BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi dalam bahasa Arab, kata Ar-Rahn berarti tetap dan

dokumen-dokumen yang mirip
Rahn - Lanjutan. Landasan Hukum Al Qur an. Al Hadits

Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

Rahn /Gadai Akad penyerahan barang / harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang

BAB II GAMBARAN UMUM GADAI EMAS (AR-RAHN) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJLIS UALAMA INDONESI (DSN-MUI) TENTANG RAHN DAN RAHN EMAS

BAB II LANDASAN TEORITIS. " artinya menggadaikan atau merungguhkan. 1 Gadai juga diartikan

RAHN, DAN KETENTUAN FATWA DEWAN SYARIAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Nadhifatul Kholifah, Topowijono & Devi Farah Azizah (2013) Bank BNI Syariah. Hasil Penelitian dari penelitian ini, yaitu:

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV IMPLEMENTASI FATWA DSN NO.25/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN PADA PRODUK AR-RAHN. A. Aplikasi Pelaksanaan Pembiayaan Rahn Di Pegadaian Syariah

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam segala aspek

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pembiayaan jangka pendek dengan margin yang rendah. Salah. satunya pegadaian syariah yang saat ini semakin berkembang.

murtahin dan melibatkan beberapa orang selaku saksi. Alasan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI IJĀRAH JASA SIMPAN DI PEGADAIAN SYARIAH CABANG BLAURAN SURABAYA

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB IV PENERAPAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN AL QARDH. A. Analisis Penerapan Akta Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Al

BAB IV ANALISIS DATA. Pegadaian Syariah Cabang Raden Intan Bandar Lampung. mendeskripsikan dan mengilustrasikan rangkaian pelaksaan gadai dari awal

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. di dalamnya juga mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan cakupannya

BAB IV TINJAUAN FATWA NO /DSN-MUI/III/2002 TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD IJA>RAH PADA SEWA TEMPAT PRODUK GADAI EMAS BANK BRI SYARIAH KC SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan perekonomian, seperti perkembangan dalam sistim perbankan. Bank

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. Pelaksanaan Gadai dengan Sistem Syariah di Perum Pegadaian. penjagaan dan penaksiran serta dilakukan hanya sekali pembayaran.

BAB I PENDAHULUAN. kepada Muhammad S.A.W. sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan bank syariah. 1 Bank secara. kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

BAB IV PEMANFAATAN GADAI SAWAH PADA MASYARAKAT DESA SANDINGROWO DILIHAT DARI PENDAPAT FATWA MUI DAN KITAB FATH}UL MU I<N

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Allah S.W.T. sebagai khalifah untuk memakmurkan

BAB IV ANALISIS DATA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai alhabsu.

BAB III STUDI PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat

BAB I PENDAHULUAN. sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Gadai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam istilah bahasa Arab, gadai di istilahkan dengan rahn dan juga dapat

PENENTUAN BIAYA PEMELIHARAAN BARANG GADAI MENURUT FATWA DSN MUI NO 26 TAHUN 2002 ( STUDI KASUS PEGADAIAN SYARIAH CABANG KOTA LANGSA) SKRIPSI

BAB III PERBANDINGAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 DENGAN HUKUM RAHN TASJÎLÎ

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pelaksanaan Gadai Emas Syariah Pada PT Bank Syariah Mandiri

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II MEKANISME GADAI SYARIAH (RAHN) harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP GADAI GANDA KENDARAAN BERMOTOR DI KELURAHAN PAGESANGAN KECAMATAN JAMBANGAN KOTA SURABAYA

BAB IV ANALISIS BESARAN UJRAH DI PEGADAIAN SYARIAH KARANGPILANG SURABAYA DALAM PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI NOMOR 25/III/2002

BAB I PENDAHULUAN. barang yang digadaikan tersebut masih sayang untuk dijual. Pengertian gadai

BAB IV ANALISIS APLIKASI RAHN PADA PRODUK GADAI EMAS DALAM MENINGKATKAN PROFITABILITAS BNI SYARIAH KANTOR CABANG SURABAYA

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Praktek Pinjam Pakai Sepeda Motor

BAB V PEMBAHASAN. dipaparkan pada bab sebelumnya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam teknik analisa data

BAB IV ANALISIS TERHADAP MEKANISME PEMBIAYAAN EMAS DENGAN AKAD RAHN DI BNI SYARIAH BUKIT DARMO BOULEVARD CABANG SURABAYA

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

AKAD RAHN DAN AKAD-AKAD JASA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang amat damai dan sempurna telah diketahui dan dijamin

BAB IV ANALISIS FATWA DSN-MUI NOMOR 25/III/2002 TERHADAP PENETAPAN UJRAH DALAM AKAD RAHN DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN 2002), 8. 1 Zainul Arifin, Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet,

TANGGUNG JAWAB MURTAHIN (PENERIMA GADAI SYARIAH) TERHADAP MARHUN (BARANG JAMINAN) DI PT. PEGADAIAN (PERSERO) CABANG SYARIAH UJUNG GURUN PADANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GADAI TANAH SAWAH DI DESA ULULOR KECAMATAN PRACIMANTORO KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai syariah dalam operasional kegiatan usahanya. Hal ini terutama didorong

1. Analisis Praktek Gadai Emas di Bank Syariah Mandiri Cabang Karangayu. akad rahn sebagai produk pelengkap yang berarti sebagi akad tambahan

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PEMBIAYAAN TALANGAN HAJI DI BANK SYARIAH MANDIRI SEMARANG

PENERAPAN TEORI DAN APLIKASI PENGGADAIAN SYARIAH PADA PERUM PENGGADAIAN DI INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB V PENUTUP. kepada Kospin Jasa Syariah sebagai agunan atas pembiayaan yang di terima

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dan bagi manusia pada umumnya tanpa harus meninggalkan. prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.

RAHN (HUTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN) DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. Para ahli hukum Islam memberikan pengertian harta ( al-maal ) adalah. disimpan lama dan dapat dipergunakan waktu diperlukan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi Islam belakangan ini mulai menunjukkan. peningkatan yang berarti di Indonesia maupun dunia. Ekonomi Islam juga

BAB IV ANALISIS. A. Pelaksanaan Lelang Barang Jaminan pada Perum Pegadaian Cabang Bandar Lampung

BAB I PENDAHULUAN. melalui Rasulullah saw yang bersifat Rahmatan lil alamin dan berlaku

BAB I PENDAHULUAN. menolong, orang yang kaya harus menolong orang yang miskin, orang yang. itu bisa berupa pemberian maupun pinjaman dan lainnya.

Analisis Pelaksanaan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomer : 26/DSN- MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Cimahi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara mengenai pinjam-meminjam ini, Islam membolehkan

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir, perekonomian yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penyaluran dana kemasyarakat baik bersifat produktif maupun konsumtif atas dasar

BAB I PENDAHULUAN. melalui kegiatan pinjam-meminjam. Kegiatan pinjam-meminjam terdapat produk yang dapat

PENERAPAN PEMBIAYAAN GADAI EMAS DI BRI SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan ekonomi yang berbasis pada ekonomi kerakyatan. Hal ini

AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH

utang atau mengambil sebagian manfaat barang tersebut. Secara etimologis rahn Syari at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong-menolong yang

BAB IV BINDUNG KECAMAATAN LENTENG KABUPATEN SUMENEP. yang sifatnya menguntungkan. Jual beli yang sifatnya menguntungkan dalam Islam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP UTANG PIUTANG SISTEM IJO (NGIJO) DI DESA SEBAYI KECAMATAN GEMARANG KABUPATEN MADIUN

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB I PENDAHULUAN. Islam merupakan agama yang sempurna dengan Al-Qur an sebagai sumber

BAB IV PENUTUP. maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Substansi dari jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi terjaminnya barang dan jasa dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang Allah

BAB II LANDASAN TEORI. yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip. Menurut pendapat lain, Wadi ah adalah akad penitipan

BAB I PENDAHULUAN. usahanya berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian (akad) antara

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGGUNAAN AKAD BMT AMANAH MADINA WARU SIDOARJO. Pembiayaan di BMT Amanah Madina Waru Sidoarajo.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. peneliti menemukan beberapa hal penting yang bisa dicermati dan dijadikan acuan penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga pinjam meminjam menjadi salah satu cara terbaik untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Pegadaian Dalam istilah bahasa Arab, gadai diistilahkan dengan rahn dan dapat juga dinamai alhabsu.

MURA>BAH}AH DAN FATWA DSN-MUI

ABSTRAKSI. Kata Kunci : Akuntansi Pendapatan, Pegadaian Konvensional, Pegadaian Syariah

ANALISIS PENENTUAN TARIF POTONGAN IJARAH DAN PERLAKUAN AKUNTANSI ATAS PEMBIAYAAN IJARAH OLEH PERUM PEGADAIAN SYARIAH CABANG MALANG.

BAB II KONSEP DASAR TENTANG GADAI. A. Pengertian Gadai Gadai dalam persepektif hukum islam disebut dengan istilah rahn,

A. Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Gadai. emas BSM adalah penyerahan hak penguasaan secara fisik atas

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

Pegadaian dan Sewa Guna Usaha

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN GADAI EMAS DI KOSPIN JASA SYARIAH DIPANDANG FATWA DSN NOMOR: 26/DSN-MUI/III/2002 TENTANG RAHN EMAS.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dalam memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Oleh sebab

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENAHANAN SAWAH SEBAGAI JAMINAN PADA HUTANG PIUTANG DI DESA KEBALAN PELANG KECAMATAN BABAT KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN. A. Implementasi gadai di PT. Bank BNI Syariah Cabang Dharmawangsa Surabaya

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Landasan Hukum Ar-Rahn Secara etimologi dalam bahasa Arab, kata Ar-Rahn berarti tetap dan Lestari. Kata Rahn dinamai Al-hasbu artinya penahanan, seperti dikatakan ni matum rahinah, artinya karunia tetap dan lestari, sebagaimana firman Allah berikut. Tiap-tiap pribadi terkait/tertahan (rahinah) atas apa yang telah diperbuat. (QS. Al-Mudatsir (74): 38). 1 Sedangkan secara terminology Rahn didefinisikan oleh beberapa ulama fiqh antara lain menurut ulama Malikiyah: harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat, menurut ulama Hanafiyah: Menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya, dan ulama Syafi iyah dan Hanabilah: menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnnya itu. Menurut Sayid Sabiq, Ar-rahn adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan syara sebagai jaminan untuk utang atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut. 2 1 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hal. 232 2 Sayid Sabiq, Fiqh as-sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981) hal. 187 11

12 Menurut Muhammad Rawwas Qal Ahji penyusun buku ensiklopedia Fiqih Umar Bin Khatab r.a berpendapat bahwa Rahn adalah menguatkan hutang dengan jaminan hutang. Menurut Masifuq Zuhdi, Ar-rahn adalah perjanjian atau akad pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang, sedangkan menurut Nasroen Haroen, Ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai hak pembayaran hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun sebagiannya. 3 Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan dengan pengertian Rahn menurut Sayid Sabiq dalam bukunya yang berjudul Fiqh Sunnah. Ia mendefinisikan Ar-Rahn, yaitu: ja lu ainin laha qimatun maliyah fi nadzri al syar I watsiqatan bidainin bihaitsu yumkinu akhdzu dzalika al-dain au akhdzu ba dhuhu mintilka al- aini yang artinya, menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu. Menurut Dewan Syariah Nasional (secara terminologi), Rahn adalah menahan barang sebagai jaminan atas hutang. Menurut Bank Indonesia, Rahn, adalah akad penyerahan barang/harta (Marhun) dari nasabah (Rahin) kepada Bank (Murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. 4 3 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) cet. ke 1. hal. 20 4 Ibid hal. 233

13 Dasar hukum Ar-Rahn adalah Alquran, Al Hadis dan Ijma berikut. 1. Alquran Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah (2): 283). 2. Dari a masy, dari Ibrahim, dari Al-aswad, dari Aisyah ra, bahwa Nabi Muhammad Saw membeli makan dari orang yahudi dengan cara ditangguhkan pembayarannya kemudian nabi menggadaikan baju besinya. (HR. Bukhari). 3. Ijma Dari hadis ayat di atas, para ulama telah sepakat (Ijma) bahwa : a. Barang sebagai jaminan hutang (rahn) dibolehkan (jaiz); b. Rahn dapat dilakukan dalam berpegian (safar) maupun tidak dalam safar. Pembatasan dengan safar dalan surat Al- Baqarah (2) ayat 283 adalah karena kelaziman saja, maka tidak boleh di ambil makna sebaliknya (mahun mukhalafah), karena adanya hadis-hadis yang membolehkan Rahn tidak dalam bepergian, disamping itu safar dalam ayat itu karena tidak diperolehnya katib (penulis), maka lazimnya tidak perlu Rahn kecuali safar. 5 B. Rukun dan Syarat Rahn 1. Rukun Rahn Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn, namun bila digabungkan, menurut jumhur ulama rukun rahn ada lima yaitu rahin (orang yang menggadaikan); murtahin (orang yang menerima gadai); marhun/rahn (objek barang gadai); marhun bih (utang), dan sighat (ijab Kabul). 5 Ibid. hal. 234

14 2. Syarat-Syarat Rahn Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat Ar-rahn sesuai dengan rukun Ar-rahn itu sendiri, yaitu sebagai berikut : a. Para pihak dalam pembiayaan Rahn (rahin dan Murtahin) 1) Para pihak yang melakukan akad Rahn adalah cakap bertindak menurut hukum (ahliyyah). Kecakapan bertindak hukum, menurut para ulama adalah orang yang telah dewasa (baliq) dan berakal (mumayyis). Mereka mempunyai kelayakkan untuk melakukan transaksi kepemilikan. Sedangkan menurut Ulama Hanafiah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyariatkan baliq, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka, anak kecil yang mumayyis boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyis ini mendapat persetujuan dari walinya 6 2) Syarat sighat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu Ar-rahn tidak boleh dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad Ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu maka syaratnya batal sedangkan akadnya sah. 7 3) Dari ketentuan pasal 393 KUH perdata dapat disimpulkan bahwa seorang wali tidak boleh menggadaikan barang-barang yang tidak bergerak milik anak yang belum dewasa di bawah perwaliannya (jo. 6 Ibid hal. 235 7 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2015) hal. 291

15 Pasal 48 dapat ditafsirkan secara a contratio) bahwa untuk kepentingan si anak maka barang bergerak milik anak yang belum dewasa dapat digadaikan oleh walinya/orang tuanya. Adapun kriteria dewasa menurut ketentuan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 47 ayat (1), adalah sudah berumur 18 tahun atau sudah kawin sebelum itu. Dalam KUH Perdata, dewasa apabila orang tersebut telah berumur 21 /tahun atau telah lebih dahulu kawin sebelum itu (pasal 330 KUH Perdata) b. Pernyataan kesepakatan (sighat ijab Kabul) 1) Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu bahwa kesepakatan dengan masa yang akan datang, karena kesepakatan rahn tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkkan dengan masa yang akan datang, karena kesepakatan atau ijab Kabul dalam akad rahn sama dengan dalam akad jual beli. Apabila kesepakatan dalam akad itu dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. 2) Ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat tersebut dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabhiat atau karakter akad rahn, maka syaratnya menjadi batal.

16 c. Marhun bih (utang) 1) Utang (marhun bih) wajib dibayar kembali oleh debitur (rahin) kepada kreditor (murtahin) 2) Utang boleh dilunasi dengan anggunan. 3) Utang harus jelas dan tertentu (dapat dikuantifikasi atau dihitung jumlahnya) d. Marhun (barang) 1) Karakteristik barang Menurut ahli hukum Islam (fuqaha), karakteristik barang jaminan utang adalah : 8 a) Bernilai harta dan dapat diperjual belikan b) Jelas dan tertentu; c) Milik sah orang yang berhutang d) Tidak terkait dengan hak orang lain; e) Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran di beberapa tempat f) Boleh diserahkan baik materi maupun manfaatnya. 2) Jenis barang a) Berdasarkan ketentuan syariah Dengan melihat praktik Nabi saw para sahabat, bahwa barang yang bisa dijadikan jaminan utang rahn dapat berupa kebun, baju besi, hewan ternak dan makanan/minuman. Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa barang yang dapat 8 Ibid.,

17 dijadikan jaminan utang (rahn) pada prinsipnya adalah barang bergerak dan tidak bergerak. Disamping itu, dapat dilihat dari defenisi yang disampaikan oleh Imam Malik dengan ungkapan Syaiun mutamawwal (sesuatu yang di anggap harta/asset). Namun, dalam praktik perbankan syariah, tentu perlu dipertimbangkan aspek kemudahan, keamanan, dan nilai ekonomis barang. Oleh karena itu barang rahn digadaikan dapat berupa barang bergerak, seperti perhiasan, kendaraan, barang elektronik, barang-barang rumah tangga, mesin, dan barangbarang lain yang diaanggap bernilai, maka mudah penyimpanannya dan mudah diuangkan. 9 b) Berdasarkan ketentuan perundangan Sedangkan dalam ketentuan perundangan yang ada, yaitu berdasarkan ketentuan pasal 504 KUH perdata, jenis Benda atau Barang terdiri dari: 1) Benda bergerak pada sifatnya dpat berpindah atau dipindahkan, atau karena ditentukan oleh undang-undang misalnya kendaraan, perhiasan, saham, obligasi, dan sebagainya 2) Benda tidak bergerak karena sifatnya, karena tujuan pemakaian dan karena ditentukan oleh undang-undang misalnya tanah dan bangunan. 9 Ibid, hal. 237

18 c) Penguasaan barang yang digadaikan Disamping syarat-syarat tersebut, para ulama juga sepakat menetukan bahwa Ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di agunkan itu secara hukum sudah berada ditangan pemberi hutang,dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh peminjam uang (rahin). Dengan adanya qadbhul marhun (penguasaan barang jaminan oleh murtahin), maka akad rahn bersifat mengikat kedua belah pihak. Berdasarkan ketentuan Pasal 1152 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata barang yang digadaikan harus dibawah kekuasaan si berpiutang yang menerima barang yang digadaikan. Apabila barang gadai tetap dalam kekuasaan si berutang, maka hak gadai tersebut tidak sah. C. Fatwa DSN Tentang Gadai Emas Dewan Syariah Nasional membuat fatwa tersendiri mengenai rahn emas ini, yaitu dalam fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002. Secara prinsip, ketentuan rahn emas juga berlaku ketentuan rahn yang diatur dalam fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002. 10 Dalam Fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002 menjelaskan tentang Gadai emas yaitu : 1) Bahwa salah satu bentuk jasa pelayanan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah rahn, yaitu menahan barang sebagai jaminan atas utang. 10 Ibid, hal. 170

19 2) Bahwa masyarakat pada umumnya telah lazim menjadikan emas sebagai barang beharga yang disimpan dan menjadikannya objek rahn sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang 3) Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal itu untuk menjadikan pedoman. 11 Kemudian dalam Fatwa DSN No. 26/DSN/MUI/III/2002 tentang Ar-rahn emas menjelaskan : 1) Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Ar-rahn (lihat fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Ar-rahn. 2) Ongkos dan pembiayaan penyimpanan barang (Marhun) ditanggung oleh penggadai (Rahin). 3) Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. 4) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah 12. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Bank Indonesia dalam menerapkan kewenangan dan tanggung jawab dimaksud, antara lain tetap mempertimbangkan faktor-faktor 11 Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 21 12 Ibid, hal. 365-366

20 kemampuan bank, prinsip kehati-hatian operasional bank, tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja bank, serta kemampuan dan/atau kepatutan pemilik, pengurus, dan pejabat bank. Dalam pelaksanaan pemberian kredit bank tetap meminta agunan dari pemohon kredit bank tetap meminta agunan dari pemohon kredit. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 1 ayat 26 yang mengartikan agunan adalah jaminan tambahan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah atau Unit Usaha Syariah guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas jaminan tambahan ini merupakan jaminan materil (berwujud) yang berupa barang-barang bergerak atau benda tetap atau jaminan in-materil (tidak berwujud). D. Manfaat dan Resiko Barang Gadai (Rahn) 1. Manfaat barang gadai oleh marhun a. Pendapat yang dikemukakan oleh Hanabilah berpendapat bahwa tidak diperbolehkan rahin untuk memanfaatkan barang jaminan tanpa ada keridhaan murtahin. Rahin tidak memiliki legalitas atas pemanfaatan barang jaminan tersebut. Dengan demikian, tidak sah memanfaatkan barang jaminan jika tidak ada kesepakatan antara rahin dan murtahin karena barang jaminan tidak lain sebatas jaminan utang sehingga pemilik barang tidak boleh memanfaatkannya.

21 b. Pendapat yang dikemukakan oleh Malikiyah ketika barang jaminan sudah dimanfaatkan oleh rahin, maka transaksi gadai tersebut menjadi batal. Hal ini disebabkan izin memanfaatkan barang jaminan yang diberikan murtahin kepada rahin telah menyebabkan transaksi menjadi batal, meskipun barang jaminan tersebut belum sempat dimanfaatkan. c. Senada dengan malikiyah dan shafiiyyah berpendapat bahwa pada prinsipnya murtahin tidak dapat dimanfaatkan barang jaminan didasarkan pada hadis: Abu Hurairah r.a ia berkata, bersabda Rasullulah saw. Barang gadai itu tidak dimiliki (oleh penerima gadai), baginya keuntungan atas kerugian.(hr. Hakim). 13 1) Manfaat yang dapat diambil oleh Bank dari prinsip-prinsip Ar-rahn adalah sebagai berikut: a) Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan Bank. b) Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank. c) Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah. 14 13 Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan System Pegadaian Syariah, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), hal. 43 14 Muhammad syafi I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 130

22 2) Manfaat yang diambil dari nasabah dari Ar-rahn a) Penafsiran nilai suatu barang bergerak dari pihak atau institusi yang telah berpengalaman dan dapat dipercaya. b) Penitipan suatu barang bergerak pada tenpat yang aman dan dapat dipercaya nasabah yang akan bepergian, merasa kurang aman menempatkan barang bergeraknya ditempat sendiri 15 2. Resiko Ar-rahn Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang menanggung resikonya. Ulama-ulama Mazhab Syafi I dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun ulamaulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggung resiko sebesar harta barang yang minimum. Penghitungan mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilangnya. (Basyir, 1983:54). Berbeda halnya jika barang gadai rusak atau hilangnya yang disebabkan oleh kelengahan murtahin. Dalam hal ini tidak ada pendapat, semua ulama 15 Veithzal Rivai dkk, Bank And Financial Instituation Management, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 1326

23 sepakat bahwa murtahin menanggung resiko, memperbaiki kerusakkanya atau mengganti yang hilang. 16 E. Aplikasi Ar-rahn dalam Perbankan 1. Sebagai produk pelengkap Bank menahan barang nasabah sebagai jaminan bagi pelaksanaan kewajiban nasabah yang timbul dari akad yang dijamin. Dalam ini biasanya tidak menahan barang jaminan itu secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya. 2. Sebagai produk sendiri Bank menerima akad rahn sebagai jaminan atas utang nasabah yang timbul dari pembiayaan yang diberikan oleh bank. Besarnya nilai jaminan utang tersebut ditetapkan oleh bank. rahn sebagai produk ini biasanya menjadi dasar untuk transaksi gadai, seperti gadai emas dan lain-lain. 3. Pada Bank Nagari Syariah Padang Aplikasi produk bank nagari syariah Padang produk Ar-rahn sebagai gadai emas, nasabah hendaknya melakukan pengisian formulir terlebih dahulu dan gadai emas dalam Bank nagari syariah Belakang Olo Cabang Padang mempunyai jangka waktu 3 bulan dan apabila nasabah hendak melakukan perpanjangan lagi harus melakukan kesepakatan dengan pihak bank agar tidak terjadi kecurangan. 55-54 16 Muhammad Sholiku Hadi, Pegadaian Syariah (Jakarta: Salemba diniyah, 2003), hal.

24 F. Ketentuan Ar-rahn Fatwa oleh Dewan Syariah ini memberikan ketentuan-ketentuan Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas sebagai berikut : ketentuan umum: 17 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (Barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhum tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatnya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpangan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun juga dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan Marhun a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya hal. 378 17 Sutan Remy Sjahdeini dkk, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014),

25 b) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi milik rahin. 18 Fatwa oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas menentukan hal-hal sebagai berikut: 1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat fatwa DSN Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn. 2. Ongkos dan pembiayaan penyimpanan barang (Marhun) ditanggung oleh penggadai (Rahin). 3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. 4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah 19. G. Barang Jaminan 1. Barang-barang atau benda perhiasan antara lain: - Emas - Berlian - Perak - Mutiara - Intan - Platinum 18 Ibid, hal. 365-366 19 Ibid.,

26 2. Barang-barang yang berupa kendaraan seperti mobil (termasuk bajai dan bemo) sepeda motor dan sepeda biasa (termasuk becak). 3. Barang-barang elektronik antara lain : - Komputer - Radio - Mesin - Kulkas - Televisi - Kamera 4. Mesin-mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor. 5. Barang-barang keperluan rumah tangga seperti : a) Barang tekstil, berupa pakaian, permadani dan kain batik b) Barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang yang dijaminkan harus dalam kondisi baik dalam arti masih dapat digunakan dan bernilai. Hal ini penting bagi pegadaian bank syariah mengingat jika nasabah tidak dapat mengembalikan pinjamannya maka barang jaminan akan dilelang sebagai penggantinya. H. Berakhirnya Akad Ar-rahn Berakhirnya akad Rahn sebagai jaminan, yaitu : 1. Barang yang diserahkan kembali kepada pemiliknya 2. Rahin (Penggadai) membayar utangnya 3. Dijual paksa, yaitu dijual berdasarkan penetapan hakim atas permintaan rahin 4. Pembebasan hutang dengan cara apa pun, sekalipun dengan pemindahan oleh Murtahin.

27 5. Pembatalan oleh Murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin. 6. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan Murtahin. 7. Memanfaatkan barang gadai dengan penyewan, hibah atau shadaqah, baik dari pihak Rahin maupun Murtahin. 8. Meninggalnya rahin (menurut malikiyah) dan atau Murtahin (menurut Hanafiyah), sedangkan Syafi iyah dan Hanabilah. Menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn. 20 20 Ibid.,