BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. melihat konsumen sebagai manusia rasional dan emosional yang menginginkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kepuasan konsumen sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menciptakan penjualan (Musfar dan vivi, 2012).

BAB V PENUTUP. Didasarkan pada hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jasanya dengan merangsang unsur unsur emosi konsumen yang menghasilkan

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP EXPERIENTIAL VALUE PADA PRODUK BLACKBERRY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakar pemasaran jasa yang berusaha mendefinisikan pengertian jasa. kenyamanan, hiburan, kesenangan, atau kesehatan) konsumen.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Citra Merek Dalam UKM Kelompok Seni Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis kafe di Indonesia saat ini khusunya dikota-kota besar semakin

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. kebutuhan, dan selera konsumen. Salah satu usaha fashion yaitu

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh persepsi pelanggan atas kinerja produk

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah experiential marketing. Konsep ini berusaha menghadirkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelanggan baru. Strategi strategi tersebut mengharuskan perusahaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Tjiptono, 2005:348). Kata kepuasan atau satisfaction berasal dari bahasa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan pelanggannya. Perusahaan berlomba-lomba menerapkan strategi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya zaman, persaingan dunia bisnis semakin ketat. Banyak

public service yang menyediakan kebutuhan penunjang, khususnya bagi para

BAB II LANDASAN TEORI

Konsep pemasaran terus berkembang dan berubah, dari konsep pemasaran. konvensional menuju konsep pemasaran modern. Faktor-faktor seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. kaitannya dengan sikap masyarakat yang semakin kritis dalam memilih makanan. Makan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. dan inovatif untuk menciptakan suatu bisnis yang berkelas dan bisa bersaing dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini bisnis makanan dan minuman berkembang dengan pesat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah kemajuan komunikasi dan teknologi informasi, serta perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian ini. Maka dalam kajian pustaka ini peneliti mencantumkan hasil-hasil

BAB I PENDAHULUAN. konvensional menuju konsep pemasaran modern. Faktor - faktor seperti

BAB I PENDAHULUAN. semakin ketat menjadi tantangan maupun ancaman bagi para pelaku bisnis. Agar

BAB I PENDAHULUAN. konvensional menuju konsep pemasaran modern. Faktor faktor seperti

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kesuksesan suatu bisnis tergantung pada ide, peluang dan pelaku bisnis.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap perusahaan untuk meningkatkan kualitas produk dan juga pelayanan yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi terus berkembang kearah yang lebih baik. Hal ini

PENGEMBANGAN MODEL MENCIPTAKAN PENGALAMAN KONSUMEN MELALU PENDEKATAN MANAJEMEN DAN METODE PEMASARAN

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman lebih yang melibatkan emosi, perhatian personal dan panca indera.

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih tinggi kepada pelanggan atau konsumen. Di dalam perekonomian yang kreatif ini,

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan bidang usaha yang terjadi di era globalisasi adalah salah satu

BAB V PENUTUP. Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil dan pembahasan yang telah

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Loyalitas menurut Aaker (dalam margaretha, 2004:297) dinyatakan sebagai suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini bisnis makanan berkembang dengan semakin banyaknya. dalam industri ini demi mencapai tujuan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperoleh pengalaman seperti yang diharapkan pemasarnya. Menurut Pine

BAB V PEMBAHASAN. Dari hasil data yang telah diuji melalui uji asumsi klasik dan telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING, CUSTOMER RELATIONSHIP MARKETING

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kegiatan pemasaran sudah tidak lagi ditujukan untuk pertukaran atau

EXPERIENTIAL MARKETING DI MC. DONALD S SURABAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penawaran produk atau jasa dengan merangsang unsur unsur emosi

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING TERHADAP EXPERIENTIAL VALUE PADA MIROTA BATIK YOGYAKARTA. Agung Saputro

BAB I PENDAHULUAN. Berusaha bangkit dari krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia mulai

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak besar terhadap pemasaran perusahaan. berbagai produk dan jasa yang semakin hari semakin homogen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang dengan proses individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

BAB I PENDAHULUAN. Industri Pastry yang semakin meningkat memicu pelaku bisnis untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya produk smartphone baru yang muncul, telah mendorong perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Memperoleh pelanggan-pelanggan yang setia adalah cita-cita terbesar bagi

BAB I PENDAHULUAN. dikelola sendiri yang biasa disebut sebagai guet house. Menurut AHMA

Prosiding Manajemen Komunikasi ISSN:

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. deskriptif dan verifikatif dengan menggunakan teknik analisis Structural Equation

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan atau pelaku bisnis adalah mempertahankan pelanggannya. Untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berada. Olahraga tidak dapat dipisahkan dari kegiatan rutin yang dilakukan oleh manusia karena

BAB I PENDAHULUAN. objek wisata menjadi kebutuhan primer sebagai penyeimbang kesibukan. mereka tersebut. Tempat hiburan maupun objek wisata mampu

Review Jurnal MENCIPTAKAN PENGALAMAN KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIAL MARKETING PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi, para pemasar lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. awal abad 21 dan digunakan sebagai ukuran yang reliabel terhadap pertumbuhan

BAB II URAIAN TEORITIS. Penelitian yang berkaitan dengan Customer Experience dilakukan oleh Jhonatan Gea

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis restoran dan kafe hingga saat ini masih diyakini sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. konvensional menuju konsep pemasaran modern. Faktor faktor seperti

MENCIPTAKAN PENGALAMAN KONSUMEN DENGAN EXPERIENTIAL MARKETING

BAB 1 PENDAHULUAN. usaha dihadapkan pada tantangan-tantangan yang baru agar dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan ataupun ancaman bagi para pelaku bisnis. Pelaku bisnis

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari hari dengan luas ruang penjualan ±

BAB I PENDAHULUAN. konsep pemasaran tradisional yang berfokus pada keistimewaan dan manfaat dari produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nilai satu sama lain. Kemudian Chartered Institute of Marketing (1986) (dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitarnya dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Variabel penelitian dan Definisi Operasional

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. analisa deskriptif dan verifikatif dengan menggunakan path analysis, antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pemasaran tradisional menuju konsep pemasaran modern. Perkembangan dunia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun Keterangan Jumlah kendaraan yang masuk via gerbang tol 1. Jumlah pengun jung melalui gerban.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui

PENGARUH EXPERIENTIAL MARKETING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Experiential Marketing berasal dari dua kata yaitu Experiential dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Analisis Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Hotel

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan meningkatnya edukasi yang berhubungan dengan pemasaran

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mulai menanamkan konsep experiential marketing dan nilai pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada pasar dan harus mampu

Transkripsi:

8 BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2. 1 EXPERIENTIAL MARKETING Experiential marketing menurut (Schmitt 1999 dalam Bagus Aji 2011) menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur-unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Experiential marketing dapat sangat berguna untuk sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan merek yang berada pada tahap penurunan, membedakan produk mereka dari produk pesaing, menciptakan sebuah citra dan identitas untuk sebuah perusahaan, meningkatkan inovasi dan membujuk pelanggan untuk mencoba dan membeli produk, hal yang terpenting adalah menciptakan pelanggan yang loyal (Endang Sulistya, 2009:16). Schmitt (1999) memberikan suatu framework alternatif yang yaitu Strategic Experience Modules (SEMs) 2.1.1 STRATEGIC EXPERIENCE MODULES Strategic experience Modules terdiri dari lima tipe, yaitu sense, feel, think, act, dan relate. 2.1.1.1 Sense Sense adalah aspek- aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Sense bagi konsumen berfungsi

9 untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain, untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat. Ada tiga tujuan strategi panca indera Schmitt,1999): 1. Panca indera sebagai pendiferensiasi Sebuah organisasi dapat menggunakan sense marketing untuk mendiferensiasikan produk organisasi dengan produk pesaing didalam pasar, memotivasi pelanggan untuk membeli produknya, dan mendistrisbusikan nilai kepada konsumen. 2. Panca indera sebagai motivator Penerapan unsur sense dapat memotivasi pelanggan untuk mencoba produk dan membelinya. 3. Panca indera sebagai penyedia nilai Panca indera juga dapat menyediakan nilai yang unik kepada konsumen. 2.1.1.2 Feel Feel berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka

10 dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan. Feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt,1999). Affective experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami, yaitu: 1. Suasana hati (moods). Moods merupakan affective yang tidak spesifik.suasana hati dapat dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih.

11 2. Emosi (emotion), lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati, dan cinta. Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi). 2.1.1.3 Think Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Think marketing adalah salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan melakukan customization secara terus-menerus (Kertajaya, 2004). Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat think campaign berhasil adalah: 1. Kejutan (surprise) Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang sangat penting karena dengan pengalaman-

12 pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama. 2. Memikat (intrigue) Jika kejutan berangkat dari sebuah harapan, intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin tahu pelanggan, apa saja yang memikat pelanggan. Namun daya pikat ini tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalam pelanggan tersebut. 3. Provokasi (provocation) Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif (Shmitt, 1999). 2.1.1.4 Act Act marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen (Schmitt dalam Amir Hamzah, 2007). Act marketing adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi pelanggan terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Kertajaya, 2004). Act marketing didesain untuk menciptakan pengalaman konsumen dalam hubungannya dengan physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain.

13 2.1.1.5 Relate Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama. 2.2 EXPERIENTIAL VALUE Konsumen melihat nilai dari produk atau jasa berdasarkan harga, kualitas, manfaat yang diterima, dan pengorbanan yang dikeluarkan. Nilai dianggap sebagai pertukaran antara harga dan kualitas, atau manfaat dan pengorbanan. Suatu produk atau jasa dikatakan bernilai apabila kualitas atau manfaatnya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan harga yang dibayar atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Holbrook (Kim, 2002:597) mendefinisikan nilai konsumen sebagai preferensi relatif yang mencirikan pengalaman konsumen dalam berinteraksi dengan objek tertentu seperti produk, jasa, tempat, kejadian, atau ide. Menurut pandangan Holbrook nilai pelanggan memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Komparatif: berdasarkan penilaian atau peringkat antara satu objek terhadap objek lainnya. 2) Personal: berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya.

14 3) Situasional: berbeda-beda tergantung pada konteks situasi. Pengalaman bukanlah hal yang bersifat spontan tetapi sesuatu yang diciptakan. Pine dan Gilmore (Wong dan Tsai, 2010:60) mengatakan bahwa pengalaman bersifat internal, terjadi di dalam benak seseorang. Karena setiap orang berbeda, maka pengalaman yang mereka rasakan pun berbeda. Pengalaman aktual bersifat sesaat dan hanya dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan experiential value yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka. Experiential value didefinisikan oleh Mathwick (Wong dan Tsai, 2010:60) sebagai tingkat sejauh mana pengalaman membantu konsumen mencapai tujuan konsumsinya. Persepsi experiential value didasarkan pada interaksi yang mencakup penggunaan langsung atau apresiasi terhadap produk dan jasa. Holbrook (Boztepe, 2010) menggolongkan experiential value ke dalam tiga dimensi yaitu extrinsic/intrinsic, self-oriented/other-oriented, dan active/reactive: Tabel 2. 1 Dimensi Experiential Value Dimensions Extrinsic Intrinsic Active Efficiency (convenience) Play (,fun) Self-oriented Reactive Excellence (quality) Aesthetics (beauty) Active Status (impression) Ethics (virtue, justice) Other-oriented Reactive Esteem (reputation, Spirituality (faith) materialism) Sumber: Boztepe (2010)

15 Tiga dimensi nilai konsumen dijelaskan sebagai berikut: 1) Nilai ekstrinsik versus intrinsik: konsumen melihat nilai atas kepemilikan atau penggunaan produk atau jasa sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir tertentu atau hanya untuk pengalaman itu sendiri. 2) Orientasi diri/orientasi pada orang lain: konsumen melihat nilai sebagai manfaat bagi dirinya sendiri atau manfaat bagi orang lain. 3) Nilai aktif versus reaktif: konsumen melihat nilai melalui penggunaan langsung suatu objek atau melalui pemahaman, apresiasi, dan respon terhadap suatu objek. 2.3 MODEL PENELITIAN Model penelitian ini diadaptasi dari Wang dan Lin (2010) yang kemudian dimodifikasi oleh Farshad, Kwek, dan Amir (2012). Gambar 2.1 Model Penelitian Pengaruh Experiential Marketing pada Experiential Value Sumber: Farshad, Kwek, dan Amir (2012:171)

16 2.4 PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penelitian terdahulu membuktikan hubungan antara experiential marketing dengan experiential value, diantaranya adalah penelitian oleh Chou (2009), Wu dan Liang (2009), yang sama-sama menyatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Chou (2009) menyatakan bahwa nilai akan ditentukan oleh konsumen dalam proses menilai aesthetic, playfulness, service excellent, dan customer return on investment. Experiential value diperoleh dari pengalaman dan untuk itu experiential marketing yang baik akan menimbulkan experiential value yang dirasakan oleh pelanggan. Sehingga hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: H1: Sense Experience berpengaruh pada Experiential Value H2: Feel Experience berpengaruh pada Experiential Value H3: Think Experience berpengaruh pada Experiential Value H4: Act Experience berpengaruh pada Experiential Value H5: Relate Experience berpengaruh pada Experiential Value