21 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeliharaan Semiorganik Pemeliharaan hewan ternak untuk produksi pangan organik merupakan bagian yang sangat penting dari unit usaha tani organik dan harus dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah dalam standar peternakan organik. Pemeliharaan peternakan organik harus dilakukan dengan menggunakan metode pembibitan yang alami, meminimalkan stress, mencegah penyakit, secara progresif menghindari penggunaan obat hewan jenis kemotrafika (termasuk anitibiotik) alopati kimia, mengurangi pakan ternak yang berasal dari binatang serta menjaga kesehatan dan kesejahteraannya (SNI, 2002). Dalam penelitian ini selama pemeliharaan ternak tidak menggunakan vaksin dan obat-obatan serta mengurangi bahan kimia yang digunakan dalam pakan komersil dengan jalan membuat pakan sendiri. Untuk menjaga kebugaran agar tidak terserang penyakit maka selama pemeliharaan ternak diberi tanaman herbal berupa buah mengkudu. Selain itu, dalam pemeliharaan ternak digunakan pakan komersil selama 2 minggu pertama dan minggu selanjutnya menggunakan pakan hasil campuran sendiri berdasarkan formula dari tim ALG. Sari mengkudu dalam penelitian ini digunakan sebagai feed additive untuk meningkatkan kebugaran ternak. Sari mengkudu dicampurkan dengan air sebanyak 2 ml/air diberikan pada pagi hari, kemudian pada siang hari dilanjutkan dengan air biasa. Kandungan zat yang ada didalam buah mengkudu terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Kandungan air buah mengkudu matang sekitar 52%, berupa komponen-komponen yang terdiri dari enzim, vitamin, mineral, senyawa-senyawa asam. ( Bangun dan Sarwono. 2002).
22 Selain itu senyawa yang terkandung dalam buah mengkudu yaitu asam askrobat yang cukup tinggi dan merupakan sumber vitamin C yang luar biasa sehingga berkhasiat untuk antioksidan yang sangat baik. Antioksidan berkhasiat untuk menetralisir partikel-partikel berbahaya ( radikal bebas ) yang terbentuk dari hasil simpangan dalam proses metabolisme. Radikal bebas dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan materi genetik (Solomon. 1998). 4.2 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum ayam Sentul jantan yang dipelihara sampai umur 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsumsi Ransum Ayam Sentul Jantan Yang Dipelihara Sampai Umur 12 Minggu. Umur Ayam (minggu) Konsumsi (g/ekor/minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) 1 47,86 6,84 2 72,10 10,30 3 112,02 16,15 4 111,84 15,98 5 136,33 19,48 6 175,23 25,03 7 194,87 27,84 8 299,52 42,79 9 313,59 44,80 10 466,08 66,58 11 625,30 89,33 12 699,40 99,91 Jumlah 3.255,13 465,02 Rata-rata Total (g) 3.255,13 Min (g) 2.690,20 Maks (g) 4.038,34 S 271,73 KV (%) 8,0 Keterangan : Min = Nilai terkecil sample, Maks = Nilai terbesar sample, S = Simpangan baku, KV = Koefisien Variasi.
23 Berdasarkan Tabel 3, konsumsi ransum ayam Sentul pada penelitian ini terus meningkat dari mulai umur 1 minggu yang sebesar 47,86 g/ekor/minggu sampai dengan umur 12 minggu yang mencapai 699,40 g/ekor/minggu atau ratarata 38,75 g/ekor/hari. Untuk melihat lebih jelas bahwa konsumsi ransum ayam Sentul meningkat dapat dilihat pada Ilustrasi 1. 800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 Konsumsi 200.00 100.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ilustrasi 1. Konsumsi Ransum Ayam Sentul Per Minggu Tingkat konsumsi ransum ayam Sentul pada penelitian ini tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi hasil penelitian Widjastuti (1996) dimana konsumsi ransum ayam Sentul sekitar 60-70 g/ekor/hari dengan kebutuhan protein dan energi metabolis masing-masing 15,44% dan 2756,325 kkal/kg pada sistem cage. Demikian pula menurut hasil penelitian Adha, dkk., (2016) konsumsi rata-rata ransum ayam Sentul putih umur 8-16 minggu masih lebih tinggi yaitu sebesar 59,58 g/ekor/hari. Heinicke (1999) melaporkan bahwa alkaloid pada buah mengkudu dapat meningkatkan aktivitas enzim pada saluran
24 pencernaan, penyerapan zat makanan menjadi lebih baik sehingga ransum yang dikonsumsi lebih sedikit. Rata-rata konsumsi ransum total ayam Sentul umur 12 minggu yang dipelihara secara semiorganik adalah 3.255,13 271,73 g, dengan nilai minimum 2.690,20 g dan nilai maksimum 4.038,34 g serta koefisien variasi sebesar 8%. Nilai koefisien variasi yang kecil menunjukkan bahwa data rata-rata konsumsi ransum total seragam sebagaimana Nasoetion (1992) yang menyatakan bahwa populasi dianggap seragam jika memiliki nilai koefisien variasi tidak lebih dari 15%. Menurut hasil penelitian Fauzan, dkk., (2016), konsumsi rata-rata ayam sentul umur 0-8 minggu sebesar 6268,45 g dengan kandungan energi metabolis 2862,62 kkal/kg dan kandungan protein 17,35%. Menurut Nataamijaya, dkk., (1995) menyatakan bahwa konsumsi ransum pada setiap jenis ayam lokal berbeda-beda, ayam sentul betina umur 42 minggu rata-rata konsumsi ransumnya sebesar 100 g/ekor, dengan konsumsi protein kasar harian mencapai 9,94 g/ekor, dan energi metabolis mencapai 272,98 kkal/ekor. Menurut Kartasudjana dan Supriajatna (2006) konsumsi ransum merupakan faktor penting yang menjadi dasar untuk menetukan produksi. Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum diantaranya adalah jenis dan umur ternak, kulaitas ransum yang diberikan serta lingkungan tempat ternak tersebut dipelihara. 4.3 Pertambahan Bobot Badan Pertambahan Bobot badan ayam Sentul jantan yang dipelihara sampai umur 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Ayam Sentul Jantan Yang Dipelihara Sampai Umur 12 Minggu Umur Ayam Pertambahan Bobot Badan (minggu) g/ekor 1 22,11 2 38,95 3 29,18 4 21,16 5 28,11 6 31,08 7 40,82 8 31,39 9 51,24 10 94,08 11 100,84 12 106,16 (g) 595,11 Min (g) 433,00 Maks (g) 864,00 S 95,76 KV (%) 16,0 Keterangan : = Rata-rata, Min = Nilai terkecil sample, Maks = Nilai terbesar sample, S = Simpangan baku, KV = Koefisien Variasi 25 Berdasarkan Tabel 4, pertambahan bobot badan ayam Sentul pada penelitian ini terus meningkat, dimulai dari umur 1 minggu sebesar 22,11 g sampai dengan umur 12 minggu mencapai 106,16 g. Manfaat penggunaan mengkudu dalam pakan ternak dapat menggantikan antibiotika yang sering digunakan untuk meningkatkan produktifitas ternak unggas. Dimana banyak peternak yang menggunakan antibiotika yang lebih sehingga dapat membahayakan konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut yakni timbulnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika (Bintang et al. 2007). Donoghue (2003) menyatakan bahwa pemberian antibiotika pada unggas dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengurangi penyakit. Untuk melihat lebih jelas bahwa pertambahan bobot badan ayam Sentul meningkat dapat dilihat pada Ilustrasi 2.
26 Pertambahan Bobot badan total didapatkan dengan cara menghitung bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal. Berdasarkan Tabel 4, pertambahan bobot badan total ayam Sentul jantan selama 12 minggu sebesar 595,11±95,76 g, dengan koefisien variasi 16%. Nilai koefisien variasi yang lebih dari 15% menunjukkan bahwa data pertambahan bobot badan total ayam Sentul pada penelitian ini cukup bervariasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasoetion (1992) bahwa populasi dianggap seragam jika nilai koefisien variasi tidak lebih dari 15%. 120.00 100.00 80.00 60.00 PBB 40.00 20.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ilustrasi 2. Pertambahan Bobot Badan Perminggu Pertambahan bobot badan ayam Sentul pada penelitian ini secara umum lebih rendah dari pertambahan bobot badan ayam Buras umur 12 minggu hasil penelitian Iskandar, dkk., (1998) yang mencapai 704 g. Hasil penelitian Fauzan, dkk., (2016) menyatakan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan ayam sentul
27 pada umur 0-8 minggu sebesar 442,94 g. Sedangkan hasil penelitian Adha, dkk., (2016) pertambahan bobot badan ayam sentul putih umur 8-16 minggu rata-rata sebesar 47,92 g/ekor/minggu. Perbedaan tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh berbagai faktor diantaranya perbedaan konsumsi ransum, semakin tinggi ayam mengkonsumsi ransum maka semakin tinggi pertambahan bobot badannya. Pertambahan bobot badan ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi ransum, makin tinggi konsumsi makin tinggi bobot tubuhnya (Kartadisastra, 1997). Pertambahan bobot badan pada jenis ayam lokal bervariasi tergantung pada umur, genetik, kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan (Rasyaf, 2008). Sedangkan Sutardi (1995) menyatakan bahwa ternak ayam kampung akan dapat tumbuh secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila mendapatkan zat-zat makanan yang sesuai dengan kebutuhannya. 4.4 Konversi Ransum Konversi ransum ayam Sentul jantan yang dipelihara sampai umur 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil perhitungan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan konversi ransum ayam Sentul umur 12 minggu pada pemeliharaan semiorganik sebesar 5,61±1,04 dan koefisien variasinya sebesar 19%. Nilai koefisien variasi yang tinggi menunjukkan bahwa data konversi ransum bervariasi, sebagaimana pendapat Nasoetion (1992) bahwa populasi dianggap seragam jika nilai koefisien variasinya tidak lebih dari 15%. Menurut hasil penelitian Fauzan, dkk., (2016) konversi ransum ayam Sentul umur 0-8 minggu rata-rata 3,54. Tetapi menurut hasil penelitian Adha,
28 dkk., (2016) konversi ransum ayam Sentul putih umur 8-16 minggu rata-rata 8,74. Sedangkan Husmaini (2000) menyatakan bahwa konversi ransum ayam kampung umur 8 minggu sebesar 2,89. Tingginya variasi nilai konversi ransum menunjukkan bahwa ayam Sentul yang ada masih cukup bervariasi. Tabel 5. Konversi Ransum Ayam Sentul Jantan Yang Dipelihara Sampai Umur 12 Minggu. Umur Ayam Konversi (minggu) Ransum 1 2,93 2 1,84 3 6,49 4 12,43 5 8,03 6 6,72 7 5,16 8 16,71 9 8,67 10 7,31 11 7,54 12 7,01 (g) 5,61 Min (g) 3.71 Maks (g) 8,09 S 1,04 KV (%) 19,0 Keterangan : = Rata-rata, Min = Nilai terkecil sample, Maks = Nilai terbesar sample, S = Simpangan baku, KV = Koefisien Variasi. Wahju (2004) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukan semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat. Rasio konversi ransum yang rendah berarti untuk menghasilkan satu kilogram daging ayam dibutuhkan pakan dalam jumlah yang semakin sedikit. Perbedaan nilai konversi ransum dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya pakan, lingkungan dan bentuk fisik pakan, hal ini sesuai
29 dengan pernyataan NRC (1994) faktor yang mempengaruhi konversi pakan adalah suhu lingkungan, bentuk fisik pakan, komposisi pakan dan zat-zat yang terkandung dalam pakan. Pendapat lain menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, tipe pakan, temperatur, feed additive, dan manajemen (James, 1992). Salah satu zat yang terkandung dalam mengkudu adalah saponin. Pemberian saponin dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel pada usus, mengakibatkan meningkatnya penyerapan zat makanan sehingga nilai konversi ransum yang dihasilkan lebih baik (Johnson, dkk., 1986).