BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENYUSUNAN KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

MASALAH PERBATASAN NKRI

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Meningkatkan Jiwa Nasionalisme dan Semangat Bela Negara untuk Pemberdayaan Wilayah Perbatasan sebagai Beranda Depan NKRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Grand Design Pembangunan Kawasan Perbatasan.

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN PERGURUAN TINGGI DALAM KAWASAN PERBATASAN KAWASAN NEGARA 1) Dr. Bambang Istijono, ME 2)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

BAB V PENUTUP. a. Pengawasan Pelaksanaan Special Arrangments 1993: untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

PENGERTIAN, LINGKUP & KEBIJAKAN PERENCANAAN WILAYAH PERBATASAN (MKP 3) aris SUBAGIYO

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

PROGRAM PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Riau STUDI KASUS PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN PADA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak

PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN DARAT GUNA MENDUKUNG KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 1. Oleh: Yanyan Mochamad Yani 2

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPAYA-UPAYA PENANGANAN WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA OLEH BADAN PENGELOLA PERBATASAN DAN KERJASAMA LUAR NEGERI PROVINSI PAPUA

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

LAPORAN PENELITIAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN LAUT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN PERBATASAN SEBAGAI GARDA TERDEPAN KEDAULATAN

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI III DPR RI KE PROVINSI KALIMANTAN UTARA MASA PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI SULAWESI TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

Mahendra Putra Kurnia

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. atas sekitar pulau besar dan kecil. Pulau-pulau itu terbentang dari timur

APEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2013

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perbatasan, Tertinggal Dan Diterlantarkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

UNCLOS I dan II : gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi negara kepulauan yang diajukan Indonesia

KEPALA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

SISTEMATIKA PEMAPARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PERANANDANKEDUDUKANPEMERINTAHPUSAT DANDAERAHDALAMPENGEMBANGAN WILAYAHPERBATASANLAUT 1

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

URGENSI UNDANG-UNDANG BATAS WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN Pada bagian ini dipaparkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi kawasan perbatasan, baik perbatasan darat maupun laut. Agar penyelesaian masalah dapat lebih terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan yang ada dikelompokkan menjadi 6 (enam) aspek, yaitu kebijakan, ekonomi dan sosial budaya, pertahanan dan keamanan, pengelolaan sumber daya alam, kelembagaan dan kewenangan pengelolaan, serta kerjasama antarnegara. 3.1. Kebijakan Pembangunan 3.1.1. Kebijakan di masa lalu yang belum berpihak kepada kawasan-kawasan tertinggal dan terisolir Selama beberapa puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah, dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum diprioritaskan. 3.1.2. Belum adanya kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan GBHN 1999 2004 telah mengamanatkan arah kebijakan pengembangan daerah perbatasan yaitu meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama di Kawasan Timur Indonesia, daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya dengan berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. 18

Demikian pula dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 2004 dinyatakan program pengembangan daerah perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain. Sasarannya adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosial-ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat, terkelolanya potensi wilayah, dan ketertiban serta keamanan kawasan perbatasan. Sekalipun demikian, sejauh ini belum tersusun suatu kebijakan nasional yang memuat arah, pendekatan, dan strategi pengembangan kawasan perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan fungsi dan peran seluruh stakeholders kawasan perbatasan, baik di pusat maupun daerah, secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini mengakibatkan penanganan kawasan perbatasan terkesan terabaikan dan bersifat parsial. 3.2. Ekonomi dan Sosial Budaya 3.2.1. Adanya paradigma kawasan perbatasan sebagai halaman belakang Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai halaman belakang wilayah NKRI membawa implikasi terhadap kondisi kawasan perbatasan saat ini yang tersolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini, disebabkan oleh sistem politik dimasa lampau yang sentralistik dan sangat menekankan stabilitas keamanan. Disamping itu secara historis, hubungan Indonesia dengan beberapa negara tetangga pernah dilanda konflik, serta seringkali terjadinya pemberontakanpemberontakan di dalam negeri. 19

Konsekuensinya, persepsi penanganan kawasan perbatasan lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan dari potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan sebagai sabuk keamanan (security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam, terutama yang dilakukan oleh investor swasta. 3.2.2. Terjadinya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga Kehidupan masyarakat di kawasan perbatasan yang miskin infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi di negara tetangga. Kawasan perbatasan di Kalimantan dan Sulawesi Utara misalnya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat, pada umumnya berkiblat ke wilayah negara tetangga. Hal ini disebabkan adanya infrastruktur yang lebih baik atau pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah negara tetangga. Secara jangka panjang, adanya kesenjangan pembangunan dengan negara tetangga tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik. 3.2.3. Sarana dan prasarana masih minim. Ketersediaan prasarana dan sarana, baik sarana dan prasarana wilayah maupun fasilitas sosial ekonomi masih jauh dari memadai. Jaringan jalan dan angkutan perhubungan darat maupun laut masih sangat terbatas, yang menyebabkan sulit berkembangnya kawasan perbatasan, karena tidak memiliki keterkaitan sosial maupun ekonomi dengan wilayah lain. Kondisi prasarana dan sarana 20

komunikasi seperti pemancar atau transmisi radio dan televisi serta sarana telepon di kawasan perbatasan umumnya masih relatif minim. Terbatasnya sarana komunikasi dan informasi menyebabkan masyarakat perbatasan lebih mengetahui informasi tentang negara tetangga daripada informasi dan wawasan tentang Indonesia. Ketersediaan sarana dasar sosial dan ekonomi seperti pusat kesehatan masyarakat, sekolah, dan pasar juga sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kawasan perbatasan sulit untuk berkembang dan bersaing dengan wilayah negara tetangga. 3.2.4. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga prasejahtera. Kemiskinan menjadi permasalahan yang terjadi di setiap kawasan perbatasan baik laut maupun darat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah keluarga prasejahtera di kawasan perbatasan serta kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di wilayah perbatasan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti rendahnya mutu sumberdaya manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktifitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan perbatasan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini selain melanggar hukum dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat merugikan negara. Selain kegiatan ekonomi ilegal, kegiatan ilegal lain yang terkait dengan aspek politik, ekonomi dan keamanan juga terjadi di kawasan perbatasan laut seperti penyelundupan senjata, amunisi dan bahan peledak. Kegiatan ilegal ini terorganisir dengan baik sehingga perlu koordinasi dan kerjasama bilateral yang baik untuk menuntaskannya. 21

3.2.5. Terisolasinya kawasan perbatasan akibat rendahnya aksesibilitas menuju kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan masih mengalami kesulitan aksesibilitas baik darat, laut, maupun udara menuju pusat-pusat pertumbuhan. Di wilayah Kalimantan dan Papua, sulitnya aksesibilitas memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di wilayah Serawak dan PNG. Minimnya asksebilitas dari dan keluar kawasan perbatasan wilayah merupakan salah satu faktor yang turut mendorong orientasi masyarakat yang cenderung berkiblat aktivitas sosial ekonominya ke negara tetangga yang secara jangka panjang dikhawatirkan akan memunculkan degradasi nasionalisme masyarakat perbatasan. 3.2.6. Rendahnya kualitas SDM Sebagai dampak dari minimnya sarana dan prasarana dibidang pendidikan dan kesehatan, kualitas SDM masyarakat di sebagian besar kawasan perbatasan masih rendah. Masyarakat belum memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang ada. Optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan perbatasan akan sulit dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, serta kesehatan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah negara tetangga. 3.2.7. Adanya aktivitas pelintas batas tradisional Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku yang sama) di beberapa kawasan perbatasan seperti di Kalimantan (Dayak dan Melayu) dan Papua, menyebabkan adanya kegiatan pelintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat 22

masyarakat dan kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan serta Timor Leste. Kegiatan lintas batas ini telah berlangsung lama namun sampai saat ini belum dapat diatasi oleh kedua pihak (negara). 3.2.8. Adanya tanah adat/ulayat masyarakat Di beberapa kawasan perbatasan terdapat tanah adat/ulayat yang berada di dua wilayah negara. Tanah ulayat ini sebagian menjadi ladang penghidupan yang diolah sehari-hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang biasa dilakukan setiap hari. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh garis perbatasan, secara astronomis memerlukan pengaturan tersendiri serta dapat menjadi permasalahan di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius. 3.3. Pertahanan dan Keamanan 3.3.1. Belum disepakatinya garis-garis batas dengan negara tetangga secara menyeluruh Beberapa segmen garis batas baik di darat maupun di laut belum disepakati secara menyeluruh oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah NKRI. Permasalahan yang sering muncul di perbatasan darat adalah pemindahan patok-patok batas yang implikasinya menyebabkan kerugian bagi negara secara ekonomi dan lingkungan. Namun secara umum, titik koordinat batas negara di darat pada umumnya sudah disepakati. Permasalahan batas yang perlu diprioritaskan penangannya saat ini adalah perbatasan laut, dimana garis batas laut, terutama Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas 23

Zona Ekonomi Ekskluisf (ZEE), sebagian besar belum disepakati bersama negara-negara tetangga. Belum jelas dan tegasnya batas laut antara Indonesia dan beberapa negara negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, terhadap batas negara di laut menyebabkan terjadinya pelanggaran batas oleh para nelayan Indonesia maupun nelayan asing. 1. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Undang-Undang no.17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa batas ZEE Indonesia di segmen-segmen perairan yang berhadapan dengan negara lain dan lebarnya kurang dari 400 mil laut, maka ZEE merupakan garis median. Jika mengacu kepada konvensi tersebut, maka batas ZEE yang merupakan garis median pada wilayah laut yang berhadapan dengan negara-negara tetangga yaitu : (1) Berhadapan dengan Malaysia dan Singapura di Selat Malaka; (2) Berhadapan dengan Malaysia di Laut Natuna sebelah barat dan timur; (3) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan sebelah utara; (4) Berhadapan dengan Filiipina di Laut Sulawesi hingga Laut Fillipina; (5) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik; (6) Berhadapan dengan Australia di Laut Arafura hingga Laut Timor; (7) Berhadapan dengan Pulau Christmas (Australia) di Samudera Hindia; (8) Berhadapan dengan Timor Leste di Selat Wetar; (9) Berhadapan dengan India di Laut Andaman. Selain itu, terdapat wilayah laut yang tidak memiliki batas ZEE yaitu di wilayah Selat Singapura yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura, karena lebarnya hanya sekitar 15 mil laut. Selebihnya, penentuan ZEE terutama pada wilayah laut yang 24

berhadapan dengan laut lepas, ditarik selebar 200 mil dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun demikian, batas ZEE antara Indonesia dengan negaranegara tetangga, sebagian besar belum ditetapkan, terutama yang berhadapan langsung dengan negara tetangga. Hal ini disebabkan karena belum adanya kesepakatan, atau belum dilakukannya ratifikasi. Ketidakjelasan batas ZEE tersebut menyebabkan sulitnya penegakan hukum oleh aparat dan berpotensi untuk menjadi sumber pertentangan antara Indonesia dengan negara tetangga. Tabel berikut ini menunjukkan status batas-batas ZEE di wilayah perbatasan laut Indonesia. Tabel 3.1. Status Batas-Batas ZEE antara RI dengan negara tetangga No Batas Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Status Keterangan 1 RI Malaysia Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 2 RI Vietnam Telah disepakati Kesepakatan di tingkat teknis, menunggu proses ratifikasi 3 RI Fillipina Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 4 RI Palau Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 5 RI PNG Belum disepakati Tidak ada batas laut 6 RI Timor Leste Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 7 RI India Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 8 RI Singapura Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 9 RI-Thailand Belum disepakati Belum ada perjanjian batas 10 RI Australia Telah disepakati Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah) ZEE di Samudera Hindia, Lauta Arafura, dan Laut Timor 2. Batas Laut Teritorial (BLT) BLT Indonesia lebarnya tidak melebihi 12 mil laut dari garis pangkal yang merupakan batas kedaulatan suatu negara baik di darat, laut, maupun udara. Sebagian besar BLT sudah disepakati oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, kecuali 25

dengan Timor Leste sebagai sebuah negara yang baru merdeka. Selain itu diperlukan pula perundingan tri-partit antara Indonesia-Malaysia- Singapura untuk menyepakati BLT di Selat Singapura bagian Barat dan Timur yang lebarnya kurang dari 24 mil dan bersinggungan langsung dengan perbatasan di ketiga negara. Mengingat pentingnya pengakuan terhadap batas kedaulatan suatu negara, maka batas laut teritorial antara pemerintah RI dan Timor Leste maupun three junctional point di Selat Malaka perlu segera disepakati untuk menghindari kekhawatiran timbulnya konflik akibat pelanggaraan kedaulatan wilayah negara. Tabel berikut ini menunjukkan status batas laut teritorial Indonesia dengan negara-negara tetangga. Tabel 3.2. Status Batas Laut Teritorial Indonesia No Batas Laut Teritorial (BLT) Status 1 RI Malaysia Telah disepakati 2 RI Singapura (di sebagian Selat Singapura) Telah disepakati 3 RI PNG Telah disepakati 4 RI Timor Leste Belum disepakati 5 RI-Malaysia-Singapura Belum disepakati Sumber : Bakosurtanal, 2003 (diolah) Keterangan Disepakati dalam perjanjian Indonesia-Malaysia Tahun 1970 Disepakati dalam perjanjian Indonesia-Singapura Tahun 1973 Disepakati dalam Perjanjian Indonesia-PNG Tahun 1980 Perlu ditentukan garis-garis pangkal kepulauan di Pulau Leti, Kisar, Wetar. Liran. Alor, Pantar, hingga Pulau Vatek, dan titik dasar sekutu di Pulau Timor Perlu perundingan bersama (tripartid) 3. Batas Landas Kontinen (BLK) Mengacu kepada Undang Undang no 1 /1973 tentang Batas Landas Kontinen Indonesia (BLKI) serta UU no. 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS, BLKI ditarik sama lebar dengan batas ZEE (200 mil laut) atau sampai dengan maksimum 350 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini berlaku di seluruh wilayah perairan Indonesia, kecuali pada segmen-segmen wilayah tertentu 26

dimana BLK dapat ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang berhadapan langsung dengan Indonesia, antara lain : (1) Berhadapan dengan India dan Thailand di Laut Andaman; (2) Berhadapan dengan Thailand di Selat Malaka bagian Utara; (3) Berhadapan dengan Malaysia di Selat Malaka bagian Selatan serta di Laut Natuna bagian Timur dan Barat; (4) Berhadapan dengan Vietnam di Laut Cina Selatan; (5) Berhadapan dengan Filipina di Laut Sulawesi; (6) Berhadapan dengan Palau di Samudera Pasifik; (7) Berhadapan dengan dengan Australia di Laut Arafura, Laut Timor, Samudera Hindia, dan di wilayah perairan di sekitar Pulau Christmas; (8) Berhadapan dengan Timor Leste di laut Timor. Selain BLK diatas, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara (three junction point) secara langsung, kesepakatan terhadap titik-titik ini dilakukan melalui pertemuan trialteral. Titik-titik tersebut antara lain : (1) Three Junction Point antara Indonesia, India, dan Thailand di Laut Andaman; (2) Three Junction Point antara Indonesia, Thailand, dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara. Sebagian BLK antara Indonesia dengan negara tetangga telah disepakati dan telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian masih terdapat beberapa segmen wilayah laut yang belum ditetapkan BLK-nya, karena masih dalam proses negosiasi atau bahkan belum dilakukan perundingan sama sekali dengan negara tetangga, antar lain BLK antara Indonesia dengan Vietnam, Filipina, 27

Palau, dan Timor Leste. Tabel berikut menunjukkan status Batas Landas Kontinen di wilayah perbatasan laut Indonesia. Tabel 3.3. Status Batas Landas Kontinen negara tetangga antara RI dengan No Batas Landas Kontinen (BLK) Status Keterangan 1 RI India 10 titik BLK di Lauta Andaman berikut Telah disepakati koordinatnya disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1974 dan 1977 2 RI Thailand Titik-titik BLK di selat Malaka maupun Telah disepakati Laut Andaman disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1977 3 RI Malaysia 10 titik BLK di Selat Malaka dan 15 titik di Telah disepakati Laut Natuna disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1969 4 RI Australia - Titik-titik BLK di Laut Arafura dan laut Timor ditetapkan melalui Keppres pada Tahun 1971 dan 1972 Telah disepakati - Titik-titik BLK di Samudera Hindia dan di sekitar Pulau Christmas telah disepakati berdasarkan perjanjian pada tahun 1997. 5 RI Vietnam Belum disepakati Dalam proses negosiasi 6 RI Filipina Belum disepakati Dalam proses negosiasi 7 RI Palau Belum disepakati Belum ada proses perundingan 8 RI Timor Leste Belum disepakati Belum ada proses perundingan Sumber : Bakosurtanal, 2003 3.3.2. Terbatasnya jumlah aparat serta sarana dan prasarana Masalah-masalah pelanggaran hukum, penciptaan ketertiban dan penegakan hukum di perbatasan perlu diantisipasi dan ditangani secara seksama. Luasnya wilayah, serta minimnya prasarana dan sarana telah menyebabkan belum optimalnya aktivitas aparat keamanan dan kepolisian. Pertahanan dan keamanan negara di kawasan perbatasan saat ini perlu ditangani melalui penyediaan 28

jumlah personil aparat keamanan dan kepolisian serta prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan yang memadai. 3.3.3. Terjadinya kegiatan-kegiatan ilegal dan pelanggaran hukum Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana dan sumberdaya manusia di bidang pertahanan dan keamanan, misalnya aparat kepolisian dan TNI-AL beserta kapal patrolinya, telah menyebabkan lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan di darat maupun perairan di sekitar pulau-pulau terluar. Disamping itu, lemahnya penegakan hukum akibat adanya kolusi antara aparat dengan para pelanggar hukum, menyebabkan semakin maraknya pelanggaran hukum di kawasan perbatasan. Sebagai contoh, di kawasan perbatasan darat, berbagai praktek pelanggaran hukum seperti aktivitas pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan penjualan manusia (trafficking person), serta permasalahan identitas kewarganegaraan ganda masih sering terjadi. Demikian pula di kawasan perbatasan laut, sering terjadi pembajakan dan perompakan, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia (seperti tenaga kerja, bayi, dan wanita), maupun pencurian ikan. 3.3.4. Terbatasnya jumlah sarana dan prasarana perbatasan (PLB, PPLB, dan fasilitas CIQS) Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur arus keluar masuk orang dan barang di kawasan perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang negara, sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan sosial dan ekonomi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat di wilayah negara tetangganya. Disamping itu adanya sarana dan prasarana perbatasan akan 29

mengurangi keluar-masuknya barang-barang illegal. Namun demian, jumlah sarana dan prasarana PLB, PPLB, dan CIQS di kawasan perbatasan masih minim. 3.4. Pengelolaan Sumber Daya Alam 3.4.1. Pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam belum optimal Potensi sumberdaya alam yang berada kawasan perbatasan, baik di wilayah darat maupun laut cukup besar, namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Potensi sumberdaya alam yang memungkinkan dikelola di sepanjang kawasan perbatasan, antara lain sumber daya kehutanan, pertambangan, perkebunan, pariwisata, dan perikanan. Selain itu, devisa negara yang dapat digali dari kawasan perbatasan dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan antarnegara. 3.4.2. Terjadinya eksploitasi pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tak terkendali dan berkelanjutan. Upaya optimalisasi potensi sumber daya alam harus memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial. Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan SDA dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas (hedge pollution), banjir, longsor, tenggelamnya pulau kecil, dan sebagainya pada umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan illegal, seperti penebangan liar di kawasan hutan dan pengerukan pasir di pulaupulau kecil yang tidak terkendali. Hal ini cukup sulit ditangani, karena keterbatasan pengawasan pemerintah di kawasan perbatasan dan belum ditegakkannya supremasi hukum secara adil dan tegas. 30

3.5. Kelembagaan dan Kewenangan Pengelolaan 3.5.1. Belum adanya kelembagaan yang mengelola kawasan perbatasan secara integral dan terpadu. Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General Border Comitee (GBC) RI Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-UNMISET (Timor Leste). Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat strategis dan mendesak untuk dilakukan, karena menyangkut dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya pengelolaan dan penanganan permasalahan perbatasan saat ini adalah belum adanya suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah. 3.5.2. Belum jelasnya kewenangan dalam pengelolaan kawasan perbatasan Sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pengaturan tentang pengembangan kawasan perbatasan secara hukum berada dibawah tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintupintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS). 31

Dengan demikian Pemerintah Daerah dapat mengembangkan kawasan perbatasan selain di pintu-pintu masuk tersebut, tanpa menunggu pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat. Namun demikian dalam pelaksanaannya pemerintah daerah belum melaksanakan kewenangannya tersebut. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penangannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3) Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kehutanan). 3.6. Kerjasama Antarnegara 3.6.1. Belum optimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan kerjasama sub regional, maupun regional. Kerjasama-kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan suatu peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan sub-regional yang ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle (IMS- GT), Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Australia Indonesia Development Area (AIDA), maupun Brunei Indonesia Malaysia Phillipines East Asian Growth Area pada umumnya meliputi provinsi-provinsi di wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dan investasi. Namun demikian, tampaknya bentuk-bentuk kerjasama ini belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasaan perbatasan yang tertinggal dan terisolir. 32

Hal ini sebenarnya sangat penting, karena berkembangnya kawasan perbatasan akan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara keseluruhan. 3.6.2. Belum optimalnya kerjasama antarnegara dalam penanggulangan pelanggaran hukum di perbatasan Kerjasama antarnegara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di kawasan perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan kayu, pelanggaran batas negara, dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum dilaksanakan secara optimal. Di beberapa daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua dan NTB dan NTT, masih banyak nelayan asing terutama dari Thailand dan Filipina yang melakukan kegiatan penangkapan tanpa ijin karena ketidaktahuan batas laut antara kedua negara. Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan negara tetangga perlu dilakukan, mengingat sumberdaya yang telah dicuri selama ini merugikan negara dalam jumlah besar. 33