KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ini bertujuan akan memberikan gambaran mengenai objek yang dijadikan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. KAJIAN YURIDIS TENTANG SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) 1 Oleh : Brian Siahaan 2

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Transkripsi:

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN OLEH : Muhammad Ridwan Lubis, SH., MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Email : muhammadridwan@yahoo.com ABSTRAK Saksi mahkota dipandang mempunyai daya potensial dalam membuka tabir kejahatan. Terlebih lagi kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku yang telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain dan bersifat tertutup, baik melalui koneksi pribadi atau koneksi bisnis ataupun melalui perkumpulan profesi, seperti halnya tindak pidana korupsi. Ikatan seperti ini seringkali saling menguntungkan yang akan menyebabkan para pelaku tersebut untuk bersatu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya sebuah tuntutan untuk melindungi kepentingan mereka. Sehubungan dengan sifat dasar dari kasus-kasus organized crime atau white colar crime, maka kasuskasus ini lebih sulit untuk dibuktikan daripada dengan kasus tindak pidana kriminal lainnya. Salah satu upaya menanggulangi kejahatan adalah melalui hukum pidana. Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Walaupun penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan, namun keberhasilan nya sangat diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah dipertaruhkan makna dari negara berdasarkan atas hukum. pentingnya saksi yang juga pelaku kejahatan yang merupakan orang dalam (inner-cicle criminal) karena dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan. Kadangkala "orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Selain dari memberikan petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi dalam penyidikan. Akhimya, orang dalam ini dapat menjadi saksi yang sangat penting sewaktu persidangan, memberi bukti sebagai orang pertama, saksi mata dari kejahatan atas kegiatan. Kata Kunci : Saksi mahkota, pengungkapan, pembunuhan Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 13

I. PENDAHULUAN Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan : Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun, saksi mahkota memiliki perbedaan dengan saksi dalam definisi tersebut di atas. Mengenai definisi saksi mahkota sendiri dikutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa: Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. 1 Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru. Misalnya, dalam kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin pernah dijadikan saksi mahkota (lebih jauh simak artikel Syahril Sabirin Jadi Saksi Mahkota). Dalam kasus yang menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi mahkota juga dihadirkan dalam persidangan (lebih jauh simak artikel Antasari Azhar dan Wiliardi Tuding Ada Konspirasi dan Jaksa Diminta Siapkan Tuntutan untuk Antasari). Akan tetapi penggunaan saksi mahkota ini juga mendapat pertentangan dari beberapa kalangan, salah satunya datang dari mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam bukunya Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum. Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia. Menjawab pertanyaan anda, sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk pembuktian pada perkara pidana. 2 I. KEDUDUKAN SAKSI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA KUHAP telah memberikan batasan menganai pengertian saksi. Menurut KUHAP Pasal 1 angka 26 saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. 1 Andi Hamzah, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana, Op.Cit., hlm 8. 2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedua, (Bogor: Politiea, 1988), halaman 73-76. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 14

Pengertian saksi adalah Orang yang terlibat (dianggap) mengetahui terjadinya sesuatu tindak pidana, kejahatan atau sesuatu peristiwa, orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 3 Keterangan saksi menurut beberapa undang-undang di Indonesia yaitu dalam pengaturan hukum nasional adalah pengaturan terhadap perlindungan saksi dan korban selama ini didasarkan pada KUHAP sebagai dasar hukum acara dalam peradilan pidana, sedangkan khusus untuk pengadilan HAM ad Hoc landasan hukumnya menggunakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dalam pasal 10 menyatakan Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Hal ini berarti bahwa prosedur tentang saksi dan mekanisme kesaksian diatur atau menggunakan mekanisme KUHAP. Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan : (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 4 Ketentuan ini menjelaskan saksi akan mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk ancaman yang akan berpotensi untuk dapat menghalangi proses pemberian kesaksian dan mengamanatkan dibentuknya PP (Peraturan Pemerintah) untuk mengatur bagaimana memberikan perlindungan saksi dan korban pelanggaran HAM. Dari batasan undang-undang tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah dijelaskan bahwa : a. Tujuan saksi memberikan keterangan adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung ketentuan bahwa saksi diperlukan dan memberi keterangannya dalam 2 (Dua) tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan disidang pengadilan. b. Isi saksi yang diterangkan adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang sumbernya diluar sumber dari 3 tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi. c. Keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui tentang suatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun merupakan alat bukti umum keterangan saksi dalam hal pembuktian (Chazawi, 2006: 38). Menurut Prodjohamidjojo (1988: 142) keterangan seorang saksi dapat atau tidaknya dipercaya bergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. 5 Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP menyebutkan: Dalam menilai keterangan saksi hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan: 1. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain. Standar penilaian ini sangat sesuai dan berhubungan erat dengan apa yang dinyatakan dalam pasal 185 ayat (2) yaitu bahwa 3 Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), halaman 191. 4 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Op.Cit., halaman 99. 5 Marwan Effendi, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm 85. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 15

keterangan satu saksi saja tidak tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya (Unus testis nullus testis). Oleh karena itu, agar keterangan saksi dapat berharga haruslah sesuai dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain. 2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam menggunakan alat bukti keterangan saksi, bukan menjadi keharusan untuk lebih dari satu saksi saja. Satu saja sudah cukup,misalnya keterangan dari saksi korban,tetapi harus didukung dengan satu alat bukti,seperti contoh keterangan ahli atau keterangan terdakwa atau petunjuk. 3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu. Berupa alasan yang terselubung yang sebenarnya tidak perlu dinyatakan secara tegas dalam persidangan, akan tetapi merupakan hasil dari pemikiran atau analisis atas fakta-fakta yang terungkap dalam sidang. 4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi atau tidaknya keterangan itu dipercaya. Ada tiga keadaan / faktor yang dapat mempengaruhi tentang kebenaran keterangan saksi, yaitu : cara hidup saksi, kehidupan kesusilaan saksi, segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kebenaran keterangan saksi. Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi cara hidup dan kesusilaan,seperti adat istiadat, martabat dan lain-lain, dapat dibayangkan hal itu tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena karena itu dalam hal ini diberikan kebebasan kepada hakim untuk menilainya. 6 Disamping itu ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah : a. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat 1). Tanggapan terdakwa atas keterangan saksi dapat diperhatikan dalam menilai keterangan saksi tesrsebut. Pembenaran terdakwa atas keterangan saksi dapat dianggap sebagai alat bukti keterangan terdakwa apabila disertai penjelasan-penjelasan atau alasan secukupnya dan masuk akal. b. Persesuaian keterangan saksi dipersidangan dengan keterangannya ditingkat penyidikan (Pasal 163). 7 II. KEBERADAAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berasal dari informasi masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan. Selain tersangka dan korban yang sering diabaikan hak-haknya satu lagi yang berperan penting dalam mengungkap kebenaran suatu tindak pidana adalah saksi. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana akan sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam persidangan, salah satunya adalah keterangan saksi. Saat ini tidak sedikit kasus yang kandas ditengah jalan karena ketiadaan saksi untuk membantu tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana. Keberadaan saksi jelas merupakan elemen yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana, namun perhatian terhadap peran saksi sampai saat ini masih jauh dari perhatian masyarakat dan aparat penegak hukum. Keengganan dari saksi dalam memberikan keterangan dan informasi telah membuat pemberitaan-pemberitaan di media tentang suatu tindak 6 Rudy Satriyo, Peranan Jaksa dalam Pelaksanaan Peradilan Pidana di Indonesia (Suatu Tanggapan Terhadap RUU Kejaksaan), dalam Topo Santoso, Op.Cit., hlm 90. 7 Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 134. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 16

pidana menguap begitu saja jauh dari penyelesaian. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami intimidasi ataupun tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Tidak sedikit pula saksi yang akhirnya menjadi tersangka dan bahkan terpidana karena dianggap mencemarkan nama baik pihak- pihak yang dilaporkan yang telah diduga melakukan suatu tindak pidana. 8 Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenarbenarnya. Untuk itu saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa dimuka persidangan. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya walau mungkin keterangannya itu memberatkan si terdakwa. Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian khusus, penjagaan ekstra ketat. Meskipun Indonesia pada saat ini sudah punya aturan positif tentang perlindungan saksi yaitu dengan disahkanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Tanggal 11 Agustus 2006, namun hingga pada saat ini belum berjalan sebagaiman yang diharapkan khususnya lembaga perlindungan saksi dan korban yang diberikan kewenangan memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Saat ini lagi hangat dibicaralkan soal saksi yang juga merupakan pelaku tindak pidana yang mau bekerjsama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkapkan suatu kejahatan atau yang dikenal dengan saksi mahkota. Dalam kapasitasnya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum materil maka KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah : a). keterangan saksi; b). keterangan ahli; c). surat; d). petunjuk dan e). keterangan terdakwa. Sedangkan istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Walaupun demikian istilah saksi mahkota sering ditemui pada praktik hukum acara pidana. Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun, saksi mahkota memiliki perbedaan dengan saksi dalam definisi tersebut di atas. 9 Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, penulis mengutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa: Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun 8 Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Trhamrin, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009, hlm. 1. 9 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 107. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 17

berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Loebby Loqman, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut. Dan saksi mahkota ini hanya ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya diatur di dalam pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama- sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung RI tidak melarang apabila Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan sarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Dan dalam Yurisprudensi tersebut juga ditekankan definisi saksi mahkota adalah, teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. 10 Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip- prinsip tertentu yaitu, 1). dalam perkara delik penyertaan; 2). terdapat kekurangan alat bukti; dan 3). Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing); adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi HAM (lihat : Yurisprudensi : MARI, No. 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 ; MARI, No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995 ; MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995 ; dan MARI, No. 1592 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995). Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru. Misalnya, dalam kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin pernah dijadikan saksi mahkota. Dalam kasus yang menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi mahkota juga dihadirkan dalam persidangan. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. Pemisahan perkara merupakan wewenang dari jaksa yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa yang tidak termasuk dalam 10 Anwar Yesmil dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponan dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal. 97. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 18

ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168 huruf (c) KUHAP, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. 11 Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana. Secara normatif dalam KUHAP tidak diatur mengenai saksi mahkota/kroon getuige. Pada hakikatnya, saksi mahkota perkembangan menarik dari Putusan Mahkamah Agung RI. Di satu pihak MARI berpendirian bahwa UU tidak melarang jikalau JPU mengajukan saksi mahkota di persidangan Pengadilan Negeri dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Sedangkan din lain pihak, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174 K/Pid/ 1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 381 K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 429 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1706 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, secara yuridis pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota, terhadap terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi HAM dan hakim seharusnya menolak adanya saksi mahkota. Adanya penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana maka tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam setiap pemeriksaan perkara pidana. Kejahatan apapun jenis dan bentuknya, mulai dari street crime seperti pembunuhan, perampokan, penganiayaan sampai pada apa yang disebut sebagai white collar crime atau yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih seperti korupsi dan sebagainya, selalu menimbulkan reaksi yang keras dari masyarakat 12 dan masyarakat menentangnya. 13 Arti kejahatan dipandang dari sudut formil (menurut 11 Hary Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.15. 12 John E. Conclin, The Impact of Crime, (New York: MacMillan Publishing Co., 1975), hlm 2. 13 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru, Jakarta : Rajawali Press, 1992, hlm 134. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 19

hukum) adalah suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana. 14 Salah satu upaya menanggulangi kejahatan adalah melalui hukum pidana. Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Walaupun penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan, 6 namun keberhasilan nya sangat diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah dipertaruhkan makna dari negara berdasarkan atas hukum. 7 Penegak hukum seringkali menghadapi halangan tambahan dalam menyelidiki dan menuntut kasus besar yang sensitif. Selain itu, kejahatan besar yang kerap terjadi ini seringkali nampak diatur secara vertikal, dengan partisipasi dari para pejabat di tingkat yang lebih tinggi yang mempunyai posisi cukup kuat. Berdasarkan teori pembuktian dalam hukum acara pidana, keterangan yang diberikan oleh saksi di persidangan dipandang sebagai alat bukti yang penting 15 dan utama. 16 Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi 17 sekalipun keterangan saksi bukan satu-satunya alat bukti namun sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 21 Saksi yang juga seorang pelaku dalam perkara yang sama dalam praktik disebut dengan saksi mahkota. Sering kita mendengar berita mengenai saksi mahkota di berbagai media cetak dan elektronik. Berita mana di antaranya menyebutkan bahwa saksi mahkota adalah saksi yang juga berkedudukan sebagai tersangka. Dalam koran dan majalah Tempo diberitakan, Hamka Yandhu ditetapkan sebagai tersangka didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Antony Zeidra Abidin. Hamka Yandhu selain mengaku ikut menerima gratifikasi dana Bank Indonesia, ia juga membongkar semua yang terlibat turut menikmati dana Bank Indonesia tersebut. Melalui kesaksiannya di pengadilan, Hamka Yandhu mengungkapkan 52 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 yang telah menerima dana Bank Indonesia dengan jumlah yang beragam. Dua di antaranya menjadi anggota kabinet, yakni Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Kesaksian Hamka Yandhu, baik di tahap penyidikan maupun di sidang pengadilan, secara aktif dan kooperatif mengungkapkan kasus suap yang melibatkan dirinya dan para anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, telah mendudukkan dirinya sebagai saksi mahkota. Keberanian Hamka telah membantu KPK menyingkap mata rantai aliran dana BI kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Atas sikap kooperatifnya, Hamka Yandhu memperoleh hukuman lebih rendah dari Antony Zeidra Abidin. Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa kemampuan seorang saksi untuk memberikan kesaksiannya dalam proses peradilan atau untuk bekerja sama dengan penegak hukum penting sekali dalam mengungkap atau membuka tabir kejahatan. Di Indonesia, agar tersangka atau terdakwa dapat memberikan kesaksian terhadap tersangka atau terdakwa lainnya atau dengan kata lain agar dapat menjadi saksi mahkota, dilakukan dengan mekanisme yang dikenal dengan sebutan splitsing. Baik splitsing maupun saksi mahkota adalah istilah yang dikenal dalam praktik. Saksi mahkota sebenarnya menunjukan pada terdakwa yang berstatus menjadi saksi dalam perkara terdakwa yang lain yang sama-sama melakukan yaitu dalam hal diadakan splitsing dalam pemeriksaannya. Keberadaan saksi mahkota walaupun dikenal dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, tidak terlepas dari pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap penerapannya. Indriyanto Seno Adji dalam 14 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, (Jakarta : PT. Pembangunan, 1995), hlm 21. 15 Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1991), hlm 1. 16 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm 265. 17 Ibid., hlm 286. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 20

makalahnya mengemukakan beberapa alasan dari pihak yang kontra terhadap penerapan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana. 24 Alasan pertama, pengajuan saksi mahkota bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan hak-hak terdakwa dalam proses peradilan pidana, yaitu melanggar non self incrimination yang secara universal mendapat pengakuan dunia. Implisitas pengakuan adanya non self incrimination disebutkan melalui Pasal 189 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa terdakwa mempunyai hak untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri sejak proses penyidikan sampai dengan proses persidangannya di pengadilan. Jelaslah, apabila kedudukan seorang terdakwa dalam suatu berkas perkara pidana tertentu ditarik sebagai saksi dalam berkas perkara pidana lainnya yang terpisah namun mengenai tindak pidana yang sama adalah melanggar hak asasi manusia, khususnya hak terdakwa mengenai non self incrimination. Tidak mungkinlah bagi seorang terdakwa akan mempersalahkan dirinya sendiri dengan memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri dalam berkas perkara pidana yang dibuat secara terpisah, misalnya: dalam suatu berkas, terdakwa menyangkal perbuatannya, namun dalam kedudukannya sebagai saksi dalam berkas pidana yang terpisah ia mengakui melakukan perbuatan yang disangkalnya sendiri. Alasan kedua, berkaitan dengan bunyi salah satu pasal dalam KUHAP mengenai pihak-pihak yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu dalam Pasal 168 KUHAP, yang berbunyi : Kecuali ketentuan dalam hukum undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi : a. Keluarga dan anak atau saudara dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang bersama-sama kedudukannya sebagai terdakwa tidak dapat memberikan kesaksian dalam perkara pidana yang sama dan dibuat secara terpisah (splitsing) berdasarkan ketentuan Pasal 142 KUHAP, dalam arti seorang terdakwa dalam satu berkas perkara pidana tertentu tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara lainnya terhadap dakwaan melakukan tindak pidana yang sama, meskipun berkasnya dibuat secara terpisah. Di sisi lainnya, saksi mahkota dipandang mempunyai daya potensial dalam membuka tabir kejahatan. Terlebih lagi kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku yang telah mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain dan bersifat tertutup, baik melalui koneksi pribadi atau koneksi bisnis ataupun melalui perkumpulan profesi, seperti halnya tindak pidana korupsi. Ikatan seperti ini seringkali saling menguntungkan yang akan menyebabkan para pelaku tersebut untuk bersatu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya sebuah tuntutan untuk melindungi kepentingan mereka. Sehubungan dengan sifat dasar dari kasus-kasus organized crime atau white colar crime, maka kasuskasus ini lebih sulit untuk dibuktikan daripada dengan kasus tindak pidana kriminal lainnya. III. KESIMPULAN Konsep saksi mahkota di Indonesia, yaitu tersangka atau terdakwa yang dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya dalam kasus yang sama, begitu pula sebaliknya. Dalam konsepnya di Indonesia, seorang saksi mahkota tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dalam persidangan ia terbukti bersalah. Namun keterangan yang diberikan saksi mahkota dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidan yang dijatuhkan. Pemberian keringan pidana mitigating punishment) yang menurut dokumen internasional merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap orang (dalam hal ini saksi mahkota) yang bekerja sama dengan penegak hukum (protection of cooperating person). Saksi mahkota di Amerika Serikat adalah pelaku Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 21

kejahatan yang merupakan bagian dari strukur organisasi kejahatan yang secara sukarela bekerja sama dengan jaksa penuntut umum termasuk mengungkapkan informasi dan menyediakan kesaksian di pengadilan, atas kerjasamanya itu pelaku kejahatan yang menjadi saksi mahkota diberikan jaminan oleh jaksa penuntut umum dengan kewenangan diskresinya dengan tidak menuntut atau dapat mengurangi dakwaan dan memberi rekomendasi kepada hakim sewaktu penjatuhan hukuman untuk mengurangi hukuman terdakwa sebagai penghargaan atas kerjasamanya. Dalam menjatuhkan putusan, hakim berpegang pada The Federal Sentencing Guidelines. Sedangkan perangkat hukum yang digunakan untuk mendapatkan kesaksian tersebut adalah kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama di negosiasikan sebagai bagian dari plea bargaining", dimana si pelaku kejahatan yang menjadi terdakwa harus terlebih dahulu membuat pernyataan bersalah atas satu atau lebih tindak pidana atau dikenal dengan sebutan guilty plea. Pemberian tuntutan yang lebih ringan atau diberikan kekebalan berupa tidak dilakukan penuntutan haruslah memperhatikan latar belakang pelaku dalam organisasi kejahatan itu. Ia haruslah mempunyai keterlibatan atau mempunyai peran yang relatif kecil. Oleh karena itu apakah pelaku kejahatan akan diberikan tuntutan yang lebih ringan atau diberikan kekebalan itu juga tergantung dari pelaku kejahatan itu sendiri. Penuntut umumlah yang menentukan kualitas peran pelaku tersebut. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana, 2005. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Kedua, Bogor: Politiea, 1988. Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penetensier, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, 2002. Marwan Effendi, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005). Waluyadi, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Trhamrin, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009. Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Perspektif, Teoretis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2008. Anwar Yesmil dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep Komponan dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009. Hary Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2003. John E. Conclin, The Impact of Crime, (New York: MacMillan Publishing Co., 1975. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I Edisi Baru, Jakarta : Rajawali Press, 1992. W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, Jakarta: PT. Pembangunan, 1995. Suryono Sutarto, Hukum Acara Pidana Jilid I, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1991. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi II, Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Jurnal Hukum Responsif FH UNPAB Halaman 22