HAK WARIS DZAWIL ARHAM

dokumen-dokumen yang mirip
Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

Warisan Wanita Digugat!

SEBAB-SEBAB PARA ULAMA BERBEDA PENDAPAT. (Dirangkum dari kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Raf ul Malaam an Aimatil A laam )

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

Spirit Keadilan Dalam Warisan :Dirasah Hadis Edisi 37

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai hendak membaktikannya (mengaqiqahinya), maka hendaklah ia melakukannya.

TAFSIR AL QUR AN UL KARIM

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

Fidyah. "Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makanan seorang miskin." (Al Baqarah : 184)

Menggapai Ridha Allah dengan Birrul Wâlidain. Oleh: Muhsin Hariyanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

BAB IV PENUTUP. 1) Penafsiran QS. Al-Nisa :12 Imam Syafi i menafsirkan kata walad dalam

MACAM-MACAM MAHRAM 1. MAHRAM KARENA NASAB Allah berfirman:

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

Pentingnya Menyambung Silaturahmi

BENARKAH KHUTBAH SHOLAT DUA HARI RAYA DUA KALI

Kekeliruan Sebagian Umat Islam di Bulan Rajab

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

RISALAH AQIQAH. Hukum Melaksanakan Aqiqah

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

HUKUM MENGENAKAN SANDAL DI PEKUBURAN

Perdagangan Perantara

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dosa Bersumpah Dengan Menyebut Selain Allah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana

Serial Akhlak Muslim : Amanah

Pentingnya Menyambung Silaturahmi

Seribu Satu Sebab Kematian Manusia

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

Membaca Sebagian Al-Quran Dalam Khutbah Jum'at

Engkau Bersama Orang Yang Kau Cintai

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Islam merinci dan menjelaskan, melalui al-qur an al-karim bagian

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Rasulullah saw. memotong tangan pencuri dalam (pencurian) sebanyak seperempat dinar ke atas. (Shahih Muslim No.3189)

HUKUM KEWARISAN ISLAM HUKUM WARIS PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FHUI

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

LAMPIRAN TERJEMAH. No Bab Surah/Hadis Terjemah. 1 I QS. al-baqarah: 132 Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan

Dosa Memutuskan Hubungan Kekeluargaan

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86)

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

Mendidik Anak Menuju Surga. Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA. Tugas Mendidik Generasi Unggulan

BAB III ANALISIS PENGELOMPOKAN AHLI WARIS MENURUT FIQIH JA FARIYAH. A. Pengelompokan Ahli Waris Menurut Fiqih Ja fariyah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Bab 26 Mengadakan Perjalanan Tentang Masalah Yang Terjadi dan Mengajarkan kepada Keluarganya

Definisi Khutbah Jumat

Hukum Menunaikan Haji dan Umrah Dengan Pembayaran Melalui Kartu Kredit

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

Berbakti Sepanjang Masa Kepada Kedua Orang Tua

Lailatul Qadar. Rasulullah SAW Mencontohkan beberapa amal khusus terkait Lailatul Qadar ini, di antaranya:

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB IV ISTINBATH HUKUM DAN NATIJAH. nash yang menerangkan tentang pembagian waris seorang transseksual yang

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH PESERTA. Hukum Waris dalam Konsep Fiqh. Oleh: Zaenab, Lc, M.E.I

Penetapan Awal Bulan Ramadhan dan Syawal

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSAKSI PEMBAYARAN DENGAN CEK LEBIH PADA TOKO SEPATU UD RIZKI JAYA

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

TAWASSUL. Penulis: Al-Ustadz Muhammad As-Sewed

[107] Sikap Mukmin terhadap Rasulullah SAW, Istri-istri Beliau, dan Sesama Muslim Saturday, 28 September :25

Dusta, Dosa Besar Yang Dianggap Biasa

Kewajiban berdakwah. Dalil Kewajiban Dakwah

MUZAKKI DI KALANGAN SAHABAT RASULULLAH SAW. Oleh: M. Yakub Amin

Disebarluaskan melalui: website: TIDAK untuk tujuan KOMERSIL

E٤٢ J٣٣ W F : :

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

Hukum Berkabung Atas Kematian Raja dan Pemimpin

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman

"PEMIMPIN ADIL NEGARA MAKMUR"

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

Transkripsi:

Nama Kelompok : M. FIQHI IBAD (19) M. ROZIQI FAIZIN (20) NADIA EKA PUTRI (21) NANDINI CHANDRIKA (22) NAUFAL AFIF AZFAR (23) NOER RIZKI HIDAYA (24) XII-IA1 HAK WARIS DZAWIL ARHAM A. Definisi Dzawil Arham Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman: "... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-nisa': 1) "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22) Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya. B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah. Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah: 1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil. 2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun." Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain. 3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat. Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-anfal: 75) Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah. Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal. Hal ini juga berdasarkan firman-nya yang lain: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-nisa': 7) Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan. Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas memansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.

Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah. Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda: "(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya." Atsar ini yang di dalamnya Umar al-faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabahnya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim. Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah. Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah. Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan. Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini. Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal. Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama

tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam." Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini. Beberapa pendapat ulama mengenai masalah kewarisan dzawil arham antara lain : Golongan pertama, orang yang menjadi keturunan si mati melalui jalur keturunan ke bawah, mereka itu adalah : 1. Cucu dari anak perempuan dan terus ke bawah, baik laki-laki atau perempuan. 2. Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah, baik lakilaki atau perempuan. Golongan kedua, orang yang menjadi asal keturunan si mati (jalur keturunan ke atas). Mereka adalah : 1. Kakek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ayahnya ibu dan kakeknya ibu. 2. Nenek yang tidak shahih (tidak langsung) terus ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu dan ibu dari ibunya ayah. Golongan ketiga, orang yang dinasabkan kepada kedua orang tua si mati (kerabat jalur samping). Mereka adalah : 1. Anak-anak dari saudara perempuan sekandung/seayah/seibu, baik laki-laki atau perempuan.

2. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung/seayah/seibu dan anak-anak keturunan mereka terus ke bawah. 3. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan semua keturunannya seperti : cucu laki-laki dari anak laki-laki saudara seibu, atau cucu perempuan dari anak laki-laki saudara seibu. Golongan keempat, orang yang dinasabkan kepada kedua kakek atau kedua nenek orang yang mati, baik dari jihat ayah atau jihat ibu. Mereka adalah : 1. Semua bibi dari pihak ayah orang yang mati (bibi sekandung/seayah/seibu), juga paman-paman dari pihak ibu si mayat, juga bibi dari pihak ibu si mayat dan semikian pula paman-pamannya ibu. 2. Anak-anak bibi dari pihak ibu, dan anak-anak paman dari pihak ibu, dan anakanak paman ibu dari pihak bapaknya ibu, terus ke bawah. 3. Bibi ayah si mati dari pihak ayahnya, baik sekandung/seayah/seibu, pamanpamannya ibu dari bapaknya ibu, dan bibi-binya ibu dari bapaknya ibu, juga khal dari ibu dan khalah dari ibu, baik sekandung/seayah. 4. Anak-anak dari golongan tersebut (no. 3) dan terus ke bawah, seperti anak laki-laki dari bibinya ayah dan anak perempuan dari bibinya ayah, dan seterusnya. 5. Paman kakek mayit dari pihak ibu, paman nenek mayit dari pihak bapak, paman-paman dan bibi-bibi nenek dari pihak ibu dan bibinya kakek atau nenek dari pihak ibu. 6. Anak-anak mereka (no. 5) terus ke bawah. Cara-cara kewarisan dzawil arham ini, rinciannya dianalogikan kepada jihat ashabah, yaitu: Mereka yang pertama kali memperoleh bagian adalah anak turunan (jihat bunuwah). Jika jihat ini tidak ada maka digantikan oleh orang tua si mati terus ke atas (jihat ubuwah). Bila tidak ada maka digantikan oleh jihat ukhuwah. Bila juga tidak ada barulah keturuna bibi dari ayah dan paman dari ibu (jihat umumah dan jhat khalah). Dan bila tidak ada maka baru kemudian anak-anak mereka dan orang-orang yang statusnya menggantikan mereka, seperti anak perempuan dari paman sekandung/seayah.

Beberapa syarat kewarisan dzawil arham : 1. Harus tidak ada ashabul furud. Karena jika ada ashabul furud, maka ia mengambil bagiannya sebagai ashabul furud dan sisanya diambil dengan jalan rad. 2. Harus tidak ada orang yang mendapatkan bagian ashabah. Tetapi, bila ahli warisnya itu hanya salah seorang suami atau isteri, maka salah satu dari keduanya mengambil bagiannya sebagai ashabul furud. Sedangkan sisanya diserahkan kepada dzawil arham, karena rad kepada salah seorang suami/isteri dilaksanakan setelah kewarisan dzawil arham.