SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses perubahan struktural di Indonesia dapat ditandai dengan: (1) menurunnya pangsa

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

KAJIAN SISTEM AKTIVITAS DAN KERUANGAN WILAYAH BANDUNGAN DALAM UPAYA PENERAPAN KONSEP AGROPOLITAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR TKP 477

KOORDINASI PEMBANGUNAN PERKOTAAN DALAM USDRP

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGANTAR KAJIAN PERKOTAAN DAN PERUMAHAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

DAMPAK PERKEMBANGAN INDUSTRI BESAR TERHADAP SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN TEMANGGUNG TUGAS AKHIR. Oleh: RIZKI OKTARINDA L2D

Perluasan Lapangan Kerja

PEMBANGUNAN KORIDOR EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR MINAPOLITAN

IX STRATEGI PENGELOLAAN USDT BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN LAPORAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN ANGGARAN TRIWULAN III TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

IDENTIFIKASI FAKTOR PENENTU LOKASI INDUSTRI DI KOTA SEMARANG DAN DAERAH YANG BERBATASAN TUGAS AKHIR. Oleh: FAHRIAL FARID L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Konsep paradigma development from below sebagai suatu strategi. pembangunan bottom up planning. Pengembangan dari bawah pada

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN LAPORAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN ANGGARAN TRIWULAN I TAHUN 2016

1 ^ PENDAHULUAN Latar Belakang ' Perumusan Model Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemetaan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil

LAPORAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN ANGGARAN TRIWULAN II TAHUN 2016

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

Matakuliah : EK 432/Perekonomian Indonesia Tahun : 2005 Versi : Revisi 1. Pertemuan 6 Kemiskinan dan kesenjangan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. diperoleh beberapa kesimpulan penelitian. Kesimpulan berikut ini berusaha

5.1 Kondisi dan Pengembangan Kawasan Permukiman Perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

IX. KETERKAITAN ANTARA ALTERNATIF STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI DAN IDENTIFIKASI WILAYAH CIANJUR SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pedesaan saat ini menempati bagian paling dominan dalam

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa pokok utama yang telah dicapai dengan penyusunan dokumen ini antara lain:

PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB IV. KERANGKA ACUAN KERJA (KAK)

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB III VISI, MISI DAN NILAI

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya

Transkripsi:

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas kegagalan strategi pertumbuhan yang berbasis kepada industrialisasi. Strategi pusat pertumbuhan tersebut yang pada awalnya banyak mendapat respon positif dan banyak digunakan sebagai strategi pengembangan wilayah, ternyata cukup banyak menghasilkan dampak negatif. Strategi populis muncul di awal tahun 1970an dan dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan para ahli dan terjadinya fenomena sosial politik pada tahun tersebut pasca kolonialisme di tahun 1950an dan 1960an. Selama periode ortodoksi pertumbuhan di mana strategi pusat pertumbuhan diterima secara luas oleh para ahli pembangunan, terdapat beberapa pendapat bahwa penting bagi seorang perencana untuk mengalokasikan sumber daya untuk pertanian. Pemberian prioritas kepada pembangunan pedesaan dikarenakan perencanaan pembangunan tidak semata-mata mengenai peningkatan laju pertumbuhan nasional dan melahirkan perubahan struktural dalam perekonomian. Strategi pembangunan juga diperlukan untuk memperhitungkan kemiskinan dan lapangan pekerjaan. Strategi pusat pertumbuhan yang berbasis industrialisasi memang mampu menciptakan pertumbuhan, namun di sisi lain tidak membawa perubahan positif bagi sektor pertanian di pedesaan, muncul ketidakseimbangan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggirannya. Wilayah pedesaan jadi mengalami kemunduran, karena dalam strategi pusat pertumbuhan kota mendominasi wilayah belakangnya berkaitan dengan konsentrasi modal yang besar untuk proses produksinya sehingga wilayah pedesaan mengalami kebocoran sumberdaya. Pada akhirnya, terbentuklah strategi dan model perencanaan populis dalam pengembangan wilayah yang diprakarsai oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1978. Strategi ini memiliki prinsip melakukan pengembangan wilayah dengan menempatkan pedesaan sebagai fondasi strategi dan motor penggerak pengembangan, sehingga sektor utama yang dikembangkan yaitu pertanian dan aktivitas-aktivitas pendukungnya. Dalam prosesnya, melibatkan masyarakat dan juga berfungsi untuk menghilangkan bias terhadap kota-kota besar, industri skala besar dan bentuk-bentuk organisasi terpusat. Dalam pengembangan wilayah berbasis pertanian ini, terdapat dasar yang dijadikan acuan dalam implementasi strategi. Integrasi teritorial merupakan dasar implementasi strategi tersebut. Sebuah wilayah terdiri dari wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan, sehingga diperlukan integrasi dan pertimbangan keduanya sebagai komponen yang harus saling melengkapi. Peningkatan komponen ruang dan lokasional merupakan mekanisme dari integrasi territorial ini. Keterhubungan antar

ruang, keterhubungan antar wilayah menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan wilayah di mana harus memperhatikan lokasi, potensi, dan perkembangan sektor ekonomi di wilayah sekitarnya. Dalam integrasi teritorial, perencanaan pengembangan wilayah sebagai pemercepat penyebaran pengembangan dari pusat pertumbuhan ke wilayah-wilayah di sekitarnya maupun wilayah di belakangnya. (Mier dan Bingham, 1993, dalam Setyono, 2007). Dalam model integrasi territorial ini, terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan pengembangan wilayah, antara lain: memperbaiki interaksi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya; membangun sistem pusat pertumbuhan yang dapat menarik investasi dan memproduksi komoditi ekspor; dan mengembangakan proses desentralisasi yang baru dan diarahkan ke wilayah tertinggal yang kurang berkembang. Peran masyarakat sangat diperlukan untuk diberdayakan, karena merupakan prasyarat dalam kapasitas peningkatan produktivitas dan efisiensi ekonomi. Pembangunan yang dilakukan nantinya disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah. Strategi pendekatan pengembangan wilayah yang berbasis pedesaan ini memiliki beberapa model implementasinya, di mana pedesaan sebagai fungsi dominannya dan kebutuhan masyarakat sebagi komponen utamanya. Model pengembangan wilayah dengan strategi populis dibagi menjadi tiga strategi, yaitu pembatasan ruang selektif, pengembangan pedesaan terpadu, dan pengembangan agropolitan. Pertama, strategi pembatasan ruang selektif (selective spatial closure) adalah merupakan upaya strategi pengembangan wilayah yang mengatasi permasalahan kebocoran sumberdaya wilayah pedesaan. Melalui strategi ini, kebocoran sumberdaya yang menyebabkan tidak berkembangnya wilayah pedesaan dapat dikendalikan. Strategi pembatasan ruang selektif didasari oleh 5 konsep menurut Stohr (1981), yaitu: 1. Merintangi perpindahan ke luar potensi sumber daya wilayah. 2. Kewenangan pengambilan keputusan dipertahankan di tingkat lokal. 3. Menutup hubungan dengan wilayah lain yang berpotensi mengeksploitasi potensi lokal. 4. Pemenuhan kebutuhan dasar secara mandiri. 5. Meningkatkan mobilisasi dan integrasi sumber daya untuk kepentingan pembangunan lokal. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan pembangunan dalam strategi ini (Setyono,2007), antara lain dengan melakukan pengembangan teknologi yang tepat guna, meningkatkan akses pembangunan secara merata dengan peningkatan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas, memprioritaskan kebutuhan dasar dan pelayanan dasar, pemberdayaan komunitas lokal dan penguatan struktur pemerintah lokal, penerimaan bantuan dari wilayah lain dengan tetap memberikan batas agar tidak terjadi ketergantungan, dan kebijakan kesamarataan menjadi kunci keberhasilan.

Jadi, strategi ini dapat dikatakan memberikan prioritas kepada integrasi territorial dan bisa memunculkan trickledown effect. Kedua, strategi pengembangan pedesaan terpadu dan terintegrasi. Strategi ini merupakan salah satu cara untuk percepatan pengembangan pedesaan (accelerated rural development). Model pengembangan wilayah ini menurut Friedmann (1981) dilatarbelakangi karena terdapat beberapa kondisi yang tidak mendukung kemajuan pedesaan secara merata dan menyeluruh, sehingga tercipta kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Beberapa konsep yang dapat diterapkan untuk percepatan pengembangan pedesaan, yaitu: 1. Pembangunan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dasar penduduk. 2. Pembangunan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan. 3. Pembangunan dapat memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakat secara luas. Agar tercapainya konsep tersebut, menurut Setyono (2007) ada beberapa mekanisme kebijakan pembangunan yang dapat dilakukan, antara lain mendorong pelaksanaan proyek yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melakukan diversifikasi pertanian untuk perluasan lapangan pekerjaan yang produktif, menciptakan usaha-usaha yang mandiri dalam mengelola sumber daya pedesaan melalui akumulasi kekuatan sosial yang ada, meningkatkan kualitas lingkungan, mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan antara desa-kota dan menerapkan sistem desentralisasi dalam pembangunan wilayah pedesaan. Ketiga, model terakhir yang dapat dikembangkan dan saat ini sudah banyak digunakan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan agropolitan dilakukan untuk menumbuhkembangkan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, sehingga dapat meminimalisir kesenjangan desa-kota. Model strategi ini membangun pusat pelayanan bagi pengembangan pertanian dan wilayah pedesaan dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi penduduknya. Model pengembangan agropolitan tersebut pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan yang diberikan fasilitas infrastruktur setara perkotaan sehingga dapat melayani dan memacu perkembangan wilayah pedesaan. Beberapa fungsi kegiatan ekonomi dan pelayanan perkotaan yang melekat pada kawasan perkotaan diterapkan dan dikembangkang di kawasan pedesaan untuk pengembangan kegiatan pertaniannya. Untuk mencapai itu kemudian dibentuklah distrik-distrik agropolitan yang memiliki hirarki keruangan (terintegrasi satu sama lain) dan didalamnya meliputi fasilitas sosial, infrastruktur, perbaikan pertanian dan industri

ringan padat karya. Pembentukan distrik agropolitan yang nantinya menjadi pusat pelayanan perkotaan bagi pengembangan pertanian merupakan strategi pengembangan dari aspek keruangan. Aspek sektoral dalam pengembangan agropolitan yakni dengan menyeimbangkan dan melakukan sinkronisasi aktivitas pertanian dan non pertanian serta memperluas jaringan interaksi sosial masyarakat di pedesaan. Strategi pengembangan agropolitan memiliki dua versi, yang pertama versi asli yakni strategi ini secara spesifik didesain untuk wilayah yang memililki tingkat urbanisasi yang rendah, pola tinggi dan rendah kepadatan penduduk, pola permukiman dari kluster desa-kota, dan kondisi kemiskinan yang ekstrim, sehingga dikatakan secara khusus cocok di terapkan di Asia. Versi kedua yakni menurut Friedmann dan Weaver (1979), strategi ini cocok untuk Asia dan bagian Afrika. Strategi ini berubah dari korelasi spasial percepatan pengembangan pedesaan menjadi strategi kebutusan dasar dalam pengembangan wilayah. Kemungkinan aplikasi strategi dan model perencanaan populis di Indonesia. Model pengembangan yang telah banyak dikembangkan di Indonesia yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan telah tercantum dalam undang-undang tentang penataan ruang. Direktorat Penataan Ruang dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah menggunakan konsep pengembangan angropolitan untuk melakukan pengembangan wilayah.. Menurut Djakapermana (2003), konsep agropolitan yang dikembangkan adalah pembentukan sistem fungsional desa-desa dengan hirarki keruangan desa yaitu dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya. Kawasan pertanian tumbuh dan berkembang karena adanya sistem agribisnis di pusat agropolitan yang kemudian diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Jadi, pengembangan kawasan pedesaan diintegrasikan dengan konsep penataan ruang secara keseluruhan. Beberapa contoh wilayah di Indonesia yang dikembangkan dengan konsep pengembangan agropolitan antara lain, kawasan agropolitan Pacet, Cianjur; kawasan agropolitan di Gorontalo dengan spesialisasi jagung; kawasan agropolitan di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan Kabupaten Bangli, Bali dengan basis perkebunan; dan sebagainya. Sumber referensi: ---. Neo-populist Regional Development Strategies, http://kulon.undip.ac.id/mod/resource/view.php?id=2443, diakses 12 Mei 2013 Djakapermana, RD. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis RTRWN. Jakarta.http://penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/Pengembangan %20Agropolitan%20Berbasis%20RTRWN.doc, diakses 20 Mei 2012

Setyono, Jawoto Sih. 2007. Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota. Semarang: Universitas Diponegoro