VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

dokumen-dokumen yang mirip
NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K131. Konvensi Penetapan Upah Minimum, 1970

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG

KONVENSI ROMA 1961 KONVENSI INTERNASIONAL UNTUK PERLINDUNGAN PELAKU, PRODUSER REKAMAN DAN BADAN-BADAN PENYIARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG

KONVENSI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP PRINSIP HAK UNTUK BERORGANISASI DAN BERUNDING BERSAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

HUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 83 TAHUN 1998

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

MULAI BERLAKU : 3 September 1981, sesuai dengan Pasal 27 (1)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

Transkripsi:

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua deklarasi (Declaration), yaitu deklarasi mengenai larangan mengunakan paksaan militer, politik atau ekonomi dalam membuat suatu perjanjian dan deklarasi mengenai partisipasi Universal dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Preambule ini menggambarkan dasar-dasar pertimbangan dari fakta yang sudah ada dan berlaku sebelumnya, maupun asas-asas hukum yang melandasi substansi atau pasal-pasal konvensi, serta tujuan yang hendak dicapai oleh Konvensi. Butir-butir konsideran adalah sebagai berikut: Pertama, mengenai negara-negara yang menjadi pihak atau peserta konvensi mengakui peranan yang sangat fumdamental dari perjanjian-perjanjian international dalam sejarah hubungan international. Kedua, mengenai peranan perjanjian international sebagai sumber hukum internationaln sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama international secara damai antara bangsabangsa, serta sesuai sistem ketatanegaraan dan sistem sosial budaya masing-masing. Ketiga, mengenai prinsip umum hukum yang melandasi hukum perjanjian international dalam konvensi. Keempat, mengenai perselisihan sehubungan dengan perjanjian international, disesuaikan secara damai sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum international, baik penyelesaian sengketa arbitase, Mahkamah International maupun Mahkamah Regional. Kelima. Untuk menciptakan kondisi keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian international yang ditujukan kepada rakyat.

Keenam, mengenai prinsip-prinsip hukum international yang terdapat dalam piagam PBB, seperti persamaan hak, keamanan kedaulatan dan kemerdekaan dari semua negara, prinsip tidak campur tangan dalam keamanan domestik, prinsip pelanggaran penggunaan ancaman atau kekuatan dan prinsip penghormatan secara universal atas hak-hak dan kebebasan asasi manusia bagi semua. Ketujuh, mengenai perkembangan progresif dan pengkodifikasian hukum perjanjian international terdapat dalam konvensi, serta mendorong tercapainya maksud dan tujuan dari PBB. Kedelapan, mengenai suatu pengakuan terhadap hukum kebiasaan international, khususnya perjanjian international yang berbentuk hukum kebiasaan international, dimana hukum kebiasaan internasional ini tetap berlaku sepanjang persoalan-persoalan tersebut belum diatur oleh konvensi ini. Substansi Konvensi Wina 1969: Konvensi Wina 1969 terdiri dari 8 (delapan) Bagian (Part) dan 85 pasal (Articles), yakni: Bagian pertama ( Part I): mengatur masalah pengantar, terdiri dari 5 pasal, (pasal 1 s/d pasal 5), adalah; Pasal 1: mengatur tentang ruang lingkup konvensi, yaitu kaidah-kaidah hukum perjanjian international yang mencakup perjanjian-perjanjian antar negara. Pasal 2 : mengatur mengenai makna atau arti tentang istilah-istilah yang digunakan dan yang sering dijumpai dalam konvensi, seperti treaty, ratification, acceptance, approval, accession, full powers, reservation, negotiating state, contracting state, party, third state, dan international organization. Pasal 3 : mengatur mengenai perjanjian atau persetujuan yang terletak diluar konvensi. Pasal 4 : mengatur mengenai ketentuan konvesi yang tidak memiliki daya berlaku surut. Pasal 5 : menegaskan bahwa perjanjian international merupakan dasar untuk membentuk organisasi international dan perjanjian international dihasilkan dalam kerangka suatu organisasi international

Bagian Kedua (Part II): mengatur tentang perbuatan atau perumusan dan mulai berlakunya suatu perjanjian international yang terbagi lagi menjadi 3 sesi (section) dan semuanya meliputi 20 pasal, dari pasal 6 s/d pasal 25. Seksi 1: mengatur tentang perbuatan atau perumusan perjanjian yang didalamnya terdapat 18 pasal, dari 6 sampai dengan pasal 18. Seksi 2: mengatur mengenai persyaratan atau reservasi yang dapat diajukan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk turut serta terikat pada suatu perjanjian international, terdiri dari 5 pasal, yakni dari pasal 19 sampai dengan pasal 23. Seksi 3: mengatur tentang mulai berlakunya dan penerapan sementara atas suatu perjanjian international, terdiri dari dua pasal saja, yaitu pasal 24 dan pasal 25. Bagian Ketiga (Part III) mengatur masalah penghormatan, penerapan, dan penafsiran suatu perjanjian international, terdiri dari 4 seksi dan 13 pasal, yaitu: Seksi 1: terdiri dari pasal 26 dan pasal 27. Pasal 26 merumuskan tentang prinsip fundamental dalam perjanjian international, yaitu peinsip pacta sunt servada, artinya setiap perjanjian yang telah memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang bersangkutan harus menghormati dan mentaati perjanjian dengan etikat baik. Pasal 27 merumuskan bahwa hukum nasional (municipal law) tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian. Seksi 2: mengatur tentang implementasi/ penerapan perjanjian international, terdiri dari pasal 28, 29 dan 30. Seksi 3: mengatur tentang penafsiran perjanjian international, terdiri dari 3 pasal, yaitu pasal 31, 32 dan pasal 33. Seksi 4: mengatur tentang hubungan antara perjanjian international denga pihak ketiga (bukan peserta perjanjian), terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 34 sampai dengan pasal 38. Bagian Keempat (Part IV): mengatur masalah amandemen dan modifikasi atas suatu perjanjian international, terdiri dari 3 pasal, yaitu pasal 39, 40 dan pasal 41. Bagian Kelima (Part V): mengatur tentang invaliditas, pengakhiran, dan penundaan berlakunya suatu perjanjian international, terdiri dari lima seksi dan 30 (tiga puluh) pasal, yaitu dari pasal 42 sampai dengan pasal 72.

Seksi 1: mengatur tentang ketentuan umum, terdiri dari empat pasal, yaitu pasal 42 sampai dengan pasal 43, 44 dan pasal 45. Seksi 2: mengatur tentang invaliditas suatu perjanjian international, terdiri dari 8 pasal, yaitu pasal 46 sampai dengan pasal 53. Seksi 3: mengatur mengenai pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian international, terdiri dari 11 pasal, yaitu dari pasal 54 sampai dengan pasal 64. Seksi 4 : mengatur tentang prosedur atau mekanisme yang harus diikuti berkaitan dengan masalah pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian international, terdiri dari 4 pasal, yaitu pasal 65, 66, 67 dan pasal 68. Seksi 5 : mengatur tentang akibat hukum dari invaliditas, pengakhiran dan/atau penundaan berlakunya suatu perjanjian international, terdiri dari 4 pasal, yaitu dari pasal 68 sampai dengan pasal 72. Bagian Keenam (Part VI) : yaitu berupa ketentuan-ketentuan lain, yaitu berupa ketentuanketentuan lain, terdiri dari tiga pasal saja, yakni pasal 73, 74 dan pasal 75, mengatur tentang hal-hal yang berdasarkan sistematikanya tidak dapat dimaksudkan ke dalam salah satu bagian tersebut diatas, dan oleh karena itu dihimpun dalam bagian keenam ini. Bagian Ketujuh (Part VII): mengatur tentang masalah penyimpanan, pemberitahuan, perbaikan, dan registrasi suatu perjanjian international, terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 76 sampai dengan pasal 80. Pasal 76 mengatur mengenai penyimpanan naskah suatu perjanjian international maupun dokumen lain yang berhubungan dengan perjanjian itu. Pasal 77 mengatur tentang fungsi dari negara atau organisasi international yang ditugaskan untuk melakukan penyimpangan perjanjian international. Pasal 78 mengatur tentang kewajiban memberitahukan dan mengkomunikasikan suatu perjanjian international dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perjanjian international tersebut. Pasal 79 mengatur tentang perbaikan atas kesalahan cetak atas naskah suatu perjanjian international ataupun salinannya yang resmi. Pasal 80 mengatur tentang registrasi dan publikasi suatu perjanjian international. Bagian Kedelapan (Part VIII): merupakan bagian terakhir, berkaitan dengan ketentuanketentuan akhir, yaitu berupa ketentuan yang dari segi sistematiknya memang layak

ditempatkan pada bagian paling akhir dari suatu nanskah perjanjian atau konvensi, terdiri dari 5 pasal, yaitu pasal 81 dengan pasal 85. Pasal 81 mengatur tentang penandatanganan konvensi ini. Pasal 82 mengatur tentang ratifikasi (pengesahan) suatu perjanjian international. Pasal 83 mengatur tentang aksesi (pernyataan turut serta) pasa suatu perjanjian intenational. Pasal 84 mengatur tentang mulai berlakunya suatu perjanjian international. Pasar 85 mengatur tentang naskah konvensi yang otentik