PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR DAN INTENSITAS WARNA KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Bahan Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Daun Alpukat (Persea americana Mill.

Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Jl. Veteran-Malang *

Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Bahan Fiksasi dalam Pemanfaatan Daun Jati (Tectona grandis Linn.f ) sebagai Bahan Pewarna Alami Batik

PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP INTENSITAS WARNA DAN KETAHANAN LUNTUR PEWARNAAN KULIT CRUST IKAN PARI DENGAN PEWARNA SECANG (Caesalpinia sappan L)


PENGARUH JENIS FIKSATIF TERHADAP KETUAAN DAN KETAHANAN LUNTUR KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN LIMBAH TEH HIJAU

PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini telah berkembang pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya.

KEWIRAUSAHAAN (Kode : G-02)

Dosen Program Studi Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan 2) Program Studi D3 Teknik Batik Politeknik Pusmanu Pekalongan

PENDAHULUAN. Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri Volume 5 Nomor 1:

Dian Ramadhania, Kasmudjo, Panji Probo S. Bagian Teknologi Hasil Hutan,Fakultas Kehutanan, UGM Jl. Agro No : 1 Bulaksumur Yogyakarta.

PENGARUH FIKSASI TERHADAP KETUAAN WARNA DENGAN MENGGUNAKAN PEWARNA ALAMI BATIK DARI LIMBAH MANGROVE

BAB IV KAJIAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA TEKSTIL

PENGARUH LARUTAN FIXER TERHADAP KUALITAS PEWARNAAN BIOPIGMEN RUMPUT LAUT Eucheuma sp. SEBAGAI PENGGANTI PEWARNA SINTETIS PADA TEKSTIL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN DAN APLIKASI ZAT WARNA ALAMI DARI BUAH MANGROVE JENIS Rhizophora stylosa

PENCELUPAN PADA KAIN SUTERA MENGGUNAKAN ZAT WARNA URANG ARING (ECLIPTA ALBA) DENGAN FIKSATOR TAWAS, TUNJUNG DAN KAPUR TOHOR

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Zat Warna Alami dari Buah Mangrove Spesies Rhizophora stylosa sebagai Pewarna Batik dalam Skala Pilot Plan

PENGARUH EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR WARNA PADA KAIN BATIK KATUN

Emy Budiastuti dan Kapti Asiatun ( Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana FT UNY)

PENGARUH EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR WARNA PADA KAIN BATIK KATUN

PENGARUH FIKSATOR PADA EKSTRAK AKAR MENGKUDU TERHADAP PEWARNAAN JUMPUTAN

Agus Haerudin dan Farida Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

PEMANFAATAN EKSTRAK WARNA DAUN ALPUKAT SEBAGAI ZAT PEWARNA ALAM (ZPA) TEKSTIL PADA KAIN SUTERA

Bayu Wirawan D. S. 1, Hazbi As Siddiqi 2. Dosen Program Studi Teknik Batik, Politeknik Pusmanu

PEMANFAATAN TANAMAN KEMBANG TELEKAN SEBAGAI PEWARNA ALAM BATIK PADA KAIN MORI PRIMA SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

ALAT PENGERING BERKABUT UNTUK MENGHASILKAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU MAHONI, JAMBAL, DAN TINGI GUNA MENGGANTIKAN SEBAGIAN WARNA SINTETIK BATIK

Diterima: 19 Oktober 2016, revisi akhir: 8 Desember 2016 dan disetujui untuk diterbitkan: 10 Desember 2016

PEMANFAATAN LIMBAH SERBUK KAYU MAHONI SEBAGAI PEWARNA ALAMI BATIK

Titiek Pujilestari dan Irfa ina Rohana Salma Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

LAPORAN TUGAS AKHIR. Disusun Oleh : 1. Lita Indriyani (I ) 2. Widak Asrianing (I )

Titiek Pujilestari Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara No.7 Yogyakarta

Agus Haerudin, Dana Kurnia Syabana, Dwi Wiji Lestari Balai Besar Kerajinan dan Batik Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta

TEKNIK EKSPLORASI ZAT PEWARNA ALAM DARI TANAMAN DI SEKITAR KITA UNTUK PENCELUPAN BAHAN TEKSTIL Noor Fitrihana,ST Jurusan PKK FT UNY

EKSTRAK BIJI BUAH PINANG SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA KAIN SASIRANGAN

PEMANFAATAN DAUN INDIGOFERA SEBAGAI PEWARNA ALAMI BATIK

PENGARUH VARIASI ph DAN FIKSASI PADA PEWARNAAN KAIN KAPAS DENGAN ZAT WARNA ALAM DARI KAYU NANGKA TERHADAP KUALITAS HASIL PEWARNAANNYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka. Nama daerah :tahi kotok (Sunda), kenikir (Jawa)

KUALITAS PEWARNAN BATIK YANG DIHASILKAN DARI PERBEDAAN KONSENTRASI dan BAHAN FIKASI BAHAN PEWARNA DAUN MANGGA ARUM MANIS (Mangifera Indica LINN)

Ekstraksi Tannin dari Daun Sirsak (Annona muricata L.) sebagai Pewarna Alami Tekstil

LAPORAN TUGAS AKHIR. PENGAMBILAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU POHON MANGGA (Mangifera indica L.)

PENGARUH PEWARNAAN TERHADAP KELUNTURAN WARNA RAMBUT MENGGUNAKAN PEWARNA ALAMI LIMBAH BIJI PEPAYA TERHADAP PENCUCIAN

KAJIAN KULIT BUAH KAKAO SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA TEKSTIL SKRIPSI

PENGUJIAN KETAHANAN LUNTUR TERHADAP PENCUCIAN DAN GOSOKAN TEKSTIL HASIL PEWARNAAN DENGAN EKSTRAK CURCUMIN INDUK KUNYIT

Kata Kunci :Kulit, Daun, Mangrove (Rhizophoramucronata), Pewarna, Batik.

PENGARUH WAKTU MASERASI, PERLAKUAN BAHAN DAN ZAT FIKSASI PADA PEMBUATAN WARNA ALAMI DAUN KETAPANG (Terminalia catappa Linn)

Dwi Wiji Lestari dan Yudi Satria Balai Besar Kerajinan dan Batik

FIKSASI GARAM SCARLET R PADA PEWARNAAN KAIN SONGKET PALEMBANG BERBASIS ZAT WARNA ALAM DAUN HENNA

STABILISASI LIMBAH CAIR HASIL PENGOLAHAN GAMBIR DAN APLIKASINYA SEBAGAI PEWARNA PADA KAIN SUTERA

Pemanfaatan Bagian Cabang dan Pucuk Cabang Dalbergia latifolia sebagai Pewarna Alami Kain Batik

PENGARUH KONSENTRASI TAWAS TERHADAP PEWARNAAN KAIN MENGGUNAKAN EKSTRAK KULIT BAWANG MERAH

BAB II METODE PERANCANGAN

UJI COBA PENGGUNAAN DAUN SIRIH GADING SEBAGAI BAHAN PEWARNA ALAMI PADA KAIN KATUN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Jurusan PTBB FT UNY, Volume 4, Tahun 2009

PENGARUH PROPORSI DAGING BUAH PALA DENGAN AIR DAN KONSENTRASI PUTIH TELUR TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK SARI DAGING BUAH PALA SKRIPSI

III. METODE PENELITIAN

Pemanfaatan buah cengkeh untuk pewarna kain PEMANFAATAN BUAH CENGKEH UNTUK PEWARNA KAIN

Yudi Satria dan Dwi Suheryanto Balai Besar Kerajinan dan Batik, Jl. Kusumanegara no. 7, Indonesia,

2014 EKSPERIMEN WARNA ALAM MANGGA ARUMANIS, MANGGA GEDONG GINCU DAN MANGGA SIMANALAGI SEBAGAI PEWARNA KAIN SUTERA

THE USE OF GAMBIR AS COLORING AGENT IN DYEING OF COTTON TEXTILE. Amos Lukas. Abstrak

PENGARUH FREKUENSI CELUPAN TERHADAP HASIL JADI PEWARNAAN BATIK DENGAN DAUN LAMTORO PADA KAIN KATUN

APLIKASI KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI PEWARNA ALAMI PADA KAIN KATUN SECARA PRE-MORDANTING.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN SERBUK ZAT WARNA ALAMI TEKSTIL DARI DAUN JATI DENGAN METODE SPRAY DRYER

PEMANFAATAN LIMBAH SERBUK KAYU MERBAU (Instia spp.) SEBAGAI PEWARNA KAIN KATUN DENGAN PENAMBAHAN KAPUR SIRIH

PENGEMBANGAN TEKNIK PEWARNAAN ALAMI PADA KERAJINAN SERAT ALAMI DI CV BHUMI CIPTA MANDIRI SENTOLO, KULON PROGO, YOGYAKARTA

PADA BENANG POLIESTER UNTUK KAIN SONGKET PALEMBANG. Luftinor. Abstrak

LAPORAN TUGAS AKHIR PENGAMBILAN ZAT WARNA ALAMI DARI KULIT KAYU TINGI (Ceriops candolleana)

PERBANDINGAN UJI KETAHANAN GOSOK ZAT WARNA ALAM KULIT AKASIA GUNUNG MERAPI (ACACIA DECURRENS)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

Oleh Ibnu Basofi NIM :

PEMANFAATAN ZAT WARNA ALAM DARI EKSTRAK KULIT AKAR MENGKUDU (Morinda citrifolia Linn) PADA KAIN KATUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. adalah salah satu tekstil tradisi yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi

Proses ekstraksi dan aplikasi ekstrak gambir kering berkadar tanin tinggi (>60%) untuk penyamakan kulit, pewarna tekstil dan pewarna kayu

PENGARUH WAKTU MASERASI, PERLAKUAN BAHAN DAN ZAT FIKSASI PADA ISOLASI PIGMEN MANGIFERIN DAUN MANGGA DAN APLIKASINYA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KUALITAS BAGIAN CABANG DAN PUCUK CABANG Manilkara kauki SEBAGAI PEWARNA ALAMI KAIN BATIK

BAB I PENDAHULUAN. mencapai angka yang sangat tinggi. Ada beberapa jenis kertas antara lain

RINGKASAN LAPORAN PENELITIAN

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. diperlukan analisis pada permasalahan tersebut ; analisa yang pertama diperoleh

Fashion and Fashion Education Journal

PENGARUH PENGULANGAN PENCELUPAN TERHADAP HASIL WARNA BAHAN SUTERA DENGAN EKSTRAK BATANG PISANG KEPOK (Musa paradiasiaca L. cv kepok) YULIYA ZULMI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERBANDINGAN ZAT PEWARNA EKSTRAK DAUN DAN SERASAH TENGKAWANG

Titiek Pujilestari, Farida, Endang Pristiwati, Vivin Atika, Agus Haerudin Balai Besar Kerajinan dan Batik

PENGARUH TAWAS PADA PENCELUPAN BAHAN KATUN MENGGUNAKAN ZAT WARNA ALAM EKSTRAK DAUN PETAI CINA (LEUCAENA LEUCOCEPHALA) YULIANTI

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. harus diselesaikan dalam proyek perancangan karya tekstil dengan eksplorasi eco

BAB I PENDAHULUAN. Warna memiliki peranan dan fungsi penting dalam kehidupan yang dapat

POTENSI DAUN KETAPANG, DAUN MAHONI DAN BUNGA KECOMBRANG SEBAGAI ALTERNATIF PEWARNAAN KAIN BATIK YANG RAMAH LINGKUNGAN

Kajian Pembuatan Bumbu Dari Bawang Putih (Allium sativum) Dan Daun Jeruk Purut (Cytrus hystrix) Menggunakan Pengering Tipe Rak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Diterima: 4 Maret 2014, revisi akhir: 14 Mei 2014 dan disetujui untuk diterbitkan: 23 Mei 2014

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dan Latifah, 2007; Bariqina dan Ideawati, 2001). Batang-batang rambut

PENGARUH FIKSATOR JERUK NIPIS TERHADAP PEWARNAAN ESKTRAK DAUN JAMBU BIJI DILIHAT DARI KETUAAN WARNA DAN KETAHANAN LUNTUR PENCELUPAN KAIN BATIK TULIS

OPTIMASI SERBUK PEWARNA ALAMI INSTANDAUN SIRSAK (AnnonamuricataL.)DITELAAH DARIWAKTU PEMANASAN DAN PENAMBAHAN MALTODEKSTRIN

BAB I PENDAHULUAN. tongkol jagung sebagai limbah tidak bermanfaat yang merugikan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar.

Transkripsi:

PENGARUH BAHAN FIKSASI TERHADAP KETAHANAN LUNTUR DAN INTENSITAS WARNA KAIN MORI BATIK HASIL PEWARNAAN DAUN ALPUKAT (PERSEA AMERICANA MILL

Pengaruh Bahan Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Daun Alpukat (Persea americana Mill.) The Influence of Fixation To The Fastness And Color Intensity of Batik Calico of Avocado Leaves Coloration (Persea Americana Mill.) Rohmad Eko Prayitno1), Susinggih Wijana2),Beauty Suestining Diyah D.2) 1) 2) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran No. 1 Malang 65145 *email: rekoprayitno@gmail.com Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi terhadap intensitas dan ketahanan luntur warna kain mori batik dengan menggunakan pewarna alami serbuk daun alpukat. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah bahan fiksasi yaitu tawas, tunjung dan kapur tohor. Faktor kedua adalah konsentrasi bahan fiksasi yaitu 5%, 10% dan 15% (b/v). Hasil perlakuan terbaik menggunakan Multiple Attribute, yaitu pada perlakuan menggunakan bahan fiksasi kapur tohor (CaO) dengan konsentrasi 15% (b/v) dengan nilai intensitas warnanya yaitu nilai L* sebesar 35.99 ; nilai a* sebesar +19.57 ; nilai b* sebesar +23.93 ; ΔE (perbedaan warna) sebesar 14.46 yang berarti ada pengaruh besar. Gabungan dari nilai L*, a* dan b* menghasilkan warna yang terlihat oleh mata berwarna coklat. Uji ketahanan gosokan kering dan basah menunjukkan nilai SS (Stainning Scale) sebesar 2.00 (baik) dan 5.87 (cukup baik). Uji ketahanan pencucian menunjukkan nilai SS (Stainning Scale) sebesar 3.87 (baik) dan nilai GS (Grey Scale) sebesar 0.67 (baik sekali). Hasil uji intensitas warna menunjukkan bahwa bahan fiksasi tunjung mampu mengikat L* lebih kuat. Bahan fiksasi kapur tohor mampu mangikat axis nilai a* dan b* lebih kuat. Sedangkan bahan fiksasi tawas mempunyai kekuatan paling lemah untuk mengikat L*, a* dan b*. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat axis nilai a* dan b*, tetapi hanya mampu mengikat nilai L*. Semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka ketahanan luntur warnanya semakin baik. Kata kunci : fiksasi, intensitas warna, ketahanan luntur warna, pewarnaan batik, tanin Abstract The research aimed at knowing the influence of concentration difference and fixative materials to the intensity and colour fastness of batik calico. The research used Randomized Block Design. The first factor is fixation, that is alum, lotus, unslaked lime. Second factor is fixative material concentration, that is 5%, 10% and 15% (b/v). The best treatment results by using multiple attribute, that is at the treatment by using fixative materials of unslaked lime (CaO) with concentration of 15% (b/v) with color intensity of L* value of 35.99; a* value of +19.57; b* value of +23.93; E (color differences) of 14.46 that means great influence. The composite of L*, a*, and b* values produced color that is not seen by eyes in brown. Test of wet and dry rub resistance showed Staining Scale (SS) of 2.00 (good) and 5.87 (good enough). While th e laundering durability showed Staining Scale (SS) of 3.87 (good) and Grey Scale (GS) of 0.67 (very good). The test results of color intensity indicated that lotus fixative lotus can be binding axis values L* strongly. alum fixative has the weakest strengt h, both to binding the L*, a* and b*. fixative material concentration isn t affect to binding the axis values of a* and b*, but only to binding the axis values of L*. The more fixative material concentration, then the colour fastness is better. Keywords: fixation, colour intensity, colour fastness, batik coloration, tannin hampir menyentuh USD 100 juta. Namun karena pengaruh krisis global ekspor batik turun di 2009 menjadi hanya USD 76,01 juta. Semula batik hanya dikenal di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuh tumbuhan maupun binatang (Atikasari, 2005). PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini berkembang pesat, baik

lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Berdasarkan data Departemen Perdagangan (2010), sejak tahun 2006, nilai ekspor batik Indonesia ke mancanegara sudah cukup besar mencapai USD 74,23 juta dan pada 2008, nilai 1 Industri batik umumnya menggunakan pewarna sintetik dalam proses pewarnaan kain batik. Menurut Kristijanto dan Hartati (2013), menyatakan bahwa zat warna sintetik tersebut lebih baik dibanding zat warna alami karena komposisinya tetap, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaannya lebih cerah dan mempunyai ketahanan luntur yang baik. Namun demikian, zat warna sintetik tersebut juga mempunyai kekurangan, yaitu harganya relatif mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh zat warna sintetik membuat pengrajin tekstil mulai kembali menggunakan zat warna alam yang tidak dapat ditiru oleh zat warna sintetik. Salah satu bahan alam yang dapat dimanfaatkan yaitu daun alpukat. Selama ini daun alpukat banyak digunakan sebagai bahan obat. Secara visualisasi, warna dari daun alpukat sendiri adalah hijau gelap (Maryati dkk., 2007). Secara kimiawi daun buah alpukat mengandung saponin, alkaloida, tanin dan flavonoida. Kandungan tanin pada daun alpukat dapat dijadikan sebagai pewarna alami batik tulis dengan kenampakan warna coklat. Kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun, sedangkan kekurangan zat warna alami adalah belum mempunyai standar warna, ketahanan luntur rendah, dan proses untuk mendapatkan masih sulit. Ketahanan luntur warna merupakan unsur yang sangat menentukan mutu suatu pakaian atau bahan berwarna. Pada penelitian ini akan dicoba menggunakan pewarna alami daun alpukat berbentuk serbuk. Bahan pewarna alami serbuk daun alpukat diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Lestari (2014). Kain mori primissima digunakan sebagai contoh karena mengandung selulosa 94% (Soeprijono dkk.,1974 dalam Suheryanto, 2010). Menurut Sewan (1978) serat selulosa mempunyai sifat sangat higroskopis sehingga memungkinkan pewarna dapat terserap dengan baik. Jenis batik tulis digunakan sebagai contoh sebab batik tulis masih mempunyai prospek pasar yang besar. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspor batik Indonesia dari tahun ke tahun. Selain itu, batik tulis juga lebih dikenal secara umum daripada jenis batik yang lain. Fiksasi merupakan tahapan paling penting setelah proses pencelupan warna, karena fiksasi merupakan suatu tahapan untuk mengunci warna. Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar serta tahan terhadap gosokan (Ruwana, 2008). Pada tahapan fiksasi pewarna digunakan variasi bahan diantaranya tunjung (FeSO4), tawas (KAl(SO4)2.12H2O), dan kapur tohor (CaO). Penggunaan bahan fiksasi tersebut dikarenakan harganya yang terjangkau dan mudah didapatkan dipasaran. Umumnya pengrajin batik tidak ada takaran tertentu dalam penggunaan larutan fiksasi. Pengrajin melihat kualitas batik hanya berdasarkan visualnya. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh variasi dan konsentrasi bahan fiksasi terhadap ketahanan luntur dan intensitas warna hasil pewarnaan daun alpukat pada kain batik. BAHAN DAN METODE Alat dan bahan Alat yang digunakan untuk penelitian pendahuluan antara lain yaitu nampan, gelas ukur, kain saring, pengaduk, panci, kompor, timbangan, gelas ukur, canting, gawangan, panci dan kompor kecil. Alat yang digunakan untuk proses fiksasi diantaranya bak penampung, gelas ukur, dan timbangan. Alat yang digunakan untuk uji diantaranya Laundrymeter, Crockmeter, Grey Scale, dan Stainning Scale. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain yaitu 20 gram serbuk pewarna daun alpukat, 200 ml air sebagai pelarut, dan kain mori primissima. Sedangkan bahan yang digunakan untuk proses fiksasi yaitu yaitu tawas (KAl(SO4)2.12H2O), tunjung (FeSO4) dan kapur tohor (CaO). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang tersusun berdasarkan dua faktor yaitu perbedaan konsentrasi (B) dan bahan fiksasi yang digunakan (A). Faktor A yaitu tawas (KAl(SO4)2.12H2O), tunjung (FeSO4) dan kapur tohor (CaO). Faktor B yaitu 5% ; 10% dan 15% (b/v). Tahapan proses fiksasi pewarna daun alpukat : 1. 20 gram serbuk pewarna daun alpukat dilarutkan dengan 200 ml air. 2. Kain mori di mondarting awal menggunakan tawas. 3. Kain diwarnai menggunakan bahan pewarna alami daun alpukat dengan cara dicelupkan sebanyak 15x. 4.

Kain yang telah kering selanjutnya dilakukan proses penguncian warna (fiksasi) sesuai faktorfaktornya. 5. Proses terakhir adalah mencuci kain batik tersebut dan kemudian mengeringkannya dengan cara di jemur. 2 6. 7. Kain yang telah jadi diuji berdasarkan ketahanan luntur dan intensitas warna. Hasil perlakuan terbaik diaplikasikan pada produk batik tulis. kecenderungan warna hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan warna terang/putih. Hasil rerata nilai L* menunjukkan bahwa bahan fiksasi tawas akan mengarahkan warna paling terang, dilanjutkan kapur dan tunjung yang paling gelap. Pada saat pencelupan terjadi reaksi antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) pada daun alpukat dengan logam Fe2+ dari bahan fiksasi tunjung yang menghasilkan garam kompleks (ferro tanat). Garam kompleks tersebut terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion logam dan ion non logam (Taofik dkk., 2010). Demikian halnya dengan kain mori dengan bahan fiksasi tawas menunjukkan warna paling muda dari pada dua bahan fiksasi lainnya. Sama halnya dengan bahan fiksasi kapur tohor maka terjadi reaksi ionik dengan tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Al3+ pada tawas. Analisis Analisis pengujian fisik hasil penguncian warna (fiksasi) kain batik yang meliputi Nilai L*, a*, dan b* (Hutching, 1999), pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap pencucian rumah tangga (SNI ISO 105C06:2010), pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap gosokan (SNI 0288-2008). Pemilihan alternatif terbaik dilakukan dengan menggunakan metode Multiple Attribute (Zelleny, 1982). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Nilai L* Hasil penelitian mnunjukkan rerata nilai L* yang dihasilkan antara 33.12-43.97. Rerata nilai L* tertinggi dihasilkan dari perlakuan dengan bahan fiksasi tawas (KAl(SO4)2.12H2O) dengan konsentrasi 5% (b/v)). Rerata nilai L* terendah dihasilkan dari perlakuan dengan bahan fiksasi tunjung (FeSO4) dengan konsentrasi 10% (b/v)). Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang nyata. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata. pengaruh perbedaan konsentrasi bahan fiksasi terhadap rerata nilai L* dapat dilihat pada Tabel 1. Uji Nilai a* Menurut Nugraha (2009) nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai a* yang dihasilkan yaitu antara 3.40-19.57. Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang tidak nyata, artinya tidak perlu ada uji lanjut. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Uji DMRT pada taraf uji 5% pengaruh perbedaan konsentrasi bahan fiksasi terhadap rerata nilai L* Perlakuan Perbedaan bahan Konsentrasi Rerata fiksasi bahan fiksasi nilai L* 5% 43.97g Tawas 10% 43.17g (KAl(SO4)2.12H2O) 15% 41.90g 5% 34.33c Tunjung (FeSO4) 10% 33.55ab 15% 33.12a 5% 38.93f Kapur tohor (CaO) 10% 37.71e 15% 35.99d Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan perlakuan beda nyata DMRT 5% Tabel 2. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* Perbedaan Bahan Fiksasi Rerata Notasi Nilai a* (+) 11.41 b Tawas (KAl(SO4)2.12H2O) 3.48 a Tunjung (FeSO4) 19.07 c Kapur tohor (CaO) BNT 0.48 Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan beda nyata BNT 5% Bahan fiksasi yang berbeda akan menghasilkan nilai a* yang berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh notasi yang

berbeda pada masing-masing faktor. Artinya pengaruh masingmasing bahan fiksasi menunjukkan perbedaan yang signifkan. nilai a* tertinggi sampai terendah yaitu mulai dari kapur tohor, tawas dan tunjung. Menurut Saati (2004), peningkatan nilai Menurut Pomeranz dan Meloans (1994) nilai L* menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menyatakan 3 +a* (tingkat kemerahan) yang cukup tinggi, menunjukkan adanya sumbangan warna pigmen dominan merah dan sebagian cenderung kearah merah orange. Artinya berdasarkan urutan rerata nilai nilai +a*, bahan fiksasi kapur tohor akan menghasilkan arah warna merah paling tua, dilanjutkan tawas menghasilkan arah warna merah agak muda dan tunjung menghasilkan arah warna merah paling muda. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan Pengujian dilakukan menggunakan alat Crockmeter. Kain hasil uji tersebut kemudian dinalisis menggunakan Stainning Scale sebagai standar penilaian, sebab kain yang diuji adalah kain putih yang telah ternodai oleh bahan uji (kain batik). Semakin rendah nilai SS, maka penilaian ketahanan luntur warnanya semakin baik. Uji Nilai b* Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai b* yang dihasilkan yaitu antara 10.10-23.93. Pada analisis ragam menunjukkan perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi memberikan pengaruh nyata. Perbedaan konsentrasi bahan fiksasi memberikan pengaruh yang tidak nyata, artinya tidak perlu ada uji lanjut. Sedangkan interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai a* disajikan pada Tabel 3. 1. Uji Gosokan Kering Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi maka nilai ketahanan lunturnya juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai CD seiring penambahan konsentrasi bahan fiksasi. Grafik uji ketahanan gosokan kering dapat dilhat pada Gambar 1. Rerata nilai CD (Stainning Scale) 8.00 7.00 Tabel 3. Pengaruh perbedaan bahan fiksasi terhadap rerata nilai b* Perbedaan Bahan Fiksasi Rerata Notasi Nilai b* (+) 21.56 b Tawas (KAl(SO4)2.12H2O) 10.53 a Tunjung (FeSO4) 23.13 c Kapur tohor (CaO) BNT 0.92 Keterangan : notasi yang berbeda menunjukkan beda nyata BNT 5% 7.20 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 5.10 4.50 4.50 4.00 3.30 3.30 2.70 2.00 1.00 0.00 5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v) Gambar 1. Grafik uji ketahanan gosokan kering Jika dievaluasi secara deskriptif, rerata ketahanan luntur warna sudah baik. Hal ini sudah sesuai dengan pendapat Herlina (2007) yang menyatakan bahwa hasil penguncian warna (fiksasi) ketahanan lunturnya minimal cukup dengan nilai CD sebesar 3.00. Hal ini diduga karena molekul zat warna masih terikat kuat didalam serat kain. Sulaeman

(2000) juga menyebutkan adanya Ca2+ dari larutan kapur, ataupun Al3+ dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di dalam serat berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di dalam serat menjadi lebih besar. Bahan fiksasi yang berbeda akan menghasilkan nilai b* yang berbeda nyata, hal ini ditunjukkan oleh notasi yang berbeda pada masing-masing faktor. Artinya pengaruh masingmasing bahan fiksasi menunjukkan perbedaan yang signifkan. nilai b* tertinggi sampai terendah yaitu mulai dari kapur tohor, tawas dan tunjung. Penambahan bahan fiksasi yang berbeda-beda akan mengarahkan warna kain yang berbeda. Menurut Kristijanto dan Soetjipto (2013), kain mori dengan bahan fiksasi kapur tohor menunjukkan warna kuning lebih tua dari pada tawas dan tunjung hal ini disebabkan pada zat pewarna tersebut terjadi reaksi ionik antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Ca2+ pada kapur tohor yang menghasilkan endapan kuning. Berbeda pada bahan fiksasi lainnya yaitu tawas dan tunjung yang tidak membentuk endapan kuning seperti kapur tohor, sehingga kekuatan mengikat axis nilai b* lebih rendah dibandingkan kapur tohor. 2. Uji Gosokan Basah Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi maka nilai ketahanan lunturnya juga semakin baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin kecilnya nilai CD seiring penambahan konsentrasi bahan fiksasi. 4 Rerata nilai CD (Stainning Scale) Grafik uji ketahanan gosokan basah dapat dilhat pada Gambar 2. 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 zat warna alam yang dalam proses pewarnaannya harus melalui penggabungan dengan kompleks logam, sehingga zat warna ini akan lebih tahan daya lunturnya. Tawas, tunjung dan kapur tohor merupakan kelompok kompleks logam yang berguna untuk memperbaiki ketahanan luntur dari pewarna mordan (alam). Adanya ketahanan luntur yang kuat pada kain mori dengan bahan fiksasi tunjung dan tawas terhadap pencucian berkaitan dengan terjadinya ikatan tanin daun alpukat yang mampu masuk ke dalam serat kain secara makasimum dan berikatan kuat dengan serat kain mori (Sulasminingsih, 2006). Sebaliknya untuk bahan fiksasi kapur tohor (Menurut Asri, 2005 dalam Atikasari, 2005) zat warna tidak mampu masuk ke dalam serat secara maksimum dikarenakan putusnya ikatan antara serat kain dengan autoskrom sehingga daya serap kain hilang dan menyebabkan sisa zat warna hanya melekat pada permukaan serat saja. 8.00 7.20 6.40 5.10 5.90 4.50 5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v) Gambar 2. Grafik uji ketahanan gosokan basah Ketahanan luntur zat warna terhadap gosokan basah mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan gosokan kering. medium air maka molekul zat warna akan ikut terbawa oleh air, atau dapat dikatakan disini terjadi proses imbibisi (Herlina, 2007). Menurut Hasanudin dkk., (2001) jika serat kain dicelupkan pada air, hal ini akan menyebabkan penggembungan pada serat sehingga molekul zat warna akan mudah keluar saat penggosokan. Diduga nilai tahan luntur warna pada gosokan basah lebih rendah dibandingkan gosokan kering disebabkan oleh adanya penambahan molekul air pada saat pengujian. 2. Berdasarkan Nilai Skala Abu-abu (Grey Scale) Hasil uji ini juga menunjukkan bahwa menunjukkan

bahwa semakin besar konsentrasi bahan fiksasi, maka nilai GS (Grey Scale) juga akan semakin menurun atau semakin baik. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Grey Scale dapat dilhat pada Gambar 4. Nilai CD (Stainning Scale) 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Nilai CD (Grey Scale) Uji Ketahanan Kelunturan Terhadap Pencucian 1. Berdasarkan Nilai Skala Penodaan (Stainning Scale) Hasil uji ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi yang digunakan maka nilai SS juga akan semakin turun atau semakin baik. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Stainning Scale dapat dilhat pada Gambar 3. [VALUE] 0 [VALUE] [VALUE] 1 [VALUE] 1 [VALUE][VALUE]1 3 1 [VALUE] [VALUE] 1 2 [VALUE] 5 5% 10% 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v) Gambar 4. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Grey Scale 8.00 5.60 5% 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 5.60 4.53 10% Penggunaan tunjung sebagai bahan fiksasinya memberikan nilai terbaik dibandingkan kapur tohor dan tawas. Kain batik yang difiksasi dengan tawas tidak tahan terhadap larutan basa (pencucian), sedangkan fiksasi tunjung dan kapur tohor mempunyai ketahanan yang cukup tinggi pada suasana basa. Hal ini diduga dikarenakan berhubungan dengan kuat lemahnya ikatan antara serat dan zat warna. (Ginopadmojo, 1978 dalam Ruwana, 2008) menyatakan bahwa reaksi bahan fiksasi kapur dan tawas tersebut tidak menghasilkan garam 4.53 3.87 2.67 15% Konsentrasi bahan fiksasi (b/v) Gambar 3. Grafik uji ketahanan pencucian berdasarkan nilai Stainning Scale Menurut Ratyaningrum dan Giari (2005), zat warna mordan (alam) ini merupakan 5 ( ) menghasilkan nilai 14.46. Nilai tersebut menunjukkan ada pengaruh besar terhadap perubahan warna. Artinya proses penguncian warna (fiksasi) memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan warna. maka ikatan antara serat kain dan tanin (asam tanat atau galotannat) kurang kuat. Berbeda dengan

tunjung, kedua reaksi terakhir ini (kapur dan tawas tidak menghasilkkan garam kompleks, tetapi senyawa - senyawa berikatan ionik). Lebih jelasnya ausokrom dalam tanin akan dapat berikatan lebih baik dengan molekul-molekul serat kain apabila didukung dengan adanya garam-garam kompleks. Tabel 5. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan ketahanan luntur warna Parameter Perlakuan Terbaik Hasil uji dengan metode Multiple Attribute menunjukkan perlakuan yang terbaik adalah dengan menggunakan bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% (b/v)). Hasil perlakuan terbaik berdasarkan intensitas warna dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan ketahanan luntur warna dapat dilihat pada Tabel 5. Gosokan kering Gosokan basah Pencucian (SS) Pencucian (GS) Nilai L* Nilai a* Nilai b* Bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% 35.99 +19.57 +23.93 Perbedaan warna (ΔE) Keterangan 14.46 (Pengaruh Besar) Belum terstandar uji intensitas warna hasil penguncian warna 5.87 (cukup baik) 3.87 (baik) 0.67 (baik sekali) Keterangan Belum terstandar uji ketahanan luntur warna hasil penguncian warna Hasil perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi). Hasil penelitian pada perlakuan kontrol menunjukkan nilai gosokan kering sebesar 6.40 (cukup baik), gosokan basah sebesar 12.87 (kurang), nilai uji pencucian (SS) sebesar 9.10 (cukup), nilai uji pencucian (GS) sebesar 3.60 (cukup). Penentuan perlakuan terbaik untuk uji ketahanan luntur didasarkan pada analisis secara deskriptif. Analisis tersebut berdasarkan nilai CD yang dihasilkan. Moerdoko dkk., (1975) menyatakan bahwa semakin rendah nilai CD maka kualitas tahan luntur warnanya juga semakin baik. Herlina (2007) juga menyatakan bahwa hasil penguncian warna (fiksasi) ketahanan lunturnya minimal cukup dengan nilai CD sebesar 3.00. Secara keseluruhan nilai ketahanan luntur warna pada perlakuan terbaik mempunyai nilai lebih rendah atau lebih baik dibandingkan kontrol. Diduga pada perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi) ketika dilakukan uji, baik gosokan maupun pencucian molekul warna terlepas, warna pada bahan tekstil diserang oleh zat kimia dan gerak mekanik sehingga apabila ikatan antara zat pewarna dan serat lemah, warna pada kain akan luntur. Penambahan bahan fiksasi (garam kompleks) sangat penting untuk meningkat ketahanan luntur pewarna alami. Penambahan bahan fiksasi mengakibatkan molekul zat warna menjadi lebih besar. Sulaeman dkk., (2000) juga menyebutkan adanya Ca2+ dari larutan kapur, ataupun Al3+ dari larutan tawas akan menyebabkan ikatan antara ion-ion tersebut dengan tanin yang telah berada di dalam serat berikatan dengan serat sehingga molekul zat pewarna alam yang berada di dalam serat menjadi lebih besar. Hal ini mengakibatkan molekul zat pewarna alam akan sukar keluar dari poripori serat dan akan memperkuat ketahanan luntur.

Tabel 4. Hasil perlakuan terbaik berdasarkan intensitas warna Parameter Bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 15% 2.00 (baik) Hasil perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa bahan fiksasi). Hasil penelitian pada perlakuan kontrol menunjukkan nilai L* sebesar 48.7, nilai a* sebesar +19.57, dan nilai b* sebesar +23,93. Nilai intensitas warna tersebut menunjukkan jika kain batik difiksasi menggunakan kapur tohor, maka arah warna merah menjadi berkurang. Arah warna kuning menjadi berkurang juga tetapi kecenderungan warnanya menjadi lebih gelap, sesuai dengan nilai L* yang menurun. Perpaduan antara nilai a*,b* dan L* tersebut jika diamati secara langsung, terlihat berwarna coklat kemerahan. Seharusnya jika kadungan tanin pada daun alpukat akan mengarahkan warna coklat. Diduga penggunaan larutan mordanting dengan tawas menyebabkan warnanya menjadi coklat kemerahan. Sesuai penelitian oleh Manurang (2012), menyatakan bahwa warna kain katun yang dihasilkan tanpa penambahan tawas, warna dihasilkan adalah coklat muda. Sedangkan dengan metode mordanting awal menggunakan tawas, warna yang dihasilkan coklat kemerahan. Pengaruh perbedaan nilai 6 Kristijanto, A., Soetjipto H. 2013. Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau. Jurnal MIPA. Vol 4. No.1. Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga. KESIMPULAN Hasil uji intensitas warna menunjukkan bahwa bahan fiksasi tunjung mampu mengikat L* lebih kuat. Bahan fiksasi kapur tohor mampu mengikat axis nilai a* dan b* lebih kuat dibandingkan yang lain. Bahan fiksasi tawas mempunyai kekuatan paling lemah, baik untuk mengikat L*, a* dan b*. Konsentrasi bahan fiksasi tidak berpengaruh terhadap kekuatan mengikat axis nilai a* dan b*, tetapi hanya mampu mengikat nilai L*. Bahan fiksasi tunjung menghasilkan warna coklat tua, kapur tohor coklat kemerahan, dan tawas coklat muda. Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian menunjukkan bahwa ketahanan luntur warna terkuat sampai terlemah secara berurutan dihasilkan dari bahan fiksasi kapur tohor, tunjung dan tawas. Semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka ketahanan luntur warnanya semakin baik (nilai GS dan SS semakin rendah). Lestari, P. 2014. Ekstraksi Tanin Dari Daun Alpukat (Persea Americana Mill.) Sebagai Pewarna Alami (Kajian Proporsi Pelarut dan Waktu Ekstraksi). Jurnal Teknologi Pertanian. PP : 1-6. Universitas Brawijaya. Malang Manurang, M. 2012. Aplikasi Kulit Buah Manggis (Garcia mangostana L.) Sebagai Pewarna Alami Pada Kain Katun Secara Pre-Mordanting. Jurnal Kimia VI (2) : 183-190. Universitas Udayana. Bukit Jimbaran Maryati, S. Fidrianny, I. dan Ruslan, K. 2007. Telaah Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Sekolah Farmasi ITB. Bandung DAFTAR PUSTAKA Atikasari, A. 2005. Kualitas Tahan luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan. Universitas Negeri Semarang Press. Semarang Nilai ekspor batik Indonesia. Perdagangan RI. 2010 Departemen Pomeranz Y and Meloan CE. 1994. Food Anlysis Theory and Practise. Van Nostrand Reinhold Company. New York

Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian Rumah Tangga 105-C06:2010 Ratyaningrum, F. dan Giari N. 2005. Kriya Tekstil. Unesa University Press. Surabaya Badan Standarisasi Nasional. SNI (Standar Nasional Indonesia) Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan 0288-2008 Ruwana, L. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu Jati (Tectona grandis). Universitas Negeri Semarang. Semarang Hasanudin, et al. 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada produk Batik dan Tekstil Kerajinan Yogyakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta Saati, E. A. 2004. Studi Efektivitas Ekstrak Pigmen Antosianin Bunga Mawar (Rosa sp.) terhadap Sumbangan Warna dan Daya Antioksidan pada Produk Makanan. Penelitian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah. Malang Herlina, S. 2007. Fiksasi Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna Indigisol. Seni dan Budaya Yogyakarta. Yogyakarta Hutching, J.B. 1999. Food Color and Apearance. Aspen publisher Inc., Maryland. 7 Sulaeman. 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Warna Alam Dengan Cara Pengerjaan Iring. Laporan Kegiatan Penelitian Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta Sulasminingsih. 2006. Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo. Universitas Negeri Semarang. Semarang Nugraha, S. 2009. Analisis Warna. Departemen ITP : FATETA IPB Taofik, E. Yulianti, A. Barizi, dan E.K. Hayati. 2010. Isolasi dan identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophyidae. Universitas Maulana Malik Ibrahim. Malang Zelleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw-Hill Co. New York 8