dan cenderung meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, serta kondusifnya situasi kerukunan antar umat beragama. Dilihat dari banyaknya pemeluk agama, penduduk. Kabupaten Jepara, mayoritas beragama Islam yaitu mencapai 97,88% III 22

dari total jumlah penduduk, selebihnya pemeluk agama. Kristen dan Katolik sebesar 1,63%; pemeluk agama Hindu 0,05% dan Budha sebesar 0,77%. Meskipun mayoritas keagamaan penduduk di Jepara adalah Muslim, namun hal itu tetap memberikan ruang bagi penganut agama lain. Hal itu tampak dari jumlah sarana peribadatan yang cukup lengkap terdiri dari: masjid sebanyak 978, Mushola sebanyak 4.068, Greja Protestan sebanyak 106, Greja Khatolik sebanyak 3, pura sebanyak 36, Vihara sebanyak 4, dan Klenteng sebanyak 2. 3.1.9. Perekonomian Basis sektor ekonomi di Kabupaten Jepara dapat dilihat melalui perkembangan sektor ekonomi strategis, yaitu sektor ekonomi yang prospektif dapat dikembangkan diantaranya sektor industri pengolahan, pertanian, perdagangan dan sektor pariwisata. Pada gambar 3.8 disajikan penduduk Kabupaten Jepara berdasarkan lapangan usaha (sektor). Sebagian besar berusaha / di sektor Industri (44,53 persen) dan Perdagangan (17,76 persen), selebihnya berusaha / bekerja di sektor Pertanian, Pertambangan, Listrik, Konstruksi, Perdagangan, Keuangan dan Jasajasa. Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 8 Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha 3.1.10. Produk Domestik Regional Bruto Pada tabel berikut, disajikan PDRB Jepara, berdasarkan harga berlaku III 23

dan harga konstan. Tabel 3. 10 PDRB Kabupaten Jepara ADHB Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun 2012 2016 KATEGORI 2012 2013 2014 2015* 2016** A Pertanian, Kehutanan, dan 2.622.019,71 2.922.600,32 3.102.604,51 3.394.047,62 3.535.360,10 Perikanan B Pertambangan dan 299.805,43 310.289,52 367.828,48 424.646,69 458.184,23 Penggalian C Industri Pengolahan 5.390.405,93 5.985.052,29 6.839.237,63 7.574.052,58 8.235.433,70 D Pengadaan Listrik dan Gas 17.416,77 17.643,95 17.848,77 18.587,69 21.845,55 E Pengadaan Air, Pengelolaan 12.954,40 12.776,99 13.260,15 13.983,22 14.597,72 Sampah, Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi 1.085.074,73 1.159.386,13 1.326.567,10 1.471.459,45 1.597.389,32 G Perdagangan Besar dan 2.953.124,60 3.192.137,02 3.394.676,19 3.691.321,64 3.993.310,22 Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor H Transportasi dan 600.657,49 660.867,18 743.001,76 819.917,10 874.384,26 Pergudangan I Penyediaan Akomodasi dan 634.824,46 671.935,46 767.076,39 870.640,38 977.768,55 Makan Minum J Informasi dan Komunikasi 357.629,74 394.768,41 462.711,31 512.510,83 555.580,94 K Jasa Keuangan dan Asuransi 365.427,18 392.969,84 424.604,22 465.943,73 523.664,80 L Real Estate 258.637,06 277.239,34 308.212,58 337.697,33 366.384,51 M,N Jasa Perusahaan 66.798,28 78.820,98 87.644,26 100.710,88 115.568,70 O Administrasi Pemerintahan, 450.863,24 477.876,67 506.085,17 549.364,96 593.189,40 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan 791.581,32 939.879,67 1.089.288,13 1.161.119,79 1.289.250,27 Q Jasa Kesehatan dan 139.613,49 156.555,58 185.502,30 207.850,97 230.436,39 Kegiatan Sosial R,S,T,U Jasa lainnya 334.585,35 371.813,14 431.145,06 457.993,39 521.268,08 PRODUK DOMESTIK 16.381.419,15 18.022.612,49 20.067.294,01 22.071.848,25 23.903.616,74 REGIONAL BRUTO PENDUDUK (Proyeksi 1.135.628 1.153.321 1.170.785 1.188.289 1.205.800 Penduduk) PDRB Per Kapita (Rupiah) 14.424.987,01 15.626.709,73 17.140.033,41 18.574.478,30 19.823.865,26 Sumber: PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Jepara, 2012-2016 Ket: * = Angka Sementara **= Angka Sangat Sementara Produk Domestik Regional Bruto atas harga berlaku Kabupaten Jepara pada tahun 2016 mencapai 23.903.617,74 juta rupiah. Jika diperbandingkan dengan nilai PDRB tahun-tahun sebelumnya, maka nampak bahwa dalam 3 tahun terakhir nilai PDRB Kabupaten Jepara tersebut mengalami peningkatan, karena pada tahun 2013 sebesar 18.022.612,49 juta rupiah, pada tahun 2014 sebesar 20.067.294,01 juta rupiah, dan pada tahun 2015 sebesar 22.071.848,25 juta rupiah. III 24

Tabel 3. 11 PDRB Kabupaten Jepara ADHK Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun 2012 2016 KATEGORI 2012 2013 2014 2015* 2016** A Pertanian, Kehutanan, dan 2.336.510,42 2.442.708,34 2.375.083,03 2.446.432,19 2.479.799,29 Perikanan B Pertambangan dan 284.072,37 284.627,47 296.113,92 300.899,51 313.740,82 Penggalian C Industri Pengolahan 4.838.349,62 5.148.447,78 5.472.144,33 5.756.335,67 6.019.957,96 D Pengadaan Listrik dan Gas 17.528,50 18.713,12 18.858,57 18.910,60 20.377,20 E Pengadaan Air, Pengelolaan 12.770,02 12.430,21 12.792,38 13.030,56 13.313,70 Sampah, Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi 972.312,88 1.007.476,42 1.050.528,89 1.103.072,38 1.178.918,57 G Perdagangan Besar dan 2.701.718,43 2.815.811,83 2.932.999,12 3.072.168,46 3.226.680,25 Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor H Transportasi dan 597.279,86 650.517,88 695.080,64 735.840,20 784.577,14 Pergudangan I Penyediaan Akomodasi dan 601.023,31 613.255,35 661.862,82 715.421,07 761.339,56 Makan Minum J Informasi dan Komunikasi 356.050,82 394.600,74 468.279,84 523.714,48 567.217,36 K Jasa Keuangan dan 322.647,72 329.642,67 338.880,07 357.449,54 390.111,64 Asuransi L Real Estate 255.173,08 269.310,28 286.817,46 305.842,53 326.624,70 M,N Jasa Perusahaan 62.253,60 69.868,85 75.579,32 82.665,47 91.446,89 O Administrasi Pemerintahan, 394.893,32 399.799,87 399.358,96 417.005,74 426.883,79 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan 631.497,11 689.184,17 764.990,97 803.497,68 864.862,81 Q Jasa Kesehatan dan 119.079,21 127.999,85 146.363,42 157.930,65 173.501,30 Kegiatan Sosial R,S,T,U Jasa lainnya 321.835,62 349.344,06 378.981,47 390.149,20 423.781,89 PRODUK DOMESTIK 14.824.995,87 15.623.738,87 16.374.715,21 17.200.365,92 18.063.134,88 REGIONAL BRUTO PENDUDUK (Proyeksi 1.135.628 1.153.321 1.170.785 1.188.289,00 1.205.800,00 Penduduk) PDRB Per Kapita (Rupiah) 13.054.447,30 13.546.739,26 13.986.099,25 14.474.901,24 14.980.208,06 Sumber: PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Jepara, 2012-2016 Ket: * = Angka Sementara **= Angka Sangat Sementara Dari data di atas nampak bahwa kontribusi masing-masing sub sektor tiap tahun mengalami kenaikan, untuk sub sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di tahun 2012 sebesar 2.336.510,42 (juta rupiah), di tahun 2013 sebesar 2.442.708,34 (juta rupiah), di tahun 2014 sebesar 2.375.083,03 (juta rupiah), di tahun 2015 sebesar 2.446.432,19 (juta rupiah), dan di tahun 2016 sebesar 2.479.799,29 (juta rupiah). Sektor industri merupakan tiang penyangga utama daripada III 25

perekonomian Kabupaten Jepara Tahun 2016 ada 19.380 buah perusahaan industri/unit di Kabupaten Jepara. Angka tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri kecil menengah (IKM) dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 148.079 orang. Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 9 Unit usaha Industri Kecil Menengah di Kecamatan di Kabupaten Jepara 3.2. PROFIL POTENSI 3.2.1. Gambaran Umum Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Jepara sebanyak 113.047 dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 23 dikelola oleh Perusahaan Pertanian berbadan hukum dan sebanyak 6 dikelola oleh selain rumah tangga (NRT). Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling dan Kecamatan Bangsri merupakan tiga kecamatan dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga pertanian terbanyak yaitu masing-masing 12.697 rumah tangga, 12.062 rumah tangga dan 11.641 rumah tangga. Sedangkan Kecamatan Karimunjawa merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah rumah tangga usaha pertaniannya yaitu sebanyak 1.695 rumah tangga. Sementara itu jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum dan usaha III 26

pertanian selain perusahaan dan rumah tangga di Kabupaten Jepara 29, untuk perusahaan sebanyak 23 unit dan lainnya 6 unit. Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum terbanyak beralokasi di Kecamatan Jepara yaitu 5 dan paling sedikir di Kecamatan kalinyamatan yaitu sebanyak 1 perusahaan. Sedangkan jumlah perusahaan tidak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga usaha pertanian terbanyak terdapat di Kecamatan Batealit yaitu sebanyak 2 unit dan Lainnya masing-masing terdapat 1 unit yaitu untuk Kecamatan Kedung, Jepara, Keling dan Donorojo. Tabel 3. 12 Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013 Menurut Kecamatan dan Cakupan Usaha No Kecamatan 2003 2013 Pertumbuhan (2003-2013) RPT Perusa RPT Perusa Lain RPT Perusahaan haan haan nya Absolut % Absolut % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 1 Kedung 8.896 2 5.928 3 0-2.968-33,36 1 50,00 2 Pecangaan 6.918 0 3.780 0 0-3.138-45,36 - - 3 Kalinyamatan 2.808 1 2.404 1 0-404 -14,39 0 0,00 4 Welahan 5.325 0 4533 0 0-792 -14,87 - - 5 Mayong 9.085 0 7.814 0 0-1.271-13,99 - - 6 Nalumsari 8.155 0 7.752 0 0-403 -4,94 - - 7 Batealit 11.910 0 8.866 2 0-3.044-25,56 2 0,00 8 Tahunan 6.206 0 4.070 0 0-2.136-34,42 0 0,00 9 Jepara 2.711 3 1.863 7 0-848 -31,28 4 133,33 10 Mlonggo 17.166 1 6.805 1 0-256 -1,49 2 200,00 11 Pakis Aji *) *) 10.105 2 0 *) *) - - 12 Bangsri 11.236 2 11.641 2 0 405 3,60 0 0,00 13 Kembang 10.407 1 12.697 1 0 2.290 22,00 0 0,00 14 Keling 21.297 8 12.062 4 0 1.797 8,44 0 0,00 15 Donorojo *) *) 11.032 4 0 *) *) - - 16 Karimunjawa 1.479 1 1.695 2 0 216 14,60 1 0, 00 Sumber: Sensus Pertanian Kab Jepara Tahun 2013 III 27

Gambar 3. 10 Penyebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat mencapai 100.413 Ha. Luas wilayah tersebut terdiri dari 26.525 (26,42%) lahan sawah dan 73.887 Ha (73,58%) lahan bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan sederhana PU 9.187 Ha, lahan sawah dengan tadah hujan 5.717 Ha, selainnya berpengairan irigasi teknis, setengah teknis dan non PU. Lahan bukan lahan sawah digunakan untuk bangunan & halaman sekitarnya sebesar 29.751 Ha (29,63 %) yang merupakan persentase penggunaan terbesar, digunakan untuk tegal, padang rumput, rawa yang tidak ditanami, tambak, kolam, III 28

No No tanah yang sementara tidak diusahakan, tanah untuk tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan negara/swasta, dan tanah lainnya (jalan, sungai, kuburan, lambiran, tanah gege, lapangan olahraga, dll). KECAMATAN Tabel 3. 13 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 Tanah Sawah Pengaira Pengaira Pengai Pengai n n ran Tadah ran Setenga Sederha Non Hujan Tehnis h Tehnis na P.U. PU Pasang Surut Sementa ra Tidak Diusaha kan Jumlah 1 Kedung 595-442 - 937 - - 1.974 2 Pecangaan 327 543 210-458 - - 1.538 3 Kalinyamatan 134 454 234 159 411 - - 1.393 4 Welahan - 131 290 295 871 - - 1.586 5 Mayong 666-401 305 704 - - 2.076 6 Nalumsari 318-1.074-838 - - 2.230 7 Batealit - 476 1.695-82 - - 2.253 8 Tahunan 230 137 364 49 249 - - 1.028 9 Jepara 91-91 49 170 - - 402 10 Mlonggo 363 154 283 193 147 - - 1.141 11 Pakis Aji - 212 954 76 239 - - 1.482 12 Bangsri 325 758 945 538 173 - - 2.740 13 Kembang 252 436 1.186 231 346 - - 2.452 14 Keling 230 355 224 1.435 13 - - 2.257 15 Donorojo 1.074-793 - 73 - - 1.941 16 Karimunjawa - - - 26 6 - - 32 JUMLAH 4.606 3.658 9.187 3.357 5.717 - - 26.526 Lanjutan.. KECAMATA N Bangu nan & Halam an Tegal Pad ang Ru mp ut Rawa Yang Tida k Ditan ami Tam bak Tanah Kering Seme K ntara ol tidak a diusa m haka n Tana man Kayu - kayu an Hutan Negara Perk ebun an Nega ra/s wasta Tana h Lain nya Jumla h 1 Kedung 1.313 132 - - 717-21 - - - 151 2.334 2 Pecangaan 1.556 390 - - - 6 - - - 31 69 2.052 3 Kalinyamatan 691 240 - - - - - - - - 48 979 4 Welahan 966 95 - - - 15 - - - - 112 1.188 5 Mayong 2.108 2.167 - - - - - - 138-20 4.433 6 Nalumsari 1.679 1.073 - - - - - - 572-136 3.460 7 Batealit 2.496 1.791 - - - - - - 2.020-333 6.641 8 Tahunan 2.304 519 - - - - - - - - 44 2.867 9 Jepara 1.120 700 - - 53-20 - - - 171 2.064 10 Mlonggo 2.203 566 - - - - - - 208-122 3.099 11 Pakis Aji 2.418 1.841 - - - - - 121-87 104 4.571 12 Bangsri 3.373 990 - - 6 - - - 1.341-91 5.801 13 Kembang 2.342 1.060 - - - - - - 3.557 1.368 21 8.348 14 Keling 1.623 2.583 - - - - - 8 3.353 2.193 281 10.041 15 Donorojo 1.439 2.432 - - 234 - - - 4.302 264 251 8.922 16 Karimunjawa 2.120 1.178 8 21 36 2 281 1.166 2.027-249 7.088 JUMLAH 29.751 17.758 8 21 1.046 22 322 1.295 17.518 3.943 2.203 73.887 III 29

Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 11 Luas Lahan Tanah Sawah dan Tanah Kering Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 12 Luas Lahan Tanah Sawah Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 13 Luas Lahan Tanah Kering III 30

3.2.2. Gambaran Umum Biofarmaka Berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 2010 Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Subsektor hortikultura telah berkontribusi secara nyata dalam mendukung perekonomian nasional, baik dalam penyediaan produk pangan, kesehatan dan kosmetika, perdagangan, penciptaan produk domestik bruto maupun penyerapan tenaga kerja. Berkaitan dengan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa biofarmaka merupakan salah satu tanaman hortikultura. Dengan berkembangnya perekonomian dan pengetahuan masyarakat, makin meningkat pula kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan menjaga/merawat kesehatan dan melakukan pengobatan penyakit yang bersumber dari tanaman biofarmaka. Oleh karena itu, data dan informasi tanaman biofarmaka, penting artinya dalam mendukung perumusan perencanaan dan kebijakan, menginformasikan keadaan dan keberhasilan, maupun dalam mengevaluasi kinerja pengembangan tanaman biofarmaka. Jenis tanaman biofarmaka (obat-obatan) antara lain: Tabel 3. 14 Kelompok Tanaman Biofarmaka No Jenis Tanaman Satuan Luas Panen Bentuk Hasil 1 Jahe M 2 Rimpang 2 Laos (Lengkuas) M 2 Rimpang 3 Kencur M 2 Rimpang 4 Kunyit M 2 Rimpang 5 Lempuyang M 2 Rimpang 6 Temulawak M 2 Rimpang 7 Temuireng M 2 Rimpang 8 Temukunci M 2 Rimpang 9 Dringo M 2 Rimpang 10 Kapulaga M 2 Biji 11 Mengkudu (Pace) Pohon Buah 12 Mahkota Dewa Pohon Buah 13 Kejibeling M 2 Daun 14 Sambiloto M 2 Daun 15 Lidah buaya M 2 Daun Sumber: Statistik Tanaman Biofarmaka Indonesia 2015 III 31

No Berdasarkan bentuk produksinya, tanaman biofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok rimpang dan bukan rimpang. Kelompok tanaman rimpang terdiri dari tanaman jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci dan dringo, sedangkan kelompok tanaman bukan rimpang terdiri dari tanaman kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya. Ada beberapa jenis tanaman biofarmaka yang masih membutuhkan impor dari negara lain. Hal ini mungkin dikarenakan jenis varietas tertentu yang harus dipenuhi oleh proses produksinya atau bisa juga dikarenakan harganya yang relatif lebih murah sehingga memungkinkan untuk memproduksi dengan memperkuat daya saing terhadap harga jual produk tersebut. Tanaman biofarmaka yang mengalami Impor yang tertinggi di tahun 2015 adalah tanaman jahe, tanaman tersebut mengalami peningkatan baik volume maupun nilainya, yaitu sekitar 4.039,99 ton atau senilai 3.511,72 ribu dolar AS. Sedangkan yang volumenya tertinggi penurunannya adalah tanaman temulawak, yaitu menurun sekitar 92,44 ton, dan yang tertinggi penurunan nilainya adalah tanaman kapulaga, turun sekitar 74,41 ribu dolar AS. Jenis Tanaman Tabel 3.15 Impor Tanaman Obat Tahun 2014-2015 2014 2015 Perubahan 2015-2014 Berat Nilai CIF Berat Nilai CIF Berat Nilai CIF (Kg) (US $) (Kg) (US $) (Kg) (US $) 1 Kapulaga 22.695 85.067 4.669 10.656-18.026-74.411 2 Jahe 2.763.949 2.464.877 6.857.943 5.976.593 4.093.994 3.511.716 3 Kunyit 7.835 21.145 4.275 14.146-3.560-6.999 4 Temulawak 245.413 323.984 152.966 299.930-92.447-24.054 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2015 Tabel 3.16 Ekspor Tanaman Obat Tahun 2014-2015 2014 2015 Perubahan 2015-2014 Jenis Berat Nilai Berat (Kg) Nilai Berat (Kg) Nilai No. Tanaman (Kg) FOB(US $) FOB(US $) FOB(US $) 1 Kapulaga 7.766.404 10.145.154 6.248.064 7.785.335-1.518.340-2.359.819 2 Jahe 1.522.652 952.003 25.935.366 18.230.197-35.256.035-30.896.388 3 Kunyit 145.386 158.361 80.325 44.525-819.934-502.534 4 Temulawak 3.808.159 4.515.333 8.670.791 10.499.058 4.862.632 5.983.725 Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2015 III 32

3.2.3. Tanaman Biofarmaka yang didata di Jepara Hasil produksi tanaman biofarmaka di Jepara antara lain Kencur, Jahe, Kapulaga, Kejibeling, Laos/lengkuas, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Dlingo, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, dan Lidah Buaya. 3.2.3.1. Luas Panen Tanaman Biofarmaka di Kabupaten Jepara Pada tabel 3.17-3.30 dan gambar 3.14-3.41 Disajikan mengenai luas panen tanaman Dlingo, Jahe, Laos/lengkuas, Kencur, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Kapulaga, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, Kejibeling, dan Lidah Buaya dari tahun 2010-2017. Tabel 3.17 Luas Panen Tanaman Dlingo/Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan 0,0005-0,0005 0,0005 Kalinyamatan - 0,0005 - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Dlingo/Dringo dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Pecangaan di tahun 2014 sebesar 0,0005 Ha, tahun 2016 dan 2017 sebesar 0,0005 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman dlingo terluas ada di kecamatan Pecangaan. III 33

Gambar 3. 14 Luas Panen Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Dlingo/Dringo yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Pecangaan dan Kalinyamatan. Di tahun 2014, 2016, dan 2017 luas Dlingo/Dringo yang paling luas sebesar 0,0005 Ha di kecamatan Mayong, sedangkan di tahun 2015 luas Dlingo/Dringo yang paling luas sebesar 0,0005 Ha di kecamatan Kalinyamatan. Gambar 3. 15 Luas Panen Tanaman Dringo (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Dlingo/Dringo kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas Dlingo/Dringo jawa tengah sebesar 3,5745 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,0005 Ha. III 34

Tabel 3. 18 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,42 0,50 0,95 0,95 0,37 0,20 0,20 0,20 Donorojo 0,19 0,05 - - - 0,00 0,00 0,00 Kembang 0,50-0,02 0,02 0,03 0,09 0,04 0,05 Bangsri - - - - 0,00 0,02 0,02 0,01 Mlonggo - - 0,23 0,23 0,24 0,24 0,19 0,09 Pakis Aji - - - - 0,20 0,04 0,04 0,08 Jepara 0,05 0,01 0,06 0,06-0,04 0,04 0,13 Batealit 0,10-0,10 0,10 - - - - Pecangaan - - - - 0,00 0,00 0,00 0,00 Kalinyamatan - 0,04 0,06 0,06-0,06 0,09 0,06 Welahan 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 Mayong 0,23 0,40 2,40 2,40 0,50 0,15 0,15 - Nalumsari - - 1,00 1,00 0,23 0,19 0,16 0,16 Tahunan - - - - 0,04 0,05 0,10 0,13 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman jahe dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 0,23 Ha; tahun 2011 sebesar 0,40 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 2,40 Ha; tahun 2014 sebesar 0,50 Ha; tahun 2015 dan 2016 sebesar 0,15 Ha; dan tahun 2016 sebesar 7,00 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman jahe terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar 3. 16 Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Mayong. Dan di III 35

tahun 2012 dan 2013 luas jahe yang paling luas sebesar 0,40 Ha di kecamatan Mayong. Gambar 3. 17 Luas Panen Tanaman Jahe (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas jahe jawa tengah sebesar 2.329,03 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 1,10 Ha. Tabel 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 1,11 0,99 0,99 0,99 Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - III 36

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Kapulaga dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sebesar 1,11 Ha; tahun 2015 sampai 2017 sebesar 0,99 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kapulaga terluas ada di kecamatan Keling. Gambar 3. 18 Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Kapulaga yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Keling. Dan di tahun 2014 luas kapulaga yang paling luas sebesar 1,11 Ha di kecamatan Keling. Gambar 3. 19 Luas Panen Tanaman Kapulaga (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kapulaga kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas Kapulaga jawa tengah sebesar 1217,42 Ha III 37

sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,99 Ha. Tabel 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - 0,008 0,008 0,008 Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Kejibeling dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Jepara di tahun tahun 2015 sampai 2017 sebesar 0,008 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Jepara. Gambar 3. 20 Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman III 38

Kejibeling yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Jepara. Dan di tahun 2015 sampai 2017 luas kejibeling yang paling luas sebesar 0,008 Ha di kecamatan Jepara. Gambar 3. 21 Luas Panen Tanaman Kejibeling (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Kejibeling kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kejibeling jawa tengah sebesar 4,2424 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,0075 Ha. Tabel 3. 21 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,37 0,70 1,05 1,05 0,20 - - - Donorojo 0,10 0,06 - - - 0,00 0,00 0,00 Kembang 0,20-0,01 0,01 0,04 0,04 0,04 0,01 Bangsri - - - - 3,64 0,64 0,07 - Mlonggo 0,14 0,58 - - 0,15 0,15 0,09 0,09 Pakis Aji 0,02 0,49 0,30 0,30 1,30 1,00 1,00 1,18 Jepara 0,05 0,07 0,06 0,06 0,08 0,08 0,08 0,11 Batealit 0,40-0,30 0,30 5,00 - - - Pecangaan - - - - - - - - Kalinyamatan 0,01 0,09 0,08 0,08 0,05 0,05 0,10 0,05 Welahan 0,04 0,05 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 Mayong 1,40 8,00 1,60 1,60 0,15 - - - Nalumsari 6,45 2,90 1,90 1,90 7,20 2,50 7,00 2,50 Tahunan - - - - 0,09 0,03 0,06 0,10 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - III 39

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman kencur dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2010 sebesar 6,45 Ha; tahun 2011 sebesar 2,90 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 1,90 Ha; tahun 2014 sebesar 7,20 Ha; tahun 2015 sebesar 2,50 Ha; tahun 2016 sebesar 7,00 Ha dan tahun 2017 sampai bulan September sebesar 2,50 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kencur terluas ada di kecamatan nalumsari. Gambar 3. 22 Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2014 luas kencur yang paling luas sebesar 7,20 Ha di kecamatan nalumsari. Gambar 3. 23 Luas Panen Tanaman Kencur (Ha) di Kab. Jepara dan Provinsi Jawa Tengah III 40

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kencur jawa tengah sebesar 563,84 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 4,50 Ha. Tabel 3. 22 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,13 0,85 0,45 0,45 0,05 - - - Donorojo - - - - - 0,00 0,00 0,00 Kembang 0,30-0,01 0,01 0,02 0,08 0,08 0,06 Bangsri 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 Mlonggo 0,17 - - - 0,25 0,25 0,20 0,20 Pakis Aji 0,05 0,85 0,30 0,30 0,20 - - 0,02 Jepara 0,03-0,05 0,05 0,03 0,00 0,00 0,08 Batealit 0,50 - - - - - - - Pecangaan - - - - 0,00 0,00 0,00 0,00 Kalinyamatan - 0,05 0,05 0,05-0,01 0,05 0,01 Welahan 0,11 0,09 0,11 0,11 0,05 0,06 0,03 0,01 Mayong 0,10 0,20 0,25 0,25 - - - - Nalumsari - 1,00 - - - - - - Tahunan - - - - 0,03-0,03 0,09 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman kunyit dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2011 sebesar 1,00 Ha. Gambar 3. 24 Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) III 41

Gambar 3. 25 Luas Panen Tanaman Kunyit (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kunyit jawa tengah sebesar 1.177,97 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,41 Ha. Tabel 3. 23 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,250 0,450 0,450 0,450 0,050 0,050 0,290 0,050 Donorojo 0,120 3,920 - - 3,920 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,050 - - - 0,018 0,013 0,013 0,013 Bangsri - - - - 0,002 0,014 0,013 0,003 Mlonggo 0,510 - - - 0,330 0,230 0,200 0,200 Pakis Aji 0,010 0,990 0,600 0,600 0,400 - - - Jepara 0,020 0,040 - - 0,021 0,010 0,010 0,023 Batealit 0,900-0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 - Pecangaan - - - - 0,001 0,001 0,001 0,001 Kalinyamatan - 0,050 0,050 0,050-0,060 0,060 0,060 Welahan 0,030 0,010 0,010 0,010 0,016 0,013 0,005 0,005 Mayong 2,850 29,500 2,900 2,900 0,175 0,300 0,300 - Nalumsari 149,600 67,890 101,560 101,560 20,003 3,750 17,500 7,550 Tahunan - - - - 0,050 0,040 0,060 0,120 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman laos dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2010 sebesar 149,600 Ha; tahun 2011 sebesar 67,890 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 101,560 Ha; tahun 2014 sebesar 20,003 Ha; tahun 2015 sebesar 3,750 Ha; tahun III 42

2016 sebesar 17,500 Ha dan tahun 2017 sampai bulan September sebesar 7,550 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman laos terluas ada di kecamatan nalumsari. Gambar 3. 26 Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman laos yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 luas laos yang paling luas sebesar 149,600 Ha di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 27 Luas Panen Tanaman Laos (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman laos kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas laos jawa tengah sebesar 451,26 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 4,68 Ha. III 43

Tabel 3. 24 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,004 0,004 0,004 0,004 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,030 - - 0,002 Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan 0,010 0,009 0,005 0,002 Mayong 0,200 - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Lempunyang dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun tahun 2014 sebesar 0,200 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar 3. 28 Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lempuyang yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Mayong. III 44

Dan di tahun 2014 luas lempuyang yang paling luas sebesar 0,200 Ha di kecamatan Mayong Gambar 3. 29 Luas Panen Tanaman Lempuyang (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lempuyang kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas lempuyang jawa tengah sebesar 121,17 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,01 Ha. Tabel 3. 25 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan 0,003 0,003 0,003 0,006 Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - III 45

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman lidah buaya dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Pecangaan di tahun 2014 sebesar 0,003 Ha; tahun 2015 sebesar 0,003 Ha; tahun 2016 sebesar 0,003 Ha; dan tahun 2017 sebesar 0,006 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman lidah buaya terluas ada di kecamatan Pecangaan. Gambar 3. 30 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lidah buaya yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Pecangaan. Dan di tahun 2017 sampai bulan September luas lidah buaya yang paling luas sebesar 0,200 Ha di kecamatan Mayong. Gambar 3. 31 Luas Panen Tanaman Lidah Buaya (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah III 46

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lidah buaya kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas lidah buaya jawa tengah sebesar 0,4657 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,003 Ha. Tabel 3. 26 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 390 81 81 - Donorojo - - - - Kembang 25 25 25 50 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - 45 45 45 Batealit - - - - Pecangaan 28 28 28 28 Kalinyamatan - - - - Welahan - 4 4 10 Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman mahkota dewa dari tahun 2010-2017 yang paling banyak ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sebesar 390 pohon; tahun 2015 dan 2016 sebesar 81 pohon. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Keling. III 47

Gambar 3. 32 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mahkota dewa yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Keling. Dan di tahun 2014 tanaman mahkota dewa yang paling banyak sebesar 390 pohon di kecamatan Keling. Gambar 3. 33 Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mahkota dewa kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas mahkota dewa jawa tengah sebesar 28.284 pohon sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 183 pohon. III 48

Tabel 3. 27 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 604 604 604 604 Donorojo - - - - Kembang 15 15 15 15 Bangsri 40 20 20 20 Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara 125 100 100 100 Batealit - - - - Pecangaan 407 407 407 407 Kalinyamatan - - - 10 Welahan 155 140 140 140 Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman mengkudu dari tahun 2010-2017 yang paling banyak ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sampai 2017 sebesar 604 pohon. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman mengkudu terluas ada di kecamatan Keling. Gambar 3. 34 Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mengkudu yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Keling. III 49

Dan di tahun 2014 sampai 2017 tanaman mengkudu yang paling banyak sebesar 640 pohon di kecamatan Keling. Gambar 3. 35 Luas Panen Tanaman Mengkudu (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mengkudu kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas mengkudu jawa tengah sebesar 88.711 pohon sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 1.286 pohon. Tabel 3. 28 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - 0,0004 0,0004 0,0004 Kembang 0,0025 0,0025 0,0025 0,0030 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,0100 - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan 0,0110 0,0070 0,0020 0,0010 Mayong 0,2000 - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - III 50

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temuireng dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2014 sebesar 0,2000 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temuireng terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar 3. 36 Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temuireng yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2014 tanaman temuireng yang paling banyak sebesar 0,2000 Ha di kecamatan Mayong. Gambar 3. 37 Luas Panen Tanaman Temuireng (ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temuireng kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Tahun 2015 luas temuireng jawa tengah sebesar 134,4438 Ha sedangkan III 51

Kabupaten Jepara sebesar 0,0099 Ha. Tabel 3. 29 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,018 0,050 0,050 0,050 Donorojo - 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,003 0,003 0,003 0,007 Bangsri 0,001 0,002 - - Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,010 - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan 0,020 0,040 0,070 0,040 Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - 0,050 Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temukunci dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Kalinyamatan di tahun 2014 sebesar 0,020 Ha; tahun 2015 sebesar 0,040 Ha; tahun 2016 sebesar 0,070 Ha; dan tahun 2017 sebesar 0,040 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temukunci terluas ada di kecamatan Kalinyamatan. Gambar 3. 38 Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) III 52

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temukunci yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Kalinyamatan. Gambar 3. 39 Luas Panen Tanaman Temukunci (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temukunci kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas temukunci jawa tengah sebesar 41,95 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,10 Ha. Tabel 3. 30 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - - - - - Donorojo - - - - - 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,010 - - - 0,003 0,004 0,004 0,004 Bangsri - - - - - - - - Mlonggo - - - - - - - - Pakis Aji 0,050 0,030 0,030 0,030 - - - - Jepara - - - - - - - - Batealit - - - - - - - - Pecangaan - - - - - - - - Kalinyamatan - 0,010 - - - - - - Welahan 0,030 0,030 0,020 0,020 0,010 0,014 0,010 0,002 Mayong 0,050 0,200 0,250 0,250 0,200 - - - Nalumsari - - - - - - - - Tahunan - - - - - - - 0,001 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - III 53

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temulawak dari tahun 2010-2017 yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 0,050 Ha; tahun 2011 sebesar 0,200 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 0,250 Ha; tahun 2014 sebesar 0,200 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temulawak terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar 3. 40 Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temulawak yang paling luas dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2012 dan 2013 luas temulawak yang paling luas sebesar 0,250 Ha di kecamatan Mayong. Gambar 3. 41 Luas Panen Tanaman Temulawak (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temulawak kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat III 54

rendah. Pada tahun 2015 luas temulawak jawa tengah sebesar 465,0811 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,018 Ha. 3.2.3.2. Jumlah Produksi Tanaman Biofarmaka di Kabupaten Jepara Pada tabel 3.31-3.44 dan gambar 3.42-3.69 Disajikan mengenai luas panen tanaman Dlingo, Jahe, Laos/lengkuas, Kencur, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Kapulaga, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, Kejibeling, dan Lidah Buaya dari tahun 2010-2017. Tabel 3. 31 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan 0,04-0,04 0,03 Kalinyamatan - 0,03 - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman dringo dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman dringo hanya ada di Kecamatan Pecangaan dan Welahan. III 55

Gambar 3. 42 Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 43 Produksi Tanaman Dringo (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 32 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 8,95 5,00 9,80 9,80 12,11 13,00 8,00 3,00 Donorojo 6,72 1,50 - - - 0,10 0,10 0,10 Kembang 11,87-0,11 0,11 0,90 2,50 1,35 1,18 Bangsri 0,06-0,01 0,01 0,03 0,24 0,31 0,79 Mlonggo - - 0,70 0,70 1,80 3,80 2,80 1,80 Pakis Aji - - - - 1,00 0,20 0,20 2,57 Jepara 1,00 0,23 1,65 1,65-0,80 0,80 2,60 Batealit 1,00-3,00 3,00 - - - - Pecangaan 0,03-0,05 0,05 0,11 0,10 0,10 0,09 Kalinyamatan - 0,60 1,80 1,80-2,40 3,60 2,40 III 56

Welahan 0,66 0,52 0,38 0,38 0,60 0,72 0,32 0,24 Mayong 11,50 14,00 96,00 96,00 2,00 3,00 3,00 - Nalumsari - - 30,00 30,00 6,20 5,70 4,80 4,80 Tahunan - - - - 0,40 0,50 0,70 0,52 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman jahe per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 11,50 ton; tahun 2011 sebesar 14,00 ton; tahun 2012 sebesar 96,00 ton; tahun 2013 sebesar 96,00 ton; tahun 2014 sebesar 2,00 ton; tahun 2015 sebesar 3,00 ton; dan tahun 2016 sebesar 3,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman jahe ada di kecamatan Mayong. Gambar 3. 44 Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman jahe yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2012 dan 2013 tanaman jahe yang paling banyak sebesar 96,00 ton di kecamatan Mayong. III 57

Gambar 3. 45 Produksi Tanaman Jahe (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas jahe jawa tengah sebesar 40.301,74 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 33,06 ton. Tabel 3. 33 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 33,00 44,68 23,48 11,00 Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman kapulaga III 58

dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman kapulaga setiap tahunnya yaitu di Kecamatan Keling. Gambar 3. 46 Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 47 Produksi Tanaman Kapulaga (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 34 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - 0,09 0,09 0,34 Batealit - - - - III 59

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman kejibeling dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman kejibeling setiap tahunnya yaitu hanya di Kecamatan Jepara. Gambar 3. 48 Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 49 Produksi Tanaman Kejibeling (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 60

Tabel 3. 35 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 12,26 7,00 14,25 14,25 7,80 - - - Donorojo 1,95 0,88 - - - 0,03 0,03 0,03 Kembang 6,28-0,06 0,06 0,28 0,81 0,81 0,15 Bangsri 0,02 - - - 18,80 3,25 0,85 - Mlonggo 3,67 10,96 - - 2,70 3,90 2,70 1,45 Pakis Aji 0,99 13,60 6,00 6,00 11,34 3,40 3,40 8,83 Jepara 0,91 1,88 1,20 1,20 2,03 1,23 1,23 2,43 Batealit 4,00-8,00 8,00 25,00 - - - Pecangaan - - - - - - - - Kalinyamatan 0,15 1,50 2,40 2,40 1,50 1,00 2,00 1,00 Welahan 1,32 1,08 0,20 0,20 0,07 0,06 0,02 0,02 Mayong 56,00 250,00 36,00 36,00 0,75 - - - Nalumsari 288,60 87,00 57,00 57,00 208,00 90,00 225,00 90,00 Tahunan - - - - 0,40 0,15 0,26 0,17 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman kencur per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2013 sebesar 57,00 ton; tahun 2014 sebesar 208,00 ton; tahun 2015 sebesar 90,00 ton; tahun 2016 sebesar 225,00 ton; dan tahun 2017 sampai dengan bulan September sebesar 90,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman kencur ada di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 50 Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman III 61

kencur yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 tanaman kencur yang paling banyak sebesar 288,60 ton di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 51 Produksi Tanaman Kencur (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kencur jawa tengah sebesar 8.764,88 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 103,83 ton. Tabel 3. 36 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 2,25 17,30 6,75 6,75 1,00 - - - Donorojo - - - - - 0,02 0,02 0,02 Kembang 9,80-0,10 0,10 0,51 1,88 1,88 1,28 Bangsri 0,22 0,15 0,19 0,19 0,09 0,30 0,47 0,29 Mlonggo 3,30 - - - 5,00 5,75 5,00 4,00 Pakis Aji 1,87 20,00 9,10 9,10 3,00 - - 2,23 Jepara 0,50 0,81 1,00 1,00 0,60 0,04 0,04 1,24 Batealit 5,50 - - - - - - - Pecangaan 0,04 0,15 0,06 0,06 0,11 0,11 0,11 0,11 Kalinyamatan - 1,00 1,50 1,50-0,20 1,40 0,20 Welahan 3,12 2,53 2,20 2,20 1,15 1,30 0,60 0,20 Mayong 4,00 5,00 6,00 6,00 - - - - Nalumsari - 30,00 - - - - - - Tahunan - - - - 0,20-0,14 0,02 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - III 62

Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman kunyit per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2011 sebesar 30,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman kunyit ada di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 52 Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman kunyit yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2011 tanaman kunyit yang paling banyak sebesar 30,00 ton di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 53 Produksi Tanaman Kunyit (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan Jawa tengah masih sangat rendah. Tahun 2015 luas kunyit jawa tengah 28.573,75 ton sedangkan Kabupaten Jepara 9,59 ton. III 63

Tabel 3. 37 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 6,23 4,50 17,20 17,20 4,70 17,70 19,40 1,40 Donorojo 82,31 58,73 - - 80,00 0,02 0,02 0,02 Kembang 1,20-0,08 0,08 0,71 0,63 0,63 0,46 Bangsri 0,08 0,12 0,16 0,16 0,08 0,38 0,44 0,33 Mlonggo 10,20 - - - 3,00 4,45 4,00 10,00 Pakis Aji 1,13 19,50 10,15 10,15 2,80 - - 4,00 Jepara 0,30 1,05 - - 0,40 0,20 0,20 0,52 Batealit 9,00-9,40 9,40 6,00 6,00 6,00 - Pecangaan 0,04 0,08 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,07 Kalinyamatan - 1,00 1,50 1,50-2,40 2,40 2,40 Welahan 0,67 0,22 0,21 0,21 0,39 0,32 0,10 0,10 Mayong 171,00 936,00 145,00 145,00 1,40 12,00 12,00 - Nalumsari 6.264,90 2.036,65 3.046,85 3.046,85 601,98 167,00 728,20 330,20 Tahunan - - - - 0,90 0,40 0,48 0,42 Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman laos per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun tahun 2013 sebesar 3.046,85 ton; tahun 2014 sebesar 601,98ton; tahun 2015 sebesar 167,00 ton; tahun 728,20 ton; tahun 2017 sebesar 330,20 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman laos ada di kecamatan Nalumsari. Gambar 3. 54 Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman III 64

kunyit yang paling banyak dari tahun 2010-2017 adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 tanaman laos yang paling banyak sebesar 6.264,90 ton di kecamatan Nalumsari Gambar 3. 55 Produksi Tanaman Laos (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas laos jawa tengah sebesar 13.055,71 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 211,59 ton. Tabel 3. 38 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - 0,02 0,02 0,02 Kembang 0,09 0,13 0,13 0,06 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,12 - - 0,33 Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan 0,15 0,14 0,08 0,03 Mayong 0,60 - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - III 65

Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman lempuyang dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman lempuyang setiap tahunnya yaitu di Kecamatan Donorojo, Kembang, Pakis Aji,Wlahan dan Mayong. Gambar 3. 56 Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 57 Produksi Tanaman Lempuyang (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 39 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - - - - Kembang - - - - Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - - - - III 66

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Batealit - - - - Pecangaan 0,37 0,36 0,36 0,31 Kalinyamatan - - - - Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman lidah buaya dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman lidah buaya setiap tahunnya yaitu hanya di Kecamatan Pecangaan. Gambar 3. 58 Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 59 Produksi Tanaman Lidah Buaya (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 67

Tabel 3. 40 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 16,81 17,10 4,00 - Donorojo - - - - Kembang 1,20 1,05 0,45 0,75 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara - 0,54 0,54 0,94 Batealit - - - - Pecangaan 1,63 1,65 1,66 1,61 Kalinyamatan - - - - Welahan 0,20 0,00 0,00 5,24 Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman mahkota dewa dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman mahkota dewa setiap tahunnya hanya di tahun 2014-2017 yaitu di Keling, Kembang, Jepara, Pecangaan dan Welahan. Gambar 3. 60 Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 68

Gambar 3. 61 Produksi Tanaman Mahkota Dewa (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 41 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,96 2,34 1,41 0,60 Donorojo - - - - Kembang 0,27 0,30 0,15 0,15 Bangsri 0,37 0,38 0,35 0,32 Mlonggo - - - - Pakis Aji - - - - Jepara 0,88 0,70 0,70 2,70 Batealit - - - - Pecangaan 14,25 12,83 12,81 13,67 Kalinyamatan - - 0,17 0,59 Welahan 1,80 1,12 0,42 0,14 Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman mengkudu/pace dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman mengkudu/pace setiap tahunnya hanya di tahun 2014-2017 yaitu di Keling, Kembang, Bangsri, Jepara, Pecangaan dan Welahan. III 69

Gambar 3. 62 Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) Gambar 3. 63 Produksi Tanaman Mengkudu (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 42 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - Donorojo - 0,01 0,01 0,01 Kembang 0,04 0,06 0,06 0,05 Bangsri - - - - Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,18 - - 0,10 Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan - - - - Welahan 0,23 0,12 0,03 0,02 III 70

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Mayong 0,60 - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman temuireng dari tahun 2010-2017 kecamatan yang produksi tanaman temuireng setiap tahunnya hanya di tahun 2014-2017 yaitu di Donorojo, Kembang, Pakis Aji, Welahan dan Mayong. Gambar 3. 64 Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar 3. 65 Produksi Tanaman Temuireng (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 71

Tabel 3. 43 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling 0,65 4,60 4,20 3,75 Donorojo - 0,03 0,03 0,03 Kembang 0,03 0,03 0,03 0,10 Bangsri 0,02 0,02 0,02 0,05 Mlonggo - - - - Pakis Aji 0,06 - - 0,10 Jepara - - - - Batealit - - - - Pecangaan - - - - Kalinyamatan 0,60 0,50 1,10 0,50 Welahan - - - - Mayong - - - - Nalumsari - - - - Tahunan - - - - Kedung - - - - Karimunjawa - - - - Gambar 3. 66 Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 72

Gambar 3. 67 Produksi Tanaman Temukunci (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel 3. 44 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Keling - - - - - - - - Donorojo - - - - - 0,01 0,01 0,01 Kembang 0,27-0,01 0,01 0,04 0,04 0,04 0,04 Bangsri 0,01 - - - - - - - Mlonggo - - - - - - - - Pakis Aji 0,50 0,60 0,90 0,90 - - - 0,01 Jepara - - - - - - - - Batealit - - - - - - - - Pecangaan - - - - - - - - Kalinyamatan - 0,10 - - - - - - Welahan 1,48 0,80 0,45 0,45 0,15 0,20 0,14 0,02 Mayong 2,50 7,00 3,75 3,75 0,60 - - - Nalumsari - - - - - - - - Tahunan - - - - - - - - Kedung - - - - - - - - Karimunjawa - - - - - - - - Gambar 3. 68 Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 73

Gambar 3. 69 Produksi Tanaman Temulawak (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah 3.3. KAJIAN KEBIJAKAN Arah kebijakan, kerangka regulasi, kerangka kelembagaan dan strategi pengembangan potensi biofarmaka mengacu pada norma peraturan perundangan. Berikut ini daftar peraturan perundangan yang dikaji yang terkait dengan Kajian pengembangan potensi biofarmaka di Kabupaten Jepara. 1. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 2. UU No 13 Tahun 2010 Tentang Holtikultura 3. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 2029 4. Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007 Tentang RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 5. Perda No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031 3.3.1. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan III 74

kesehatan tetap dijaga kelestariannya. Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional. Dalam pelestariannya masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan standar/syarat yang sudah ditentukan. Standar Obat tradisional mengacu pada meteria medica Indonesia. 3.3.2. UU No 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura 1. Pengertian dan perencanaan Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Perencanaan hortikultura mencakup aspek: a. Sumber daya manusia b. Sumber daya alam c. Sumber daya buatan d. Sasaran produksi dan konsumsi e. Kawasan hortikultura f. Pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal dan g. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perencanaan hortikultura merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral. Perencanaan hortikultura diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat. Perencanaan hortikultura ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan III 75

peraturan perundang-undangan. Perencanaan hortikultura tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota. Rencana hortikultura nasional, rencana hortikultura provinsi, dan rencana hortikultura kabupaten/kota menjadi pedoman bagi pelaku usaha dalam pengembangan hortikultura. Dalam menyusun rencana hortikultura perlu disediakan sistem informasi yang memadai. Sistem informasi hortikultura mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi hortikultura. Sistem informasi dilaksanakan oleh pusat data dan informasi dengan menyediakan data mengenai: a. varietas tanaman b. letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit usaha budidaya hortikultura c. permintaan pasar d. peluang dan tantangan pasar e. perkiraan produksi f. perkiraan harga Sistem informasi paling sedikit digunakan untuk keperluan: a. perencanaan b. pemantauan dan evaluasi c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk hortikultura dan d. pertimbangan penanaman modal. 2. Pemanfaatan Dan Pengembangan Sumber Daya Hortikultura Sumber daya hortikultura terdiri dari: a. Sumber daya manusia Terdiri atas pelaku usaha, penyuluh hortikultura, dan pihak lain yang terkait dalam kegiatan pelayanan dan usaha hortikultura. b. Sumber daya alam Sumber daya alam berupa: 1) Lahan III 76

Lahan budidaya hortikultura terdiri atas lahan terbuka dan lahan tertutup yang menggunakan tanah dan/atau media tanam lainnya. Lahan budidaya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh dan/atau perbuatan manusia. Yang dimaksud dengan lahan terbuka adalah lahan budidaya tanpa penaung. Yang dimaksud dengan lahan tertutup adalah lahan budidaya dengan penaung, seperti rumah kaca, rumah kasa, dan kubung jamur. Yang dimaksud dengan media tanam lainnya adalah antara lain agar-agar, air yang diperkaya dengan nutrisi, serbuk gergaji, cocopeat, sabut kelapa, dan arang. 2) Iklim Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memantau, mengevaluasi, memprakirakan, mendokumentasikan, dan memetakan pola iklim untuk pengembangan usaha hortikultura. Hasil pemantauan, evaluasi, prakiraan, dokumentasi, dan pemetaan pola iklim dapat menjadi acuan perencanaan hortikultura dan pengembangan usaha hortikultura. 3) Sumber daya air 4) Sumber daya genetik. c. Sumber daya buatan. Sumber daya buatan berupa prasarana dan sarana hortikultura. 1) Prasarana hortikultura terdiri atas: a) Jaringan irigasi b) Pengolah limbah c) Jalan penghubung dari lokasi budidaya ke lokasi pascapanen sampai ke pasar d) Pelabuhan dan area transit III 77

e) Tenaga listrik dan jaringannya sampai ke lokasi pascapanen f) Jaringan komunikasi sampai ke lokasi budidaya g) Gudang yang memenuhi persyaratan teknis Gudang yang memenuhi persyaratan teknis adalah gudang yang memenuhi persyaratan: (1) Penggunaan sesuai dengan jenis barang (komoditas, benih, pupuk, dan bahan pengendali opt) (2) Lokasi (3) Jenis (tertutup, terbuka, dan berpendingin) (4) Ukuran (tinggi, luas, dan kapasitas) (5) Konstruksi (6) Kelembapan dan (7) Suhu udara tertentu. h) Rumah atau penaung tanaman yang memenuhi persyaratan teknis Rumah atau penaung tanaman yang memenuhi persyaratan teknis adalah antara lain rumah kaca, rumah kasa, rumah sere/rumah lindung, rumah plastik, dan kubung yang memenuhi persyaratan: (1) Kesesuaian dengan fungsi (jenis tanaman, perbenihan, dan budidaya) (2) Desain dan konstruksi (3) Kapasitas dan (4) Peralatan. i) Gudang berpendingin j) Bangsal penanganan pascapanen yang memenuhi persyaratan teknis Bangsal penanganan pascapanen yang memenuhi persyaratan teknis adalah bangunan beserta fasilitasnya yang digunakan untuk penanganan hasil panen, yang memenuhi persyaratan: (1) Kesesuaian dengan fungsi (untuk buah, sayuran, florikultura, dan tanaman bahan obat) (2) Desain dan konstruksi (3) Kapasitas dan III 78

(4) Peralatan. k) pasar 2) Sarana Hortikultura terdiri atas: a) Benih bermutu dari varietas unggul b) Pupuk yang tepat dan ramah lingkungan c) Zat pengatur tumbuh yang tepat dan ramah lingkungan d) Bahan pengendali opt yang ramah lingkungan dan e) Alat dan mesin yang menunjang hortikultura. Penggunaan sarana hortikultura dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, kondisi lahan, dan ramah lingkungan. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan produk unggulan yang akan dikembangkan di dalam kawasan hortikultura. Produk unggulan hortikultura harus memiliki potensi daya saing dan memperhatikan kearifan lokal. Produk unggulan hortikultura yang telah ditetapkan berkewajiban menjamin ketersediaan: a. Prasarana dan sarana hortikultura yang dibutuhkan b. Distribusi dan pemasaran di dalam negeri atau ke luar negeri c. Pembiayaan dan d. Penelitian dan pengembangan teknologi 3. Kawasan Hortikultura Kawasan hortikultura ditetapkan dan direncanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam penetapan kawasan hortikultura perlu memperhatikan aspek: a. Sumber daya hortikultura b. Potensi unggulan yang ingin dikembangkan c. Potensi pasar d. Kesiapan dan dukungan masyarakat dan e. Kekhususan dari wilayah Pengembangan kawasan hortikultura dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat. Pelaksanaan terpau yaitu dengan melibatkan semua III 79

institusi sesuai dengan fungsi, kegiatan, dan kewenangannya masing-masing secara bersama-sama. 4. Usaha Hortikultura Klasifikasi skala usaha budidaya hortikultura dapat dikelompokkan menjadi mikro, kecil menengah dan besar. Sedangkan jenis-jenis usaha hortikultura meliputi: a. Perbenihan Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi benih, sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran dan pemasukan benih dari dan ke wilayah negara Republik Indonesia. Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu benih melalui penerapan sertifikasi. Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu benih, dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok. b. Budidaya Usaha budidaya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan: a) Permintaan pasar b) Budidaya yang baik c) Efisiensi dan daya saing d) Fungsi lingkungan dan e) Kearifan lokal c. Panen dan pascapanen Usaha panen dan pascapanen dilakukan untuk mencapai hasil yang maksimal, memenuhi standar mutu produk, menekan kehilangan dan/atau kerusakan serta meningkatkan nilai tambah pada penanganan, pengolahan, dan transportasi produk hortikultura. d. Pengolahan III 80

Usaha pengolahan produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Distribusi, perdagangan, dan pemasaran Usaha distribusi dilakukan untuk menyalurkan, membagi dan mengirim produk hortikultura dari unit usaha budidaya hortikultura sampai ke konsumen. f. Penelitian Usaha penelitian hortikultura dapat dilakukan pada usaha perbenihan, usaha budidaya, usaha panen dan pascapanen, usaha pengolahan, dan usaha distribusi, perdagangan, pemasaran, serta usaha wisata agro. g. Wisata agro. Kawasan dan/atau unit usaha budidaya hortikultura dapat digunakan dan dikembangkan untuk usaha wisata agro. Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal dan standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura. Untuk memenuhi kewajiban tersebut Pemerintah dan/atau pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha hortikultura agar memenuhi standar proses dan persyaratan teknis minimal, standar mutu, dan keamanan pangan produk hortikultura. 5. Pemberdayaan usaha hortikultura Pemberdayaan usaha hortikultura meliputi: a. Penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia b. Pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha c. Fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan d. Penyediaan data dan informasi e. Fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran f. Bantuan sarana dan prasarana hortikultura g. Sertifikasi kompetensi bagi perseorangan yang memiliki keahlian usaha hortikultura dan h. Pengembangan kemitraan. III 81

Lembaga pengembangan hortikultura dapat dibentuk di tingkat pusat, tingkat provinsi dan/atau tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Lembaga pengembangan hortikultura merupakan lembaga yang bersifat mandiri, profesional, dan nirlaba. Lembaga pengembangan hortikultura terdiri atas unsur: a. Tokoh masyarakat b. Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha hortikultura c. Pakar dan akademisi dan d. Konsumen produk dan jasa hortikultura. Dalam melaksanakan fungsi, lembaga pengembangan hortikultura bertugas: a. Menampung dan menyalurkan aspirasi pelaku usaha dan masyarakat b. Memberikan masukan kepada pemerintah mengenai arah pengembangan penyelenggaraan hortikultura c. Memberikan data, informasi, dan masukan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku usaha dan d. Membantu melakukan mediasi antar asosiasi pelaku usaha. Untuk meningkatkan pemberdayaan usaha hortikultura didorong peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dilakukan dalam hal: a. Penyusunan perencanaan b. Pengembangan kawasan c. Penelitian d. Pembiayaan e. Pemberdayaan f. Pengawasan g. Pembentukan asosiasi pelaku usaha h. Pengembangan sistem informasi i. Pengembangan kelembagaan dan/atau j. Pembentukan pedoman tata cara usaha k. Hortikultura untuk kepentingan usahanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. III 82

3.3.3. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 Pola ruang wilayah Provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai berikut Pola ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah Kawasan Lindung 1. Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya; 2. Kawasan perlindungan setempat; 3. Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya; 4. Kawasan rawan bencana alam; 5. Kawasan lindung geologi; 6. Kawasan lindung lainnya. Kawasan Budidaya 1. Kawasan hutan produksi 2. Kawasan hutan rakyat 3. Kawasan peruntukan pertanian 4. Kawasan peruntukan perkebunan 5. Kawasan peruntukan peternakan 6. Kawasan peruntukan perikanan 7. Kawasan peruntukan pertambangan 8. Kawasan peruntukan industri 9. Kawasan peruntukan pariwisata 10. Kawasan peruntukan permukiman 11. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kawasan Peruntukan Pertanian adalah wilayah budidaya pertanian pangan dan hortikultura pada kawasan lahan pertanian basah maupun kering baik berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut/non pasang surut dan/ atau lahan tidak beririgasi dengan tujuan melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan dan hortikultura secara berkelajutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran, serta kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediyaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, mempertahankan keseimbangan ekologis, mewujudkan revitalisasi pertanian ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan dan hortikultura berkelanjutan, lahan pertanian pangan dan hortikultura berkelanjutan dan cadangan lahan pertanian pangan dan hortikultua berkelanjutan. III 83

Kawasan peruntukan pertanian untuk budidaya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Kawasan tanaman pangan Kawasan tanaman pangan adalah kawasan lahan basah beririgasi, rawa pasang surut, dan lebak dan lahan basah tidak beririgasi serta lahan kering potensial untuk pemanfatan dan pengembangan tanaman pangan. 2. Hortikultura. Kawasan hortikultura adalah kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembang- an tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari. Kawasan peruntukan pertanian meliputi: 1. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan Pertanian Lahan Basah adalah Kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan pertanian pangan dan hortikultura yang didukung oleh kondisi dan topografi tanah yang memadahi dan sumber utama pengairan-nya berasal dari irigasi, dapat ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan cadangan lahan pertanian pangan yang dilindungi agar berkelanjutan. Ketentuan pemanfaatan Kawasan Tanaman Pangan Lahan Basah adalah sebagai berikut : a. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan sawah tadah hujan di kawasan perdesaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun atau ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih tidak boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian b. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana di kawasan perdesaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian apabila tidak tersedia air irigasi yang cukup dan produktivitas 65% atau kurang dari rata-rata produktivitas pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan III 84

c. Sawah tadah hujan di kawasan perdesaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% dapat dikonversi untuk kegiatan non pertanian d. Sawah irigasi teknis, setengah teknis di kawasan perkotaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih tidak boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian e. Sawah irigasi teknis, setengah teknis di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman sama dengan 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian apabila luas hamparan sawah kurang dari 2 hektar, tidak tersedia air irigasi yang cukup dan produktivitas 65% atau kurang dari rata-rata produktivitas tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan; f. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian g. Sawah irigasi sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian h. Sawah irigasi sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman sama dengan 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. Dilakukan kajian kelayakan strategis b. Disusun rencana alih fungsi lahan c. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan d. Disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan III 85

2. kawasan pertanian lahan kering Kawasan Pertanian lahan kering adalah Kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan pertanian pangan dan hortikultura yang didukung oleh kondisi dan topografi tanah yang memadahi dan sumber utama pengairannya berasal dari air hujan, dapat ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan cadangan lahan pertanian pangan yang dilindungi agar berkelanjutan. Kawasan pertanian lahan basah seluas ± 990.652 hektar diarahkan dan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal. Kawasan pertanian lahan kering seluas ± 955.587 hektar tersebar di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal. III 86

3.3.4. Perda Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Jepara Tahun 2011-2031 1. Kebijakan penataan ruang kabupaten meliputi: a. Pengembangan dan pemberdayaan industri mikro, kecil dan menengah dengan titik berat pada pengolahan hasil pertanian, kehutanan, bahan dasar hasil tambang, dan perikanan Strategi meliputi : a) Mengembangkan industri mebel ukir, tenun ikat, konveksi, perhiasan, makanan, keramik dan rokok b) Mengembangkan klaster-klaster industri c) Mendorong peningkatan kegiatan koperasi,usaha mikro, kecil dan menengah d) Mengembangkan pusat pengolahan hasil pertanian dan perikanan e) Mengembangkan wilayah industri. b. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan bertumpu pada budaya lokal Strategi meliputi : a) mengembangkan wisata bahari, religi,alam dan buatan; b) mengembangkan kawasan perkotaan dengan potensi pariwisata sebagai PKLp; c) mempercepat pembangunan simpul pariwisata; dan d) mengembangkan obyek wisata andalan. 2. Rencana sistem pusat kegiatan meliputi : a. PKL di perkotaan Jepara dan Pecangaan PKL sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pelayanan sosial dan ekonomi, permukiman perkotaan, perdagangan, industri, perikanan, pendidikan tinggi, perhubungan, pariwisata danpertanian b. PKLp di perkotaan Bangsri, Mayong, Kelingdan Karimunjawa PKLp sebagai pusat pengembangan pelayanan sosial dan ekonomi, pengembangan permukiman perkotaan, perdagangan, industri, pertanian, perikanan, pengembangan budi daya hutan, riset perikanan, pelestarian sumber daya alam, konservasi, perhubungan dan pariwisata III 87

3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Berikut ini adalah tabel rencana pola ruang wilayah kabupaten Jepara Rencana pola ruang wilayah kabupaten Jepara Kawasan lindung Kawasan budi daya 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya 3. Kawasan perlindungan setempat 4. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya 5. Kawasan rawan bencana alam 6. Kawasan lindung geologi dan 7. Kawasan lindung lainnya. a. Kawasan peruntukan hutan produksi Kawasan peruntukan hutan produksi meliputi: a) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas 1. Kawasan peruntukan hutan produksi 2. Kawasan peruntukan hutan rakyat 3. Kawasan peruntukan pertanian 4. Kawasan peruntukan perikanan 5. Kawasan peruntukan pertambangan 6. Kawasan peruntukan industri 7. Kawasan peruntukan pariwisata 8. Kawasan peruntukan permukiman dan 9. Kawasan peruntukan lainnya. Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas dengan luas kurang lebih 3.509,31 (tiga ribu lima ratus sembilan koma tiga puluh satu) ha meliputi: Kecamatan Donorojo, Kecamatan Keling, Kecamatan Mayong, Kecamatan Batealit, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri dan Kecamatan Pakisaji. b) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap. Kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada dengan luas kurang lebih 6.910,51 (enam ribu sembilan ratus sepuluh koma lima puluh satu) ha meliputi: Kecamatan Donorojo, Kecamatan Keling, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri dan Kecamatan Mlonggo. b. Kawasan peruntukan hutan rakyat dengan luas kurang lebih 11.858,260 (sebelas ribu delapan ratus lima puluh delapan koma dua ratus enam puluh) ha meliputi: Kecamatan Keling, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kedung, III 88

Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Welahan dan Kecamatan Karimunjawa. c. Kawasan peruntukan pertanian terdiri atas: a) Peruntukan tanaman pangan b) Peruntukan hortikultura c) Peruntukan perkebunan dan d) Peruntukan peternakan Kawasan peruntukan tanaman pangan meliputi: a) Peruntukan pertanian lahan basah b) Peruntukan pertanian lahan kering. Kawasan peruntukan pertanian lahan basah tersebar di seluruh wilayah kabupaten, meliputi: Kecamatan Kedung, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Jepara, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Welahan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Donorojo Kawasan peruntukan pertanian lahan basah tersebar di seluruh wilayah kabupaten, meliputi: a) Kecamatan Kedung dengan luas kurang lebih 1.960,215 (seribu sembilan ratus enam puluh koma dua ratus lima belas) ha; b) Kecamatan Tahunan dengan luas kurang lebih 1.038,271 (seribu tiga puluh delapan koma dua ratus tujuh puluh satu) ha; c) Kecamatan Jepara dengan luas kurang lebih 402,610 (empat ratus dua koma enam ratus sepuluh) ha; d) Kecamatan Batealit dengan luas kurang lebih 2.238,700 (dua ribu dua ratus tiga puluh delapan koma tujuh ratus) ha; e) Kecamatan Kalinyamatan dengan luas kurang lebih 1.443,624 (seribu empat ratus empat puluh tiga koma enam ratus dua puluh empat) ha; f) Kecamatan Pecangaan dengan luas kurang lebih 1.536,696 (seribu lima ratus tiga puluh enam koma enam ratus sembilan puluh enam) ha; III 89

g) Kecamatan Welahan dengan luas kurang lebih 1.576,760 (seribu lima ratus tujuh puluh enam koma tujuh ratus enam puluh) ha; h) Kecamatan Mayong dengan luas kurang lebih 2.065,553 (dua ribu enam puluh lima koma lima ratus lima puluh tiga) ha; i) Kecamatan Nalumsari dengan luas kurang lebih 2.237,801 (dua ribu dua ratus tiga puluh tujuh koma delapan ratus satu) ha; j) Kecamatan Mlonggo dengan luas kurang lebih 1.149,219 (seribu seratus empat puluh sembilan koma dua ratus sembilan belas) ha; k) Kecamatan Bangsri dengan luas kurang lebih 2.134,288 (dua ribu seratus tiga puluh empat koma dua ratus delapan puluh delapan) ha; l) Kecamatan Kembang dengan luas kurang lebih 2.245,447 (dua ribu dua ratus empat puluh lima koma empat ratus empat puluh tujuh) ha; m) Kecamatan Keling dengan luas kurang lebih 2.262,537 (dua ribu dua ratus enam puluh dua koma lima ratus tiga puluh tujuh) ha; n) Kecamatan Pakisaji dengan luas kurang lebih 1.481,514 (seribu empat ratus delapan puluh satu koma lima ratus empat belas) ha; dan o) Kecamatan Donorojo dengan luas kurang lebih 1.244,105 (seribu dua ratus empat puluh empat koma seratus lima) ha. Kawasan peruntukan pertanian lahan kering meliputi: Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Jepara, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Welahan, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Keling, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kembang, Kecamatan Kedung, Kecamatan Donorojo. d. Kawasan peruntukan hortikultura tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Kawasan peruntukan perkebunan dengan luas kurang lebih 32.587,96 (tiga puluh dua ribu lima ratus delapan puluh tujuh koma sembilan puluh enam) ha meliputi: Kecamatan Mayong, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kedung, Kecamatan Keling, Kecamatan Kembang, Kecamatan Batealit, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Karimunjawa. e. Kawasan peruntukan peternakan meliputi: III 90

a) peternakan ternak besar di Kecamatan Mayong, Donorojo, Keling, Kembang, Batealit, Bangsri, Mlonggo, Pakisaji, Nalumsari, dan Welahan; dan b) peternakan ternak kecil di Kecamatan Donorojo, Keling, Kembang, Mlonggo, Pakisaji, Batealit, Pecangaan, Kalinyamatan, Kedung, Mayong, dan Nalumsari; dan c) peternakan ternak unggas di Kecamatan Kalinyamatan, Welahan, Mayong, Nalumsari, Batealit, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Keling, Donorojo, Pakisaji, Pecangaan, Kedung dan Kembang. f. Kawasan peruntukan perikanan dengan luas kurang lebih 2.495,6 (dua ribu empat ratus sembilan puluh lima koma enam) ha meliputi: a) peruntukan budi daya air tawar tersebar di seluruh kecamatan; b) peruntukan budi daya air payau di Kecamatan Kedung, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Donorojo, dan Karimunjawa; dan c) peruntukan budi daya air laut di Kecamatan Tahunan, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Donorojo dan Karimunjawa; dan d) peruntukan penangkapan ikan di laut di Kecamatan Kedung, Jepara, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo dan Karimunjawa sesuai zonasinya. g. Kawasan peruntukan pertambangan berupa kawasan pertambangan mineral, meliputi: Kecamatan Bangsri, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Kedung, Kecamatan Keling, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Welahan, Kecamatan Batealit, Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Kembang. h. Kawasan peruntukan industri meliputi: a) sentra industri menengah; dan b) sentra industri mikro dan kecil. Kawasan peruntukan industri berupa pembangunan Kawasan Industri Mulyoharjo di Kecamatan Jepara dengan luas kurang lebih 28 ha; Kawasan sentra industri mikro dan kecil meliputi: III 91

a) Sentra industri kerajinan mebel di Kecamatan Tahunan, Jepara dan Kedung; b) Sentra industri ukir akar dan patung di Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara; c) Sentra industri kerajinan monel dan emas di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan; d) Sentra industri kerajinan keramik di Desa Pelemkerep, Mayong Lor dan Mayong Kidul Kecamatan Mayong e) Sentra industri tenun ikat troso di Desa Troso Kecamatan Pecangaan; f) Sentra industri kerajinan anyaman rotan di Desa Teluk Wetan Kecamatan Welahan; g) Sentra industri kue dan roti di Desa Bugo Kecamatan Welahan; h) Industri rokok kretek di Kecamatan Kalinyamatan, Nalumsari, Mayong dan Welahan; i) Sentra industri konveksi di kecamatan Kalinyamatan, Mayong dan Nalumsari; dan j) Sentra industri anyaman bambu di desa Buaran kecamatan Mayong. i. Kawasan pariwisata alam meliputi: a) Pantai Kartini di Kecamatan Jepara b) Pantai Tirto Samudro di Kecamatan Jepara c) Wisata Kepulauan Karimunjawa di Kecamatan Karimunjawa d) Pulau Panjang di Kecamatan Jepara e) Pulau Mandalika di Kecamatan Donorojo f) Pantai Pailus di Kecamatan Mlonggo g) Pantai Pungkruk di Kecamatan Ml.onggo h) Pantai Bondo di Kecamatan Bangsri i) Pantai Banyutowo di Kecamatan Kembang j) Sonder Kalinyamat di Kecamatan Donorojo k) Kluster Buah Belimbing di Kecamatan Welahan l) Kluster Buah Durian di Kecamatan Pecangaan m) Kluster Buah Jeruk Siam di Kecamatan Nalumsari III 92

n) Air Terjun Songgolangit di Kecamatan Kembang o) Desa Wisata Tempur di Kecamatan Keling p) Wana Wisata Sreni lndah di Kecamatan Nalumsari q) Wana Wisata Desa Tanjung di Kecamatan Pakisaji r) Wana Wisata Desa Sumanding di Kecamatan Kembang s) Wana Wisata Desa Damarwulan di Kecamatan Keling t) Gua Tritip di Kecamatan Donorojo u) Bumi Perkemahan di Kecamatan Pakisaji v) Kluster Kambing PE di Kecamatan Donorojo w) Air Terjun Suroloyo di kecamatan Mayong x) Pantai Empurancak di kecamatan Mlonggo j. Kawasan peruntukan permukiman dengan luas kurang lebih 5.828,07 (lima ribu delapan ratus dua puluh delapan koma tujuh) ha meliputi : a) permukiman perdesaan Dengan luas kurang lebih 2.598,37 (dua ribu lima ratus sembilan puluh delapan koma tiga puluh tujuh) ha meliputi: semua kecamatan di kabupaten Jepara. b) permukiman perkotaan. Kawasan permukiman perkotaan dengan luas kurang lebih 3.229,70 (tiga ribu dua ratus dua puluh sembilan koma tujuh puluh) ha meliputi: semua kecamatan di Kabupaten Jepara k. Kawasan peruntukan lainnya meliputi: a) kawasan khusus untuk militer di Desa Mororejo dan Pulau Gundul; dan b) kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Perwujudan kawasan budidaya mencakup: hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, kawasan khusus militer dan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Perwujudan kawasan budi daya pertanian mencakup kegiatan: a. penyusunan kebijakan revitalisasi pertanian; b. pengembangan sawah baru; c. pengembangan budi daya perkebunan yang lestari; III 93

d. pengembangan perkebunan rakyat; e. inventarisasi dan penetapan lokasi usaha peternakan dan kawasan sentra produksi ternak; f. penataan dan pengendalian lokasi usaha peternakan dan kawasan sentra produksi ternak; dan g. monitoring dan evaluasi revitalisasi pertanian. 3.3.5. RPJPD Kabupaten Jepara Tahun 2005-2025 (Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan pembangunan lima tahunan tahapan pertama dan kedua, maka tahapan ketiga diarahkan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Misi kedua yaitu peningkatan ekonomi masyarakat dan daerah berbasis pada industri, pertanian dan pariwisata, didukung dengan sektor lain yang berdaya saing tinggi; misi ini akan dilaksanakan dengan prioritas pada pembangunan perekonomian masyarakat yang ditekankan, pada fasilitasi permodalan dan teknologi tepat guna, khususnya untuk aktivitas ekonomi pada sektor basis di atas,atau sektor lain yang berdaya saing tinggi. Peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat dari sisi permodalan dan dukungan teknologi akan berdampak pada peningkatan daya saing yang semakin kuat dan kompetitif diperkuat dengan adanya keterpaduan industri pengolahan dengan pertanian, pariwisata, dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan. Misi keempat yaitu peningkatan prasarana dan sarana yang menunjang pengembangan kawasan (wilayah) berbasis pada kemampuan dan potensi lokal. Pada tahapan ketiga diprioritaskan pada peningkatan dan pemeliharaan (rehabilitasi) prasarana dan sarana penunjang pengembangan kawasan/ wilayah. Terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja III 94

sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. III 95

BAB IV ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN Bab empat analisis potensi, dan strategi pengembangan dan pemberdayaan merupakan bagian utama dari kajian ini. Pokok-pokok bahasan yang disajikan terdiri dari: 1) identifikasi potensi, 2) analisis zona agroekologi, 3) analisis potensi, 4) prospek potensi dan pengembangan, 5) strategi pengembangan dan pemberdayaan. Subbab pertama, identifikasi potensi menguraikan mengenai potensi pertanian di Jepara secara umum kemudian mengerucut ke potensi bofarmaka, identifikasi wilayah-wilayah potensial untuk budidaya biofarmaka, identifikasi pelaku usahata tani dan hasil wawancara dan observasi mengenai aspek agribisnis usahatani biofarmaka. Subbab kedua, analisis agroekologi menjelaskan tentang satuan unit lahan yang tersebar di kabupaten jepara, yang mana terdapat 32 satuan unit lahan. Satuan unit lahan ini merupakan kombinasi dari 13 bentuk lahan, 5 jenis bahan induk tanah, 7 kemiringan lereng, 4 jenis ketinggian dan 5 tipe penggunaan lahan. Hasil analisis ini akan memberikan informasi mengenai zonasi/wilayah yang sesuai untuk penanaman biofarmaka. Subbab ketiga, mengenai analisis potensi menjelaskan mengenai kondisi eksisting budidaya biofarmaka, analisis sebab-sebab penurunan produksi dan luas lahan tanaman biofarmaka. Subbab keempat, mengenai prospek potensi dan pengembangannya menjelaskan tentang prospek potensi pasar biofarmaka baik untuk simplisia maupun produk turunannya, prospek potensi agribisnis biofarmaka, mulai dari hulu hingga hilir dan aspek pendukungnya. Sedangkan untuk pengembangan meliputi: Konsep pengembangan, Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan biofarmaka. Subbab kelima, strategi pengembangan dan pemberdayaan menjelaskan mengenai: penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia; pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan IV 1

usaha; fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan; penyediaan data dan informasi; fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran; bantuan sarana dan prasarana hortikultura; dan pengembangan kemitraan. 4.1. Identifikasi Potensi 4.1.1. Identifikasi Potensi Pertanian Analisis pengembangan potensi daerah merupakan analisis dalam menentukan komoditas unggulan, andalan dan potensial dari masing-masing sektor yang berpengaruh dalam perkembangan perekonomian suatu wilayah. Penentuan komoditas Unggulan, Andalan dan Potensial (UAP) diharapkan dapat memberi gambaran potensi-potensi sumber daya alam yang menjadi potensi unggulan dan andalan yang dapat dikembangkan serta mendorong potensi sumber daya alam yang potensial untuk terus dapat berkembang baik. 1. Komoditas Unggulan Komoditas unggulan adalah komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif, karena telah memenangkan persaingan dengan produk sejenis di daerah lain. Keunggulan kompetitif demikian dapat terjadi karena efisiensi produksinya yang tinggi akibat posisi tawarnya yang tinggi baik terhadap pemasok, pembeli, serta daya saingnya yang tinggi terhadap pesaing, pendatang baru. 2. Komoditas Andalan Komoditas andalan adalah komoditas potensial yang dipandang dapat dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain, karena disamping memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi usaha yang tinggi. Efisiensi usaha itu dapat tercermin dari efisiensi produksi, produktivitas pekerja, profitabilitas dan lain-lain. 3. Komoditas Potensial Komoditas potensial adalah komoditas daerah yang memiliki potensi untuk berkembang karena memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif itu terjadi misalnya karena kecukupan ketersediaan sumber daya, seperti tersedianya bahan baku lokal, ketrampilan sumber daya manusia lokal, teknologi produksi lokal serta sarana dan prasarana lokal lainnya. IV 2

Sentra pengembangan dari masing-masing komoditas unggulan, andalan dan potensial yang ada di Kabupaten Jepara berdasarkan masterplan pengembangan agropolitan, sebagai berikut: 1. Komoditas Unggulan a. Kacang Tanah : Kecamatan Tahunan, Kedung, Welahan, Kembang b. Belimbing : seluruh kecamatan c. Pisang : seluruh kecamatan d. Salak : Kecamatan Keling (Tempur) e. Jambu air : Kecamatan Welahan (Ujungpandan) f. Cengkeh : Kecamatan Tahunan, Keling, Kembang g. Kopi: Kecamatan Bangsri, Keling, Kembang, Batealit h. Kapuk: Kecamatan Donorojo, Pakis aji, Tahunan, Batealit, Bangsri i. Cokelat : Kecamatan Keling, Kembang, Donorojo, Pakis aji j. Lada : Kecamatan Keling, Mayong, Bangsri, Kembang, Pakis aji k. Sapi : Kecamatan Donorojo, Kembang, Bangsri, Keling, Tahunan l. Kambing : Kecamatan Donorojo, Bangsri, Keling, Mlonggo, Kembang, Mayong 2. Komoditas Andalan a. Padi Sawah : Kecamatan Tahunan, Donorojo, Kembang, Mayong, Jepara, Batealit b. Padi Ladang : Kecamatan Kembang, Keling, Welahan c. Jagung: Kecamatan Jepara, Tahunan, Kedung d. Ketela Rambat/Jalar: Kecamatan Pakis aji, Pecangaan, Welahan, Kalinyamatan, Nalumsari, Mayong e. Mangga : tersebar di seluruh kecamatan f. Tebu: Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan, Mayong, Nalumsari, Batealit, Pakis aji, Bangsri, Kembang, Keling g. Kelapa : Kecamatan Karimunjawa, Mayong, Batealit, Tahunan, Kembang, Pakis aji, Mlonggo, Jepara h. Aren: Kecamatan Kembang, Bangsri i. Ayam Buras : Kecamatan Donorojo, Mayong, Keling, Kembang, Nalumsari IV 3

3. Komoditas Potensial a. Ketela Pohon/Ubi Kayu: Kecamatan Tahunan, Jepara, Kedung, Mlonggo, Bangsri b. Kacang Hijau: Kecamatan Kedung, Nalumsari c. Kacang Kedelai: Kecamatan Mayong, Tahunan, Bangsri d. Jambu Mete : Kecamatan Keling, Karimunjawa e. Panili : Kecamatan Keling f. Kencur : Kecamatan Nalumsari, Pakis aji, Mlonggo, Keling g. Jahe : Kecamatan Mayong, Kembang, Keling, Donorojo h. Kunyit : Kecamatan Pakis aji, Bangsri, Kembang, Mlonggo, Mayong i. Laos : Kecamata Nalumsari, Keling j. Temu Lawak : Kecamatan Welahan, Mayong k. Sapi perah : Kecamatan Keling l. Kerbau :Kecamatan Welahan, Kembang m. Kuda : Kecamatan Donorojo, Bangsri n. Domba : Kecamatan Bangsri, Donorojo o. Ayam Ras : Kecamatan Pakis aji, Mlonggo p. Itik : Kecamatan Pecangaan q. Itik Manila : Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan r. Ayam Ras Broiler : Kecamatan Jepara, Batealit s. Burung Puyuh : Kecamatan Welahan, Keling, Mayong Komoditas unggulan, andalan dan potensial, bilamana dilihat berdasarkan wilayah berdasarkan masterplan pengembangan agropolitan, dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut: Tabel 4. 1 Potensi Unggulan, Andalan Dan Potensial Sektor Pertanian No Kecamatan Unggulan Andalan Potensial 1 Kedung Kacang tanah, belimbing, pisang Jagung, mangga Ketela pohon/ubi kayu, kacang hijau 2 Pecangaan Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu Itik, itik manila 3 Kalinyamatan Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu Itik manila IV 4

No Kecamatan Unggulan Andalan Potensial 4 Welahan Kacang tanah, belimbing, pisang, jambu air Padi gogo, ketela rambat/ jalar, mangga Kerbau, burung puyuh 5 Mayong Belimbing, pisang, lada, kambing Padi sawah, ketela rambat/ jalar, mangga, tebu, kelapa, ayam buras 6 Nalumsari Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu, ayam buras 7 Batealit Belimbing, pisang, kopi, kapuk 8 Tahunan Kacang tanah, belimbing, pisang, cengkeh, sapi Padi sawah, mangga, tebu, kelapa Padi sawah, jagung, mangga, kelapa 9 Jepara Belimbing, pisang Padi sawah, jagung, mangga, kelapa 10 Mlonggo Belimbing, pisang, Mangga, kelapa kambing 11 Pakis Aji Belimbing, pisang, Ketela rambat/ jalar, kapuk, cokelat, mangga, tebu, kelapa lada 12 Bangsri Belimbing, pisang, kopi, kapuk, lada, sapi, kambing 13 Kembang Kacang tanah, belimbing, pisang, cengkeh, kopi, cokelat, lada, sapi, kambing 14 Keling Belimbing, pisang, salak, cengkeh, kopi, cokelat, lada, sapi, kambing 15 Donorojo Belimbing, pisang, kapuk, cokelat, sapi, kambing Mangga, tebu, aren Padi sawah, padi lading, mangga, tebu, kelapa, aren, ayam buras Padi gogo, mangga, tebu, ayam buras Padi sawah, mangga, ayam buras Kacang kedelai, jahe, kunyit, temulawak, burung puyuh Kacang hijau, kencur, laos Ayam ras broiler Ketela pohon/ ubi kayu, kacang kedelai Ketela pohon/ ubi kayu, ayam ras broiler Ketela pohon/ ubi kayu, kencur, kunyit Kencur, kunyit, ayam ras Ketela pohon/ ubi kayu, kacang kedelai, kunyit, kuda, domba Jahe, kunyit, kerbau Jambu mete, panili, kencur, jahe, laos, sapi perah, burung puyuh Jahe, kuda, domba 16 Karimunjawa Belimbing, pisang Mangga, kelapa Jambu mete Sumber: Masterplan pengembangan Agropolitan Jepara, 2012 Berdasarkan identifikasi awal, yang mana keberadaan biofarmaka potensial hanya terdapat di wilayah-wilayah kecamatan tertentu, yaitu: Mayong, Nalumsari, IV 5

Batealit, Tahunan, Pakis Aji, Bangsri, Kembang, Keling, dan Donorojo maka tim kemudian melakukan pemetaan awal, yaitu di kecamatan-kecamatan yang berada di kaki gunung muria. 4.1.2. Identifikasi Wilayah Potensial Biofarmaka Jenis tanaman biofarmaka yang masuk dalam catatan statistik meliputi: Tabel 4. 2 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik No Jenis Tanaman Satuan Luas Panen Hasil Produksi (1) (2) (3) (4) 1 Jahe Ha atau m 2 Rimpang 2 Laos (Lengkuas) Ha atau m 2 Rimpang 3 Kencur Ha atau m 2 Rimpang 4 Kunyit Ha atau m 2 Rimpang 5 Lempuyang Ha atau m 2 Rimpang 6 Temulawak Ha atau m 2 Rimpang 7 Temuireng Ha atau m 2 Rimpang 8 Temukunci Ha atau m 2 Rimpang 9 Dringo Ha atau m 2 Rimpang 10 Kapulaga Ha atau m 2 Biji 11 Mengkudu (Pace) pohon Buah 12 Mahkota Dewa pohon Buah 13 Kejibeling Ha atau m 2 Daun 14 Sambiloto Ha atau m 2 Daun 15 Lidah buaya Ha atau m 2 Daun Sumber: Statistik Tanaman Biofarmaka Indonesia 2015 Berdasarkan bentuk produksinya, tanaman biofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok rimpang dan bukan rimpang. Kelompok tanaman rimpang terdiri dari tanaman jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci dan dringo, sedangkan kelompok tanaman bukan rimpang terdiri dari tanaman kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya. Dokumentasi data dari BPS Jepara menunjukkan bahwa data biofarmaka yang tersedia hanya lain Kencur, Jahe, Laos, Kunyit dan Temulawak, selama periode 2008-2013 yang berasal dari Jepara Dalam Angka 2009-2014. Sesudah periode tersebut tidak tercantum lagi. Sehingga untuk updating data diperoleh dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, khususnya Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Data yang tersedia dari mulai tahun 2010-2017 IV 6

Triwulan ke-3. Pada bagian berikut disajikan trend tanaman biofarmaka di Kabupaten Jepara. 6,00 5,00 Luas Panen Jahe (Ha) 4,83 luas Panen (ha) 4,00 3,00 2,00 1,00 1,51 1,01 1,25 1,62 1,11 1,10 0,92 Jahe 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 1 Luas Panen Jahe tahun 2010-2017 produksi (ton) 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 Produksi Jahe (ton) 143,50 41,84 21,85 26,64 25,14 33,06 26,08 20,09 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Jahe Gambar 4. 2 Produksi Jahe tahun 2010-2017 Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen jahe dari tahun 2010-2017 mengalami penurunan, dan trend tertinggi ada pada tahun 2012. IV 7

luas Panen (ha) 180,00 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 154,34 Luas Panen Laos (Ha) 102,85 105,78 39,05 25,18 4,58 Laos / Lengkuas 4,68 8,02 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 3 Luas Panen Laos tahun 2010-2017 produksi (ton) 7.000,00 6.000,00 5.000,00 4.000,00 3.000,00 2.000,00 1.000,00 6.547,10 3.057,85 Produksi Laos (ton) 3.230,62 1.177,87 Laos / Lengkuas 702,45 211,59 773,95 349,92 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 4 Produksi Laos tahun 2010-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lengkuas mengalami penurunan. IV 8

luas Panen (ha) 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 Luas Panen Kencur (Ha) 17,90 9,18 12,84 5,31 9,82 4,49 4,50 Kencur 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun 4,05 Gambar 4. 5 Luas Panen Kencur tahun 2010-2017 produksi (ton) 400,00 350,00 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 376,22 373,90 125,11 Produksi Kencur (ton) 225,65 278,67 103,83 236,30 104,08 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Kencur Gambar 4. 6 Produksi Kencur tahun 2010-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kencur mengalami penurunan. IV 9

luas Panen (ha) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 Luas Panen Kunyit (Ha) 1,40 3,05 1,23 0,80 0,63 0,41 0,41 Kunyit 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun 0,47 Gambar 4. 7 Luas Panen Kunyit tahun 2010-2017 produksi (ton) 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 Produksi Kunyit (ton) 30,61 76,94 26,89 14,67 11,66 9,59 9,65 9,58 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Kunyit Gambar 4. 8 Produksi Kunyit tahun 2010-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kunyit mengalami penurunan. IV 10

luas Panen (ha) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Luas Panen Lempuyang (Ha) 0,37 0,27 0,24 0,01 0,01 Lempuyang 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun 0,01 Gambar 4. 9 Luas Panen Lempuyang tahun 2012-2017 produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Produksi Lempuyang (ton) 8,02 2,95 0,95 0,28 0,22 0,44 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Lempuyang Gambar 4. 10 Produksi Lempuyang tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lempuyang mengalami penurunan. IV 11

Luas Panen Temulawak (Ha) 0,35 0,30 0,27 0,30 0,27 luas Panen (ha) 0,25 0,20 0,15 0,10 0,14 0,21 Temulawak 0,05 0,02 0,02 0,01 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 11 Luas Panen Temulawak tahun 2010-2017 produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 4,76 8,50 5,11 Produksi Temulawak (ton) 4,56 0,78 0,25 0,19 Temulawak 0,08 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 12 Produksi Temulawak tahun 2010-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temulawak mengalami penurunan. IV 12

luas Panen (ha) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Luas Panen Temuireng 0,34 0,22 0,22 0,01 0,01 Temuireng 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun 0,00 Gambar 4. 13 Luas Panen Temuireng tahun 2012-2017 produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Produksi Temuireng (ton) 7,86 4,30 1,05 0,19 0,09 0,18 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Temuireng Gambar 4. 14 Produksi Temuireng tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temuireng mengalami penurunan. IV 13

1,20 1,01 Luas Panen Temukunci 1,00 luas Panen (ha) 0,80 0,60 0,40 0,20 0,05 0,05 0,05 0,10 Temukunci 0,15 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 15 Luas Panen Temukunci tahun 2012-2017 produksi (ton) 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 13,73 0,90 Produksi Temukunci (ton) Temukunci 1,35 5,18 5,37 4,52 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 16 Produksi Temukunci tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temukunci mengalami penurunan. IV 14

produksi (ton) 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,04 0,03 Produksi Dlingo (ton) 0,04 0,03 0,04 Dlingo / Dringo 0,03 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 17 Produksi Dlingo tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen Dlingo relatif stabil. luas Panen (ha) 1,12 1,10 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 0,98 0,96 0,94 0,92 1,10 1,11 1,11 Luas Panen Kapulaga 0,99 0,99 0,99 Kapulaga 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 18 Luas Panen Kapulaga tahun 2012-2017 IV 15

produksi (ton) 50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 Produksi Kapulaga (ton) 23,87 42,97 33,00 44,68 23,48 Kapulaga 11,00 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 19 Produksi Kapulaga tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kapulaga berfluktuasi tapi cenderung turun. luas Panen (Pohon) Luas Panen Mengkudu (pohon) 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 1.075 1.599 1.346 1.286 Mengkudu / Pace *) 1.286 1.296 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 20 Luas Panen Mengkudu tahun 2012-2017 IV 16

produksi (ton) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 28,66 25,53 18,51 17,66 Produksi Mengkudu (buah ribuan) Mengkudu / Pace *) 16,01 18,18 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. Produksi Mengkudu tahun 2012-2017 luas Panen (Pohon) 600 500 400 300 200 100 496 528 Luas Panen Mahkota Dewa (pohon) 443 102 Mahkota Dewa *) 183 133 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 21 Luas Panen Mahkota Dewa tahun 2012-2017 IV 17

produksi (ton) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 24,11 31,23 Produksi Mahkota Dewa (buah ribuan) 19,84 20,34 Mahkota Dewa *) 6,65 8,54 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Gambar 4. 22 Produksi Mahkota Dewa tahun 2012-2017 Luas Panen Kejibeling Kejibeling 0,01 0,01 luas Panen (ha) 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0,00 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 23 Luas Panen Kejibeling tahun 2012-2017 IV 18

produksi (ton) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Produksi Kejibeling (ton) 0,05 0,09 0,09 0,34 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Kejibeling Gambar 4. 24 Produksi Kejibeling tahun 2012-2017 luas Panen (ha) 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 Luas Panen lidah Buaya Lidah Buaya 0,01 0,00 0,00 0,00 0,01 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Gambar 4. 25 Luas Panen Lidah Buaya tahun 2012-2017 IV 19

produksi (ton) 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Produksi Lidah Buaya (ton) 0,38 0,36 0,37 0,36 0,36 0,31 2012 2013 2014 2015 2016 2017 tahun Lidah Buaya Gambar 4. 26 Produksi Lidah Buaya tahun 2012-2017 Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lidah buaya relatif stabil. IV 20

Kontribusi Luas Panen 100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) 50% 0% 2014 Keling 2015 Donorojo 2016 Kembang 2017 Bangsri rata rata Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 27 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelasakan bahwa kontribusi luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman dlingo hanya ada pada kecamatan Pecangaan dan kecamatan Kalinyamatan. 100% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) 50% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 28 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelasakan bahwa kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman dlingo hanya ada pada kecamatan Pecangaan dan kecamatan Kalinyamatan. IV 21

100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 50% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 29 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 100% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 50% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 30 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) IV 22

100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) 50% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 31 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 32 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) IV 23

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) 100% 50% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 33 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) 100% 50% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 34 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) IV 24

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 35 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 36 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) IV 25

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 37 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 38 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) IV 26

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Laos/Lengkuas (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 39 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Laos/Lengkuas (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 40 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%) IV 27

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 41 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 42 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) IV 28

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 43 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 100% 80% 60% 40% 20% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 44 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) IV 29

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa(%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 45 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa(%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 46 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%) IV 30

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 47 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 100% 80% 60% 40% 20% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 48 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) IV 31

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 49 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 50 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) IV 32

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 51 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 52 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) IV 33

Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 53 Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar 4. 54 Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) Berdasarkan trend luas panen dan produksi selama periode 2010-2017, kemudian dirata-rata untuk memperoleh informasi awal mengenai wilayah-wilayah yang potensial. Berikut ini rekapitulasi jenis tanaman dan wilayah yang potensial. IV 34

Tabel 4. 3 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik Luas panen Produksi tanaman Kecamatan biofarmaka Rata-rata Rata-rata Persen Persen (m2) (kg) Dlingo Pecangaan 4 75 27 77,54 Kalinyamatan 1 25 8 22,46 Keling 66.159 53,95 79.958 48,24 Jahe Mayong 11.880 9,69 28.738 17,34 Kembang 13.748 11,21 16.427 9,91 Kapulaga Keling 10.221 100 28.040 100 Kejibeling Jepara 225 100 520 100 Nalumsari 289.550 71,2 874.670 84,22 Kencur Mayong 42.750 10,51 72.875 7,02 Keling 27.660 6,8 39.636 3,82 Keling 34.275 28,49 38.990 27,6 Kunyit Kembang 15.895 13,21 18.593 13,16 Pakis Aji 14.653 12,18 18.201 12,88 Nalumsari 642.213 81,73 2.113.563 87,29 Lengkuas Mayong 47.475 6,04 153.622 6,34 Keling 34.490 4,39 55.153 2,28 Mayong 500 72,73 150 31,86 Lempuyang Pakis Aji 79 11,53 113 24 Welahan 65 9,45 96 20,45 Lidah Buaya Pecangaan 38 100 351 100 Keling 138 58,6 9.478 68,47 Mahkota Dewa Jepara 34 14,33 505 3,65 Kembang 31 13,27 1.635 11,81 Mengkudu/Pace Pecangaan 407 31,22 13.387 76,1 Keling 604 46,34 1.329 7,55 Mayong 500 82,41 150 39,71 Temuireng Welahan 53 8,65 96 25,48 Pakis Aji 25 4,12 71 18,8 Temukunci Keling 419 40,09 3.300 80,36 Kalinyamatan 425 40,69 675 16,44 Mayong 1.050 73,35 1.760 70,26 Temulawak Welahan 186 12,99 368 14,7 Pakis Aji 140 9,78 291 11,62 IV 35

Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui, kecamatan yang dominan dalam budidaya tanaman biofarmaka adalah Keling, Kembang, Mayong, Nalumsari dan Pakis aji. Sedangkan berdasarkan jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan serta klaim khasiat dan jumlah serapan oleh industri obat tradisional (IOT), lima komoditas TO yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan lengkuas. Jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut paling banyak digunakan dalam produk jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit. Secara ekonomi, temulawak, kunyit, kencur, jahe dan lengkuas memberikan kontribusi tinggi bagi perekonomian masyarakat pelaku usaha pertanian biofarmaka. 4.1.3. Identifikasi Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha Pertanian Biofarmaka Pelaku utama pertanian biofarmaka adalah petani biofarmaka dan keluarga intinya. Sedangkan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian biofarmaka. Pelaku pertanian biofarmaka merupakan salah satu komponen penting yang memperlihatkan keberadaan pekerjaan bagi kelompok-kelompok masyarakat Berdasarkan analisis data statistik, dokumen perencanaan, observasi lapangan dan wawancara dengan pelaku pertanian di Kabupaten Jepara untuk wilayah yang potensial dengan tanaman biofarmaka yaitu Desa Tempur dan Desa Damarwulan Kecamatan Keling; Desa Somosari Kecamatan Batealit; Desa Bungu dan Pancur Kecamatan Mayong; Desa Bategede, Ngetuk, Bendanpete, dan Muryolobo Kecamatan Nalumsari. Pelaku pertanian biofarmaka yang dimaksud disini adalah 1. Penjual bibit ada 2 yaitu Desa Margoyoso, Desa Donorojo 2. Kelompok tani dari desa potensial biofarmaka sebanyak 110 3. Tengkulak sebanyak 5 orang 4. Penyuluh pendamping pertanian sebanyak 13 orang 5. Lembaga dasawisma di Kecamatan Keling 6. Home industry di Kecamatan Keling. IV 36

Pada tabel berikut, disajikan tentang identifikasi kelompok tani di wilayah kecamatan yang memiliki potensi biofarmaka. Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kelompok Poktan Kecamatan Kelas POKTAN Frequency Percent Lanjutan 34 30,4 Madya 21 18,8 Batealit Pemula 53 47,3 Utama 4 3,6 Total 112 100 Lanjutan 58 59,2 Madya 17 17,3 Keling Pemula 15 15,3 Utama 8 8,2 Total 98 100 Lanjutan 29 38,2 Madya 12 15,8 Mayong Pemula 31 40,8 Utama 4 5,3 Total 76 100 Lanjutan 19 31,1 Madya 19 31,1 Nalumsari Pemula 15 24,6 Utama 8 13,1 Total 61 100 Berdasarkan tabel diatas data Kelompok poktan dapat dibagi menjadi 4 Kelompok yaitu Kelompok Lanjutan, Madya, Pemula dan Utama. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Kecamatan yang jumlah data poktannya terendah adalah kecamatan Nalumsari sebesar 61 Kelompok Poktan. Pada tabel berikut ini disajikan distribusi frekuensi jenis pertanian yang dibudidayakan oleh kelompok tani. Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Jenis Usaha Kelompok Tani Kecamatan Tanaman Horti pangan kultura Perkebunan peternakan pengolahan Batealit 111 12 105 90 6 Keling 98 112 112 112 112 Mayong 76 61 61 61 17 Nalumsari 61 97 138 138 2 IV 37

Berdasarkan tabel diatas Jenis usaha tanaman pangan berdasarkan kecamatan dapat dilihat bahwa jenis usaha tanaman pangan terendah ada di kecamatan Nalumsari sebesar 41 dan untuk jenis tanaman holtikultura tertinggi ada di Kecamatan Keling. Pada tabel berikut ini disajikan statistik deskriptif luas lahan dan jumlah anggota POKTAN. Tabel 4. 6 Luas Lahan Sawah dan Jumlah Anggota Poktan Rata-rata Kecamatan Keterangan Jumlah pemilikan lahan (Ha/orang) Batealit Luas Lahan Sawah (Ha) 3.222,41 Jumlah Anggota Poktan 6.321 0,5097 Keling Luas Lahan Sawah (Ha) 2.403,92 Jumlah Anggota Poktan 7.555 0,3181 Mayong Luas Lahan Sawah (Ha) 2.066,25 Jumlah Anggota Poktan 5.936 0,3480 Nalumsari Luas Lahan Sawah (Ha) 3.904,3 Jumlah Anggota Poktan 8.939 0,4367 Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa luas lahan yang terdata di POKTAN, paling luas dari kecamatan Nalumsari demikian juga dilihat dari jumlah anggota. Dari hasil wawancara dengan para petani, ketua poktan, ketua gapoktan dan Penyuluh pertanian di Desa Tempur, Dudakawu, Sumanding, Papasan, Tanjung, Plajan, Somosari, Bungu, Pancur, Ngetuk, Muryolobo, Bategede, dan Bendanpete dapat disimpulkan bahwa desa yang potensial untuk tanaman biofarmaka adalah Desa Tempur, Damarwulan, Somosari, Bungu, Pancur, Ngetuk, Muryolobo, Bategede, dan Bendanpete. 4.1.4. Identifikasi Persoalan Agribisnis Biofarmaka Persoalan umum yang dihadapi secara nasional dalam agribisnis biofarmaka adalah ketiadaan program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan dan pemanfaatan biofarmaka dan kurangnya koordinasi dan IV 38

sinkronisasi program antar instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien. Sedangkan, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sektor pertanian secara umum di Kabupaten Jepara adalah: 1. Potensi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sebagai akibat dari perkembangan aktivitas masyarakat yang terjadi di wilayah Kabupaten Jepara 2. Sarana dan prasarana pertanian masih perlu dikembangkan untuk mendukung peningkatan produktifitas pertanian, seperti kemudahan dalam memperoleh bibit unggul dan pupuk, peningkatan jaringan jalan yang mendukung aktivitas pertanian, bimbingan dan penyuluhan di bidang pertanian. 3. Masih terbatasnya sumber daya manusia dalam peningkatan usaha agribisnis (masih terbatasnya ketrampilan petani dalam usaha pengolahan hasil pertanian) 4. Manajemen pemasaran dan distribusi hasil pertanian yang masih bersifat lokal dan belum ada usaha diversifikasi secara optimal. Secara rinci, persoalan-persoalan yang dihadapi dapat diidentifikasi dari aspek-aspek agribisnis: 1. Usaha Agribisnis Hulu Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya, antara lain cara budidaya sesuai GAP (Good Agrikultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi, disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SPO yang dibakukan, serta belum menggunakan bibit unggul. Meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung, namun sampai saat ini belum ada standar benih bermutu yang berasal dari varietas yang sudah dilepas. IV 39

2. Usaha Agribisnis Hilir Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi), merupakan salah satu aspek usaha berdaya saing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81-280 kali. Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi. 3. Infrastruktur dan Kelembagaan Sentra produksi tanaman obat sebagian besar terdapat di pedesaan, dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani sampai saat ini belum dapat dipulihkan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat belum banyak berfungsi, sementara itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat. 4. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi Nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah di dalam perdagangan komoditas tanaman obat. IV 40

Akibatnya minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah. Dari hasil, permasalahan umum ini kemudian tim pengkaji melakukan wawancara terhadap kelompok tani dari desa-desa terpilih di kaki gunung muria. 4.2. Zona Agroekologi Kabupaten Jepara Karakterisasi zona agroekologi (ZAE) disusun pada skala 1:250.000 dilakukan dengan menggunakan peta kerja dari hasil interpretasi foto udara (Samijan, dkk., 2004) dan peta dasar berupa peta rupa bumi skala 1 : 25.000 dan peta geologi skala 1 : 100.000. Peta kerja di overlay dengan citra landsat, peta penggunaan lahan, peta AEZ skala 1:250.000 dan peta tanah tinjau skala 1:250.000. Untuk memverifikasi satuan unit lahan yang terbentuk telah dilakukan survei observasi lapang dan pengamatan data karakteristik lapang pada masingmasing satuan unit lahan. Berdasarkan hasil karakterisasi zona agroekologi, Kabupaten Jepara teridentifikasi memiliki tipe satuan lahan sebanyak 32 satuan unit lahan. Satuan unit lahan (SUL) yang tersebar di Kabupaten Jepara merupakan variasi kombinasi dari 13 bentuk lahan (landform), 5 jenis bahan induk tanah dan 7 kemiringan lereng serta beberapa strata ketinggian tempat dan tipe penggunaan lahan. 1. Bentuk Lahan (landform) Karakteristik lahan yang diidentifikasi dalam rangka penentuan zona agroekologi adalah bentuk lahan (lanform). Karakteristik bentuk lahan ini biasanya juga menggambarkan asal- usul bahan induk yang membentuknya. Dua karakter lahan ini menjadi penentu jenis tanah yang terbentuk diatasnya. Sebaran bentuk lahan di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.7 Sebaran bentuk lahan, Bahan Induk dan Luas No. Bentuk Lahan Bahan Induk Luas (Ha) % 1 Dataran aluvial, Endapan 17.046,97 17,48 banjir dan pesisir 2 Dataran tektonik Batupasir 3.327,86 3,41 3 Kaldera Tuff; Basalt 998,81 1,02 IV 41

No. Bentuk Lahan Bahan Induk Luas (Ha) % 4 Lereng volkan Tuf 37.375,30 38,32 5 Aliran lava Basalt 2.296,18 2,35 6 Dataran volkan Tuf 36.491,61 37,41 97.536,74 100,00 Sumber: Samidjan, 2014 Berdasarkan data pada Tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar wilayah di Kabupaten Jepara didominasi oleh bentuk lahan lereng volkan dan dataran volkan dengan bahan induk tuf. Bentuk lahan lereng dan dataran volkan masing-masing memiliki luas sekitar 37.375,30 ha (38,32%) dan 36.491,61 ha (37,41%). Bentuk lahan berikutnya didominasi oleh dataran aluvial dan dataran banjir dengan bahan induk endapan seluas 17.046,97 ha (17,48%), dan sisanya merupakan bentuk lahan dataran tektonik, kaldera, dan aliran lava dengan luasan sekitar 7,78% dari luas wilayah Kabupaten Jepara. Berdasarkan sebaran bentuk lahan dominan yang terdapat di Kabupaten Jepara membuktikan bahwa wilayah ini secara umum terbentuk dari proses vulkanik, yang diduga berasal dari formasi Gunung Muria. Bentuk lahan lereng dan dataran volkan tersebar pada areal persawahan, tegalan, kebun, hutan primer dan hutan jati, dengan kisaran lereng datar sampai agak datar (0-45 persen). Bentuk lahan dataran aluvial merupakan areal pertanian yang sangat potensial untuk pengembangan komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, sedangkan untuk perbukitan tektonik diarahkan untuk pengembangan komoditas pertanian campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Beberapa faktor pembatas yang perlu dicermati di daerah kaki volkan ini adalah faktor retensi hara (kandungan N dan C organik tanah rendah) dan di beberapa zona dengan kemiringan datar sampai agak datar memiliki kelas drainase agak terhambat oleh karena faktor tekstur tanah yang cenderung berliat. Bentuk lahan terluas ke dua yaitu dataran aluvial dan dataran banjir sebagian besar tersebar pada areal sawah, tambak dan pesisir dengan topografi IV 42

datar sampai agak datar (0-3%). Pada zona ini faktor pembatas yang paling dominan adalah retensi hara (nutrient retention) disebabkan faktor kejenuhan basa, kandungan N dan C organik tanah rendah. Pembatas lain adalah kondisi lapisan perakaran disebabkan tekstur tanah yang cenderung berliat sehingga drainase tanah menjadi agak terhambat sampai terhambat. Sehubungan hal tersebut di atas, maka prioritas utama dalam pengembangan komoditas dan pengelolaan lahan di zona dominan ini harus memperhatikan manajemen pemupukan N dan organik yang tepat dan rasional sesuai dengan tingkat kesuburan yang ada. 2. Bahan Induk Karakteristik lahan utama kedua adalah bahan induk yang merupakan gambaran asal-usul bahan pembentukan tanah. Sebaran bahan induk tanah disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.8 Sebaran bahan induk tanah di Kabupaten Jepara No. Bahan Induk Jenis Tanah Soil Taksonomi Luas (Ha) % 1 Endapan Regosol, Entisol, Inceptisol 17.046,97 17,48 Aluvial, Latosol Batupasir Latosol, Inceptisol 3.327,86 3,41 2 Kambisol, Alfisol 3 Tuff Basalt Latosol, Inceptisol, Andisol 998,81 Kambisol 1,02 4 Tuf Latosol, Inceptisol, Andisol 37.375,30 38,32 Kambisol, Mediteran 5 Basalt Latosol, Kambisol Inceptisol, Andisol 2.296,18 2,35 6 Tuf Kambisol, Inceptisol, Andisol 36.491,61 37,41 Latosol CKM Jumlah 97.536,74 100,00 Sumber: Samidjan, 2014 Apabila dilihat dari material bahan induknya sebagaimana disajikan pada Tabel diatas, Kabupaten Jepara didominasi oleh bahan induk tuff yang menempati luasan sekitar 76,8%. Jenis bahan induk ini biasanya menghasilkan jenis tanah Andisol dan Inceptisol. Pada umumnya tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk tuff ini akan memiliki karakteristik tekstur tanah yang lempung, lempung berliat, liat berlempung dan liat, sehingga berkorelasi pada IV 43

kelas drainase tanah baik sampai terhambat. Tanah-tanah dari bahan induk tuff umumnya memiliki tingkat kesuburan kimia sedang sampai baik. Namun demikian untuk tanah yang sudah mengalami perkembangan tingkat lanjut, biasanya telah mengalami banyak penurunan tingkat kesuburan kimia seperti ph, C organik, unsur N dan K dalam tanah. Beberapa jenis tanah yang terbentuk dari bahan induk tuff yang terdapat di Kabupaten Jepara antara lain Latosol, Kambisol dan Mediteran. 3. Relief dan Kemiringan dibawah ini. Keragaman kemiringan lahan di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel Tabel 4.9 Sebaran kelas kemiringan lahan di Kabupaten Jepara No. Kelas Relief Lereng (%) Luas (Ha) Luas (%) 1 Datar (0-1) 20.901,12 21,4% 2 Agak Datar (1-3) 9.321,97 9,6% 3 Berombak (3-8) 28.104,58 28,8% 4 Bergelombang (8-15) 27.326,90 28,0% 5 Berbukit (15-25) 1.766,30 1,8% 6 Bergunung (>25) 10.115,87 10,4% Jumlah 97.536,74 100,0% Sumber: Samidjan, 2014 Berdasarkan keragaman wilayah dilihat dari permukaan lahan (relief) dan tingkat kemiringannya, Kabupaten Jepara didominasi areal berombak dan bergelombang dengan kelas kemiringan (3-8%) dan (8-15%), dengan luasan masing-masing sekitar 28% dari luas wilayah kabupaten. Zona dengan topografi berombak merupakan daerah potensial untuk pengembangan tanaman semusim, sedangkan pada zona dengan topografi bergelombang, pengembangan komoditas pertanian tanaman semusim sebaiknya sudah dikombinasi dengan tanaman keras sekitar 25%. Wilayah dominan berikutnya di Kabupaten Jepara merupakan daerah dengan topografi datar (0-1%) dengan luasan sekitar 21,4%. Dominasi wilayah datar ini menjadi indikasi adanya potensi yang sangat besar untuk pengembangan komoditas pertanian tanaman semusim, namun harus IV 44

memperhatikan faktor pembatas yang ada yaitu drainase tanah yang cenderung terhambat. Disamping itu, di zona agroekologi dengan topografi datar di Kabupaten Jepara ini juga terdapat areal yang kurang potensial untuk pengembangan pertanian tanaman, yaitu di wilayah pesisir pantai. Hal ini disebabkan adanya faktor pembatas tekstur tanah yang berpasir dan peluang terjadinya intrusi air laut. 4. Tekstur dan Drainase Tanah Unsur karakteristik lahan yang memiliki peran sangat penting terhadap penentuan kelas kesesuaian komoditas pertanian adalah tekstur dan drainase tanah. Tekstur tanah memiliki peran dalam menentukan kondisi lapisan olah tanah terhadap tingkat kegemburannya. Tekstur tanah juga berperan dalam menentukan kelas drainase tanah. Namun demikian, tingkat drainase tanah ini disamping dipengaruhi oleh tekstur tanah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiringan lahan. Jenis tanah yang didominasi oleh fraksi liat, pada kemiringan lahan yang cukup miring (>15%) cenderung akan menghasilkan kondisi drainase yang sedang (agak baik). Keragaan data tekstur dan drainase tanah di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.10 Sebaran tekstur tanah di Kabupaten Jepara No. Tekstur Luas (Ha) % 1 Halus 49.260,57 50,5 2 Agak 32.980,63 33,8 3 Sedang 10.608,23 10,9 4 Agak 0,00 0,0 5 Kasar 4.687,31 4,8 Jumlah 97.536,74 100,0 Sumber: Samidjan, 2014 Tabel 4.11 Sebaran drainase tanah di Kabupaten Jepara No. Kelas Drainase Luas (Ha) (%) 1 Terhambat 22.119,38 22,7 2 Agak Terhambat 29.214,82 30,0 3 Sedang 28.550,27 29,3 4 Baik 7.416,68 7,6 5 Agak Cepat 4.523,96 4,6 6 Cepat 5.711,63 5,9 jumlah 97.536,74 100,0 Sumber: Samidjan, 2014 IV 45

Berdasarkan data pada Tabel diatas telihat, bahwa sebagian besar wilayah di Kabupaten Jepara didominasi oleh tekstur liat sampai liat berdebu. Wilayah yang memiliki tekstur berliat seperti ini meliputi sekitar 50,5%. Kondisi tekstur tanah berliat ini menjadi salah satu sebab kondisi drainase tanah berada pada kelas agak terhambat sampai terhambat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.11, bahwa kondisi wilayah di Kabupaten Jepara dengan drainase agak terhambat mencapai sekitar 30,0% dan terhambat mencapai sekitar 22,7%. Pada tabel 4.12 berikut ini disajikan jenis tanaman biofarmaka yang cocok sesuai dengan zonasi agroekolog dan gambar peta ZAE kabupaten Jepara. IV 46

Tabel 4. 12 Satuan Unit (SUL) Zona Agroekologi di Kabupaten Jepara dan tanaman Biofarmaka yang cocok Sul Zona Landform Kecamatan 1 IV/Wfse Dataran banjir pada sungai meander 2 IV/D Tanggul sungai meander Keling Kembang Pakis Aji Batealit Pecangaan Welahan Mayong 3 IV/Wfse Dataran aluvial Mlonggo Kedung Kalinyamatan 4 IV/W Pesisir lumpur Keling Endapan liat 5 IV/W Pesisir lumpur Donorojo Endapan Mlonggo liat Jepara Kedung 6 IV/Wffe Dataran tektonik berombak 7 IV/Wfhe Dataran tektonik berombak 8 III/Wffe Dataran tektonik bergelombang Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh % Tanaman Yang Cocok Induk (Ha) Endapan Agak datar 1-200 Aluvial 3.493,78 3,58 Lempuyang, Temukunci Endapan Agak datar 1-200 Latosol 2.871,86 2,94 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Endapan Datar 0-10 Latosol 7.841,56 8,04 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah buaya Datar 0-3 Regosol 258,59 0,27 Laos, Sambiloto, Lidah Buaya Datar 0-3 Regosol 2.581,17 2,65 Laos, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Batupasir Berombak 50-100 Latosol 233,11 0,24 Temulawak, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Batupasir Berombak 5-50 Kambisol 1.221,62 1,25 Donorojo Batupasir Bergelomb ang 100-150 Alfisol 1.873,13 1,92

Sul Zona Landform Kecamatan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh Induk (Ha) % Tanaman Yang Cocok 9 IV/Wffe Kaldera Keling Tuf Berombak >1200 Kambisol 235,24 0,24 10 IV/Wffe Kaldera Donorojo Basalt Bergelomb ang 400-700 Latosol 239,67 0,25 Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya, Jahe 11 III/Dffe Kaldera Donorojo Basalt Berbukit kecil 1-150 Kambisol 523,91 0,54 12 II/Dff Lereng volkan atas Nalumsari Tuf Bergunung 400-700 Mediteran 773,47 0,79 13 II/Dfs Lereng volkan atas Bangsri Batealit Tuf Bergunung 400-700 Latosol 3.248,50 3,33 Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya, Jahe 14 IV/Dffe Lereng volkan atas Keling Tuf Bergunung > 700 Latosol 4.523,96 4,64 Temulawak, Kunyit, Jahe, Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mahkota Dewa, Kejibeling, Lidah Buaya 15 III/Wffe Lereng volkan tengah 16 III/Wffe Lereng volkan tengah 17 IV/Dffe Lereng volkan tengah Mayong Nalumsari Keling Bangsri Pakis Aji Nalumsari Tuf Berombak 150-400 Kambisol 2.392,02 2,45 Tuf Tuf Bergelomb ang Bergelomb ang 150-400 Latosol 3.853,16 3,95 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 150-400 Latosol 3.767,57 3,86 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

Sul Zona Landform Kecamatan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh Induk (Ha) % Tanaman Yang Cocok 18 II/Dffe Lereng volkan tengah Kembang Tuf Berbukit 150-400 Latosol 516,14 0,53 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 19 IV/Dfve Lereng volkan Donorojo Tuf Berombak 18537 Kambisol 707,1 0,72 bawah 20 IV/Dffe Lereng volkan Nalumsari Tuf Bergelomb 50-200 Kambisol 225,33 0,23 bawah ang 21 IV/Dffe Lereng volkan bawah Donorojo Mayong Tuf Bergelomb ang 50-200 Kambisol 4.168,18 4,27 22 IV/Wffe Lereng volkan bawah 23 IV/Dffe Lereng volkan bawah 24 II/Dffe Aliran lava subresen 25 II/Dffe Aliran lava subresen Nalumsari Keling Kembang Bangsri Pakis Aji Batealit Keling Bangsri Pakis Aji Batealit Tuf Tuf Bergelomb ang Bergelomb ang Donorojo Basalt Berbukit 50-150 Kambisol 726,24 0,74 50-200 Latosol 6.191,99 6,35 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 50-200 Latosol 7.007,88 7,18 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Basalt Bergunung 150-400 Latosol 1.569,94 1,61 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

Sul Zona Landform Kecamatan 26 IV/Wffe Dataran volkan Bangsri Tahunan Batealit 27 IV/Dffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang 28 IV/Dffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang Bangsri 29 IV/Wffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang Pecangaan Mayong Nalumsari 30 IV/Dffe Dataran volkan Kembang Bangsri Mayong 31 IV/Dffe Dataran volkan Mlonggo Jepara Tahunan Welahan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh % Tanaman Yang Cocok Induk (Ha) Tuf Agak datar 5-25 Kambisol 2.956,32 3,03 Tuf Datar 5-25 Latosol CKM 2.323,22 2,38 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Datar 5-25 Latosol 2.696,11 2,76 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Datar 10-50 Latosol 5.200,47 5,33 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Berombak 10-50 Latosol 5.553,93 5,69 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Berombak 5-50 Latosol 15.914,0 3 Mayong 32 IV/Dei Dataran volkan Keling Tuf Berombak 10-50 Latosol CKM Sumber: observasi dan pengolahan data tim pengkaji, 2017 16,32 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 1.847,54 1,89 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

IV 51

Tabel 4. 13 Potensi Kecocokan Jenis Tanaman Biofarmaka berdasarkan Kecamatan No Jenis Tanaman Kecamatan 1 Dringo Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit 2 Jahe 3 Kapulaga 4 Kejibeling 5 Kencur Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Bangsri, Welahan, Batealit 6 Kunyit Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Bangsri 7 Laos Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo 8 Lempuyang 9 Lidah Buaya 10 Mahkota Dewa 11 Mengkudu 12 Sambiloto Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo 13 Temuireng Keling, Donorojo, Bangsri, Batealit IV 52

No Jenis Tanaman 14 Temukunci 15 Temulawak Kecamatan Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Welahan, Batealit Sumber: observasi dan pengolahan data tim pengkaji, 2017 IV 53

4.3. Analisis Potensi 4.3.1. Kondisi Eksisting dan Analisis Produktivitas Budidaya Biofarmaka Kondisi eksisting pelaku usahatani biofarmaka ditelaah dari aspek-aspek agribisnis, meliputi: aspek hulu, aspek usahatani, aspek hilir dan aspek pendukung. Dari masing-masing aspek dijelaskan sesuai dengan hasil wawancara, baik dengan Penyuluh pendamping, ketua kelompok tani, petani, tengkulak, pengambil kebijakan dll. 1. Hasil wawancara dengan petani Pada tahun 2008-2009 produksi tanaman biofarmaka sangat tinggi. Namun, pada tahun 2010 sampai sekarang mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah ketidakpastian informasi pasar dan harga. Pasar merupakan faktor yang paling dominan dalam penurunan minat petani menanam biofarmaka dan pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi. Bilamana terdapat pasar yang menjanjikan, para petani menyatakan siap untuk melakukan penanaman tanaman biofarmaka. Saat ini tanaman biofarmaka hanya ditanam di pekarangan saja, yaitu hanya sebagai tumpang sari. Para petani tidak menanam secara besar-besaran seperti pada tahun 2008-2009. Akan tetapi di wilayah Muryolobo, sebagian petani menanam tanaman biofarmaka sepanjang musim. Penanaman tersebut dilakukan secara rotasi, misal tahun ini jahe maka musim depan setelah panen diganti dengan kencur. Para petani memperoleh bibit berasal dari persediaan hasil panen. biasanya hasil produksi dari petani sebagian disimpan untuk ditanam kembali dan sebagian lagi dijual kepada tengkulak. Ada juga petani yang membeli bibit dari tengkulak termasuk kebutuhan modal untuk usaha tani, akan tetapi hal tersebut menyebabkan para petani harus menjual kepada tengkulak. Jenis permodalan berasal dari dana pribadi dan pinjaman dari tengkulak. Para petani meminjam uang kepada tengkulak digunakan untuk membeli bibit. Bilamana pada musim panen tiba, para petani harus menjual ke tengkulak tersebut dengan harga yang lebih murah atau pengembalian hasil panen yang lebih banyak. IV 54

2. Hasil wawancara dengan Penyuluh pertanian a. Penyuluh pertanian kecamatan Batealit Dari hasil wawancara dengan penyuluh pertanian kecamatan Batealit, persoalan-persoalan antara lain: 1) Kesadaran masyarakat belum sepenuhnya sadar tentang manfaat dari tanaman biofarmaka. 2) Lamanya proses panen. 3) Sulitnya perairan yang terjadi di Batealit akibat musim kemarau. 4) Peluang pasar yang masih sempit/ ketiadaan informasi pasar yang dimiliki petani. 5) Standar harga untuk tanaman biofarmaka belum ada. 6) Masalah distribusi, diantaranya peluang pasar yang masih kurang. Untuk pengolahan pasca panen biofarmaka oleh kelompok wanita tani (KWT) diantaranya adalah jahe. Jahe tersebut dibuat menjadi ekstra jahe (penghangat badan). Namun baru jahe saja yang terealisasikan, untuk biofarmaka lain belum pernah diolah. Teknologi atau peralatan yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka untuk petani biofarmaka di Batealit belum menggunakan teknologi khusus, mereka masih menggunakan peralatan secara manual. Penyuluh pendamping dalam melakukan pendampingan terhadap petani mengenai pola/perilaku penanaman, tanaman obat/emponempon/biofarmaka salah satunya adalah dengan adanya kegiatan POKJA 3 selain sandang pangan ada juga juga obat-obatan yang berhubungan dengan biofarmaka bisa membangkitkan semangat para petani untuk menanam tanaman biofarmaka. Beberapa tanaman biofarmaka yang banyak dikembangkan di kecamatan Batealit adalah Jahe, laos, kencur, kunyit, kapulogo. Pada tahun 2010-2011 di Somosari pernah mendapatkan bantuan dari perkebunan untuk menanam tanaman kapulogo dalam skala besar. Untuk standar pendampingan terhadap para petani biofarmaka di Kecamatan Batealit, sudah sesuai standar SOP dalam pertanian. Di daerah Batealit hasil produksi biofarmaka belum ada pengolahan khusus untuk pasca panennya. Pengolahannya hanya di jual ke pasar Batealit atau pun di kelola IV 55

menjadi produksi rumahan seperti di konsumsi sendiri atau terkadang dipesan oleh tetangga terdekat untuk keperluan pribadi. Untuk perolehan bibitnya para petani memperoleh dari pasar Batealit sendiri dan ada juga dari antar sesama petani. Untuk penjualan di jual ke pasar-pasar terdekat, ada juga yang di jual ke pasar Batealit karena biasanya di pasar Batealit ada tengkulak dari daerah lain yang khusus untuk membeli tanaman seperti biofarmaka, dan ada juga khusus tengkulak yang langsung mendatangi ke rumah petani. Baik banyak atau sedikit, yang dimiliki oleh petani biasanya tengkulak selalu siap membeli. Akses petani terhadap informasi pasar hanya mengandalkan informasi dari petani lain (sharing informasi dari satu petani dengan petani yang lain). Lembaga Ekonomi Pedesaan seperti LKM (Lembaga Keuangan Mikro) dulunya ada di Kecamatan Batealit untuk membantu para petani, namun karena tidak berjalan dengan baik akibat macetnya pengembalian pinjamannya akhirnya lembaga tersebut ditutup. b. Penyuluh pertanian kecamatan Pakis Aji Dari hasil wawancara dengan penyuluh pertanian Kecamatan Pakis Aji. Penurunan hasil produksi biofarmaka sejak tahun 2010 hingga sekarang diakibatkan karena tidak adanya pasar. Hal ini membuat para petani tidak berminat menanam biofarmaka. Sebab lain adalah bibit berkualitas yang sulit didapatkan. Pada tahun 2008-2009 produksi cukup tinggi, karena pada periode tersebut banyak pembeli skala besar yang siap menampung hasil panen tanaman biofarmaka. Banyaknya potensi pasar membuat para petani mulai bersemangat untuk menanam biofarmaka, namun saat panen besar, tengkulak besar mulai menghilang. Akhirnya para petani mulai berpindah dari awalnya menanam tanaman biofarmaka menjadi menanam tanaman yang lain, maka di tahun 2010 itulah potensi produksi biofarmaka mulai menurun. Permasalahan utama yang dihadapi oleh para petani biofarmaka adalah tidak ada peluang pasar dalam menjual hasil produksi biofarmaka, pembibitan, pemasaran, tidak adanya lembaga perekonomian untuk membantu permodalan para petani untuk mengembangkan tanaman biofarmaka, dan standar dan stabilitas harga yang tidak tentu (harga berfluktuasi). IV 56

Pengolahan pasca panen biofarmaka hanya dikelola untuk produksi rumahan, dijual ke pasar, namun tidak dalam skala besar dan juga jika ada permintaan seperti tukang jamu/jamu gendong. Belum ada teknologi atau peralatan khusus yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka. Kegiatan para penyuluh dalam mendampingi petani biofarmaka adalah sosialisasi TOGA (Tanaman Obat Keluarga) dan memberi pengarahan. Kebanyakan para petani di Kecamatan Pakis aji sebagian besar menanam tanaman pangan, namun masih ada juga yang menanam tanaman biofarmaka seperti jahe, kencur, kunyit namun hanya dalam skala kecil dan biasanya untuk kebutuhan produksi rumahan Untuk Ketersediaan tenaga kerja di Kecamatan Pakis Aji, mayoritas masyarakatnya sangat berpotensi dalam menanam tanaman biofarmaka asalkan peluang pasarnya ada dan perolehan bibitnya mudah. Disayangkan sekali jika di daerah Kecamatan Pakis Aji tidak banyak petani yang menanam tanaman biofarmaka, karena tanah dan cuaca pegunungan disana sangat cocok untuk ditanami tanaman biofarmaka. Kebijakan pemerintah yang diharapkan oleh para penyuluh adalah adanyan sosialisasi yang lebih menjurus ke tanaman biofarmaka, demplot jenis tanaman biofarmaka, membuat peluang pasar untuk produk biofarmaka, kemudahan memperoleh bibit biofarmaka. c. Penyuluh Pertanian Kec. Keling Pada tahun 2008-2009 produksi tanaman biofarmaka di kec. Keling cukup tinggi, namun pada tahun 2010 sampai sekarang tetap stabil tidak mengalami peningkatan. Permasalahan yang dihadapi dalam hal ini adalah bibit tanaman biofarmaka karena di daerah ini memproduksi olahan produk instant maka terkadang terjadi kekurangan pasokan biofarmaka. Pengolahan produk instant berupa temulawak instant, jahe instant, dll. Peralatan yang digunakan berupa parut, pemeras manual, dan wajan. Tanaman yang kebanyakan ditanami oleh petani adalah kapulaga. Petani memperoleh bibit berasal dari sebagian hasil panen yang dijadikan cadangan, dan apabila kehabisan stock para petani membeli di desa IV 57

Donorojo. Penyuluh pendamping melakukan pendampingan secara khusus tidak ada, dan telah sesuai ketentuan/sop pertanian. Minat petani dalam menanam tanaman biofarmaka cukup tinggi karena hasil tanaman biofarmaka yang dijual bukan bahan mentah akan tetapi produk instanst, dan belum terjadi kegagalan panen dan tidak terdapat hama yang bersifat epidemik. Masalah produksi tanaman biofarmaka yang dihadapi oleh petani adalah keterbatasan alat, dan tenaga kerjanya berasal dari keluarga sendiri. Kualitas produksi tanaman biofarmaka cukup baik hal ini dikarenakan tidak ada hama dan menjalankan SOP pertanian meski belum secara penuh. Di Kecamatan Keling petani di beberapa desa, yaitu Tempur, Gelang, Dan Damarwulan banyak menanam biofarmaka karena tanahnya sangat cocok. Hal ini juga sesuai dari analisis ZAE. Pemasaran produk difasilitasi melalui PKK, dan OPD yang memberi pendampingan adalah BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) Jepara (sekarang menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana). Jangkauan pemasarannya adalah wilayah Jepara dan para wisatawan. Alat komunikasi petani menggunakan mulut ke mulut, jenis permodalan yang diperlukan oleh petani yaitu alat, bibit, uang, pupuk. Lembaga pendukung dalam pemasaran adalah melalui kelompok PKK. Organisasi tersebut bernama dasawisma. Para petani di Kecamatan Keling tidak tergantung pada tengkulak hal ini dikarenakan para petani memproduksi sendiri hasil olahan panen. Stabilitas harga produk biofarmaka stabil hal ini dilakukan pengolahan sendiri. Pemerintah telah melakukan sosialisasi terhadap tanamn biofarmaka, perhatian pemerintah terhadap tanaman biofarmaka untuk periode saat ini menurun, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Dalam pendampingan kepada petani penyuluh telah memberikan program-program seperti penyuluhan/sosialisasi, dan juga bantuan alat press. d. Penyuluh Pertanian Kec. Kembang IV 58

Pada tahun 2008-2009 produksi tanaman biofarmaka cukup tinggi, namun pada tahun 2010 sampai sekarang mengalami penurunan hal ini disebabkan potensi pasarnya tidak ada dan juga harga tanaman biofarmaka mengalami penurunan. Permasalahan yang menjadi kendala dalam usahatani biofarmaka adalah pasar, pengolahan pasca panen biofarmaka seperti kunyit dijual kepada tengkulak, peralatan yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka tidak ada hal ini langsung dibeli oleh penebas secara borongan. Tanaman yang banyak ditanami oleh petani adalah kencur, jahe, kunyit. Penyuluh pendamping hanya berorientasi pada pendapatan, dan tidak ada pendampingan kepada petani. Hasil produksi tanaman biofarmaka yang ada di kecamatan kembang dijual kepada tengkulak-tengkulak. Masalah produksi biofarmaka dalam hal ini tidak ada, dan tenaga kerjanya berasal dari keluarga sendiri. Di kecamatan kembang ada beberapa desa yang menanami tanaman biofarmaka yaitu Sumanding, Bucu dan Dudakawu. Mengenai distribusi, tengkulak datang sendiri ke rumah petani. Jenis permodalan yang diperlukan yaitu bibit, pupuk organik. Harga produk biofarmaka adalah berfluktuasi menyebabkan kini sudah tidak banyak petani yang menanam biofarmaka. Pemerintah tidak memberikan fasilitas yang mendukung dalam tanaman biofarmaka dan para petani mengharapkan adanya bantuan bibit. e. Penyuluh Pertanian Kec. Mayong Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh para petani biofarmaka di Desa Bungu dan Pancur adalah ketiadaan tenaga kerja di lapangan (buruh tani), tidak ada jaminan harga, tidak ada pasar untuk menjual hasil panen, dan kesulitan memperoleh bibit. Selama ini hasil produksinya dijual ke tengkulak dengan sistem tebas. Untuk bibit para petani biasanya membeli di pasar dan membeli di tengkulak karena bibitnya lebih unggul tetapi segi harga bibit yang dari tengkukak akan lebih mahal. Permodalan yang dimiliki petani dari modal sendiri akan tetapi kalau para petani butuh uang mereka akan meminjam dari tengkulak dengan IV 59

perjanjian hasil tanamannya dijual ke tengkulak (sistem ijon) dan biasanya harganya lebih rendah dari pasaran. Perhatian dari pemerintah selama ini yaitu hanya pada tanaman palawija dan perkebunan. Untuk tanaman biofarmaka setelah masuk dinas pertanian tidak ada bantuan bibit dari pemerintah, sebagaimana ketika masih di dinas perkebunan masih ada bantuan. 3. Hasil wawancara dengan para pengepul/tengkulak Hasil wawancara dari para pengepul di daerah kudus yaitu dengan Bapak Giyono (Kandangmas rt 02/03), Bapak Sulhadi (Cranggang Rt 01/02), dan Bapak Nirgito (Rejosari, dukuh kepangen rt 06/02). Dari hasil wawancara tersebut tanaman biofarmaka yang sering ditebas adalah Kencur, Kunyit, temulawak, Jahe, Laos (merah/putih). Mereka mulai merintis usaha menjadi pengepul tanaman obat ada yang memulai dari tahun 1990 (Giyono), tahun 2002 (Sulhadi), dan tahun 2007 (Nirgito). Para pengepul biasanya mencari tanaman biofarmaka di wilayah Jepara (Bangsri, Mayong, Batealit), Pati, Kudus. Pera petani juga memperoleh bibit dari para pengepul. Sedangkan para pengepul sendiri memperoleh bibit biasanya dari Kudus, Sumatra, Banyumas, Solo, dan ada juga yang tanaman sendiri (biasanya kalau hasil panen sebagian di tanaman untuk dijadikan bibit). Hubungan antara pengepul dengan para petani memiliki ketergantungan satu sama lain. Para petani tidak bisa menjual hasil panen jika tidak ada pengepul dan sebaliknnya para pengepul juga tidak bisa memenuhi permintaan konsumen jika tidak ada para petani. Jadi disini hubungan antara para petani dan pengepul simbiosis mutualisme dimana keadaan yang saling menguntungkan. Pinjaman modal oleh tengkulak besar sering diberikan kepada para petani ataupun para penebas. Proses pengembaliannya biasanya ada yang mengembalikan pinjaman modal berupa hasil panen sesuai dengan jumlah nominal yang dipinjamnya dari hasil panen, dan ada juga pengepul yang meminta pengembaliannya berupa hasil panen lebih banyak dibanding uang yang dipinjam, perumpamaannya seperti 1:2. Untuk para pengepul pencarian IV 60

tanaman biofarmaka ada yang setiap hari selalu menerima hasil panen dari para petani maupun penebas, dan ada juga tidak setiap hari namun setiap ada permintaan saja pengepul tersebut baru mencari hasil panen ke penebas maupun petani. Kebijakan pemerintah yang diharapkan oleh para pengepul adalah ketersediaan dana pinjaman, perolehan bibit tanaman biofarmaka, dan berikan peluang pasar untuk menjual hasil panen biofarmaka. Untuk melihat kinerja pertanian biofarmaka secara umum, berikut ini disajikan produktivitas tanaman biofarmaka di Jepara selama periode 2010-2017. 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 20,68 41,00 25,96 17,89 rata rata Produktivitas 21,46 15,57 19,57 43,07 71,33 28,34 16,10 75,42 18,58 92,45 Ket: Satuan : ton/ha *) : kg/pohon rata rata Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Gambar 4. 55 Rata-rata Produktivitas Tanaman Biofarmaka Kabupaten Jepara Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa rata-rata produktivitas tanaman biofarmaka kabupaten Jepara untuk tanaman jahe sebesar 20,68 ton/ha; tanaman laos sebesar 41,00 ton/ha; tanaman kencur sebesar 25,96 ton/ha; tanaman kunyit sebesar 17,89 ton/ha; tanaman lempuyang sebesar 21,46 ton/ha; tanaman temulawak sebesar 15,57 ton/ha; tanaman temuireng sebesar 19,57 ton/ha; tanaman temukunci sebesar 43,07 ton/ha; tanaman dlingo sebesar 71,33 ton/ha; tanaman kapulaga sebesar 28,34 ton/ha; tanaman mengkudu 16,10; tanaman kejibeling IV 61

sebesar 18,58; tanaman sambiloto tidak ada yang menanam dan tanaman lidah buaya sebesar 92,45. 4.3.2. Analisis Rantai Nilai Analisis rantai nilai (value chain) menjelaskan tentang interaksi pelakupelaku agribisnis dan lembaga-lembaga dalam agribisnis biofarmaka. Rantai nilai secara umum disajikan pada gambar berikut: Analisis Rantai Nilai Petani Biofarmaka di Kecamatan Keling Perbenihan Infrastruktur Pupuk, Media PETANI BIOFARMAKA Pasca Panen/Hasil Olahan Saranan/Prasaran Permodalan DASAWISMA IV 62

Berdasarkan rantai nilai diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Keling mulai pembenihan sampai dengan pasca panen adalah sebagai berikut: a. Tahap awal petani memperoleh benih tanaman biofarmaka yaitu dari simpanan hasil panennya. Apabila para petani kehabisan stock benihnya maka para petani akan membeli ke Kecamatan Donorojo karena bibit tanaman biofarmaka disana lebih unggul. b. Sarana/prasaranan yang dimiliki oleh petani biofarmaka disana yaitu 20 alat pengemas produk yang berasal dari bantuan pemerintah, dan alat ini penggunaannya masing kurang optimal dikarenakan masih secara bergantian antara petani satu dengan petani yang lainnya. c. Permodalan untuk menjalankan usaha tani biofarmaka berasal dari dana pribadi para petani. d. Hasil dari panen tanaman biofarmaka ini tidak langsung dijual dalam bentuk mentahan akan tetapi dijual dalam bentuk produk yaitu berupa olahan instan. e. Para petani biofarmaka di Kecamatan Keling juga berkerjasama dengan dasawisma untuk melakukan pemasaran hasil olahan instan. Atau hasil olahan instan tersebut selain dipasarkan oleh dasawisma juga dititip-titipkan ke tokotoko. IV 63

Analisis Rantai Nilai Petani Biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit Perbenihan Infrastruktur Pupuk, Media Saranan/Prasaran PETANI BIOFARMAKA Penebas Tengkulak Permodalan Berdasarkan rantai nilai diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit mulai pembenihan sampai dengan pasca panen adalah sebagai berikut: a. Para petani memperoleh bibit berasal dari simpanan hasil tanaman biofarmaka milik petani sendiri dan ada juga yang berasal dari tengkulak. Simpanan hasil tanaman biofarmaka kemudian ditanam setelah panen hasil produksi tersebut sebagian ditanam dan sebagian lagi di jual ke tengkulak langsung atau pun dijual kepada penebas yang dibeli secara borongan. Apabila bibit tersebut diperoleh dari tengkulak maka hasil panen tersebut harus dijual kepada para tengkulak tersebut dan harganya disesuaikan dengan harga atas tengkulak tersebut. b. Mengenai permodalan tengkulak memberikan pinjaman kepada penebas untuk membeli secara borongan atas hasil panen dari petani, dan sebagian juga terdapat pinjam meminjam antara petani dengan tengkulak, akan tetapi terkadang hasil panen dari petani harus memberikan hasil panen yang lebih banyak kepada para tengkulak. c. Hasil dari panen tanaman biofarmaka akan langsung dijual ke penebas secara borongan, dari penebas akan dijual ke tengkulak. Hasil tebasan dari tengkulak ini akan dijual keperusahaan-perusahaan besar melalui supervisor, karena para tengkulak ini sudah memiliki relasi atau jalinan kerjasama dengan IV 64

perusahaan-perusahaan tersebut. Jika petani ingin menjual hasil panennya ke perusahaan-perusahaan besar tersebut akan sangat sulit. Dapat disimpulkan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit adalah mereka memperoleh bibit dari penebas, kemudian hasilnya dijual ke penebas dan modal sebagian berasal dari penebas. Sehingga para petani sangat bergantung dengan penebas. Rantai nilai (value chain) disinyalir menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima petani. Rantai nilai merupakan rantai kegiatan pada proses transformasi produk dari bahan mentah menjadi bahan jadi. Rantai nilai tanaman biofarmaka seringkali sangat panjang, terdiri dari 6-7 tahap pemasaran mulai dari petani, tengkulak lokal, pasar grosir regional, pasar grosir besar, dan pemasok khusus. Kebanyakan industri lebih suka membeli dari pemasok dan pedagang grosir sehingga menyebabkan gross margin (keuntungan kotor) diantara pelaku bisnis menjadi tidak merata. Petani yang merupakan pelaku kunci justru mendapatkan margin yang rendah. Kondisi rantai nilai yang dominan oligopsoni (pasar dikuasai oleh beberapa pembeli), sistem tebas dan ijon menunjukkan bahwa masih banyak kekurangan dalam industri tanaman biofarmaka di Indonesia. Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang melimpah pasti mampu memenuhi permintaan pasokan bahan herbal jika ada upaya perbaikan tata kelola mulai dari pemerintah sampai ke petani. 4.3.3. Analisis SWOT Ringkasan analisis SWOT, disajikan sebagai berikut: Faktor Internal: Kekuatan 1. Kondisi Sumber daya alam 2. Ketersediaan lahan 3. Sudah dikenal secara luas sebagai produsen/sentra 4. Kemitraan antar pelaku utama dan pelaku usaha 5. Kemampuan memenuhi Pesanan/Permintaan Tepat Waktu 6. Kapasitas Produksi 7. Distribusi ke pasar atau ke konsumen IV 65

Faktor Internal: Kelemahan 1. Ketersediaan bibit 2. Kualitas produk 3. Keahlian /ketrampilan sumber daya manusia 4. Biaya produksi 5. pengetahuan tentang standarisasi produksi dan pasca panen 6. Kelembagaan/organisasi 7. Penggunaan teknologi pengolahan 8. Ketersediaan modal/modal yang dimiliki 9. Pengolahan pasca panen 10. Manajemen usaha 11. Jangkauan pemasaran 12. Harga 13. Kemampuan akses permodalan dari pihak lain 14. Kemampuan membaca peluang pasar/informasi pasar 15. Infrastruktur jalan Faktor Eksternal: Peluang 1. Potensi pasar domestik (lokal, regional dan nasional) 2. Pola kemitraan dan partisipasi masyarakat 3. Daya beli masyarakat 4. investasi optimalisasi fungsi lahan 5. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi 6. Kondisi infrastruktur (air bersih, listrik, jalan dsb) 7. Persaiangan harga antar pengusaha/petani 8. Kemudahan dalam memperoleh sarana produksi 9. Pertumbuhan ekonomi daerah 10. Kebijakan/regulasi pemerintah Faktor Eksternal: Ancaman 1. Fluktuasi harga 2. Persaingan usaha produk sejenis 3. Persaingan usaha dengan produk lain 4. Ketidakpastian iklim 5. Produk Impor IV 66

4.4. Prospek Potensi Dan Arah Pengembangan 4.4.1. Prospek potensi Pasar Penggunaan tumbuhan sebagai tanaman obat kini semakin diminati. Pemasaran tanaman obat di dunia pada tahun 2014 dapat mencapai nilai transaksi sebesar 60 miliar US Dolar (Marichamy dkk., 2014). Di Indonesia sendiri, permintaan tanaman obat pada tahun 2002 mencapai 10,5% dari permintaan obat nasional dan naik menjadi 12% pada tahun 2005 (Zulkarnain & Ahmad Zaki, 2007). Sementara itu, penggunaan tanaman obat di Indonesia mencapai sekitar 250 ton per minggu atau sama dengan 12.000 ton per tahun (Kadarwati & Istiqomah, 2011). USAID pada tahun 2006 menyatakan bahwa pasar internasional tanaman obat dan aromatik bertumbuh sebesar 10-15 % per tahunnya. Tingginya permintaan tersebut disebabkan oleh besarnya risiko efek samping yang mungkin ditimbulkan karena penggunaan obat sintesis. Pasar tanaman obat di Indonesia, menurut Departemen Pertanian, terbagi atas industri obat` tradisional (IOT), industri kecil obat tradisional (IKOT), dan industri farmasi. Kategori IOT dan IKOT didasarkan pada besarnya aset. IOT memiliki aset lebih dari 600 juta rupiah, sedangkan IKOT kurang dari 600 juta rupiah. Di Indonesia, ada sebanyak 118 IOT dengan besar pertumbuhan 6,4% per tahun dan 905 IKOT dengan pertumbuhan 1,8% per tahunnya. Pertumbuhan tersebut salah satunya disebabkan oleh kebiasaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi jamu. Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2-3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun 2003. Walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar. Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nlainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, IV 67

permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia. Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam Obat Modern Obat bahan Alam Tahun Permintaan Pangsa Permintaan Pangsa 2003 17 89,5 2 10,5 2010 37 84,0 7,2 16,0 Sumber: Balitbang Pertanian (2005) Berdasarkan hasil analisis studi potensi permintaan dan penawaran tanaman obat (biofarmaka) yang dilakukan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Terpadu (BKMPT) Provinsi Banten pada tahu 2016, diketahui hasilnya sebagai berikut: 1. Permintaan Jahe sebesar 250.000 Ton selama setahun 2. Permintaan Kunyit sebesar 150.000 Ton selama setahun 3. Permintaan Kencur sebesar l 50.000 Ton selama setahun 4. Permintaan Lengkuas sebesar 50.000 Ton selama setahun 4.4.2. Prospek potensi budidaya Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah melepas 1 varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi 20-40 ton/ha dan 3 varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi 10-16 ton/ha, yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional. Namun demikian, petani biofarmaka di Jepara belum memperoleh bibit unggul sebagaimana dimaksud. Hasil identifikasi potensi biofarmaka berdasarkan kecamatan disajikan pada bagian berikut: IV 68

Gambar 4. 56 Peta Potensi Dringo

Gambar 4. 57 Peta Potensi Jahe

Gambar 4. 58 Peta Potensi Kapulaga

Gambar 4. 59 Peta Potensi Kejibeling

Gambar 4. 60 Peta Potensi Kencur

Gambar 4. 61 Peta Potensi Kunyit

Gambar 4. 62 Peta Potensi Laos/Lengkuas

Gambar 4. 63 Peta Potensi Lempuyang

Gambar 4. 64 Peta Potensi Lidah Buaya

Gambar 4. 65 Peta Potensi Mahkota Dewa

Gambar 4. 66 Peta Potensi Mengkudu/Pace

Gambar 4. 67 Peta Potensi Temuireng

Gambar 4. 68 Peta Potensi Temukunci

Gambar 4. 69 Peta Potensi Temulawak

4.4.3. Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia, belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Sebagian besar IOT memperoleh bahan baku di samping berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor, dengan alasan bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman biofarmaka adalah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah. Pengembangan tanaman biofarmaka dapat ditinjau dari beberapa aspek: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek SDM 3. Aspek teknologi dan pengembangan usaha 4. Aspek pembiayaan 5. Aspek promosi dan pemasaran 6. Aspek kemitraan Program umum yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman biofarmaka adalah: 1. Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar; penyusunan kluster tanaman biofarmaka 2. Peningkatan produksi, mutu dan daya saing melalui: (a) penggunaan varietas unggul yang ditanam di tempat yang sesuai dengan penerapan praktek pertanian yang baik (GAP, Good Agricultural Practices) yang didasarkan atas SOP (Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas, (b) Panen dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices). 3. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui: (a) pendidikan dan pelatihan SDM, (b) demplot teknologi produksi bahan tanaman. IV 83

4. Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: (a) pembangunan sarana dan prasarana penunjang transportasi, telekomunikasi ke daerah sentra produksi TO, (b) pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan pemerintah. 5. Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran melalui: (a) pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum terkait, (b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar. 6. Penyusunan kebijakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman biofarmaka melalui penciptaan lingkungan usaha agribisnis dan agroindustri yang kondusif. Peta jalan pengembangan dapat disajikan sebagai berikut: Sumber: Data diolah (2017) Berdasarkan gambar peta jalan pengembangan yang disajikan diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat 2 kegiatan yaitu: IV 84