BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang undang No.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi oleh Negara. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. tersebut senada dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1.

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia. harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu wadah yang disebut masyarakat, dan untuk memenuhi kebutuhan

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. serta membutuhkan manusia lainnya untuk hidup bersama dan kemudian

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

SKRIPSI PELAKSANAAN PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak ternilai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah SWT telah menghiasi alam semesta ini dengan rasa cinta dan kasih

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. untuk akad nikah.nikah menurut syarak ialah akad yang membolehkan seorang

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

III. METODE PENELITIAN. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

III. METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

PERANAN NOTARIS DALAM PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS. (Studi di Kantor Notaris Sukoharjo) S K R I P S I

STATUS HUKUM PERKAWINAN TANPA AKTA NIKAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM ISLAM

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia yang hakiki adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup ini diuraikan lebih lanjut sebagai usaha untuk melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga manusia akan terus berusaha untuk beranak pinak. Salah satu jalan untuk melangsungkan keturunan adalah melalui memenuhi perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan keturunan sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, baik lahir maupun bathin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Akibat hukum dari perkawinan adalah timbul hubungan suami isteri, mengenai harta bersama dan juga timbul hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Dalam membahas masalah harta dalam perkawinan, maka pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi 1 Rifiyal Kabah, Varia Peradilan, Permasalahan Perkawinan Tahun XXI, hlm.243. 1

2 harta bersama. Di dalam Pasal 119 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa kekayaan masing-masing yang dibawanya ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Lebih lanjut dalam Pasal 119 ayat (2) dinyatakan bahwa persatuan (percampuran) harta itu sepanjang perkawinan tidak boleh ditiadakan dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Harta persatuan itu menjadi kekayaan bersama dan apabila terjadi perceraian, maka harta kekayaan bersama itu harus dibagi dua, sehingga masing-masing mendapat separuh. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35, yang menentukan : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami-isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga selain masalah hak dan kewajiban sebagai suami isteri, masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor atau pokok pangkal yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan, bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami-isteri dalam kehidupan suatu keluarga. Untuk

3 menghindari hal tersebut di atas, maka dibuatlah Perjanjian Kawin antara pihak calon suami-isteri, sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Setiap calon suami atau isteri mempunyai kebebasan yang besar sekali untuk menentukan sendiri akibat-akibat perkawinannya, utamanya mengenai harta benda mereka. Mereka dapat menentukan apakah seluruh harta benda mereka akan bercampur atau hanya sebagian saja yang akan tercampur dan sebagian lagi terpisah, atau sama sekali tidak akan ada campuran harta benda, sehingga masingmasing mempunyai harta bendanya sendiri. Apabila oleh calon suami atau isteri sebelum perkawinan dilangsungkan tidak dibuat perjanjian perkawinan yang mengatur persatuan (campuran) harta kekayaan dibatasi atau ditiadakan sama sekali, maka demi hukum akan ada persatuan (campuran) harta secara bulat antara harta isteri dan suami. Percampuran itu terjadi terhadap harta yang mereka bawa, maupun yang akan mereka peroleh sepanjang perkawinan. 2 Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan. Masalah perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UUP No.1 Tahun 1974 yang menyatakan: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persertujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, 2 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,1981), hlm.182.

4 setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada pihak. Sedangkan perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 3 Dalam membuat perjanjian pisah harta yang dilakukan sebelum pernikahan dilangsungkan di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Sebagai dasar hukum, hal ini juga diatur dalam Bab VII Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam membuat perjanjian pisah harta perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu: 4 1. keterbukaan. 2. kerelaan masing-masing pasangan. Secara prosedural perjanjian perkawinan tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus dibuat dihadapan seorang Notaris dalam suatu 3 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), hlm.148. 4 Anonim, Rambu-Rambu Dalam Pembuatan Perjanjian Perkawinan, www.yahoo.com, 5 Juli 2010.

5 akta otentik, kemudian pembuatan perjanjian tersebut harus dicatatkan pula dalam Akta Pernikahan yang akan dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil dan Petugas Pencatat Perkawinan. Tujuan dengan akta otentik adalah untuk memperoleh kepastian tentang tanggal pembuatan perjanjian perkawinan. Mengenai kemungkinan diubahnya isi perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata bahwa perubahan sama sekali tidak dimungkinkan walaupun atas dasar kesepakatan selama berlangsungnya perkawinan. Sedangkan dalam UUP perubahan dimungkinkan asal tidak merugikan pihak ketiga. 5 Menurut ketentuan Pasal 149 KUHPerdata dikatakan bahwa perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung tidak boleh diubah. Jadi jelas setelah perkawinan berlangsung tidak diperbolehkan melakukan perjanjian perkawinan. Berbeda dengan UUP berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UUP menyatakan bahwa : Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Berdasarkan ketentuan di atas telah jelas dikatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dilakukan sebelum perkawinan atau saat 5 Murhainis Abdul Hay, Hukum Perdata, (Jakarta: Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, 1986), hlm.107.

6 perkawinan dilangsungkan. Perjanjian yang dibuat setelah perkawinan hanyalah merupakan perubahan dari perjanjian perkawinan yang sudah ada sebelumnya. Bila sebelum atau saat perkawinan tidak dilakukan perjanjian perkawinan maka suami isteri tidak dapat melakukan perubahan status harta kekayaan sebagai akibat yang timbul dari perkawinan mereka. Secara umum perbuatan hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan, tidak diatur dalam ketentuan UUP dan KUHPerdata yang hanya menentukan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan, namun pada kenyataannya di dalam praktek ada perjanjian perkawinan yang dilakukan sesudah perkawinan. Umumnya banyak terjadi di kota-kota besar yang mayoritas penduduknya sudah lebih modern. Sehingga penulis memilih tempat penelitian di Jakarta Selatan. Pelaksanaannya dengan cara mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri terutama dalam kasus adanya perubahan status harta kekayaan selama berlangsungnya pernikahan seperti dalam putusan Pengadilan Negeri No. 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel, sedangkan dalam Undang-undang hal tersebut tidak dimungkinkan. Dalam putusan Pengadilan Negeri No. 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel disebutkan bahwa Anton Rodjito sebagai pemohon kesatu dan Wina

7 Widjaja sebagai pemohon kedua bersama-sama megajukan permohonan kepada pengadilan untuk membuat perjanjian perkawinan dengan tujuan melakukan pemisahan harta kekayaan mereka, dimana mereka sedang terikat perkawinan yang sah (selama berlangsungnya perkawinan), Selain itu dalam perkembangannya terjadi Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum perlawinan tetapi lupa atau terlambat untuk dicatatkan. Dalam putusan Pengadilan Negeri No.180/Pdt.P/2010/PN.Jkt.Sel juga disebutkan bahwa Jeffrey Frederick Tutticci dan Yanti Sudiyarti. Keduanya sebagai Para Pemohon. Yang mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mencatatkan perjanjian perkawinan mereka yang telah dibuat sebelum perkawinan berlangsung agar setalah dilakukan pencatatan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak ke-3 (ketiga). Perjanjian yang demikian itu menurut Pasal 147 KUHPerdata tersebut harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta Notaris. Perjanjian Kawin ini mulai berlaku antara suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di depan Pegawai Catatan Sipil dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil. Apabila pendaftaran perjanjian tersebut di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

8 belum juga dilakukan dan belum dicatat dalam Akta Perkawinan Catatan Sipil, maka para pihak ketiga boleh menganggap suami-isteri itu kawin dalam percampuran harta kekayaan. 6 Hal mana menurut Pasal 29 ayat (1) UUP dan Pasal 147 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dibuat saat perkawinan atau sebelum perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUP dan Pasal 149 KUHPerdata, tapi hakim mengabulkan permohonan mereka. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk menulis suatu karya ilmiah dalam bentuk studi kasus yang berjudul AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA BAGI SUAMI DAN ISTERI (STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NO.239/PDT.P/1998/PN.JKT.SEL dan NO.180/PDT.P/2010/PN.JKT.SEL) 6 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa,1989), hlm.38.

9 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut: 1. Apa pertimbangan hakim mengabulkan permohonan perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No. 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel dan No.180/Pdt.P/2010/PN.Jkt.Sel)? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap harta bersama bagi suami dan isteri setelah adanya perjanjian perkawinan dengan penetapan Pengadilan Negeri? C. Tujuan Penelitian Perumusan tujuan penulisan selalu berkaitan erat dalam menjawab pertanyaan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalaah: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan alasan dikabulkannya perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri No.239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel dan No.180/Pdt.P/2010/PN Jkt.Sel. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum terhadap harta bersama bagi suami dan isteri setelah adanya perjanjian perkawinan dengan penetapan Pengadilan Negeri.

10 D. Manfaat Penelitian Dengan tercapainya tujuan penulisan sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Manfaat Akademis a. Bagi penulis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum; b. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan penulis serta memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya dalam masalah hukum Perkawinan dalam hal pelaksanaan perjanjian perkawinan. 2. Manfaat Praktis a. Untuk mengadakan perbandingan antara ilmu pengetahuan yang diperoleh selama ini dengan kondisi yang terjadi di lapangan, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan perkembangan yang ada. b. Sebagai suatu bahan yang bermanfaat bagi Notaris, Hakim, Pengacara, Aparatur pemerintahan di bidang kependudukan, pertanahan dalam menjalankan profesinya, terutama apabila ada pembuatan akta apapun dan penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan Perjanjian Kawin, serta proses pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.

11 E. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Konseptual

12 2. Kerangka Teoritis Kerangka yang mengambarkan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala atau fakta yang akan diteliti tapi di abstraksi dari gejala tersebut. Konsep yang merupakan salah satu unsur teori dengan demikian mempunyai sifat yang lebih konkret daripada teori. 7 Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, baik lahir maupun bathin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan perbuatan keagamaan disamping perbuatan hukum. Dikatakan perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu kala sudah memberikan aturan bagaimana pemikiran itu harus dilakukan. Perkawinan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu hidup bersama dari seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan-peraturan tersebut. 8 Sedangkan Perkawinan menurut Sajuti Thalib adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita membentuk 7 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2004), hlm.1. 8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1995), hlm.7.

13 keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia. 9 Dalam perkawinan antara suami dan isteri ada yang membuat perjanjian perkawinan dan ada yang tidak yang membuat perjanjian perkawian. Perjanjian perkawinan atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai Prenuptial Agreement adalah perjanjian yang dibuat atau ditandatangani sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah. 10 Istilah perjanjian perkawinan dalam bahasa Belanda disebut huwelijksvoorwaarden atau huwelijksevoorwaarden. Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan istilah yang berbeda. Istilah tersebut dapat dilihat dalam berbagai sumber pustaka, misalnya undang-undang, dan pendapat para sarjana. Perjanjian perkawinan diatur dalam KUHPerdata. Menurut Pasal 147 KUHPerdata, Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dan sebelum perkawinan berlangsung. Tidak dipenuhinya syarat tersebut diancam kebatalan, yang mengakibatkan bahwa suami dan isteri dianggap telah kawin dengan persatuan harta kekayaan secara bulat. Syarat dibuat dengan Akta Notaris adalah untuk memperoleh kepastian tanggal pembuatan perjanjian perkawinan, karena kalau perjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka 9 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : IND-HILL-CO, 1990), hlm.11. 10 Rusdi Malik, Undang-undang Perkawinan, hlm.69.

14 ada kemungkinan bisa back date diubah isi Perjanjian Kawin dan syaratnya, ini ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 149 KUHPerdata tersebut yang menentukan bahwa perjanjian perkawinan, setelah perkawinan berlangsung dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah, seandainya dapat dibuat di bawah tangan, maka bisa di back date, sehingga memungkinkan merugikan pihak ketiga. Sesudah berlakunya UUP, calon suami isteri dapat membuat perjanjian perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUP, yang menentukan Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut. Dalam penjelasan Pasal 29 UUP, dikatakan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak. Dalam ayat (2) dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Konsep perjanjian perkawinan sebelum perkawinan, awalnya memang berasal dari hukum perdata barat yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi UUP ini telah mengkoreksi ketentuan dalam

15 Kitab Undang Hukum Perdata (buatan Belanda) tentang Perjanjian Perkawinan. Dalam Pasal 139 KUHPerdata dikatakan: Dengan mengadakan Perjanjian Kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata-susila yang baik atau tata-tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini, menurut Pasal berikutnya. Bila dibandingkan, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya membatasi dan menekankan perjanjian sebelum perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UUP bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan, tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. 11 Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan perjanjian atau syarat kawin itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka. 12 11 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: CV. Maju Mandar, 1990), hlm.60. 12 Komar Andasasmita, Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Teori dan praktek), (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat, 1987), hlm.53.

16 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan campur kekayaan suami istri hanya dapat dihindarkan apabila suami istri sebelum pernikahan mengadakan perjanjian perkawinan antara mereka. 13 Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibatakibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka 14 H.F.A Volimar mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian perkawinan yakni apabila suami istri hendak menyimpang dari hukum harta kekayaan perkawinan menurut undang-undang, jadi khususnya dari percampuran harta benda seluruhnya, maka diperlukan adanya pembuatan janji kawin sebelum perkawinan dilangsungkan. 15 Akibat dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan diatur di Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UUP, yang intinya menetapkan sebagai berikut: 16 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suamiisteri, harta benda yang diperoleh masing-masing suami-isteri 13 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.6, (Bandung: Sumur, 1974), hlm.117. 14 Soetojo Prodjodikoro, Op.Cit., hlm.57. 15 H.F.A Volimar, Hukum Keluarga Menurut K.U.H.Perdata.(Bandung: Tarsito, 1981), hlm.58. 16 Mulyadi, Universitas Diponegoro), 1992. Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum

17 sebagai hadiah, warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami isteri. Apabila kemudian ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami-isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami-isteri atau yang diperoleh selama perkawinan menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami-isteri tersebut harus membuat Perjanjian Perkawinan terlebih dahulu. Perjanjian Perkawinan harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri untuk mengatur akibat akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian Perkawinan diatur dalam Pasal 29 UUP, menetapkan: a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan Perjanjian Perkawinan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat perkawinan, dimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut. b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, jika melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

18 d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah asalkan perubahan mana tidak merugikan pihak ketiga. 2. Mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami maupun isteri dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. 17 3. Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Menurut penjelasan Pasal 37 UUP, yaitu hukum agama (kaedah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh setelah pernikahan adalah pemisahan harta pencaharian atau pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset 17 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1978), hlm.100.

19 baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian. F. Metode Penelitian Dalam melakukan kegiatan penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar, agar diperoleh hasil yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dengan demikian dapat diakatakan bahwa metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan kegiatan penelitian. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode berupa cara berpikir dan berbuat untuk persiapan penelitian, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan cara menganalisanya. Pemilihan metodologi penelitian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan induknya, sehingga walaupun tidak ada perbedaan yang mendasar antara satu jenis metodologi dengan jenis metodologi lainnya, karena ilmu pengetahuan masing-masing memiliki karekteristik identitas tersendiri, maka penelitian metodologi yang tepat akan sangat membantu untuk mendapakan jawaban atas segala persoalannya. Oleh karena itu metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan identitasnya, karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu pengetahuan lainnya. 18 18 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm.3.

20 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Penelitian dengan metode yuridis normatif, dengan bersumber pada peraturan perundang-undangan, penetapan pengadilan dan juga melihat pada fakta, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap bekerjanya hukum itu sendiri untuk memberikan gamabaran menyeluruh mengenai fakta dan permasalahan yang berkaitan dengan obyek penelitian, kemudian dilakukan analisis terhadap permasalahan tersebut berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku. Sebagai penelitian hukum normatif, yang menitikberatkan pada studi kepustakaan pada data sekunder 19, peneliti melakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara meninventarisasikan segala peraturan dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Tujuan dari pendekatan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan dikabulkannya perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri No.239/Pdt.P/1998/PN.JKT.SEL dan No.180/Pdt.P/2010/PN.JKT.SEL. 19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.24.

21 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis yaitu prosedur atau pemecahan masalah penelitian dilakukan dengan cara memaparkan obyek yang diselidiki sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan data tetapi meliputi analisis dan interprestasi tentang ati data-data tersebut. Dalam hal ini menganalisa hasil putusan Pengadilan Negeri No. 239/Pdt.P/1998/PN.JKT.SELdanNo.180/Pdt.P/2010/PN.JKT.SEL). 3. Sumber dan Jenis Data Sumber dan jenis data yag digunakan dalam penelitian ini adalaah data primer dan data sekunder diantaranya a. Data primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari suatu hukum atau peraturan yang mengikat yang dalam hal ini berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini terdiri dari:. 1) Studi kepustakaan dengan menelaah: a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata; b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; c) Penetapan Pengadilan mengenai perjanjian perkawinan setelah berlangsungnya perkawinan dan penetapan

22 pengadilan mengenai perjanjian perkawinan yang terlambat pencatatannya. 2) Wawancara/Interview Hasil penelitian bahan pustaka yang dikemukakan sebelumnya akan dilengkapi dengan hasil wawancara dengan informan dan nara sumber yang melakukan pengkajian terhadap masalah yang timbul berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan. Wawancara akan dilakukan terhadap informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengetahui pandangannya mengenai pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan. b. Data sekunder, pada dasarnya adalah data normatif terutama yang bersumber dari perundang-undangan. 20 Data sekunder atau studi kepustakaan ini untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. 21 Selain studi kepustakaan, pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan studi dokumen yang meliputi dokumen hukum yang tidak dipublikasikan melalui perpustakaan umum. 22 Adapun data sekunder yang dapat diteliti adalah: 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.151. 21 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hlm.98. 22 Abdulkadir Mmuhammad, Op.Cit., hlm.151.

23 1) Data sekunder yang bersifat pribadi a) Dokumen-dokumen pribadi; b) Data pribadi yang tersimpan di lembaga-lembaga di tempat yang bersangkutan bekerja. 2) Data sekunder yang bersifat publik a) Data arsip; b) Data resmi pada instansi-instansi pemerintah; c) Data yang dipublikasikan. 23 Dari data sekunder umum di atas penulis menggunakan data sekunder yang bersifat publik berupa hasil karya ilmiah para sarjana yang tertuang dalam bentuk buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah hukum dan surat kabar, data dari situs internet serta data sekunder berupa studi dokumen pada instansi yang terkait dengan judul tesis yang ditulis. c. Data tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus khususnya kamus hukum. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam tesis ini ialah dengan cara melakukan: Studi kepustakaan dengan melakukan inventarisasi ketentuan peraturan-peraturan perkawianan. Data tersebut diolah dengan 23 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hlm.24.

24 cara mengutip, menyadur tulisan-tulisan baik yang berupa bukubuku, karya ilmiah maupun peraturan perundang-undangan serta literatur-literatur dan pendapat para sarjana yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini; 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yang bertujuan untuk mengkaji, meneliti, dan menelusuri data-data mencakup data primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, bahan sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis lakukan adalah deskriptif kualitatif yakni dengan memberikan gambaran secara khusus berdasarkan data yang dikumpulkan secara kualitatif. Metode ini memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, dan pada masalah-masalah yang aktual.

25 Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. 24 Analisis dilakukan atas suatu yang telah ada, berdasarkan data yang telah masuk dan diolah sedemikian rupa dengan meneliti kembali, sehingga analisis dapat diuji kebenarannya. Analisis data ini dilakukan peneliti secara cermat dengan berpedoman pada tipe dan tujuan dari penelitian yang dilakukan. 25 Dalam penarikan kesimpulan, penulis menggunakan metode deduktif. Metode deduktif adalah suatu metode penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju penulisan yang bersifat khusus. G. Sistematika penulisan Sistematika penulisan tesis ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Penulisan tesis ini terbagi menjadi 4 (empat) bab, dimana masingmasing bab ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab satu ini penulis akan mengemukakan latar belakang yang menjadi alas an pemilihan judul penulisan tesis, kemudian dilanjutkan dengan perumusan 24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm.28. 25 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hlm.35.

26 masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum mengenai perkawinan, tinjauan umum mengenai perjanjian perkawinan, prosedur dan tata cara pembuatan perjanjian perkawinan berdasarkan KUHPerdata, UUP dan perubahan perjanjian perkawinan serta penemuan hukum oleh hakim. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menjelaskan tentang perjanjian perkawinan menurut aspek hukum yaitu berdasarkan KUHPerdata dan UUP dan memaparkan analisis terhadap perjanjian perkawinan yang terjadi setelah dilangsungkannya perkawinan (Putusan Pengadilan Negeri No. 239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel dan No.180/Pdt.P/2010/PN.Jkt.Sel). BAB IV : PENUTUP Bab ini adalah merupakan simpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang ada serta saran-saran yang diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.