BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN SECARA YURIDIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN. terdapat dalam Al-Qur an dan Hadits Nabi. kata na-ka-ha banyak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO: PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN. A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB IV. terjadinya, secara garis besar fasakh dapat dibagi menjadi 2 sebab, yaitu:

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB III KEDUDUKAN JAKSA DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PASAL 26 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB II PEMBATALAN NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEBOLEHAN PENDAFTARAN PENCATATAN PERKAWINAN PADA MASA IDDAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENETAPAN WALI HAKIM OLEH KEPALA KUA DIWEK JOMBANG TANPA UPAYA MENGHADIRKAN WALI NASAB

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB I PENDAHULUAN. keturunan dan keluarga yang sah menuju keluarga bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling cinta-mencintai dan. berkasih-kasihan untuk meneruskan keturunannya.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

SALINAN PENETAPAN Nomor : XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

PUTUSAN FASAKH ATAS CERAI GUGAT KARENA SUAMI MURTAD (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Terhadap Modernisasi Mahar Nikah di KUA Jambangan Surabaya

Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB IV. Agama Bojonegoro yang menangani Perceraian Karena Pendengaran. Suami Terganggu, harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

BAB IV TINJAUAN KITAB KLASIK DAN MODERN TERHADAP PASAL-PASAL DALAM KHI TENTANG MURTAD SEBAGAI SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha

BAB IV PERNIKAHAN SEBAGAI PELUNASAN HUTANG DI DESA PADELEGAN KECAMATAN PADEMAWU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan diabadikan dalam Islam untuk selama-lamanya. Pernikahan secara terminologi adalah sebagaimana yang dikemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BUYUT POTROH SEBELUM PROSESI AKAD NIKAH DI DESA

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB IV ANALISIS TERHADAP METODE IJAB QABUL PADA MASYARAKAT SUKU SAMIN

ب س م ال رح م ن ال رح ی م

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg

Transkripsi:

22 BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN SECARA YURIDIS A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 1 Secara bahasa arti kata nikah berarti bergabung,(ض م ) hubungan kelamin ط ء ),(الو dan juga berarti akad د ) (ع ق.Adanya dua kemungkinan ini karena dalam al- Quran mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah terdapat dalam surat al-baqarah ayat 230: Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dna istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukumhukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu 1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), 7. 22

23 menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang dzalim. 2 Maksud dari kata nikah dalam ayat ini adalah bersetubuh 3 dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua, perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut. Adapun dalam al-quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad, yaitu terdapat dalam surat an-nisa ayat 22: Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburukburuk jalan (yang ditempuh). 4 Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi, dengan semata karena ayah telah melangsungkan 2 Kementerian Agama RI, al-qur an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 336. 3 M. Shaleh al-utsaimin dan A. Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan dalam Islam, Dasar Hukum Hidup Berumah Tangga, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 28. 4 Ibid, 136.

24 akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun diantara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin. 5 Terkait dengan arti dari kata nikah terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Ulama Sha@fi iyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), yang mengatakan: ع ق د ي ت ض م ن إ ب اح ة ال و ط ء ب ل ف ظ األ ن ك اح ا و الت ز و ي ج 6 Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha atau zawaja. Sedangkan dapat juga berarti untuk hubungan kelamin untuk arti yang bukan sebenarnya (majazi). Sebaliknya, ulama H{ana@fiyah berpendapat bahwa kata ini mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin, berarti pula untuk yang lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut. Ulama H{ana@bilah berpendapat penunjukan kata nikah untuk kemungkinan tersebut adalah dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam dua contoh ayat yang disebutkan sebelumnya. 7 Menurut Hazairin inti perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual diibaratkan bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 36. 6 Jala@luddi@@n al-mahally, Syarh Minhaj al-tha@libi@n, (Beirut: Dar Ihya@ al-kutub al-kubra,tt), 206. 7 Ibid. 37.

25 tidak perlu ada tenggang waktu menunggu ( iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain. Sedangkan menurut Ibrahim Hosen, nikah dalam arti sebenarnya dapat juga berarti akad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedang menurut arti lain adalah bersetubuh. 8 Menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan pasal 1 Undang-undang Perkawinan ini bukan hanya memuat pengertian saja, tetapi juga mencantumkan tujuan dan dasar hukum perkawinan. Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri, sedangkan tujuannya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan motivasi agama merupakan dasar bagi perkawinan dan oleh karenanya perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanaya itu. Kepercayaan ini bukan kepercayaan yang terlepas dari agama, melainkan kepercayaan yang berhubungan dengan agama atau dinamakan dengan kepercayaan agamanya. Sehubungan dengan itu, dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan 8 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 2-3.

26 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing. 9 Berdasarkan pengertian tersebut maka unsur-unsur perkawinan adalah: a. Ikatan lahir batin, b. Antara seorang pria dan wanita, c. Sebagai suami istri, d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat aspek formal semata, tetapi juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di KUA dan pencatatan sipil. Pelaksanaan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Bab II pasal 2 (1) PP No. 9 Tahun 1975 pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan menurut agama Islam dilakukan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan sebagaimana Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan talak dan rujuk. 9 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 270.

27 Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. 10 2. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama yaitu keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam artian bila rukun dan syarat tidak ada atau tidak lengkap, maka perkawinan tersebut tidak sah. Rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsur. Syarat ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. 11 10 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 3. 11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 59.

28 Rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut: a. Adanya suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. c. Adanya dua orang saksi. d. S{igat akad nikah. 12 Menurut jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu, sebagai berikut: a. Calon suami, syarat-syaratnya: 1) Beragam Islam, 2) Laki-laki, 3) Jelas orangnya, 4) Dapat memberikan persetujuan, 5) Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Calon istri, syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam, 2) Perempuan, 3) Jelas orangnya, 4) Dapat dimintai persetujuan, 5) Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Wali nikah, syarat-syaratnya: 12 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 65-68.

29 1) Laki-laki, 2) Dewasa, 3) Mempunyai hak perwalian, 4) Tidak terdapat halangan perwalian. d. Saksi, syarat-syaratnya: 1) Minimal dua orang laki-laki, 2) Hadir dalam ijab qabul, 3) Dapat mengerti maksud akad, 4) Islam, 5) Dewasa. e. Ijab dan Qabul, syarat-syaratnya adalah: 1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, 2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, 3) Menggunakan kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata tersebut, 4) Antara ijab dan qabul bersambungan, 5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya, 6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji dan umrah, 7) Majlis ijab dan qabul minimal harus dihadiri empat orang, yaitu calon mempelai atau yang mewakilinya, wali dari mempelai perempuan, dan

30 dua orang saksi. 13 Undang-undang Perkawinan sama sekali tidak membahas tetang rukun perkawinan. Undang-undang Perkawina hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan yaitu terdapat pada pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan KHI secara jelas mencantumkan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti madhab Sha@fi i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun. Rukun dan syarat perkawinan tersebut wajib dipenuhi, apabila ada yang tidak terpenuhi maka perkawinannya tidak sah. Dalam kitab al-fiqh ala al- Madhahib al-arba ah disebutkan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah bathil adalah tidak sah. 14 13 Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), 71. 14 Abdurrahman al-jaziry, al-fiqh ala al-mazha@hib al-arba ah, Juv IV, (Beirut: Dar al-fikr, 1982), 118.

31 B. Pembatalan Perkawinan 1. Perspektif Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Apabila terjadi suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat pada pasal 22-28 UU No. 1 Tahun 1974, berarti perkawinan ini batal. Akan tetapi, karena perkawinan tersebut telah dilaksanakan, menurut Undangundang Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974. 15 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas menyatakan adanya pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat dibatalkan, hanya saja ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan dan tata cara permintaan pembatalan perkawinan serta alasanalasan yang diperbolehkan mengajukan pembatalan perkawinan yaitu pasal 22 sampai pasal 28 Undang-undang Perkawinan. Adapun substansi dalam praktik pembatalan perkawinan yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah kurangnya rukun dan syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perkawinan. 16 15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 106. 16 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 41.

32 Dengan demikian, secara tersirat dapat diketahui bahwa pembatalan perkawinan yang batal demi hukum maupun yang dapat dibatalkan diakui eksistensinya dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya, meskipun tidak secara tegas dinyatakan bahwa perkawinan yang batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan merupakan suatu institusi yang berdiri sendiri. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya pasal-pasal dalam kedua perundang-undangan tersebut menggunakan katakata pembatalan perkawinan yang substansinya adalah sama dengan ketentuan perkawinan yang batal demi hukum dan perkawinan yang dapat dibatalkan. 17 Terdapat kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak adanya fungsi pengawasan dari pihak keluarga maupun pejabat yang berwenang, sehingga perkawinan tersebut tetap terlaksana walaupun pada akhirnya ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1994 tentang perkawinan maupun hukum perkawinan Islam. Setelah hal ini terjadi, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut. Adapun pihakpihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut UU tentang perkawinan adalah para keluarga pada garis lurus ke atas dari suami atau istri 17 Ibid.

33 dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut. 18 Adapun hikmah dibolehkannya pembatalan perkawinan adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang telah dan sedang menempuh hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan mungkin ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan, yaitu kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah, atau perkawinan itu akan merusak hubungan antar keduanya atau dalam masa perkawinannya itu ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun kenyataannya telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah perceraian. 19 2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi syaratsyarat dan rukun perkawinan perlu diperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila di kemudian hari ditemukan penyimpangan terhadap syarat perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh 18 Ahmad Rafiq, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, 71. 19 Ibid.

34 sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung. 20 Fasakh disebabkan oleh dua hal, yaitu: a. Disebabkan oleh adanya hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dahulunya tidak/belum diketahui, b. Disebabkan salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. 21 Pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 70 sampai 76 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 70 sampai pasal 72 menegaskan tentang alasan-alasan pembatalan perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 74 Kompilasi Hukum Islam dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perceraian dapat dilangsungkan. Disebutkan juga dalam pasal ini bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 22 20 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 85. 21 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 113. 22 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 343-345.

35 C. Sebab-sebab Pembatalan Perkawinan Istilah batal nya perkawinan dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan dapat menimbulkan kesalahpahaman, karena terdapat beragam pengertian terkait batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan), zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak. 23 Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini adalah dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena terdapat pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. 24 Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pengaturan pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang 23 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Study Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), 107. 24 Ibid.

36 berkepentingan. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan. 25 Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan secara langsung tentang perkawinan batal demi hukum. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan secara rinci dalam pasal 70 bahwa perkawinan batal apabila: 26 1. Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj i. 2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili annya. 3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. 4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri, d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan. 5. Istri adalah saudara kandung atau bibi atau kemenakan dari istri atau istriistrinya. Terkait alasan-alasan perkawinan yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah mengaturnya yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 24: 25 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam (Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh), (Bandung: Mandar Maju, 1997), 26. 26 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 86.

37 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan. 27 2. Pasal 26 (1): Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencacat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri. 28 3. Pasal 27 (1): Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 29 4. Pasal 27 (2): Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. 30 Pasal 24 dan 26 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pasal 71 dan 72 dengan rumusan: 1. Pasal 71: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud, c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain, d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974, e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali 27 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 9. 28 Ibid. 29 Ibid. 10. 30 Ibid.

38 yang tidak berhak, f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. 31 2. Pasal 72: a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum, b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri, c. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur. 32 D. Pihak yang Mengajukan Pembatalan Perkawinan Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, atau di tempat suami maupun di tempat istri, berdasarkan permintaan pembatalan yang diajukan oleh salah seorang dari: 33 1. Keluarga para pihak dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri, 31 Ibid. 344 32 Ibid. 33 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencacat Nikah, (Jakarta:tp, 2004), 13.

39 2. Suami atau istri, 3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang, 4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan menurut perundangundangan yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan yang terdapat dalam pasal 73 Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah: 34 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri, 2. Suami atau istri, 3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang, 4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundangundangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. E. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terkait dengan akibat hukum pembatalan perkawinan, hendaklah dicermati terlebih dahulu permasalahan yang berkaitan dengan saat mulai pembatalan perkawinan yang tercantum dalam pasal 28 (1), yang berbunyi: Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan Agama 34 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 345.

40 mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 1. Terhadap Anak Permasalahan yang berkenaan dengan akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap anak dimuat dalam pasal 28 (2) UUP, sebagai berikut: Keputusan tidak berlaku surut terhadap (1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, (2) Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, (3) Orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengna iktikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. 35 Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, dengan demikian menurut Undang-undang Perkawinan anak-anak ini dianggap sebagai anak sah meskipun salah seorang dari orang tuanya atau keduanya mempunyai iktikad buruk. 36 Hal ini berdasarkan kemanusiaan dan kepentingan anak-anak yang tidak berdosa, 35 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 10. 36 Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II tentang Batal dan Putusnya Perkawinan, (Semarang: Itikad Baik, 1978), 26.

41 patut mendapatkan perlindungan hukum. Dan tidak seharusnya anak-anak yang tidak berdosa harus menanggung akibat tidak mempunyai orang tua, hanya karena kesalahan kedua orang tuanya. Sehingga menurut Undangundang Perkawinan anak-anak yang dilahirkan tersebut mempunyai status hukum yang jelas sebagai anak sah dari kedua orang tunya yang perkawinannya dibatalkan. 2. Terhadap Harta Bersama Apabila dalam perkawinan tersebut ada harta bersama dan ada harta milik masing-masing suami atau isteri (Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam). Terhadap harta kekayaan bersama (gono gini), tetap merupakan harta bersama yang menjadi milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik, bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-bunga yang harus di tanggung. Harta kekayaan yang dibawa oleh pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan, sedangkan harta kekayaan yang beritikad baik bila ternyata dirugikan, kerugian ini harus ditanggung oleh pihak yang

42 beritikad buruk dan segala perjanjian perkawinan yang merugikan pihak yang beritikad baik dianggap tidak pernah ada. 37 Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dan di dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi jika suatu perkawinan dibatalkan maka harta yang diperoleh selama perkawinan yang merupakan harta bersama pembagiannya diatur menurut hukumnya masing-masing. 38 3. Terhadap Pihak Ketiga Pasal 28 UU Perkawinan menyebutkan bahwa: Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. 39 37 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), 39. 38 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 249. 39 Ibid. 10.

43 Terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Misalnya istri mempunyai hutang karena membeli barangbarang rumah tangga sehari-hari, juga setelah perkawinan dinyatakan batal oleh hakim, maka pihak ketiga dapat menagih pembayarannya kepada suami. 40 4. Terhadap Status Istri Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit menerangkan dua terminologi pembatalan perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum dan perkawinan yang dapat dibatalkan. Adapun perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 yang meliputi: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain. 40 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, 40.

44 d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974. e. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Sedangkan perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71 yang meliputi: 41 a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri. c. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur. 41 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI, 344.

45 Menurut Subekti apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang melakukan perjanjian semacam itu yakni melahirkan perikatan hukum telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. 42 Sedangkan perikatan yang dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan. Berdasar penjelasan tersebut, status istri setelah perkawinannya dibatalkan ada perbedaan antara perkawinan tersebut dibatalkan karena alasan batal demi hukum atau perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan yang batal demi hukum berarti perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, maka status istri dikembalikan kepada status semula atau perawan. Sedangkan apabila pembatalan perkawinan tersebut disebabkan karena perkawinan yang dapat dibatalkan, maka status istri menjadi janda karena ketidakabsahan perkawinan berlaku sejak tanggal ada pembatalan. 42 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.V, (tanpa kota: Intermasa, 1978), 19.