MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MEMTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
<Lampiran> KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 10 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PRABUMULIH NOMOR 26 TAHUN 2003 TENTANG IZIN PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PRABUMULIH,

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 10 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH KABUPATEN HALMAHERA TENGAH

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TARAKAN, MEMUTUSKAN :

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG IZIN PENGEBORAN DAN PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH SERTA MATA AIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 56 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 7 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PERIZINAN PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Tanah;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 3 SERI E

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 21 TAHUN 2003 TENTNAG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG IZIN AIR TANAH BUPATI KUDUS,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 29 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN PACITAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU

BUPATI SUBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUBANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR TANAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2006 TENTANG PENDAYAGUNAAN AIR TANAH GUBERNUR JAWA BARAT

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2012 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 5 TAHUN 2006 TENTANG IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO,

BUPATI BONE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI BOYOLALI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN AIR BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG IZIN PENGELOLAAN AIR TANAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2018 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

PEMERINTAH KABUPATEN KARIMUN

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IZIN PEMAKAIAN AIR TANAH DAN IZIN PENGUSAHAAN AIR TANAH

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAP/1 NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BUPATI ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH ROKAN HILIR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 32 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNG MAS NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNG MAS,

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR 9TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI KABUPATEN SRAGEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI SRAGEN,

Pemerintah Provinsi Riau PERATURAN DAERAH PROPINSI RIAU NOMOR : 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang yang berlaku untuk

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO,

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

LAMPIRAN V KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Nomor : 1451 K/10/MEM/2000 Tanggal : 3 November 2000

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

BUPATI BATU BARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATU BARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMAKAIAN DAN PENGUSAHAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG IZIN PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 13 TAHUN 2004 T E N T A N G IZIN PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN AIR BAWAH TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TENGAH,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 6 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN PENGGUNAAN AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

NOMOR 11 TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA BARAT NOMOR : 16 TAHUN 2001 T E N T A N G PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 23 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KOTA DEPOK

Transkripsi:

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MEMTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH MEMTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, perlu menetapkan Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah b. bahwa Pedoman Teknis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat digunakan oleh Badan Legislatif Daerah maupun Badan Eksekutif Daerah dalam menetapkan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan air bawah tanmah; Mengingat : 1. Undang-undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ( LN Tahun1967 No. 22 TLN Nomor 2831); 2. Undang-undang No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan ( LN Tahun 1974 Nomor 65, TLN Nomor 3046); 3. Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya ( LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419); 4. Undang-undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ( LN Tahun 1992 Nomor 115, TLN Nomor 3501); 5. Undang-undang No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( LN Tahun 1997 Nomor 41, TLN Nomor 3685); 6. Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( LN Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699); 7. Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi ( LN Tahun 1999 Nomor 54, TLN Nomor 3833); 8. Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ( LN Tahun 1999 Nomor 60, TLN Nomor 3839); 9. Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ( LN Tahun 1999 Nomor 72, TLN Nomor 3848); 10. Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan ( LN Tahun 1982 Nomor 37, TLN Nomor 3225); 11. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah ( LN Tahun 1997 Nomor 54, TLN Nomor 3691); 12. Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup ( LN Tahun 1999 Nomor 59, TLN Nomor 3838); 13. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonam ( LN

Tahun 2000 Nomor 54, TLN Nomor 3952); 14. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi ( LN Tahun 2000 Nomor 63, TLN Nomor 3955); 15. Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi( LN Tahun 2000 Nomor 64, TLN Nomor 3956); 16. Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi ( LN Tahun 2000 Nomor 65, TLN Nomor 3957); 17. Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1972 tentang Pengaturan, Pengurusan, dan Penguasaan Uap Geotermal, Sumber Air Bawah Tanah dan Mata Air Panas; 18. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 19. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000 tentang Susunan Kabinet Periode Tahun 1999 sampai dengan 2004; 20. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1748 Tahun 1992 tanggal 31 Desember 1992 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 169 Tahun 1988 tanggal 17 Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tata kerja Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi. M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENYELENGGARAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI BIDANG PENGELOLAAN AIR BAWAH TANAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Departemen adalah Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral; 2. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal yang bidang tugasnya meliputi bidang air bawah tanah; 3. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) adalah lembaga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000. 4. Asosiasi adalah asosiasi perusahaan pengeboran air bawah tanah atau asosiasi juru bor air bawah tanah yang telah mendapatkan akreditasi dari LPJK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000; 5. Badan Usaha adalah lembaga swasta atau pemerintah yang salah satu kegiatannya melaksanakan usaha di bidang air bawah tanah. 6. Perusahaan pengeboran air bawah tanah adalah Badan Usaha yang sudah mendapat izin untuk bergerak dalam bidang pengeboran air bawah tanah; 7. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi air bawah tanah; 8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang mempunyai kewenangan di bidang air bawah tanah; 9. Gubernur adalah Gubernur sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999; 10. Bupati adalah Bupati sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999; 11. Walikota adalah Walikota sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999;

12. Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah; 13. Pengelolaan air bawah tanah adalah pengelolaan dalam arti luas mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perizinan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan serta konservasi air bawah tanah; 14. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan menggunakan air bawah tanah untuk keperluan tertentu; 15. Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi dimana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air bawah tanah berlangsung; 16. Akuifer atau lapisan pembawa air adalah lapisan batuan jenuh air di bawah permukaan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah cukup dan ekonomis; 17. Pengambilan air bawah tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran, atau dengan cara membuat bangunan penurap lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan/atau tujuan lain; 18. Inventarisasi air bawah tanah adalah kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, mengumpulkan dan mengelola data air bawah tanah; 19. Konservasi air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara serta mempertahankan mutunya; 20. Pencemaran air bawah tanah adalah masuknya atau dimasukkannya unsur, zat, komponen fisika, kimia atau biologi ke dalam air bawah tanah oleh kegiatan manusia atau oleh proses alami yang mengakibatkan mutu air bawah tanah turun sampai ke tingkat tertentu sehingga tidak lagi sesuai dengan peruntukannya; 21. Pembinaan adalah segala usaha yang mencakup pemberian pengarahan, petunjuk, bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam pelaksanaan pengelolaan air bawah tanah; 22. Pengendalian adalah segala usaha yang mencakup kegiatan pengaturan, penelitian dan pemantauan pengambilan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana demi menjaga kesinambungan ketersediaan dan mutunya; 23. Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin tegaknya peraturan perundangan-undangan pengelolaan air bawah tanah; 24. Persyaratan teknik adalah ketentuan teknik yang harus dipenuhi untuk melakukan kegiatan dibidang air bawah tanah; 25. Prosedur adalah tahapan dan mekanisme yang harus dilalui dan diikuti untuk melakukan kegiatan dibidang air bawah tanah; 26. Pedoman adalah acuan di bidang air bawah tanah yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah setempat; 27. Sumur pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan/atau mutu air bawah tanah pada akuifer tertentu; 28. Jaringan sumur pantau adalah kumpulan sumur pantau yang tertata berdasarkan kebutuhan pemantauan terhadap air bawah tanah pada suatu cekungan air bawah tanah, BAB II ASAS DAN LANDASAN Pasal 2 (1) Pengelolaan air bawah tanah didasarkan atas asas-asas : a. fungsi sosial dan nilai ekonomi; b. kemanfaatan umum; c. keterpaduan dan keserasian; d. keseimbangan

e. kelestarian; f. keadilan; g. kemandirian; h. transparansi dan akuntabilitas publik. (2) Teknis pengelolaan air bawah tanah didasarkan pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah. (3) Hak atas air bawah tanah adalah hak guna air. BAB III PENGELOLAAN Pasal 3 (1) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota. (2) Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan difasilitasi oleh Gubernur. (3) Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan : a. Inventarisasi; b. Perencanaan pendayagunaan; c. Konservasi; d. Peruntukan pemanfaatan; e. Perizinan; f. Pembinaan dan pengendalian; g. Pengawasan; BAB IV INVENTARISASI Pasal 4 (1) Kegiatan inventarisasi meliputi kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, mengumpulkan dan mengelola data air bawah tanah, yang meliputi : a. Sebaran cekungan air bawah tanah dan geometri akuifer; b. Kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area); c. Karakteristik akuifer, dan potensi air bawah tanah; d. Pengambilan air bawah tanah; e. Data lain yang bertalian dengan air bawah tanah. (2) Semua data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum. (3) Kegiatan inventarisasi air bawah tanah perlu memperhatikan kepentingan umum dan Pemerintah dalam rangka rencana atau pola induk pengembangan terpadu air bawah tanah dan pemanfaatannya. (4) Inventarisasi air bawah tanah dalam rangka pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. (5) Pelaksanaan kegiatan evaluasi potensi air bawah tanah dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.

BAB V PERENCANAAN PENDAYAGUNAAN Pasal 5 Kegiatan perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dilaksanakan sebagai dasar pengelolaan air bawah tanah pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah. Pasal 6 (1) Perencanaan pendayagunaan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, didasarkan pada hasil pengolahan dan evaluasi data inventarisasi sebagaimana ditetapkan pada Pasal 4 ayat (1). (2) Perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan air bawah tanah dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota dan melibatkan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Pelaksanaan perencanaan pendayagunaan air bawah tanah dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Menteri ini. (4) Pelaksanaan penentuan debit pengambilan air bawah tanah dan penentuan debit penurapan mata air dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini. BAB VI KONSERVASI Pasal 7 (1) Untuk mencegah terjadinya kerusakan air bawah tanah, lingkungan keberadaannya dan lingkungan sekitarnya, serta untuk perlindungan dan pelestarian air bawah tanah, maka dalam pengelolaan air bawah tanah dilakukan upaya konservasi air bawah tanah. (2) Konservasi air bawah tanah bertumpu pada asas kemanfaatan, kesinambungan ketersediaan, dan kelestarian air bawah tanah, serta lingkungan keberadaannya. (3) Pelaksanaan konservasi dalam mengelola cekungan air bawah tanah didasarkan pada : a. Kajian indentifikasi, evaluasi, cekungan air bawah tanah; b. Kajian kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area); c. Perencanaan pemanfaatan; d. Informasi hasil pemantauan perubahan kondisi air bawah tanah. Pasal 8 (1) Dalam upaya konservasi air bawah tanah dilakukan pemantauan terhadap perubahan muka air bawah tanah melalui sumur pantau. (2) Penetapkan jaringan sumur pantau dalam satu cekungan air bawah tanah lintas Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan difasilitasi Gubernur. (3) Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing menetapkan jaringan sumur pantau pada cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 9 (1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan upaya konservasi air bawah tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

(2) Gubernur, Bupati/Walikota dalam mengelola air bawah tanah bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan keberadaan air bawah tanah dan lingkungan sekitarnya. (3) Setiap pemegang izin pengambilan air bawah tanah dan izin pengambilan mata air, wajib melaksanakan konservasi air bawah tanah sesuai dengan fungsi kawasan yang ditetapkan sesuai tata ruang wilayah yang bersangkutan. BAB VII PERUNTUKAN PEMANFAATAN Pasal 10 (1) Peruntukan pemanfaatan air bawah tanah untuk keperluan air minum merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain. (2) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air bawah tanah adalah sebagai berikut : a. Air Minum; b. Air untuk rumah tangga; c. Air untuk peternakan dan pertanian sederhana; d. Air untuk industri; e. Air untuk irigasi; f. Air untuk pertambangan; g. Air untuk usaha perkotaan; h. Air untuk kepentingan lainnya. (3) Urutan prioritas peruntukan pemanfaatan air bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berubah dengan memperhatikan kepentingan umum dan kondisi setempat. (4) Peruntukan pemanfaatan air bawah tanah ditetapkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing. BAB VIII P E R I Z I N A N Pasal 11 (1) Kegiatan eksplorasi, pengeboran termasuk penggalian, penurapan, dan pengambilan air bawah tanah hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. Izin eksplorasi air bawah tanah; b. Izin pengeboran air bawah tanah; c. Izin penurapan mata air; d. Izin pengambilan air bawah tanah; e. Izin pengambilan mata air. (3) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Bupati/Walikota berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 10. Pasal 12 (1) Prosedur pemberian izin eksplorasi air bawah tanah dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan Menteri ini. (2) Prosedur pemberian izin pengeboran dan izin pengambilan air bawah tanah dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Keputusan Menteri ini;

(3) Prosedur pemberian izin penurapan mata air dan izin pengambilan mata air dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Keputusan Menteri ini Pasal 13 1) Pengeboran air bawah tanah hanya dapat dilakukan oleh : a. Badan Usaha yang mempunyai Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah (SIPPAT) dan juru bornya telah mendapatkan Surat Izin Juru Bor; b. Instansi/Lembaga Pemerintah yang instalasi bornya telah mendapat Surat Tanda Instalasi Bor (STIB) dari LPJK sesuai peraturan perundang-undangan. 2) Izin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah (SIPPAT) dan izin juru bor (SIJB) diberikan oleh Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing setelah mendapatkan sertifikat klasifikasi dan kualifikasi dari Asosiasi dan telah memperoleh registrasi dari LPJK. 3) Prosedur pemberian Izin usaha perusahaan pengeboran air bawah tanah (SIPPAT) dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Keputusan Menteri ini. 4) Prosedur pemberian izin juru bor (SIJB) dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Keputusan Menteri ini. Pasal 14 (1) Pengambilan air bawah tanah untuk keperluan air minum dan air rumah tangga sampai batas-batas tertentu, tidak diperlukan izin. (2) Pengaturan batas-batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati/Walikota. BAB IX PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN Pasal 15 (1) Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing melakukan upaya pembinaan dan pendayagunaan pengambilan air bawah tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengendalian dan pengawasan dalam rangka kegiatan eksplorasi air bawah tanah, pengeboran dan atau penurapan mata air, pengambilan air bawah tanah dan pencemaran serta kerusakan lingkungan air bawah tanah dilakukan oleh Bupati/Walikota dan Masyarakat. (3) Pedoman teknik pengawasan pelaksanaan konstruksi sumur produksi air bawah tanah dilaksanakan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX Keputusan Menteri ini. Pasal 16 Bupati/Walikota menangguhkan setiap pengambilan air bawah tanah yang mengganggu keseimbangan air bawah tanah setempat dan/atau terjadinya kerusakan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X PEMBIAYAAN Pasal 17 (1) Setiap pengambilan dan/atau pemanfaatan air bawah tanah dikenakan pungutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pembiayaan kegiatan konservasi air bawah tanah dibebankan pada APBD dan/atau APBN yang berasal dari pungutan air bawah tanah sebagaimana tersebut pada ayat (1) di atas, dan sumber dana lainnya. (3) Persyaratan teknis penentuan nilai perolehan air dari pemanfaatan air bawah tanah sebagai dasar dalam penetapan pajak pemanfaatan air bawah tanah sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran X Keputusan Menteri ini. BAB XI DATA AIR BAWAH TANAH Pasal 18 (1) Data air bawah tanah yang didapat dari pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6, wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal. (2) Semua data yang ada pada Instansi/Lembaga Pemerintah dan Swasta yang belum pernah disampaikan kepada Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral wajib dilaporkan kepada pemberi izin dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. (3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atas secara nasional dikumpulkan dan dikelola oleh Direktur Jenderal. (4) Direktorat Jenderal merupakan pusat data dan informasi air bawah tanah yang terbuka untuk umum. (5) Gubernur dan/atau Bupati/Walikota mengumpulkan dan mengelola data serta informasi air bawah tanah dan wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal. (6) Data air bawah tanah yang didapat dari pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI Keputusan Menteri ini. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 Semua izin dalam bidang air bawah tanah yang telah telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Keputusan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin yang bersangkutan.

BAB XIII PENUTUP Pasal 20 Kebijakan dalam bentuk pengaturan kewenangan dan pedoman-pedoman lainnya yang dipandang perlu dan belum tercantum dalam Pedoman Teknis ini akan diatur dan ditetapkan kemudian. Pasal 21 Dengan ditetapkan Keputusan Menteri ini, maka : (1) Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/101/M.PE/1994, tentang Pengurusan Administratif Air Bawah Tanah; (2) Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1945.K/101/M.PE/1995, tentang Pedoman Pengelolaan Air Bawah Tanah Untuk Daerah Tingkat II; (3) Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1946.K/101/M.PE/1995, tentang Perizinan Pengeboran dan Pengambilan Air bawah Tanah Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan dan Energi dan peraturan pelaksanaannya, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 22 Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 3 November 2000 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ttd Purnomo Jusgiantoro