LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA KLINIK PENGUJIAN KADAR UREUM DENGAN METODE BERTHOLET OLEH: KELOMPOK 1 GOLONGAN II Ni Putu Erikarnita Sari 0908505028 Ida Ayu Ratih Dwi Nugraha Putri 1208505001 Sonia Rachmi Nachia 1208505004 Zulaini 1208505006 Mitsue Oka 1208505014 Akhmad Ansyar Wahyu Ibrahim 1208505016 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2015 i
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Kimia Klinik ini. Dalam kesempatan ini, kami juga mengucapkan terimakasih setulusnya kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan Laporan Praktikum ini, terutama kepada Dosen Pengajar Mata Kuliah Praktikum Kimia Klinik dari Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kami menyadari bahwa Laporan Praktikum ini masih sangat jauh dari sempurna sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan. Akhirnya, kami berharap semoga Laporan Praktikum ini dapat memberikan manfaat dan menginterpretasikan hasil dari praktikum yang telah kami laksanakan. Penulis 2015 ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii I. LATAR BELAKANG... 1 II. TUJUAN... 2 III. METODE PEMERIKSAAN... 3 IV. CARA KERJA... 4 V. HASIL... 5 VI. INTERPRETASI HASIL... 6 VII. PEMBAHASAN... 6 VIII. KESIMPULAN... 11 iii
PENGUJIAN KADAR UREUM DENGAN METODE BERTHOLET I. LATAR BELAKANG Ureum merupakan senyawa ammonia berasal dari metabolisme asam amino yang diubah oleh hati menjadi ureum. Ureum bermolekul kecil mudah berdifusi ke cairan ekstra sel, dipekatkan dan diekskresikan melalui urine lebih kurang 25 gr/hari. Ureum normal 10 50 mg/dl. Pada prinsipnya urea dalam sampel dengan bantuan enzim urease akan menghasilkan amonia dan karbondioksida. Setelah dicampur dengan pereaksi I dan II akan terjadi reaksi yang menghasilkan suatu kompleks yang absorbansinya dapat diukur dengan Spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran kadar amonia dengan metode Bertholet sangat sensitif dan mempunyai koefisien ekstingsi molar (ɛ) sebesar 20000. Selain itu metode ini memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap ion amonium. Reaksi berjalan lambat, tapi dapat ditingkatkan dengan penambahan agen pengkopling, seperti Na-nitroprusid (McClarchey, 2002). Kondisi kadar urea yang tinggi disebut uremia. Penyebab uremia tersering adalah gagal ginjal yang menyebabkan gangguan ekskresi. Azotemia mengacu kepada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah pada gagal ginjal (Sahota et al., 2013). Uremia prarenal berarti peningkatan BUN akibat mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi darah oleh glomerulus. Mekanismemekanisme ini mencakup penurunan signifikan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, dehidrasi, atau peningkatan katabolisme protein seperti perdarahan masif ke dalam saluran cerna disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan. BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati, sampai pada ginjal tidak mengalami perubahan molekul. Uremia pascarenal terjadi apabila terdapat obtruksi saluran kemih bagian bawah di ureter, kandungan kemih, atau uretra yang mencegah ekskresi urin. Urea di urin yang tertahan dapat berdifusi kembali ke dalam aliran darah. Penyebab uremia diginjal mencangkup penyakit atau toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal (Kopple and Shaul, 2004). 1
Tes BUN (Blod Urea Nitrogen) adalah tes yang mengukur jumlah nitrogen pada darah yang berasal dari produk limbah urea karena itu merupakan pengukuran tidak langsung dari urea dalam aliran darah. Urea dibentuk ketika terjadi pemecahan protein di dalam tubuh. Urea diproduksi di dalam hati dan diekskresi melalui urin. Sebelum melakukan tes BUN, sebaiknya hindari mengkonsumsi banyak daging atau protein lain dalam 24 jam sebelum tes berlangsung (Shils et al., 2006). Pengukuran kadar urea nitrogen dapat dilakukan di dalam cairan tubuh, yaitu serum/plasma dan urin, salah satu metode yang digunakan yaitu pengukuran kadar ammonia yang dihasilkan dari reaksi urea dengan urease. Pada metode ini, urea dipecah dengan enzim urease menghasilkan CO2 dan ammonia. Selanjutnya amonia yang dibebaskan ditetapkan kadarnya dengan reagen Bertholet. Belum diketahui adana senyawa lain dalam tubuh yang mengalami pemecahan yang sama dengan urea, oleh karena itu metode ini mempunyai spesifitas yang tinggi terhadap urea (McClarchey, 2002). II. TUJUAN Menetapkan kadar ureum dalam serum atau plasma dengan metode Bertholet. 2
III. METODE PEMERIKSAAN - Prinsip pemeriksaan Prinsip pemeriksaan dalam praktikum kali ini adalah urea dalam sampel dengan bantuan enzim urease akan menghasilkan ammonia dan karbondioksia. Setelah dicampur dengan pereaksi I dan II akan terjadi reaksi yang menghasilkan suatu kompleks yang absorbansinya dapat diukur dengan Spektrofotometer UV-VIS. - Alat - Bahan a. Pipet ukur b. Tabung reaksi c. Pipet tetes d. Ball filler e. Termometer f. Gelas Beker untuk inkubasi g. Spektrofotometer UV-Vis a. Serum/plasma b. Standar BUN (Blood Urease Nitogen) 20 mg/dl (Bio analitika ) c. Urease 4000 U/I d. Buffer EDTA ph 6,5 e. Reagen I : Fenol Na-nitroprussid f. Reagen II : NaOCl NaOH 15 g/l 0,5 g/l 0,5 g/l 6,0 g/l 3
IV. CARA KERJA Disiapkan tabung reaksi yang akan digunakan. Dimasukkan bahan-bahan ke dalam tabung reaksi (sesuai tabel) Bahan Tes Blangko Standar aquades Urease, ml 0,10 0,10 Blangko Standar, ml - 0,01 yang Serum/plasma, ml 0,01 - digunakan adalah aquadest Dicampur dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 20 menit. Reagen-reagen dalam tabel ditambahkan berturut-turut. Reagen Tes Blanko Standar aquadest Reagen I, ml 2,5 2,5 2,5 Reagen II, ml 2,5 2,5 2,5 Dicampur dan didiamkan pada suhu kamar selama 20 menit. Dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm (540-620 nm). Sebagai titik nol digunakan aquadest. 4
V. HASIL PEMERIKSAAN DAN INTERPRETASI HASIL 5.1 Hasil Pemeriksaan Tabel 5.1.1 Data Hasil Pengamatan Data Standar Sampel Absorbansi 0,246 nm 0,755 nm 5.2 Perhitungan Kadar BUN = D t D st x 20 = mg% BUN Keterangan: Dt = hasil pembacaan pada test Dst = hasil pembacaan pada standar Diketahui : Dt = 0,755 Dst = 0,246 Ditanya : Kadar BUN =..? Jawab : Kadar BUN = D t D st x 20 = mg% BUN Kadar BUN = 0,755 0,246 x 20 = 61,382 = 61,4 mg% BUN Dalam uji kadar ureum, nilai yang dikatakan normal dengan metode bertholet berada pada rentang5-20 mg% BUN dan nilai hasil penetapan kadar ureum dalam serum adalah 61,4 mg% BUN maka diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar BUN yang menunjukkan adanya disfungsi ginjal pada pasien. 5
VI. INTERPRETASI HASIL Berdasarkan hasil perhitungan kadar ureum sebesar 61,4 mg% BUN, angka tersebut berada diatas angka normal yaitu sebesar 5-20 mg% BUN atau 3,3-7,7 mmol/l. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar ureum plasma yang menunjukkan adanya disfungsi ginjal pada pasien karena ginjal tidak dapat lagi membuang urea keluar dari tubuh, sehingga urea terakumulasi dalam darah. Peningkatan kadar ureum tersebut dikenal dengan uremia. VII. PEMBAHASAN Dalam praktikum ini dilakukan penetapan kadar ureum dalam serum atau plasma dengan metode Bertholet. Prinsip dalam pengukuran ini yaitu urea dalam sampel dengan bantuan enzim urease akan menghasilkan amonia dan karbondioksida. Setelah dicampur dengan pereaksi I (Fenol dan Na. Nitroprussid) dan II (NaOCl dan NaOH) akan terjadi reaksi yang menghasilkan suatu kompleks yang absorbansinya dapat diukur dengan spektrofotometer UV-Vis (Dewi dkk., 2014). Ureum adalah suatu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya dipekatkan dalam urin dan diekskresi. Jika dalam tubuh terjadi keseimbangan nitrogen, maka ekskresi ureum kira-kira 25 mg per hari (Widman, 1995). Ureum merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen yang penting pada manusia, yang disintesa dari ammonia, karbon dioksida, dan nitrogen amida aspartat (Victor, 1999). Hampir seluruh urea dibentuk di dalam hati, dari katabolisme asam-asam amino dan merupakan produk ekskresi metabolisme protein yang sama. Konsentrasi urea dalam plasma terutama menggambarkan keseimbangan antara pembentukan urea dan katabolisme protein serta ekskresi urea oleh ginjal (Baron,1995). 6
Gambar: Struktur ureum Jika kuantitas urea melebihi batas normal akan mengakibatkan tingginya kandungan urea dalam darah dan umumnya terjadi pada penderita gagal ginjal Oleh karena itu diperlukan analisis penentuan kadar urea dalam serum/plasma (Khairi, 2005). Penentuan kadar urea dalam serum dalam analisis klinik bermanfaat untuk mengetahui kondisi disfungsi ginjal (gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, penyumbatan pada ginjal) dan pada kondisi yang tidak berkaitan dengan penyakit ginjal (gagal jantung kongesti, kondisi pasca bedah/operasi, hipotensi). Kelebihan metode Berthelot pada penetapan kadar urea nitrogen ialah metode ini sangat spesifik, karena melibatkan enzim yaitu urease (enzim umumnya mempunyai satu substrat tertentu), penentuan urea dalam tubuh dapat dilakukan secara langsung (tidak terganggu protein dan tidak perlu dideproteinasikan), sensitif (karena nilai ekstingsi molarnya besar yaitu 20000), serta dengan nilai presisi dan akurasi yang tinggi (Ardianto, 2010). Penentuan urea berdasarkan reaksi antara urea dengan urease membentuk ammonium hidroksida (NH4OH). Senyawa tersebut di dalam air akan terhidrolisis menjadi ion ammonium dan ion hidroksida. Senyawa NH4OH yang terdapat dalam larutan akan membentuk keseimbangan pada permukaan membran. Hal ini disebabkan oleh proses homogenisasi dalam larutan untuk mencapai keseimbangan dan selanjutnya dapat dijadikan dasar penentuan kuantitas urea dalam sampel (Khairi, 2005). Adapun reaksi Barthelot yang terjadi yaitu : NH4 + + NaOCl + Fenol nitroprusida Indofenol 7
Langkah awal dari praktikum ini adalah pembuatan 3 jenis larutan, yaitu larutan standar, larutan tes, dan larutan blanko. Larutan standar dibuat dengan menambahkan enzim urease 0,10 ml dan 0,01 ml standar BUN 20 mg/dl pada tabung reaksi. Larutan tes dibuat dengan memasukkan 0,1 ml urease dan 0,01 ml serum / plasma ke dalam tabung reaksi yang berbeda. Larutan blanko yang digunakan adalah akuades dan juga dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berbeda. Semua larutan tersebut dicampur dan diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 20 menit. Tujuan dilakukan inkubasi selama 20 menit adalah untuk memberikan waktu untuk bercampur dan bereaksi masing-masing bahan dengan baik. Selanjutnya ditambahkan reagen I (Fenol dan Na. Nitroprussid) dan reagen II (NaOCL dan NaOH) serta dicampur dan didiamkan kembali selama 20 menit. Kemudian dibaca pada spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm. Untuk memperoleh hasil pengukuran yang lebih akurat, perlu dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum kembali sebelum dilakukan pengukuran absorbansi Sebelum dilakukan pengukuran larutan standar dan larutan tes, dilakukan pengukuran larutan blanko. Pengukuran dengan larutan blanko bertujuan untuk meminimalkan kesalahan pengukuran akibat pembacaan serapan oleh pelarut dan pereaksi, serta menyamakan kondisi pengukuran dengan larutan yang akan diukur pada saat pengukuran absorbansi ureum dengan harapan detektor hanya mengukur absorbansi dari ureum saja. Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dan perhitungan, didapatkan kadar ureum sebagai berikut: Data Standar Sampel Absorbansi 0,246 nm 0,755 nm Selanjutnya dilakukan perhitungan kadar ureum menggunakan rumus : Kadar ureum = Dt x 20 = mg% BUN Dst Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh kadar ureum serum pada test sebesar 61,4 mg% BUN. Hasil tersebut menunjukkan 8
adanya peningkatan kadar ureum plasma dari rentang normal 5-20 mg % BUN. Adanya kadar ureum dalam darah yang tinggi mengindikasikan bahwa pasien mengalami disfungsi ginjal karena ginjal tidak dapat lagi membuang urea keluar dari tubuh, sehingga urea terakumulasi dalam darah. Peningkatan kadar ureum dikenal dengan Uremia. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Tanda dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal (Suwitra, 2006). Penyebab uremia dibagi menjadi tiga, yaitu penyebab prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia prarenal terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi : 1) penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan darah, dan dehidrasi; 2) peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, perdarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar, dan demam. Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang menyebabkan gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Gagal ginjal kronis disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus, arteriosklerosis, amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagenvaskular. Uremia pascarenal terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter, kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin. Obstruksi ureter bisa oleh batu, tumor, peradangan, atau kesalahan pembedahan. Obstruksi leher kandung kemih atau uretra bisa oleh prostat, batu, tumor, atau peradangan. Urea yang tertahan di urin dapat berdifusi masuk kembali ke dalam darah. 9
Penyebab urea plasma yang tinggi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Peningkatan katabolisme protein jaringan disertai dengan keseimbangan nitrogen yang negatif misalnya terjadi demam, penyakit yang menyebabkan atrofi, tirotoksikosis, koma diabetikum atau setelah trauma ataupun operasi besar. b. Pemecahan protein darah yang berlebihan misalnya pada leukemia dimana pelepasan protein leukosit menyokong urea plasma yang tinggi; c. Pengurangan ekskresi urea yang merupakan penyebab utama dan terpenting misalnya pada shock, payah jantung kongestif, atau penyakit Addison yang mengurangi aliran darah plasma ginjal; d. Penyakit ginjal yang disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerolus yang menyebabkan urea plasma tinggi; ataupun dapat karena terjadinya e. Obstruksi saluran keluar urin misalnya kelenjar prostat yang membesar menyebabkan urea plasma menjadi tinggi. (Baron, 1995) Beberapa jenis obat dapat mempengaruhi peningkatan urea, seperti : obat nefrotoksik; diuretik (hidroklorotiazid, asam etakrinat, furosemid, triamteren); antibiotik (basitrasin, sefaloridin (dosis besar), gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, metisilin, neomisin, vankomisin); obat antihipertensi (metildopa, guanetidin); sulfonamide; propanolol, morfin; litium karbonat; salisilat. Sebelum melakukan tes BUN, sebaiknya pasien menghindari pengkonsumsian banyak daging atau protein lain dalam 24 jam sebelum tes berlangsung. 10
VIII. KESIMPULAN Kadar ureum dalam serum yang diperoleh dengan metode Bertholet adalah 61,4 mg% BUN. Hasil tersebut menunjukkan peningkatan kadar ureum plasma di atas rentang ureum normal 5-20 mg% BUN. Peningkatan kadar ureum tersebut dikenal dengan uremia. Adanya kadar ureum dalam darah yang tinggi mengindikasikan pasien mengalami disfungsi ginjal karena ginjal tidak dapat lagi membuang urea keluar dari tubuh, sehingga urea terakumulasi dalam darah. 11
DAFTAR PUSTAKA Baron, D.N. 1995. Patologi Klinik. Jakarta: EGC. Dewi, Rasmika D. A. P., D. G. Diah Dharma Santhi, dan A. A. N. Santa A. P. 2014. Penuntun Praktikum Kimia Klinik (Pedoman Praktikum untuk S1). Denpasar: Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Khairi. 2005. Perbandingan Metode Potensiometri Menggunakan Biosensor Urea Dengan Metode Spektrofotometri Untuk Penentuan Urea. Jurnal Sains Kimia Vol 9, No.2 : 68-72. Kopple, J. D., and Shaul G. M. Nutritional Management of Renal Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins. McClarchey, K., D. 2002. Clinical Laboratory Medicine 2 nd edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Sahota, P. S., James A. P., Jerry F. H. and Chirukandath G. 2013. Toxycologic Pathology Non Clinical Safety Assessment. USA: Taylor & Francis Group Shils, M. E., Moshe S., Catharine R., Benjamin C. and Robert J. C. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease 10 th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Suwitra, K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584. Victor, W. 1999. Biokimia Harper, Ed.24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Widmann, F. K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 9. Jakarta: EGC. 12