BAB I PENDAHULUAN. keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti

DAFTAR ISI. ABSTRACT... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari migas, pajak, non pajak. Dana yang berasal dari rakyat dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu penerimaan yang rutin, maka pemerintah menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK HOTEL DI KABUPATEN KARIMUN SKRIPSI. Disusun oleh: JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat. sekaligus menjadi ibu kota provinsi. Kota ini merupakan kota terbesar

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN yang tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.Pengelolaan dan pengembangan pariwisata harus dilanjutkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas, dalam menyelenggarakan

Statistik tabel Pariwisata Yogyakarta dan Perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. daerah tersebut. Menurut Masyhudzulhak dalam Proceeding Book. Simposium Ilmu Administrasi Negara untuk Indonesia (2011) daerah

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijadikan sebagai prioritas utama dalam menunjang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa terbesar di bawah minyak dan gas bumi, batu bara, minyak

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi terhadap jumlah penjualan, laba, lapangan pekerjaan,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan negara. Saat ini, pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian yang unik dibandingkan dengan propinsi lain di mana pilar-pilar

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi

BAB I PENDAHULUAN. promosi pariwisata ini berkembang hingga mancanegara. Bali dengan daya tarik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Memperoleh keunggulan bersaing merupakan tantangan utama bagi

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan dalam penyelenggaraan suatu negara hal ini untuk

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

BAB I. PENDAHULUAN. Perkembangan pembangunan hotel bintang dan non-bintang di Daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

DASAR-DASAR PENETAPAN TARGET PENERIMAAN PAJAK HOTEL DAN RESTORAN DI KOTA BANDUNG. Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat, memiliki wilayah (daerah) tertentu, adanya rakyat yang hidup teratur,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia yang turut serta menjadi pundi pundi devisa terbesar setelah migas.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogyakarta merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kabupaten

Tahun 2012 Wisatawan Nusantara Wisatawan Mancanegara. Tahun 2009

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sejalan dengan

BAB V PENUTUP. Selama 2 (dua) bulan melaksanakan kegiatan Praktik Lapangan (PL) pada

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi global. Dari tahun ke tahun, jumlah. kegiatan wisata semakin mengalami peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Bab I : Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional dalam

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB I PENDAHULUAN. merata dan berkesinambungan (Halim, 2007:229). Pada Era Otonomi saat ini di

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

BAB I PENDAHULUAN. baru telah membuka jalan bagi munculnya reformasi diseluruh aspek kehidupan bangsa

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI HOTEL DI MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Daerah di mana sistem pemerintahan negara yang semula. pembangunan perekonomian daerah setempat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai kota pariwisata dan kota pelajar dengan unsur budaya yang melekat, dan

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi yang semakin membuka peluang pengusaha untuk turut

KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, DAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BELITUNG

BAB V PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengaruh penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan tersebut dapat meliputi berbagai hal, mulai dari aspek sosial,

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. untuk membantu proses penyususnan penelitian ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mampu menunjang kemajuan

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2009 NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I. Pendahuluan. Pemberlakuan undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, undang - undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk Usaha, Bidang Usaha, dan Perkembangan Usaha. Jakarta Barat merupakan salah satu bagian yang memiliki kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. bermacam macam ras, suku, dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang. b. Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. Perangkat Daerah dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendorong diterapkannya otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan publik guna

BAB I PENDAHULUAN. serius terhadap bidang ini telah melahirkan beberapa kebijakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan suatu daerah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu Negara, ketersediaan data dan informasi menjadi sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan pariwisata merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA KE PROVINSI DKI JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk

Judul : Tata Cara Pemungutan, Perhitungan, Dan Pembayaran Pajak Hotel Dan Restoran Nama : Dewa Ayu Kartika Mahariani NIM : ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan persaingan bisnis di Indonesia merupakan salah satu fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Perkembangan Realisasi Penerimaan Pajak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia membawa beberapa perubahan dalam sistem tata kelola pemerintahan. Pada UU no. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bagaimana peran yang harus dijalankan oleh setiap aparat dari pusat hingga daerah, di mana peran aparat Pemerintah Daerah (lebih tepatnya daerah tingkat II, Kabupaten serta Kotamadya) menjadi lebih dominan dalam mendorong pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Daerah dituntut untuk menjadi lebih mandiri dari aspek keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Tuntutan untuk lebih mandiri di aspek keuangan tersebut kemudian mendorong tiap daerah menggali secara serius potensi yang ada di wilayahnya. Potensi yang dimaksud di sini adalah baik SDA maupun SDM yang dimiliki suatu daerah yang dapat memberi kontribusi dalam upaya pemenuhan serta peningkatan pendapatan asli daerah. Kontribusi dari potensi daerah tidak hanya dilihat dari segi nilai jualnya saja, namun juga dari segi pajaknya. Dari pengelolaan pajak yang baiklah maka suatu negara atau daerah mampu melaksanakan pembangunan, oleh karena itu selalu ada upaya perbaikan pengelolaan pajak tiap tahunnya. Otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia kemudian berimbas pada adanya pembagian ruang pengelolaan pajak antara pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I, serta pemerintah daerah tingkat II. Kota Yogyakarta sebagai salah satu daerah tingkat II yang merupakan bagian dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kewajiban yang sama yaitu memenuhi kuota pembiayaan daerahnya salah satunya dengan cara mengelola pajak. 1

Tabel 1.1. Rincian Target dan Realisasi PAD Kota Yogyakarta Tahun Anggaran Jenis Penerimaan Target Realisasi Realisasi pajak/pad Realisasi pajak daerah/ target pajak daerah 2007 PAD 104.162.882.000,00 114.098.350.942,31 pajak daerah 49.274.000.000,00 54.783.202.892,00 48,01% 111,18% 2008 2009 2010 PAD 116.895.236.051,00 132.431.571.514,72 pajak daerah 59.343.591.000,00 62.452.770.490,00 PAD 145.446.398.106.00 161.473.838.209,95 pajak daerah 66.969.000.000,00 71.852.539.011,00 PAD 175.872.008.293,00 179.423.640.057,51 pajak daerah 75.200.000.000,00 78.254.579.242,00 PAD 203.838.217.886,00 228.870.559.645,59 2011 pajak daerah 101.349.000.000,00 120.457.515.127,00 Sumber: Laporan APBD Kota Yogyakarta tahun 2007-2011 47,16% 105,24% 44,50% 107,29% 43,61% 104,06% 52,63% 118,85% Tabel di atas menunjukkan capaian pajak daerah Kota Yogyakarta serta kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Berdasar pada data tabel tersebut, tiap tahunnya realisasi pajak daerah selalu berhasil melampaui target yang ditentukan (mencapai angka di atas 100%) dan jumlahnya selalu meningkat (walaupun secara prosentase sempat menurun pada 2008-2010, namun mulai meningkat lagi pada 2011). Kontribusi pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah sudah lebih dari 40% tiap tahunnya, bahkan pada tahun 2011 sudah mencapai lebih dari 50%. Perlu diketahui bahwa Kota Yogyakarta bukanlah suatu daerah dengan potensi SDA yang mumpuni, minim SDA baik dari segi mineral (bahan tambang) maupun non mineral (hutan, agraris). Gambaran sederhana Kota Yogyakarta adalah kota pusat pemerintahan propinsi yang padat penduduk, sehingga wilayahnya dipenuhi pemukiman dan pusat keramaian (baik perkantoran maupun pusat perbelanjaan, dll). Menyadari minimnya potensi SDA yang dimiliki maka Pemerintah Kota Yogyakarta merencanakan pembangunan daerahnya berdasar pada potensi di bidang lain, yaitu pariwisata. Mengapa pariwisata? Pariwisata secara umum telah 2

berkembang menjadi sebuah industri jasa yang menjanjikan. Gelgel (2006:22) mendefinisikan pariwisata sebagai suatu kegiatan yang menyediakan jasa akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang terkait. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses pelaksanaannya pariwisata melibatkan banyak sektor yang terkait satu sama lain. Keterkaitan antar sektor dan besarnya pengaruh aspek ekonomi nilah yang kemudian memunculkan pariwisata sebagai sebuah industri baru. John Naisbitt (dikutip oleh Gelgel, 2006) mengatakan bahwa pada era globalisasi pariwisata merupakan industri terbesar di dunia. Yogyakarta (dalam hal ini Propinsi DIY) dalam skala nasional merupakan destinasi wisata nomor 2 setelah Pulau Bali. Daya tarik historis dan juga budaya menjadi poin utama pengembangan pariwisata di Yogyakarta. Hal ini didasarkan pada banyaknya peninggalan bangunan (mayoritas candi) bersejarah dari masa kerajaan Hindu-Buddha dan juga keberadaan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di pusat Kota Yogyakarta.Bangunan dengan nilai sejarah serta budaya yang tinggi tersebut nampaknya menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan baik domestik maupun asing, maka tidak heran jika jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta selalu meningkat tiap tahunnya. Tabel 1.2. Perkembangan Wisatawan (berdasar penggunaan akomodasi) di Propinsi DIY Tahun dan jenis hotel WisMan WisDom Sub Jumlah Jumlah 2007 berbintang melati 85943 17281 587893 558304 673836 575585 1249421 2008 berbintang melati 107524 21136 596292 559805 703816 580941 1284757 2009 berbintang melati 114066 25426 645552 641013 759618 666439 1426057 2010 berbintang melati 124060 28783 663189 640948 787249 669731 1456980 2011 berbintang 133868 667792 801660 melati 35697 770337 806034 1607694 Sumber: Statistik Kepariwisataan Propinsi DIY tahun 2011 3

Data yang ditunjukkan oleh tabel 1.2. mengenai jumlah kunjungan wisatawan secara umum menunjukkan dominasi dari wisatawan domestik, namun perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara juga menampakkan trend yang positif setiap tahunnya. Walaupun tidak semua objek wisata berada di wilayah Kota Yogyakarta namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya industri pariwisata melibatkan banyak sektor. Wilayah Kota Yogyakarta yang berada di tengah (pusat kota) secara tidak langsung menjadi penghubung antara kabupaten lain di sekelilingnya. Hal ini kemudian membuat banyak wisatawan yang memilih untuk singgah di Kota Yogyakarta saat melakukan perjalanan wisatanya. Rentan waktu yang digunakan para wisatawan selama singgah tentunya disesuaikan dengan agenda perjalanannya. Semakin banyak objek wisata di suatu wilayah yang akan dikunjungi, maka semakin lama waktu singgahnya. Untuk itu keberadaan akomodasi sangatlah penting untuk menunjang kebutuhan selama wisatawan tersebut singgah di satu daerah. Akomodasi oleh Badudu - Zain (2001:24) didefinisikan sebagai tempat tinggal untuk sementara misal bagi orang-orang yang sedang bepergian (dalam perjalanan). Istilah akomodasi sendiri dalam industri pariwisata identik dengan hotel (penginapan) dan restoran, namun dalam penelitian kali ini istilah akomodasi akan terbatas pada hotel saja. Hotel atau perhotelan merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari pariwisata. Bisnis di bidang perhotelan tumbuh seiring dengan kemajuan pariwisata di suatu daerah. Begitu juga sebaliknya di mana kemajuan pariwisata akan sangat bergantung pada sarana prasarana pendukung salah satunya adalah ketersediaan hotel. Jadi, hotel dan pariwisata merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Bisnis perhotelan di Kota Yogyakarta pun 4

beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Hal itu menunjukkan bahwa para investor percaya bahwa kedepannya pariwisata di Kota Yogyakarta akan semakin maju sehingga berdampak positif pada bisnis perhotelan. Bagan1.1. Perbandingan Jumlah Hotel Berbintang di Provinsi DIY dan Kota Yogyakarta 12 10 8 6 4 2 10 10 6 1 8 8 6 4 4 2 0 bintang1 bintang 2 bintang 3 bintang 4 bintang 5 DIY Kota Yogyakarta Sumber: Statistik Kepariwisataan Provinsi DIY dan Data Perhotelan Pemkot Yogyakarta tahun 2011 (diolah) Melihat grafik di atas dapat diketahui bahwa dari 36 hotel berbintang yang ada di DIY, 23 diantaranya (63,89%) terletak di Kota Yogyakarta. Tampaknya posisi Kota Yogyakarta terhadap kabupaten lainnya memang dianggap paling strategis sehingga investor di bidang perhotelan tertarik untuk mengembangkan usahanya. Walaupun dari segi ruang Kota Yogyakarta jelas kalah dari 4 kabupaten di sekitarnya, namun prinsip keterjangkauan menjadi nilai lebih dan tampaknya hal itu menjadi perhatian utama para investor. Pada tabel 1.2. sebelumnya dapat kita lihat bahwa kecenderungan wisatawan yang berkunjung ke DIY lebih memilih untuk tinggal di hotel berbintang daripada tinggal di hotel melati. Sejak tahun 2007 5

sampai 2010 jumlah wisatawan dengan preferensi hotel berbintang lebih banyak daripada wisatawan dengan preferensi hotel melati dengan selisih mencapai ± 100.000-an wisatawan. Namun hal yang agak sedikit berbeda terjadi pada tahun 2011 dimana jumlah wisatawan dengan preferensi hotel melati lebih banyak dari wisatawan dengan preferensi hotel berbintang, dengan selisih ± 4000-an wisatawan (lebih dikarenakan meningkatnya jumlah wisatawan domestik dengan preferensi hotel melati). Dari data tersebut dapat dikatakan jika Pemkot Yogyakarta mendapat keuntungan karena 63,89% hotel berbintang berada di wilayah Kota Yogyakarta dan tingkat huniannya sangat tinggi. Tingginya tingkat hunian tentunya akan berdampak pada jumlah pajak yang akan diterima oleh Pemkot melalui pemungutan pajak hotel. Pajak hotel sendiri merupakan bagian dari pajak daerah selain dari pajak restoran, pajak hiburan, dan lain-lain. Kontribusi pajak hotel sendiri terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Yogyakarta sangatlah besar. Tentunya hal itu membuktikan bahwa tingginya tingkat hunian berdampak pada tingginya penerimaan pajak hotel. Di Kota Yogyakarta sendiri sebenarnya jumlah hotel berbintang masih kalah jauh jika dibandingkan dengan jumlah hotel melati yang tiap tahunnya bisa bertambah hingga belasan. Pertumbuhan hotel melati ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah wisatawan domestik terutama dari kalangan pelajar (rombongan study tour) yang memang banyak menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan wisatanya. Untuk hotel berbintang sendiri, dari segi pertumbuhan dapat dikatakan stagnan (jumlahnya tetap dalam kisaran tertentu). 6

Bagan1.2. Jumlah Hotel di Kota Yogyakarta 350 300 250 22 21 22 22 23 200 150 100 240 264 270 277 296 50 0 2007 2008 2009 2010 2011 hotel melati hotel berbintang Sumber: Statistik Perhotelan Kota Yogyakarta (Pemkot) Namun seperti terlihat dari tabel 1.2. di mana jumlah wisatawan dengan preferensi hotel berbintang lebih tinggi daripada wisatawan dengan preferensi hotel melati (data DIY) dan karena sebagian besar hotel berbintang terletak di Kota Yogyakarta, maka tingkat hunian hotel berbintang lebih tinggi daripada tingkat hunian hotel melati di Kota Yogyakarta. Walau kalah dari sisi jumlah namun seperti yang diketahui bahwa jumlah kamar yang disediakan oleh hotel berbintang (terutama bintang 4 dan 5) bisa mencapai ratusan, sedangkan hotel melati biasanya hanya memiliki kapasitas 20 sampai 30-an kamar. Tentunya hal itu berdampak pada jumlah setoran pajak tiap-tiap hotel, dan dapat dikatakan jika pajak yang harus disetor hotel berbintang lebih besar jumlahnya daripada jumlah setoran pajak hotel melati. Selain jumlah kamar yang lebih banyak, tarif yang dipatok oleh hotel berbintang tentunya jauh lebih tinggi dari hotel melati mengingat pelayanan yang 7

ditawarkan pun lebih bervariasi. Jadi, faktor jumlah kamar yang lebih banyak dengan tingkat hunian yang tinggi dan tarif yang lebih tinggi daripada hotel melati nampaknya bisa menjadi gambaran seberapa besar kontribusi hotel berbintang terhadap penerimaan pajak hotel di Kota Yogyakarta. Bagan1.3. Tingkat Hunian Hotel di Kota Yogyakarta 90% 80% 70% 63% 70% 65% 71,80% 78,60% 79,80% 81,50% 72,80% 70% 67,40% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2007 2008 2009 2010 2011 hotel melati hotel berbintang Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta Dengan mengusung pariwisata sebagai potensi utama pendapatan daerah, nampaknya pajak hotel sebagai bagian dari pajak daerah bisa dijadikan prioritas. Hal itu merujuk pada semua fakta yang telah disebutkan sebelumnya yaitu potensi jumlah wisatawan, tingkat hunian hotel berbintang, dan juga prospek hotel berbintang di Kota Yogyakarta (setelah tahun 2011). Selama 5 tahun berturut-turut rata-rata tingkat hunian hotel berbintang berada di atas 70%, sedangkan tingkat hunian hotel melati pada tahun 2010 mulai menyentuh angka 70% dan mendekati 8

angka 73% di tahun 2011. Potensi pajak hotel yang besar tersebut tentunya harus dimaksimalkan dengan pengelolaan yang tepat dan profesional. Komunikasi antara pihak pemkot, petugas pengelola pajak dan juga pengusaha hotel berbintang sebagai wajib pajak harus terjalin baik supaya masing-masing pihak dapat melakukan kewajibannya dengan baik dan benar. Hal itu dapat dilakukan dengan adanya kompensasi bagi wajib pajak yang terbilang tertib, dan hal tersebut telah terlaksana di Kota Yogyakarta di mana setiap tahun pemkot mengupayakan untuk memberikan dana kompensasi bagi hotel dan restoran yang tertib dalam menjalankan kewajibannya. Kepala bidang pajak daerah Dinas pajak daerah dan pengelolaan keuangan Kota Yogyakarta, Wisnu Budi Irianta, mengatakan bahwa potensi pajak hotel di Kota Yogyakarta diharapkan bisa bertambah dengan semakin menjamurnya hotel-hotel baru terlebih beberapa di antaranya merupakan hotel berbintang. Beliau menambahkan, pertambahan hotel ini semoga seiring dengan bertambahnya pula jumlah wisatawan yang menginap sehingga mampu berdampak positif pada penerimaan daerah. Terkait sistem selfassessment yang diterapkan dalam pembayaran pajak hotel, beliau memastikan bahwa tetap ada pengawasan yang dilakukan untuk mengetahui apakah pajak yang disetorkan sesuai dengan aturan atau tidak. Di sisi lain beliau tidak menampik bahwa masih ada hotel yang belum taat dalam pembayaran pajak (http://edisicetak.joglosemar.co, 30 Januari 2012). Pelaksana tugas Kepala bidang pajak daerah Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Pemkot Yogyakarta, Tugiarto, juga menyampaikan tidak maksimalnya pajak hotel dan restoran dikarenakan sistem pembayarannya yang dilakukan secara selfassessment sesuai UU 28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Menurutnya dari semua jenis pajak yang menggunakan sistem self-assessment, pajak hotel dan restoran 9

menjadi jenis pajak yang paling banyak mengalami kebocoran (tax gap) (http://rrijogja.co.id, 19 September 2012). Terkait isu tax gap pajak, kajian yang disampaikan pada Simposium Nasional Akuntansi X (2007) oleh Elia Mustikasari dikatakan bahwa data akurat mengenai tax gap di Indonesia belum tersedia. Namun menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang audit kinerja Direktorat Jenderal Pajak, Indonesia mengalami tax gap yang cukup signifikan (http:\\www.indodigest.com, 15 Maret 2006). I.2. Rumusan Masalah Penerimaan pajak hotel yang nampaknya memberi kontribusi besar pada penerimaan pajak daerah harusnya mampu mendorong pemkot untuk selalu meningkatkan kualitas pengelolaan pajak terkait. Dengan mengetahui sumber daya yang ada sudah seharusnya target yang dicapai harus maksimal. Namun melihat pernyataan yang disampaikan Pelaksana tugas Kepala bidang pajak daerah Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan Pemkot Yogyakarta, Tugiarto dari semua jenis pajak yang menggunakan sistem self-assessment, pajak hotel dan restoran menjadi jenis pajak yang paling banyak mengalami kebocoran (tax gap). Maka dari itu pertanyaan dari penelitian ini adalah: Mengapa tax gap pajak hotel berbintang di Kota Yogyakarta bisa terjadi? Apa implikasi kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Yogyakarta selaku pengelola pajak hotel berbintang? 10

I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab tax gap pada pajak hotel berbintang di Kota Yogyakarta dan implikasi kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Yogyakarta selaku pengelola pajak hotel berbintang untuk meminimalisirnya. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah: media penerapan teori perkuliahan terhadap konteks realita dalam rangka memenuhi tugas akhir S1; mampu memberi inspirasi atau gambaran untuk penulisan karya ilmiah dengan tema terkait atau serupa; dan menjadi sarana informasi bagi Pemkot Yogyakarta mengenai tax gap pada pajak hotel berbintang di Kota Yogyakarta. 11