BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas sehingga al-qur an dan as-sunnah lebih banyak membicarakan persoalan muamalah dalam bentuk yang global dan umum saja. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam (K Lubis 2000, 3). Salah satu bentuk hukum mu amalah yang sering terjadi adalah kerjasama antara manusia di satu pihak sebagai penyedia jasa manfaat atau tenaga yang lazim disebut sebagi buruh atau pekerja dengan orang lain yang menyediakan pekerjaan yang lazim pula disebut sebagai majikan. Guna memenuhi kebutuhannya pihak buruh mendapat kompensasi berupa upah. Kerja sama seperti ini dalam literatur fiqih sering disebut dengan istilah almal, yakni sewa menyewa jasa tenaga manusia dengan adanya imbalan atau upah. Agama Islam memberikan pedoman bagi kehidupan manusia dalam bidang perekonomian tidak memberikan landasan yang bersifat praktis, berapa besarnya upah yang harus diberikan kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga pekerja atau buruh agar mereka bekerja untuk orang tersebut, sebagaimana dalam al-qur an disebutkan : 1
2 Artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari yang mereka kumpulkan. (Az- Zukhruf : 32 ) (Departemen Agama RI 2002, 492) Ayat di atas menerangkan bahwa mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan, karena yang lemah memerlukan yang kuat dan begitu pula sebaliknya. Hal ini memanfaatkan tenaga atau jasa seseorang tentunya punya imbalan atas tenaga yang dikeluarkan oleh seseorang. Sebagai bagian dari biaya, upah sering dipandang sebagai aspek yang diharapkan dapat memberikan dampak produktivitas setinggi-tingginya agar kelangsungan hidup suatu usaha dapat ditingkatkan dari waktu kewaktu. Sebaliknya dari kacamata kaum pekerja, upah adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarga (Soetjipto 2008, 247). Seseorang sebelum melakukan hubungan kerja dengan orang lain, terlebih dahulu diadakan sesuatu perjanjian kerja baik dalam bentuk sederhana yang pada umumnya dibuat lisan atau dibuat secara formal yaitu dalam bentuk tertulis. Semua upaya tersebut dibuat untuk maksud perlindungan dan kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hubungan kerja sebagaimana realisasi dari perjanjian kerja hendaknya menunjukkan kedudukan masing-masing pihak yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap pekerjaan dan pembayaran upah. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 105
3 Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (At- Taubah :105) ( Departemen Agama RI 2002,492) Suatu pekerjaan umat manusia dianjurkan untuk bekerja keras guna memenuhi kebutuhan dalam melakukan kelangsungan hidupnya. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam al-qur an surat at-taubah ayat 105 di atas bahwa umat manusia harus bekerja keras tanpa harus memikirkan kesulitan-kesulitan yang akan terjadi dalam bekerja ataupun dalam mencari lapangan pekerjaan karena sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang dilakukan oleh umat manusia. Upah mengupah dalam kerja sebagaimana perjanjian-perjanjian lainnya, adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsensual. Perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum yaitu pada saat pelaksanaan upah mengupah berlangsung, maka pihak yang sudah terikat berkewajiban memenuhi suatu perjanjian yang telah dibuat tersebut. Pandangan syariat Islam tentang upah merupakan hak dari orang yang telah bekerja dan kewajiban bagi orang yang mempekerjakan. Meskipun terminologi umum yang digunakan untuk bekerja adalah amal tetapi kata yang dipakai untuk menyebut pekerja adalah ajir bukan amil atau ummal. Kata yang disebut terakhir ini tidak lazim untuk menyebut buruh. Termasuklah di dalam makna kata amil (ummal) adalah orang yang bekerja buat dirinya sendiri. Upah sesungguhnya adalah kompensasi atas jasa yang telah diberikan seseorang tenaga kerja. Pembayaran atau pemberian upah atas jasa atau kerja yang telah dilakukan harus disegerakan. Pemberian upah itu hendaknya berdasarkan akad (kontrak) perjanjian kerja, karena menimbulkan kerja sama antara pekerja dengan majikan atau pengusaha yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-masing pihak. Hak dari pihak yang satu merupakan suatu kewajiban bagi pihak yang lainnya. Adapun kewajiban yang utama bagi majikan adalah membayar upah, sebagaimana Hadis Nabi SAW :
4 د ل ما ح د ث ن ا ب دد ال ب ن ب د ب ب ن د ب ن ب ب ن بط د ب ن ل بل د ب ب ب ا ن ب ب ن ن د ن ن ب ن ل د ( ا ا ب ن ) د ب دا ن ص ى ا ا Artinya : Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Zaid aslam dari ayahnya dari Abdullah ibn Amr berkata : Rasulullah SAW bersabda: berikanlah upah itu sebelum kering keringatnya. (HR. Ibnu Majah) (Rozalinda 2005,104) Penetapan upah bagi pekerja harus mencerminkan keadilan, mempertimbangkan aspek kehidupan sehingga pandangan Islam tentang hak para pekerja dalam menerima upah lebih terwujud. Berkaitan dengan kebutuhan hidup layak pekerja, maka tidak akan lepas dari permasalahan upah. Masalah upah sangat penting dan dampaknya sangat luas. Jika para pekerja tidak menerima upah yang adil dan pantas, maka itu mempengaruhi daya jasa yang akhirnya mempengaruhi standar penghidupan para pekerja beserta keluarga mereka. Bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya atau per hari, maka wajib diberikan di akhir bulan atau pekerjaan itu telah selesai. Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak zholim. Berdasarkan uraian di atas ada fenomena terjadi antara sopir angkot Lubuk Buaya via Pasar Raya yang mana sopir pertama memberikan angkot kepada sopir hoyak untuk mengoperasikan angkotnya 1-2 jam saja, untuk menggantikan sopir pertama makan siang. Kebiasan yang mereka lakukan setiap hari baik sopir pertama maupun sopir hoyak sudah saling mengetahui bahwa upah bagi sopir hoyak sesuai dengan perjanjian yang telah menjadi kebiasan yaitu upah sopir hoyak didapatkannya. berdasarkan berapa banyak uang yang Perselisihan antara sopir pertama dan sopir hoyak kerap terjadi. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman para sopir terhadap upah dalam Islam yang digunakan sehingga masih banyak pihak yang belum
5 mengerti tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mereka miliki dalam suatu pekerjaan. Keterangan penulis dapatkan dari salah seorang sopir pertama yang bernama asli Agung Pratama, akrab dipanggil Agung bahwasanya angkot yang dibawanya diberikan kepada sopir hoyak bernama Hendrik Nugroho, yang akrab dipanggil Hen, Hen adalah sopir hoyak untuk mengoperasikan angkotnya dalam waktu lebih kurang 2 jam. Perjanjian dalam waktu tersebut Hen harus mendapatkan uang sebanyak Rp.50.000,- untuk diberikan kepada sopir pertama sedangkan kelebihan uangnya akan di bagi dua. Apabila Hen tidak mendapatkan uang sebanyak Rp.50.000,- dalam waktu ditentukan, maka Hen harus mencukupi uang tersebut sebesar Rp.50.000,- dengan uangnya sendiri pada waktu mengembalikan angkot setelah lebih kurang 2 jam (Agung Pratama 2016). Penulis juga mendapatkan keterangan dari sopir hoyak yang bernama asli Labay Putra, akrab dipanggil Bay. Menurut keterangannya, bahwa angkot yang diberikan padanya oleh sopir pertama yang bernama Heri Syahrul, akrab dipanggil Heri. Untuk mengoperasikan angkotnya dalam waktu lebih kurang 3 jam dengan perjanjian dalam waktu tersebut harus mendapatkan Uang Rp.75.000,- untuk diberikan pada Heri sedangkan kelebihannya di bagi dua. Apabila Bay tidak mendapatkan uang dalam waktu tersebut Bay harus membayar Rp.75.000,- pada Heri dengan uangnya sendiri pada waktu mengembalikan angkot setelah lebih kurang 3 jam (Labay Putra 2016). Penulis juga melakukan wawancara dengan salah seorang pemilik angkot bernama Aldo Saputra yang akrab dipanggil Aldo. Menurut keterangannya, tujuan dilakukan perjanjian upah antara sopir pertama dengan sopir hoyak dikarenakan sopir pertama telah mengisi atau mengeluarkan uang untuk mengisi minyak bensin ( BBM) yang telah di isi oleh sopir pertama setelah mengoperasikan angkot dan waktu yang telah dipakai oleh sopir hoyak tersebut. Sedangkan bagi sopir hoyak untuk mencari uang dan mengharapkan upah dari pekerjaannya dan apabila sopir
6 hoyak tidak dapat memberikan uang sesuai dengan kesepakatan di atas maka sopir hoyak tidak diberikan angkot lagi (Aldo Putra 2016). Adapun perbedaan atau perbandingan yang terjadi pada sopir angkot selain angkot Lubuk Buaya yaitu angkot yang beroperasi antar Taruko via Pasar Raya. Pembayaran upah sopir hoyak yang mana sopir pertama memberikan atau meminta tolong pada sopir hoyak untuk mengoperasikan angkotnya 1-2 trip (1-2 jam) dengan kesepakatan upah sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan selama waktu yang ditentukan. Apabila sopir hoyak mendapatkan Rp.50.000,- (1-2 jam) maka upah yang didapat sebesar Rp.10.000,- dan apabila sopir hoyak mendapatkan dibawa Rp.50.000 maka sopir pertama memberikan kepada sopir hoyak sebanyak Rp.7.000,- (Agus Haferes 2016). Penulis juga membandingkan pada sopir angkot Siteba via Pasar Raya, yang mana upah mengupah yang terjadi antara sopir pertama dengan sopir hoyak sesuai dengan kesepakatan. Apabila sopir pertama memberikan angkot kepada sopir hoyak untuk mengoperasikan angkotnya dalam waktu yang ditentukan yaitu 1-2 trip (1-2 jam) bila sopir hoyak mendapatkan Rp.50.000,- maka upah yang didapat Rp.10.000,-. Sedangkan apabila kurang dari Rp.50.000,- maka sopir hoyak tidak mendapatkan upah (Awenk 2016). Upah mengupah yang terjadi pada sopir pertama dan sopir hoyak berdasarkan kesepakatan itu sudah menjadi kebiasaan yang terjadi pada tempat di mana angkot Lubuk Buaya beroperasi tersebut. Alasan sopir pertama memberikan upah pada sopir hoyak tersebut dikarenakan penumpang angkot pada saat sekarang berkurang dari tahun yang sebelumnya. Hal ini dikarenakan karena banyaknya transportasi yang menyaingi angkutan kota (angkot) Lubuk Buaya Padang. Berangkat dari contoh di atas, ada suatu hal yang menurut penulis merupakan suatu permasalahan yaitu fenomena yang terjadi pada sopir angkot dalam memberikan upah yang berdasarkan kebiasaan. Menurut penulis hal ini merupakan suatu persoalan yang terjadi dalam pemberian
7 upah. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan membahasnya lebih dalam lagi yang akan penulis tuangkan pada karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul Pemberian Upah Sopir Hoyak pada Angkot Lubuk Buaya Ditinjau dari Hukum Islam 2. Rumusan Masalah Setelah penulis menguraikan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah bagi penulis adalah pemberian upah sopir hoyak pada angkot Lubuk Buaya Padang ditinjau dari hukum Islam. Maksudnya ketidakjelasan upah yang diterima oleh sopir hoyak dalam pengupahan tersebut. 3. Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah : 3.1 Bagaimana keberadaan sopir hoyak dalam hal pengupahan? 3.2 Bagaimana sistem pemberian upah pada sopir hoyak angkutan kota Lubuk Buaya via Pasar Raya di Kota Padang? 3.3 Bagaimana hukum Islam memandang tentang pengupahan yang terjadi pada angkot Lubuk Buaya via Pasar Raya? 4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui secara mendalam tentang tinjauan hukum Islam terhadap upah dalam perjanjian antara sopir utama dengan sopir hoyak angkot Lubuk Buaya. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 4.1 Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian upah sopir hoyak angkot Lubuk Buaya Kota Padang. 4.2 Mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pemberian upah terhadap sopir hoyak Lubuk Buaya Kota Padang. 5. Signifikansi Penelitian
8 Penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang berjudul Pemberian Upah Sopir Hoyak pada Angkot Lubuk Buaya Ditinjau dari Hukum Islam sangat penting untuk diteliti, karena adanya ketidakpastian dan ketidakadilan dalam pemberian upah yang diterima oleh sopir hoyak dari sopir utama pada angkutan kota (angkot). Selain itu, untuk mengetahui dan memperoleh informasi mengenai praktek yang terjadi dalam hal upah mengupah yang terjadi pada sopir hoyak pada angkutan kota (angkot) Lubuk Buaya via Pasar Raya kota Padang. Penelitian ini juga penting karena merujuk pada pandangan hukum Islam tentang pengupahan pada sopir hoyak pada angkot Lubuk Buaya via Pasar Raya. Oleh karena itu, peneliti merasa masalah ini perlu dan penting untuk diteliti agar masalah ini bisa diselesaikan. 6. Studi Literatur Penelitian Studi literarur dilakukan supaya memperjelas masalah yang dikaji karena penelitian serupa pernah ditulis atau dikaji yang sudah berbentuk buku maupun dari penelitian. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian yang dilaksanakan oleh: Fitri Wati Nim. 306.043 jurusan muamalah dengan judul skripsi Pelaksanaan Upah Pemetik Teh pada PTP Nusantara VI Danau Kembar dalam Perspektif Hukum Islam. Pembahasan ini dilatarbelakangi fenomena yang terjadi di PTPN VI Kenagarian Air Batumbuk dalam pemberian upah pemetik teh sering terjadi kekurangan karena kelalaian mandor. Pembayaran kekurangan tersebut dilakukan dengan cara : memotong gaji pemetik teh dan menunda pembayaran pemetik teh. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan upah pemetik teh pada PTPN VI Danau Kembar dengan cara memotong gaji pekerja untuk membayar kekurangan upah bekerja dan penundaan pembayaran upah pemetik teh. Penyelesaian skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan melakukan
9 penelitian lapangan yaitu observasi dan wawancara dengan pemetik teh. Di samping itu dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan menggunakan library research dan field research. Setelah penulis melakukan penelitian maka penulis dapat menyimpulkan bahwa memotong upah pemetik teh untuk dijadikan sebagai penutup kekurangan upah buruh hukumnya haram. Karena yang bertanggungjawab untuk menutupi kekurangan tersebut adalah mandor dan tidak sesuai dengan syariat Islam berdasarkan surat an-nisa : 29. Menunda pembayaran upah pemetik teh dan akan dibayar pada minggu berikutnya hukumnya haram. Sedangkan yang penulis bahas dalam penelitian ini adalah Pemberian Upah Sopir Hoyak pada Angkot Lubuk Buaya Padang Ditinjau dari Hukum Islam. Perbedaannya adalah adalah upah sopir hoyak akan dipotong atau ditangguhkan apabila tidak mencapai target setoran yang diberikan kepada sopir pertama. Sedangkan Fitri Wati meneliti bagaimana pandangan Islam cara memotong gaji pekerja untuk membayar kekurangan upah bekerja dan penundaan pembayaran upah pemetik teh. Karya Ilmiah yang disebutkan di atas sangat membantu pemahaman dalam pembahasan yang penulis lakukan, disebabkan memakai hukum Islam. 7. Kerangka Teori Aktivitas dalam mencari kebutuhan hidup memang sudah menjadi kebiasaan manusia dan itu memang dibolehkan dalam Islam. Jual beli manfaat adalah salah satu konsep yang diterapkan dalam berbagai aktivitas manusia berkaitan dengan proses pemindahan hak guna pakai harta kepada orang lain. Artinya bahwa apabila hak guna pakai milik seseorang bermaksud dipindahkan kepada orang lain. Jual beli manfaat adalah salah satu cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Salah satu bentuk kegiatan dalam Islam yang dibolehkan biasa dilakukan adalah aqad (upah). Dalam konsep Islam upah-mengupah disebut dengan
10 ujrah. Pengertiannya secara etimologi adalah aqad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti. Menurut Hanafiyah, mengartikan dengan akad yang berisi pemilikan manfaat tertentu dari suatu benda yang diganti dengan pembayaran dengan jumlah yang disepakati. Allah telah memberikan perindah dalam al-qur an dan as-sunnah agar bekerja dan berusaha secara maskimal untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga mendapat balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surat at-thalaq ayat 6 sebagai berikut: Artinya : Jika menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka (Q.S. at-thalaq: 6) (Departemen Agama RI 1990, 877) Adapun rukun upah mengupah adalah orang yang berakad, sewa/imbalan, manfaat dan shigat (ijab dan qabul). Sedangkan syaratnya ialah untuk kedua belah pihak yang berakat adalah telah baliq dan berakal, kedua belah pihak yang berkat menyatakan kerelaaanya untuk melakukan upah mengupah, manfaat yang menjadi objeknya harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisihan di kemudian hari, objek upah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat, objek upah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara`, yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, objek upah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan dan upah/sewa dalam akad upah mengupah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. (Haroen 2000, 232). Hukum Islam mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan upah (ujrah) sebagai berikut: 7.1 Upah harus dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan konsultasi terbuka, sehingga dapat terwujudkan di dalam diri setiap individu pelaku ekonomi, rasa kewajiban moral yang tinggi dan dedikasi yang loyal terhadap kepentingan umum (Salim 1999, 99-100).
11 7.2 Upah harus berupa mal mutaqawwim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas (Mas adi 2002, 186). Konkrit atau dengan menyebutkan kriteria-kriteria. Karena upah merupakan pembayaran atas nilai manfaat, nilai tersebut disyaratkan harus diketahui dengan jelas (Hasan 1990, 231). Mempekerjakan orang dengan upah makan, merupakan contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah (ketidakpastian). seperti ini menurut jumhur fuqaha, selain malikiyah tidak sah. Fuqaha Malikiyah menetapkan keabsahan tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dan dapat diketahui berdasarkan adat kebiasaan. 7.3 Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya. Mengupah suatu pekerjaan dengan pekerjaan yang serupa, merupakan contoh yang tidak memenuhi persyaratan ini. Karena itu hukumnya tidak sah, karena dapat mengantarkan pada praktek riba. Contohnya: memperkerjakan kuli untuk membangun rumah dan upahnya berupa bahan bangunan atau rumah. 7.4 Upah perjanjian persewaan hendaknya tidak berupa manfaat dari jenis sesuatu yang dijadikan perjanjian. Tidak sah membantu seseorang dengan upah membantu orang lain. Masalah tersebut tidak sah karena persamaan jenis manfaat. Maka masing-masing itu berkewajiban mengeluarkan upah atau ongkos sepantasnya setelah menggunakan tenaga seseorang tersebut (Zuhaili 2011, 391). 7.5 Berupa harta tetap yang dapat diketahui. Jika manfaat itu tidak jelas dan menyebabkan perselisihan, maka akadnya tidak sah karena ketidakjelasan menghalangi penyerahan dan penerimaan sehingga tidak tercapai maksud akad tersebut. Kejelasan objek akad (manfaat) terwujud dengan penjelasan, tempat manfaat, masa waktu, dan penjelasan, objek kerja dalam penyewaan para pekerja. 8. Metode Penelitian
12 7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan field reseach yaitu memperoleh data yang berada di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, motivasi dan tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexi Maleong 2007,6). Guna memperoleh data yang diperlukan, penulis terjun langsung kelapangan. Penelitian ini difokuskan pada pengupahan sopir hoyak pada angkot Lubuk Buaya Padang, di mana mayoritas sopir angkot Lubuk Buaya Padang pernah melakukan transaksi pengupahan pada sopir hoyak angkot Lubuk Buaya Padang. 7.2 Sumber Data 7.2.1 Data primer yaitu diambil dengan melakukan wawancara para sopir angkot Lubuk Buaya Padang. 7.2.2 Data sekunder yaitu data yang diambil dari kepustakaan, dengan membaca dan memahami buku-buku serta memahami literatur yang berhubungan dengan masalah yang penulis bahas ini. Buku-buku yang menjadi rujukan dalam penulisan ini ialah buku Fiqh Sunnah karangan Asy-Sayyid Sabiq, Fiqh Muamalah Kontekstual karangan Ghufran A. Mas adi, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan upah-mengupah dalam Islam. 7.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini bertempat di Pasar Lubuk Buaya Padang. Penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut karena pada angkot Lubuk Buaya terdapat banyak sopir yang mencari rezki baik dan halal ketaatan masyarakat terhadap ajaran agama Islam. 7.4 Populasi
13 Populasi adalah keseluruhan objek penelitian (Arikunto 2006,130). Populasi berfungsi sebagai sumber data. Populasi dalam penelitian ini adalah semua sopir angkot Lubuk Buaya via Pasar Raya yang pernah memberikan angkot kepada sopir hoyak untuk digantikan sementara oleh sopir hoyak. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 150 para sopir dan 20 sopir hoyak. 7.5 Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang akan menjadi sumber data dalam penelitian (Suratman 1982, 100). Berdasarkan populasi di atas maka diambil sampelnya yaitu sopir pertama dan sopir hoyak. Dengan demikian teknik yang penulis pakai dalam menentukan sampel ini adalah purposive sampling yaitu teknik sampling yang digunakan oleh peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu (Arikunto 2003, 128). Besarnya jumlah sampel yang harus diambil dari populasi dalam suatu kegiatan penelitian sangat tergantung dari keadaan populasi itu sendiri, semakin homogen keadaan populasinya maka jumlah sampel semakin sedikit, begitu juga sebaliknya (Sugiyono 2010, 131). Penelitian eksperimen yang sederhana yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing antara 10 s/d 20 %. Penetapan ukuran sampel dari populasi ini menggunakan rumus Slovin, di mana penetapan sampel mempertimbangkan batas ketelitian yang dapat mempengaruhi kesalahan pengambilan sampel populasi. Oleh karena itu jumlah sampel sopir angkot yang akan diteliti adalah 15 sopir utama dan 5 orang sopir hoyak dari jumlah populasi yang ada, dimana sample yang diambil dianggap telah dapat mewakili jumlah keseluruhan dari objek yang diteliti karena mengingat waktu, biaya dan kemampuan yang terbatas. 7.6 Teknik Pengumpulan Data 7.6.1 Wawancara Teknik yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul
14 data (pewawancara) dengan sumber data. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan cara face to face yaitu peneliti (pewawancara) berhadapan langsung dengan sopir utama dan sopir hoyak angkot Lubuk Buaya untuk menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan dan jawaban responden langsung dicatat oleh pewawancara. 7.6.2 Observasi Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang berusaha menyoroti, melihat serta mengamati fenomena sosial, langsung dari setiap aktivitas subjek penelitian di lapangan. Bentuk observasi yang dilakukan peneliti adalah participant as observer, artinya peneliti memberitahukan kehadiran dan maksudnya kepada kelompok yang diteliti, yaitu penulis melakukan observasi bagaimana sopir hoyak memberikan upah kepada sopir hoyak. 7.6.3 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir,1988: 111). Oleh karena dalam menyempurnakan penelitian ini penulis mencari buku-buku yang berhubungan dengan masalah ini diperpustakaan. 7.7 Teknik Analisis Data Data yang penulis peroleh dianalisis dengan teknik analisis data deskriptif kualitatif maksudnya dengan jalan mengumpulkan data di lapangan kemudian data tersebut disusun menurut subjek pembahasan, kemudian setelah di olah dan dianalisis baru diambil kesimpulan dengan metode deduktif.